Saturday, July 20, 2019

Integrasi matematika dengan Islam



KATA PENGANTAR

I
slam adalah agama yang diturunkan kepada umat manusia dalam segala ruang, waktu dan kondisi. Karena itu ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang universal sehingga bisa cocok untuk semua manusia yang mau menerima kebenaran.

Dalam kaitan ini Rasulullah SAW telah mengajarkan bahwa: “ad-dīnu huwa al-'aqlu lā dīna lā 'aqla lahu”, artinya: agama Islam sejalan dengan akal sehat, maka dianggap tak beragama bagi orang yang tidak berakal. Makna hadits di atas bisa dikaitkan dengan kondisi manusia yang secara usia telah masuk kategori dewasa (baligh), namun jiwanya tidak sehat (gila) maka yang bersangkutan dianggap tidak cakap hukum sehingga tidak dibebani kewajiban agama.

Namun demikian makna hadits itu bisa dikaitkan dengan manusia yang tidak menggunakan “akal sehatnya” untuk menerima kebenaran. Dengan demikian ajaran Islam sangat menghargai pemanfaatan akal atau rasio yang mengantarkannya kepada kebenaran yang hakiki dan sumber kebenaran itu sendiri yaitu Allah.

Bahkan dalam banyak ayat al-Qur'an diisyaratkan dalam bentuk pertanyaan: afala ta'qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir)?

Berdasarkan asumsi di atas, matematika sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan bisa digunakan sebagai pendekatan dalam menjelaskan beberapa doktrin dalam ajaran Islam. Penggunaan pendekatan matematika di sini bukan berarti bahwa lemahnya doktrin ajaran Islam tersebut melainkan hanya - alat bantu menerangkan - terutama yang bersekolah umum untuk menambah keyakinan umat Islam bahwa semua ilmu pengetahuan itu bernilai kebaikan dan bisa mengantarkan kepada kebaikan yang hakiki serta meningkatkan keimanan dan kedekatan kepada Allah. Bukankah dalam al-Qur'an sendiri, banyak ditemukan ayat yang menggunakan angka-angka dalam menyampaikan informasi kebenaran kepada manusia?

Bahasan tema ini diambil dari tulisannya Dr. Lama Jamaa, MHI dengan judul Integrasi Matematika dengan Islam - yang kemudian admin blog ini menambahkan Menerangkan Nilai Islam dengan Matematika. □ AFM



INTEGRASI MATEMATIKA DENGAN ISLAM
Menerangkan Nilai Islam dengan Matematika
Oleh: Dr. Lama Jamaa, MHI


PENDAHULUAN

ad-dīnu huwa al-'aqlu lā dīna lā 'aqla lahu”, artinya: “agama Islam sejalan dengan akal sehat, maka dianggap tak beragama bagi orang yang tak berakal”. (Hadits)


I
slam adalah agama yang diturunkan kepada umat manusia dalam segala ruang, waktu dan kondisi. Karena itu ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang universal sehingga bisa cocok untuk semua manusia yang mau menerima kebenaran. Dalam kaitan ini Rasulullah saw telah mengajarkan bahwa "ad-dīnu huwa al-‘aqlu lā dīna lā ‘aqla lahu", artinya: "agama Islam sejalan dengan akal sehat, maka dianggap tidak beragama bagi orang yang tak berakal".

Makna hadits di atas bisa dikaitkan dengan kondisi manusia yang secara usia telah masuk kategori dewasa (baligh) - telah berusia 17 tahun ke atas misalnya - namun jiwanya tidak sehat (gila) maka yang bersangkutan dianggap tidak cakap hukum sehingga tidak dibebani kewajiban agama. Namun demikian makna hadits itu bisa dikaitkan dengan manusia yang tidak menggunakan akal sehatnya untuk menerima kebenaran. Dengan demikian ajaran Islam sangat menghargai pemanfaatan akal atau rasio yang mengantarkannya kepada kebenaran yang hakiki dan sumber kebenaran itu sendiri yaitu Allah. Bahkan dalam banyak ayat al-Qur’an diisyaratkan dalam bentuk pertanyaan: afala ta’qilun (apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir)?

Berdasarkan asumsi di atas, matematika sebagai salah satu disiplin ilmu pengetahuan bisa digunakan sebagai pendekatan dalam menjelaskan beberapa doktrin dalam ajaran Islam. Penggunaan pendekatan matematika di sini bukan berarti bahwa lemahnya doktrin ajaran Islam tersebut melainkan hanya untuk menambah keyakinan umat Islam bahwa semua ilmu pengetahuan itu bernilai kebaikan dan bisa mengantarkan kepada kebaikan yang hakiki serta meningkatkan keimanan dan kedekatan kepada Allah. Bukankah dalam al-Qur’an sendiri, banyak ditemukan ayat yang menggunakan angka-angka dalam menyampaikan informasi kebenaran kepada manusia?

Di samping itu adanya keragaman ilmu pengetahuan adalah suatu keniscayaan. Begitu juga adanya perbedaan antara doktrin Islam dengan ilmu matematika, tidak perlu dipertentangkan. Sebab meskipun doktrin Islam bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan hadits) sedangkan ilmu matematika bersumber dari akal, namun wahyu dan akal bersumber dari Allah.

Karena itu tulisan ini akan mengulas sekilas hubungan matematika dengan Islam, atau analisis beberapa doktrin ajaran Islam dengan pendekatan matematika.


SYARAT DAN NILAI AMAL IBADAH

I
badah atau 'ibādah adalah bahasa 'Arab yang berasal dari dari akar kata 'abada - ya'budu - 'ibādah yang berari “do'a, mengabdi, tunduk atau patuh kepada Allah.” Secara istilah, ibadah adalah “segala aktivitas yang dilakukan dengan tujuan dan motivasi (niat) untuk memperoleh ridha Allah - yang mendatangkan pahala atau hasil sebagai balasannya.” Atau “segala kepatuhan yang dilakukan untuk mencapai ridha Allah yang dengan itu hasilnya akan membaikkan kehidupannya baik di dunia dan di akhirat, atau dengan mengharapkan pahala-Nya (kebaikan-Nya) di akhirat.”

Dengan demikian ibadah tidak hanya terbatas kepada aktivitas yang telah ditentukan oleh syariat sebagai kewajiban atau anjuran (sunnah) akan tetapi ibadah memiliki cakupan yang sangat luas. Kebanyakan umat Islam membatasi ibadah hanya pada ibadah shalat, puasa, zakat, haji serta beberapa ibadah lainnya. Sedangkan aktivitas seperti menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah bukan dikategorikan sebagai ibadah, melainkan hanya aktivitas keduniaan semata. Padahal menurut Islam semua aktivitas manusia bisa diarahkan kepada ibadah dan memang seharusnya semua tindakan manusia harus bernilai ibadah - yang pada dasarnya sungguh mengandung kebaikan bagi manusia yang melaksanakannya.

Ibadah dapat dibagi berdasarkan (1) Tata cara pelaksanaannya; (2) Berdasarkan manfaatnya sebagai berikut:

1. Tata cara pelaksanaannya

Tata cara elaksanaan ibadah terbagi dua macam, yaitu (a) Ibadah Mahdhah, disebut juga Ibadah Khusus; (b) Ibadah Ghairu Mahdhah, disebut juga ibadah Umum.

a. Ibadah Mahdhah (Ibadah Khusus), yaitu ibadah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur secara jelas dan rinci (khusus) oleh syara, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dsb.

Ibadah mahdah disebut juga ibadah ritual karena harus dilakukan sesuai dengan ritual (tata upacara) yang telah ditentukan dan orientasi utamanya untuk menjalin hubungan dengan Allah SWT.

Dalam ibadah ini tidak boleh diubah tata caranya berbeda dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam bidang ibadah mahdah dikenal bid’ah, yakni amalan ibadah mahdah yang ditambah atau dikurangi dari apa yang dicontohkan oleh Nabi SAW atau sahabatnya, apalagi amal ibadah yang diada-adakan.

b. Ibadah Ghairu Mahdhah (Ibadah Umum), yaitu ibadah yang tata cara pelaksanaannya tidak diatur secara jelas dan rinci oleh syara, seperti menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat, dsb.

Disebut ibadah umum karena eksistensinya sebagai ibadah bersifat universal (umum) tetapi tata cara pelaksanaannya diserahkan kepada adat istiadat (hasil kreasi, inovasi) manusia.

Dalam ibadah ini syariat hanya menegaskan bahwa menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat wajib hukumnya (ibadah) mesti dilakukan. Namun tata caranya tidak ditentukan oleh syariat, tetapi diserahkan kepada kreativitas dan inovasi manusia. Yang terpenting ilmu yang dituntut itu bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan, bukan ilmu sihir atau ilmu yang membahayakan manusia. Ilmu yang bermanfaat itulah yang diwajibkan sebagaimana hadits menyatakan: "tholabul 'ilmi farīdhotun 'alā kulli muslimin", artinya: "mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim." Bahlan disebut dalam Surah ke-58, Al-Mujādalah, ayat 11 bahwa: Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang  diberi ilmu (berilmu) beberapa derajat.

Misalnya:
Menutup aurat (kewajiban memakai jilbab) termasuk ibadah ghairu mahdah karena yang dijelaskan al-Qur’an dan hadits hanya ketentuan wajib menutup aurat tetapi ketentuan mengenai mode, kualitas kain dan sebagainya diserahkan kepada hasil kreasi manusia. Dalam hal ini yang terpenting jilbab tersebut memenuhi syarat pakaian yang menutup aurat yakni tidak ketat, tidak transparan serta tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya (tidak merangsang).

Dalam bekerja mencari harta syariat hanya mengatur agar harta diperoleh dengan cara-cara yang benar serta dimanfaatkan untuk kebaikan. Namun tidak diberikan rincian mengenai jenis usaha yang akan digeluti dan teknik pelaksanaannya. Hal itu mengandung hikmah agar umat manusia termasuk umat Islam memiliki kebebasan dalam mencari jenis usaha dan bagaimana mewujudkannya. Yang terpenting dan harus diperhatikan adalah usaha yang digeluti itu bukan jenis usaha yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur'an dan hadits, seperti riba, melakukan jual beli barang haram, atau mengandung penipuan dan sejenisnya.

Menuntut ilmu juga adalah ibadah umum karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an [1] dan hadits [2] namun tata caranya tidak ditentukan secara khusus oleh syara. Hal itu mengandung makna bahwa semua ilmu adalah berasal dari Allah dan karena itu mengandung kebaikan untuk manusia dan kemanusiaan serta alam semesta. Ilmu yang dilarang dipelajari hanya ilmu sihir atau black magic, yang memang tidak bermanfaat dan bahkan dapat mendatangkan bahaya bagi manusia.

2. Berdasarkan manfaatnya

Berdasarkan manfaat ibadah terbagi dua macam, yaitu (a) Ibadah Syakhsiyah, disebut juga Ibadah Individual; (b) Ibadah Ijtima'iyah, disebut juga Ibadah Sosial.

a. Ibadah Syakhsiyah (Ibadah Individual), yaitu ibadah yang berupa hubungan individu dengan Tuhannya serta manfaat (pahala)nya hanya diperoleh atau dinikmati individu yang bersangkutan, seperti shalat, puasa, dsb. Jadi, manfaatnya hanya bersifat pribadi. Ibadah syakhsiyah hanya memberikan pahala dan manfaat bagi pelakunya.

b. Ibadah Ijtima’iyah (Ibadah Sosial), yaitu ibadah yang berupa hubungan antar sesama manusia serta dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain, seperti zakat, sedekah, infaq, berkurban, menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, dsb.

Disebut ibadah sosial karena dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut selain menjalin komunikasi dan hubungan dengan Allah juga dapat terjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia (penerima zakat, sedekah, infaq, hewan kurban, murid yang menerima ilmu, orang lain dapat memenuhi nafkahnya) dsb. Memberi zakat, sedekah, infaq disebut ibadah sosial sebab diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dan manfaatnya dapat dirasakan oleh orang yang menerima zakat, sedekah dan infaq tersebut. Demikian juga menuntut ilmu adalah ibadah sosial dan manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak orang jika ilmunya diajarkan kepada orang lain. Karena itulah meski orang berilmu telah tiada namun pahalanya akan terus mengalir berbanding lurus dengan jumlah orang yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.

Meskipun demikian perlu diketahui kriteria suatu amalan bisa dikategorikan sebagai ibadah (bernilai kebaikan dan berpahala) atau justru menjadi dosa. Banyak orang mengira suatu perbuatan bisa bernilai ibadah (kebaikan dan berpahala) jika diniatkan untuk kebaikan, tanpa memperhatikan cara atau prosesnya. Sehingga dalam realitas menimbulkan berbagai penyimpangan tanpa merasa bersalah bahkan merasa telah melakukan kebaikan (ibadah) dengan bangga. Seolah-olah segala bentuk perbuatan manusia akan langsung dinilai ibadah hanya berdasarkan pada niat baiknya. Hal itu merupakan kesalahpahaman terhadap hadits niat, bahwa innamal a'malu bin niyyat.

Padahal suatu perbuatan baru bisa dikategorikan sebagai ibadah jika memenuhi minimal dua syarat secara kumulatif, yakni cara harus benar dan niatnya juga harus benar menurut syara. Hal itu bisa digunakan pendekatan perkalian dalam matematika, yang bisa diilustrasikan dengan rumus berikut ini.

Ibadah: caranya benar (+) x niatnya benar (+) = + (pahala/diridhai Allah).

Misalnya:
Shalat dilakukan sesuai syarat dan rukunnya serta niatnya karena Allah.

Tata cara dan niat yang benar disimbolkan dengan tanda positif (+). Menurut logika matematika perkalian positif (+) dengan positif (+) selamanya akan menghasilkan positif (+) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian positif (+) dengan positif (+) akan menghasilkan negatif (-).

Amalan tersebut harus dilakukan secara benar sesuai syariat dan diniatkan karena Allah.

Dalam shalat, harus dilakukan dengan tata cara yang benar seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, baik syarat maupun rukun serta menghindari hal-hal yang membatalkannya.

Proses pelaksanaan shalat yang benar itu baru akan dinilai sebagai ibadah di sisi Allah jika shalat yang didirikan itu diniatkan karena Allah.

Sebaliknya, menurut ajaran Islam suatu amalan tak akan dinilai ibadah di sisi Allah jika niatnya salah (-), bukan karena Allah meskipun tata cara pelaksanaan amalan tersebut telah benar (+), sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Hal itu bisa dibuktikan dengan amalan yang diniatkan karena pamer (riya) yang dalam Islam justru dikategorikan sebagai salah satu perbuatan dosa (-). Jadi, jika salah satu atau kedua syarat amalan tersebut bernilai negatif (-) maka amalan itu akan bernilai dosa (-).

Ilustrasinya seperti di bawah ini.

* Bukan ibadah: caranya benar (+) x niatnya salah (-) = - (dosa/dimurkai Allah).

Misalnya:
Shalat, zakat, sedekah dilakukan sesuai syarat dan rukunnya tetapi niatnya karena riya. Begitu juga menikah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya tetapi niatnya untuk menyakiti istri bagi suami atau menyakiti suami bagi istri atau saling menyakiti diantara suami istri.

* Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya benar (+) = - (dosa/dimurkai Allah).

Misalnya:
Mencuri dengan niat untuk menolong orang miskin dengan uang curian itu. Atau, Memberi jawaban ujian kepada teman dengan niat menolong sesama teman.

Tata cara atau niat yang salah disimbolkan dengan tanda negatif (-).

Menurut logika matematika perkalian negatif (-) dengan positif (+) atau sebaliknya selamanya akan menghasilkan nilai negatif (-) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian negatif (-) dengan positif (+) akan menghasilkan positif (-).

Berdasarkan rumus di atas shalat, nikah, yang dilakukan bisa saja tata caranya benar sesuai syariat namun karena niatnya tidak benar (karena ingin dipuji, riya) maka nilai shalat dan nikah tersebut bukan ibadah melainkan dosa (-). Demikian pula pemberian bantuan kepada fakir miskin atau orang-orang yang membutuhkannya, bisa jadi dari harta yang halal namun jika bantuan itu diberikan dengan niat agar dianggap dermawan apalagi agar dipilih dalam Pemilu/Pilkada, maka bantuan itu tidak akan bernilai ibadah (+) melainkan dosa (-).

Sehingga sedekah atau zakat yang disebut-sebut untuk riya tak akan bernilai pahala, seperti diungkapkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surah  al-Baqarah ayat 264 yang artinya:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menginfakkan (menafkahkan) hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS al-Baqarah 2:261)

Rumus itu berlaku juga dalam amalan yang dilakukan dengan niat yang baik, karena mencari reda Allah (+) namun dilakukan dengan cara yang salah, bertentangan dengan syariat (-), maka tak akan menjadi ibadah (+) melainkan dosa (-). Misalnya, memberikan bantuan untuk panti asuhan, pembangunan masjid, madrasah dan fasilitas sosial lainnya dari uang korupsi. Maka meskipun diniatkan karena Allah SWT namun karena uang sumbangan diperoleh dari cara yang salah maka nilai amalannya bernilai dosa (-). Dalam kaitan ini dosa korupsi tidak bisa dicuci dengan sedekah sebab yang disedekahkan bukan haknya melainkan hak rakyat. Hal itu dapat diibaratkan dengan mandi, tujuan utamanya adalah untuk membersihkan badan dari kotoran atau keringat yang melekat ditubuh. Namun tujuan dari mandi tadi tidak akan terwujud jika dia mandi menggunakan air kotor.

Di samping itu dalam perbuatan zina yang terkadang mengakibatkan kehamilan digunakan rumus:

* Bukan ibadah: caranya salah (-) x niatnya salah (-) = + (dosa/dimurkai Allah).

Karena berzina merupakan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan di luar ikatan perkawinan (cara yang salah) dan niatnya juga tentu bukan untuk hamil, namun biasanya mudah hamil (+). Dalam tes kehamilan secara medis, peristiwa kehamilan lebih dikenal dengan istilah positif, tidak hamil dikenal dengan negatif.

Karena itu dalam melakukan kebaikan hendaklah senantiasa memperhatikan dua aspek yakni tata caranya harus benar dan diniatkan untuk Allah. Tidak bisa hanya memperhatikan aspek tata cara dengan mengabaikan aspek niat. Begitu pula sebaliknya.


NILAI BALASAN ATAS ZAKAT, INFAK DAN SEDEKAH

S
alah satu ajaran terpenting dalam Islam adalah mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah. Bahkan kepedulian untuk berbagi harta kepada sesama manusia itu menjadi salah satu indikator orang bertakwa (muttaqin) seperti yang diisyaratkan firman Alllah SWT dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 2 dan ayat 3 yang artinya:

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS al-Baqarah 2:2-3)

Anjuran berbagi baik melalui infak, sedekah maupun zakat bukan sekedar kewajiban melainkan mengandung nilai investasi baik di akhirat maupun di dunia. Nilai investasi akhirat tentu berupa pahala yang mengantarkan ke surga yang memberikan kebahagiaan tak ternilai. Di samping itu juga Allah yang Mahakaya akan berkenan memberikan “panjar” dalam kehidupan dunia dari sebagian balasan kebaikan dalam “berbagi” itu. Hal ini dapat ditelaah dari firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 261 yang artinya:

Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai tumbuh 100 biji. Allah melipat gandakan (balasan) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas (karuniaNya), lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah 2:261)

Menafkahkan sebagian harta di jalan Allah biasanya akan terasa berat dibandingkan dengan menafkahkan sebagian harta di jalan setan. Karena itu Allah menyediakan ganjaran pahala yang besar sebesar 700 kali lipat bahkan hingga jumlah yang tak terhingga. Jika kandungan ayat ini dicermati, maka dapat diketahui bahwa nilai pahala atau balasan yang akan diterima si pemberi berbanding lurus dengan nilai KEIKHLASAN-nya saat berbagi atau memberI kepada orang lain. Dengan kata lain berbanding terbalik dengan besar harapan memperoleh imbalan (balasan) dari pemberiannya itu. Kandungan ayat ini dapat dijelaskan dengan pendekatan matematika melalui pembagian.

Dalam sistem pembagian terdapat tiga komponen, yakni:

● Penyebut melambangkan pemberian (dengan simbol P)
● Pembagi melambangkan harapan si pemberi (dengan simbol h)
● Hasil melambangkan jumlah balasan yang bisa diterima dari si pemberi (H).

Rumusnya adalah: P/h=H

Catatan:
P (Pemberian); h (harapan; H (hasil); / (pembagi)

Misalnya:
Seseorang memberikan sedekah atau infak sebesar Rp. 1 juta kepada orang miskin dengan harapan yang berbeda-beda. Orang tersebut akan memperoleh balasan yang berbeda-beda pula yang dapat diilustrasikan sesuai dengan rumus di atas seperti tabel berikut ini:

No.
Infak (Rp)
Harapan
Hasil
 1
1.000.000,00
500.000
  2
 2
1.000.000,00
400.000
  2,5
 3
1.000.000,00
300.000
  3,3
 4
1.000.000,00
200.000
  5
 5
1.000.000,00
100.000
 10
 6
1.000.000,00
  50.000
 20
 7
1.000.000,00
  25.000
 40
 8
1.000.000,00
  20.000
 50
 9
1.000.000,00
  10.000
100
10
1.000.000,00
     5.000
200
11
1.000.000,00
     2.500
400
12
1.000.000,00
      1.000
1.000
13
1.000.000,00
              0
∞ (tak terhingga)

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa semakin besar harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah maka akan semakin kecil nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Sebaliknya, semakin kecil harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah, maka akan semakin besar nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Besar kecilnya harapan kepada selain Allah itu dalam ajaran Islam disebut IKHLAS. Jelasnya, semakin ikhlas dalam memberi maka akan semakin kecil pengharapannya kepada selain Allah. Bahkan dalam tataran tertentu jika yang bersangkutan mengosongkan harapannya kepada selain Allah, maka Allah akan berkenan memberikan balasan yang tak terhingga jumlahnya secara riil. Itulah IKHLAS yang sebenarnya.

Karena itu pula ikhlas tidak didasarkan kepada ucapan si pemberi, misalnya: "saya beri dengan ikhlas" sebab yang tahu pemberian itu ikhlas atau tidak, hanyalah Allah dan si pemberi.

Yang menjadi tolok ukur keikhlasan dalam berbagi kepada sesama adalah niat, dan niat itu ada dalam hati sehingga tidak bisa direkayasa dengan ucapan seolah-olah ikhlas.

Bukankah dalam realitas banyak orang yang memberi karena mengharapkan sesuatu kepada manusia, baik berupa pujian, imbalan materi, kedudukan, status sosial dan sebagainya.

Namun terkadang merasa kecewa lantaran harapannya tak terwujud. Membagi-bagi uang atau sembako kepada calon pemilih, memberi sumbangan kepada panitia pembangunan masjid, majelis ta’lim dengan harapan agar mereka berkenan memilihnya dan jika menang dalam pemilihan maka akan memperoleh gaji plus tunjangan besar sehingga bisa memperoleh uang atau harta yang banyak. Namun ternyata harapannya melesat sehingga mengalami kerugian.

Sebaliknya, pemberian secara ikhlas meski nilai nomimalnya kecil namun bisa mendatangkan keberkahan hidup. Yang terpenting sebenarnya bukan besarnya nilai materi yang dimiliki namun nilai keberkahannya. Bisa jadi, harta yang dimiliki besar jumlahnya namun belum tentu memberikan kebahagiaan lantaran tidak berkah. Hartanya melimpah namun hidupnya tidak bahagia karena anaknya ketagihan miras atau narkoba.

Itu bukan berarti umat Islam dilarang kaya namun alangkah berbahagianya jika kekayaannya dapat memberikan kebahagiaan kepada orang lain melalui infak, sedekah dan zakat yang diberikannya kepada orang yang membutuhkannya. Kebahagiaan orang yang dibantunya secara psikologis akan memantul juga ke dalam hati si pemberi. Rasa bahagia seperti itu sebenarnya sangat besar nilai bahkan tidak ternilai dengan materi. Namun terkadang manusia mencari kebahagiaan semu dan meninggalkan kebahagiaan yang hakiki.

Memang banyak orang bahagia bukan karena pada manfaat dari apa yang dimilikinya namun pada berapa jumlah yang dimilikinya. Sehingga bisa jadi hidupnya tampak seperti orang miskin, padahal uangnya banyak. Dia tidak memanfaatkan uangnya untuk kemaslahatan dirinya karena baginya, bahagia saat melihat tumpukan uang, atau jumlah deposito.

Sedangkan orang dermawan bahagianya lantaran bisa membahagiakan orang lain yang sedang kesusahan, karena itu dia tak akan mengharapkan balasan apa-apa (pengharapannya nol) dari orang yang dibantunya, namun yang menjadi pengharapannya adalah ridha Allah. Jika keridhaan Allah bisa diraih maka hal itu bisa memberikan manfaat besar dunia dan akhirat.


PENUTUP

D
emikianlah paparan dari tema INTEGRASI MATEMATIKA DENGAN ISLAM - Menerangkan Nilai Islam dengan Matematika, semoga bermanfaatnya. Dalam penyajian kembali ada penambahan dan penyusunan format serta catatan kaki seperlunya. Wallāhu a'lam bish-shawab. Billāhit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



CATATAN KAKI
[1] “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu.” (QS Al-‘Ankabūt 29:43)
  
Katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” [QS Az-Zumar 39:9]

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah Yang Maha Mulia, Yang mengajar (manusia) dengan pena (baca tulis). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya". [QS Al-'Alaq” 96:1-5] 

[2] Rasulullah bersabda: “Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘alā kulli muslimin wal muslimat minal mahdi ilal lahdi”, artinya: Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah sejak dari ayunan hingga liang lahat. (HR Ibnu Majah № 224 dari Anas bin Malik RA di shahikan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah: 183 dan Shahihut Targhib: 72)


SUMBER
https://www.academia.edu/29953973/Integrasi_Matematika_dan_Islam
Terjemahan Qur'an diambil dari ALFATIH, Al-Qur'an Tafsir Per Kata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir.