Wednesday, January 2, 2019

Peran Intelektual Millennial III




KATA PENGANTAR

A
pa itu seorang intelektual? Dan apa fungsinya dalam masyarakat? Bagi Edward W. Said seorang intelektual adalah "pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa." Seorang intelektual mengatakan yang dianggapnya benar, entah sesuai atau tidak dengan pikiran-pikiran pihak penguasa. Karena ia lebih cenderung ke oposisi daripada ke akomodasi.

Dosa paling besar seorang intelektual adalah "Apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi menghindari untuk mengatakannya". Ia hendaknya jangan sekali-kali mau mengabdi kepada mereka yang berkuasa. Bagaimana paparan selanjutnya mari kita ikuti tulisan Rudy Gani, Peneliti Politik yang membedah pemikiran Edward W. Said, penulis buku “Peran Inteletual”.



PERAN INTELEKTUAL - Bedah Pemikiran Edward Said
Oleh: Rudy Gani, Peneliti Politik


J
ika ada yang dapat dipetik setelah membaca Buku Peran Intelektual kumpulan pidato Edward W. Said yang diterbitkan oleh Penerbit Obor Indonesia (1998), maka timbullah kesan ‘luar biasa’. Buku yang berisi kumpulan pidato seorang pemikir besar abad ke-20 ini sangat menarik untuk dikaji sekaligus juga meneladani pemikiran Edward W. Said terutama peranan dirinya sebagai seorang intelektual.
 
Edward W. Said lahir di Yerusalem tahun 1935. Edward W. Said merupakan putra seorang pedagang Arab makmur. Tahun 1937 ia dikirim orang tuanya ke Kairo untuk belajar di Victoria College, sekolah elite di Timur-Tengah. Di sana semua gurunya orang Inggris. Pendidikan yang benar-benar bergaya Inggris ini membuat dia menjadi warga Inggris, bukan lagi seorang anak muda Arab.

Pada usia 15 tahun ia dipindahkan ayahnya yang berkewarganegaraan Palestina-Amerika Serikat, ke Massachusets. Dan, pada umur 18 tahun Edward W. Said menjadi warga negara Amerika Serikat. Namun, bukan berarti pendidikan Barat telah melunturkan perhatiannya kepada negeri kelahirannya. Panggilan tanah leluhur Palestina semakin mengusik kesadaran Said. Kini ia tidak lagi sekedar akademisi yang bergelut dengan teori-teori sastra. Tapi telah menjadi aktivis yang merangkap sebagai pengajar untuk kepentingan Palestina dan dunia Arab pada umumnya.


Peran Intelektual Edward W. Said

Julian Benda (1867-1956) dalam karyanya yang termashyur “La Trahison des Clercs” - Pengkhianatan Kaum Cendikiawan, menggambarkan cendekiawan dalam sosok ideal yaitu semua orang yang kegiatan utamanya bukanlah mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi yang mencari kegembiraan dalam mengolah seni, ilmu atau renungan metafisik mereka adalah para ilmuwan, fisuf, seniman dan ahli metafisika. Julian Benda mengutip khotbah Yesus di bukit. Singkatnya, Julian Benda menyebut cendikiawan sejati ini dengan prinsip “kerajaanku bukan di bumi”. Adapun contohnya antara lain Thomas Aquinas, Roger Bacon, Galileo, Descrates, Pascal, Leibniz, Kepler, Newton, Voltaire, Montesquieu.

Edward W. Said sendiri dalam melihat konsepsi yang ditawarkan oleh Julian Benda keberatan. Alasan keberatan Said dalam menanggapi konsepsi ideal intelektual oleh Julian Benda ialah karena Julian Benda menggambarkan intelektual dalam sosok yang sangat ideal, yaitu segelintir manusia sangat berbakat dan yang diberkahi moral “filsuf-raja”. Berisiko dibakar di tiang gantungan, dikeluarkan dari komunitas atau disalib. Pribadi simbolik mereka ditandai ketidakberjarakannya dari hal-hal praktis. Dan tentu saja menurut Said konsepsi tersebut bias gender dan terlalu Barat sebab contoh yang diberi Julian Benda semuanya laki-laki dan semuanya dari Barat kecuali Yesus.

Sedangkan Edward W. Said mendefinisikan intelektual sebagai individu yang dikaruniai bakat untuk merepresentasikan dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap atau filsafat kepada publik. Edward W. Said lebih menyukai batasan intelektual yang diberikan oleh Antonio Gramsci salah seorang idolanya di bidang intelektual.

Di dalam buku Gramsci yang berjudul “Selections From Prison Notebooks” (1978), Gramsci mengatakan ‘semua orang adalah intelektual, tapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual’. Gramsci mengelompokkan dua jenis intelektual. Pertama, intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator. Kelompok pertama ini menurut Gramsci dari generasi ke generasi selalu melakukan hal yang sama. Kedua, intelektual organik, yaitu kalangan profesional. Batasan yang diberikan Gramsci ini lebih disukai Said karena lebih dekat dengan realitas daripada konsepsi yang Julian Benda tawarkan.

Adapun tujuan intelektual menurut Said adalah, meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia. Tujuan emansipatoris ini juga ditekankan oleh beberapa pemikir lainnya di abad 20 seperti Sartre. Edward W. Said menyatakan, seorang intelektual tidaklah berada di menara gading. Sebaliknya, mereka terlibat langsung dalam soal-soal kemasyarakatan. Pekerjaan seorang intelektual adalah mempertahankan negara dengan kewaspadaan, selalu sadar akan tugasnya untuk tidak membiarkan kebenaran diselewengkan atau menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan. Dalam hal ini seorang intelektual berperan sebagai benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Said mencela kaum cendekia yang suka bersolek dan memilih diam demi kehati-hatian.

Cendekiawan itu, menurut Said, tidak bebas nilai atau netral. Sebaiknya seorang intelektual harus berpihak yakni terhadap kelompok lemah yang tertindas. Edward W. Said mengingatkan apabila kaum intelektual mengambil posisi kritis terhadap suatu otoritas maka intelektual itu akan menjadi kaum pinggiran kalau dilihat dari pemilikan, kuasa dan kehormatan. Seorang intelektual selalu berada di antara kesendirian dan pengasingan. Suara seorang intelektual adalah suara kesepian tapi suara ini akan bergema karena menghubungkan dirinya secara bebas dengan realitas sebuah gerakan, aspirasi dan pengejaran cita-cita bersama. Karena itu, menurut Said, karakterisasi intelektual adalah sosok pengasingan dan marjinal, sebagai amatir dan sebagai pengarang sebuah bahasa yang mencoba membicarakan kebenaran kepada kekuasaan.


Kaum Profesional dan Kaum Amatir

Said mempertanyakan peranan intelektual di abad 20. Menurutnya masih adakah intelektual yang independen dalam menyampaikan gagasannya? Maksudnya, seorang intelektual yang tidak mengindahkan afiliasinya dengan universitas yang membayar gajinya, partai politik yang menuntut loyalitasnya sesuai garis partai, think thank yang di satu sisi, menawarkan kebebasan dalam melakukan riset, tapi pada sisi lain mungkin lebih halus berkompromi dalam menilai serta membatasi suara-suara vokal.

Said mengkritik intelektual yang menganggapnya sebagai suatu profesi yang bertujuan materi belaka. Menurutnya ancaman khusus intelektual saat ini baik di Barat maupun di non-Barat, bukanlah akademi, bukan pinggiran, bukan pula komersialisme mengerikan dari jurnalisme dan perusahaan penerbit. Tapi justru sikap profesionalisme.

Menurut Said profesionalisme adalah bahaya laten yang dapat menurunkan derajat intelektual seseorang. Profesional di sini menurut Said ialah menganggap pekerjaan sebagai seorang intelektual merupakan sesuatu yang dilakukan untuk penghidupan antara pukul sembilan sampai pukul lima. Intelektual seperti ini ialah intelektual yang menurut Said adalah intelektual professional.

Sedangkan Said sendiri mengusulkan idenya terkait tugas dan tanggung jawab intelektual. Said mengusulkan gagasannya tentang intelektual amatir. Kaum intelektual amatir menurut Said adalah seorang intelektual yang bergerak bukan karena keuntungan tertentu atau imbalan tapi karena cinta akan sesuatu yang tidak terpuaskan dalam gambaran yang lebih besar, dalam menjalin hubungan lintas batas, dalam diikat menjadi spesialis serta dalam memperhatikan ide-ide dan nilai-nilai kendati adanya pembatasan oleh profesi. Maksudnya aktivitas yang digerakkan oleh kepedulian dan rasa bukan oleh laba, kepentingan sendiri serta spesialisasi yang sempit.

Said sendiri mengkritik adanya spesialisasi dalam tugas seorang intelektual di abad 20. Menurutnya spesialisasi merupakan tekanan yang pertama terhadap kaum intelektual. Said mengatakan semakin tinggi sekolah seseorang dalam sistem pendidikan sekarang, kaum intelektual semakin dibatasi dalam kawasan ilmu pengetahuan yang relatif sempit. Spesialisasi juga membunuh rasa nikmat dan hasrat menemukan. Akibatnya kedua hal yang sebenarnya tak bisa dikurangi ini kini menjadi kosmetik intelektual belaka. Begitupula dengan sertifikasi dalam pengetahuan yang dikeluarkan oleh suatu ortoritas tertentu. Fungsi sertifikasi ini bagi seorang intelektual adalah berbicara tentang topik yang memang dia mendapatkan sertifikasi untuk membeicarakannya. Perihal ini Said mengungkapkan bahwa pada masa setelah perang dunia berakhir, kaum intelektual mendapatkan sorotan khusus untuk memainkan perannya terutama dalam relasinya terhadap kekuasaan.

Seorang intelektual yang pakar di bidang matematika haruslah berbicara sesuai dengan bidangnya sehingga pakar tersebut tidak memiliki otoritas untuk membicarakan permasalahan politik ataupun kebijakan luar negeri yang di keluarkan pemerintah. Hal inilah yang dikritik oleh Said sebagai upaya pengekangan terhadap hak-hak seorang intelektual.

Tekanan bagi seorang intelektual lainnya adalah penyimpangan tak terhindarkan ke arah kekuasaan dan otoritas di lingkungan pendukungnya ke arah perolehan dan pemilikan kekuasaan serta pendayagunaan langsung olehnya. Pasca perang, universitas di Barat banyak melakukan riset yang berkaitan dengan kepentingan keamanaan serta teknologi persenjataan. Di Amerika Serikat riset-riset universitas di biayai cukup besar oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan Amerika Serikat. Kepentingannya hanyalah satu untuk mewaspadai perkembangan perang dingin yang terjadi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Menurut Said pertanyaan tentang moralitas dan keadilan dikesampingkan oleh kaum intelektual. Sebab adanya hubungan yang ‘intim’ antara penguasa dan kaum akademisi dalam menangani berbagai proyek yang diberikan penguasa.

Kondisi itu menurut penilaian Said telah melecehkan peranan kaum intelektual. Tugas suci sebagai pembela kebenaran yang tidak berpihak kepada pemerintah nampaknya gagal ketika berhadapan dengan kepentingan pemerintah yang selalu dilandasi semangat penaklukan dan penjarahan. Keadaan tersebut telah menihilkan peran intelektual secara individu untuk mempertanyakan dan menentang kebijakan perang yang dilakukan oleh kaum intelektual selama ratusan tahun silam.

Peranan intelektual telah menurun drastis. Menurut Said hal tersebut tentu saja disebabkan adanya relasi kuasa, meminjam istilah Foucalt, yang membelenggu kaum intelektual. Bahkan Said sendiri mengecam kebiasaan kaum intelektual yang mengetahui sebuah kebenaran tapi memilih ‘diam’ bahkan memilih untuk menjadi seseorang yang tidak terlalu politis karena khawatir akan muncul kontroversi sehingga akan menyulitkan kariernya. Intelektual yang selalu ingin dipuji karena menginginkan sosok yang seimbang, obyektif, moderat tapi dengan cara menjilat kekuasaan adalah intelektual yang menurut Said, intelektual profesional yang memandang perannya sebagai suatu mata pencarian.


Edward W. Said dan Orientalisme

Sebagai seorang intelaktual keturunan Arab, Edward W. Said tidak luput dalam memberikan perhatiannya kepada permasalahan pencaplokan tanah leluhurnya oleh Israel. Konflik antara Israel dan Palestina yang sudah berlangsung lama membuat Said menjadi intelektual yang diakui sebagai seorang yang mendukung penentangan terhadap perampasan tersebut.

Said dianggap oleh kaum zionis sebagai ‘profesor teroris’ oleh karena dukungannya kepada warga Palestina. Said melalui karyanya berjudul Orientalisme (1978) menegaskan bahwa kaum intelektual Barat cenderung melihat Islam sebagai agama yang keras, fundamental, ekstrim dan anti dialog. Padahal kaum intelektual tersebut tidak mengetahui apa-apa tentang Islam. Said mengkritik para pemikir orientalis lainnya seperti Judith Miller, Samuel P. Huntington, Martin Kramer, Daniel Pipes dan Barry Rubin yang menurutnya selalu menjadi propagandis di Barat bahwa Islam merupakan ancaman bagi peradabannya.

Edward W. Said intelektual yang berasal dari Palestina merupakan pengamat dunia Islam dan dunia Arab yang sangat cekatan. Berbeda dengan kaum orientalis lainnya yang cenderung menjelaskan soal Arab dan Islam secara reduksionis dan main gampangan karena para orientalis tersebut memiliki kepentingan tertentu.

Said sebagai seorang intelektual selalu berusaha untuk selalu komperhensif dan proporsional. Di sinilah konsistensi pemikiran Said sebagai seorang intelektual yang ditunjukkannya. Walaupun Said seorang Kristen namun dia menyadari bahwa kebenaran berada di atas segalanya dibanding adanya berbagai pembatasan seperti agama, ras, warna kulit dan sebagainya.

Edward W. Said, sang profesor meninggal 25 September 2003 karena leukemia. Dua bulan menjelang berpulang, Edward W. Said menyempatkan menulis “Orientalism 25 Years Later, Worldly Humanism vs the Empire-builders” (Counterpunch, 4 Agustus 2003). Akhirnya pemikir ini pergi dengan meninggalkan gagasan besar bagi kaum intelektual untuk tetap menjaga martabatnya serta memperjuangkan kebenaran sebagai suatu hal utama bagi masyarakat dunia. Sebab tugas intelektual menurut Said adalah mengatakan kebenaran walau resiko pembuangan serta pengucilan di dalam pergaulan internasional menjadi kosekwensi.


PENUTUP

D
emikianlah buah pemikiran Edward W. Said yang demikian kritis dalam melihat persoalan yang terjadi dalam dunia yang telah memilih jalan "demokrasi dalam bernegara” di era millennial ke-3 yang masih jauh dari pandangan “Homo Deus” (meminjam istilah kata dari Yuval Noah Harari penulis buku “Sapiens, A Brief History Humankind” yang artinya Manusia Khalifah. Manusia KHalifah Di Bumi ini semestinya membawa atau berperan sebagai “rahmat” - pemakmur di bumi - bagi umat manusia di semesta alam. Wallahu ‘Alam bish-Shawab. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Sumber:
https://nusantaracentre.wordpress.com/2009/02/11/peran-intelektual-bedah-pemikiran-edward-said/