Nabi
(Muhammad saw) sebagai “pribadi yang
sungguh baik karakternya, punya kecerdasan yang mendalam, perilaku yang
menyenangkan, mengasihi orang miskin, sopan kepada setiap orang, kukuh di
hadapan musuh, dan di atas segalanya, memiliki penghormatan yang sangat tinggi
atas nama Allah”.
[George
Sale]
S
|
eperti halnya dengan John
Locke, Thomas Jefferson memiliki sebuah Qur’an. Jefferson yang waktu itu
berusia 22 tahun membeli Qur’an pertamanya pada 1765, ketika sedang menempuh
studi hukum di Williamsburg, Virginia yang masih dibawah kekuasaan (pemerintahan)
Kerajaan Inggris. Sebuah surat kabar lokal mendokumentasikan pembeliannya atas
Qur’an dua volume tersebut yang diterjemahkan seorang Inggris bernama George
Sale. Pertama kali diterbitkan pada 1734, versi George Sale adalah yang paling awal
diterjemahkan langsung dari bahasa Arab ke bahasa Inggris. Sebelumnya hanya
dari terjemahan ke terjemahan, yang dengan itu jauh dari kedekatan dimaksudkan
dalam Qur’an yang sebenarnya. Di
dalamnya tercakup 200 halaman “Wacana Awal ” yang berisi gambaran tentang
keyakinan, ibadah dan hukum-hukum Islam.
Jefferson tertarik pada Qur’an
sebagai sebuah kitab hukum, karena pada saat itu ia juga memesan banyak karya
bahasa Inggris terkait yurisprudensi. Pastinya dia cukup surprise membaca definisi
penerjemah yang menyebut Nabi (Muhammad) sebagai “pemberi ketentuan hukum bagi
orang-orang Arab”. Jadi dengan itu jauh sebelum Barat berkembang seperti
sekarang ini, masyarakat Islam ketika itu telah berkembang maju karena
berdasarkan hukum seperti apa yang tertulis dari kitab Qur’an sendiri. Hal
inilah yang dipelajari Thomas Jefferson.
Meski begitu Sale sebagai
penerjemah Qur’an kedalam bahasa Inggris menyebut Islam sebagai “agama palsu”, tapi
sementara itu dia juga memuji Nabi sebagai “pribadi yang sungguh baik
karakternya, punya kecerdasan yang mendalam, perilaku yang menyenangkan,
mengasihi orang miskin, sopan kepada setiap orang, kukuh di hadapan musuh, dan
di atas segalanya, memiliki penghormatan yang sangat tinggi atas nama Allah”.
Penerjemah juga menolak mendefinisikan Islam “disebarkan oleh pedang saja”
dengan mengingatkan pembacanya bahwa orang Yahudi dan Kristen (beberapa kali Perang Salib) juga berperang
atas nama agama mereka. Muhammad saw yang
kemudiannya diketahui sebagaimana yang digambarkan Montgemary Watt [1] adalah
seorang pacifis – yaitu seorang yang suka dengan ke-damai-an, tidak suka
kekerasan. Tiga belas tahun lamanya selaku pembawa risalah Islamiyyah tidak
pernah membalas orang yang melakukan kekerasan dan penganiayaan atas diri dan
pengikutnya, bahkan dia luput atas assasinasi (pembunuhan) yang terencana
terhadap dirinya, yang dengan itu ia melakukan hijrah ke Madinah - karena sudah merasa tidak aman lagi tinggal di Makkah, yang
sebelumnya para pengikutnya secara berangsur-angsur hijrah terlebih dahulu.
Para pengkritik menuduh George Sale
terlalu adil menggambarkan Islam, sehingga pengusaha misionaris agama Anglikan (Katolik
Inggris) yang mempekerjakannya pun menolak hasil terjemahannya itu. Sale pun
dianggap sebagai sebagai “setengah Muslim” oleh sejarawan Inggris Edward Gibbon
pada 1788. Jadi di kedua sisi benua yang diantarai oleh lautan Atlantik - Amerika
dan Eropa, mereka yang dinilai membela Islam atau penganutnya, sama-sama
dikecam keras.
Lalu, apa yang ada dalam benak
Jefferson mengenai Qur’an dan isinya? Dia tidak meninggalkan secuil pun catatan
yang merekam pemikirannya tentang Kitab Suci Islam itu, mungkin karena memang
dia tak pernah menulisnya, atau karena catatannya ikut musnah saat rumah
ibunya terbakar lima tahun kemudian. Akibat kebakaran itu, menurut Jefferson,
dia kehilangan “semua kertas” dan “hampir semua buku”. Qur’an miliknya mungkin
juga ikut terbakar, tapi kalaupun demikian, pasti dia membelinya lagi karena
saat ini Qur’an milik Jefferson tersimpan rapi di Library of Congress. Di buku Qur’an
terjemahan George Sale itu, Jefferson menorehkan parafnya di halaman pertama
jilid pertama.
“Kasihilah tetanggamu–manusia
seperti dirimu sendiri–dan negaramu, lebih dari mengasihi dirimu sendiri,”
tulis Thomas Jefferson sebelum kematiannya. Siapa kiranya “tetangga” yang dimaksudkan
Jefferson dalam pesan yang belakangan jadi cetak biru bagi kelahiran negara dan
bangsa Amerika yang begitu dicintainya?
Secara implisit Jefferson
memasukkan warga Muslim dalam rumusan “Kaidah Emas” yang ditulisnya. Banyak
orang sekarang akan merasa kaget gagasan tersebut muncul pada masa itu, namun
telah banyak bukti menguatkan hal ini.
Pada 1776, Jefferson menulis di
antara catatan pribadinya: “Tidak seorang pun dari kalangan Pagan maupun Muslim
atau warga Yahudi boleh dikecualikan dari hak-hak sipil persemakmuran karena
agamanya.” Catatan itu ditulisnya beberapa bulan setelah ia menulis Deklarasi
Kemerdekaan, ketika ia kembali ke Virginia untuk menyusun undang-undang baru
bagi Amerika.
Jefferson mengadopsi preseden
“hak-hak sipil” bagi Muslim dari traktat yang ditulis filsuf Inggris John Locke
pada 1689, “A Letter Concerning Toleration”. Ide-ide Locke tentang toleransi
terhadap Muslim dan Yahudi memicu serangan terhadapnya. Seorang kritikus
mengecamnya karena memiliki “iman seorang Turki”(maksudnya Islam), dan dia pun
dituduh menyimpan Al-Qur’an yang oleh para pengecamnya disebut sebagai “Injil
Muhammad”.
Selama berabad-abad, praktik
memfitnah orang - bagi orang yang dianggap simpati dengan yang berbau Islam - dengan
cara menghubungkannya dengan Islam sangat umum dilakukan penganut Kristiani di
Eropa. Dan praktik ini pun menyeberangi Samudera Atlantik sampai ke daratan
Amerika. Jefferson, karena pandangannya yang luas tentang kebebasan
beragama dan kesetaraan politik, mengalami serangan berulang kali sebagai
“kafir” - kata yang pada masanya berarti bukan sekadar “tidak beriman”,
melainkan juga “seorang Muslim”.
Jefferson sendiri mengkritik
agama (Islam) dalam debat politiknya di awal tahun 1776 menyebut agama
“membelenggu kebebasan” - artinya agama Islam disamakan saja dengan agama Kristen
Katolik seperti sejarah Eropa abad tengah dimana agama (Kristen Katolik) menghambat
kemajuan dan membelengu kebebasan dan berfikir sains, padahal sejarah Islam
tidak demikian, baca Islam di Spanyol dan Peninggalannya. Tuduhan yang juga ia
lontarkan terhadap ajaran Katolik dan pendetanya dalam sejarah mencatatnya
memang membelengu kemajuan. Dengan itu kemudiannnya dipisahkanlah antara agama (Kristen
dan Katolik) dengan urusan Negara yang dulunya dilakukan oleh Pendeta (kaum
agama) dan Raja, baca Latar Belakang Lahirnya Zaman Kegelapan Eropah. Jefferson berpikir kedua agama tersebut (agama
Kristen dan Katolik) itu mencampuradukkan Agama dan urusan Negara tepat ketika
ia ingin memisahkan Kekuasaan Agama dan Negara layaknya seperti di Eropa yang telah
memisahkan antara Agama dan Negara yang
akan di aplikasikan di Virginia, kemudian secara keselurahan di Amerika.
Meskipun kritis terhadap Islam,
Jefferson mendukung hak-hak para penganutnya (Kristen dan Islam), kebijakan
yang dilakukannya juga untuk warga Yahudi dan Katolik - dalam hal ini dia
bergerak melampaui pahlawannya, Locke, yang tidak bertoleransi kepada penganut
Katolik dan Ateis.
Dalam buku Jefferson 1784 Notes on Virginia,
dia mengungkapkan pandangannya tentang kaitan antara agama yang dianut tetangganya
dengan negara: “Kekuasaan yang sah dari pemerintah mencakup kontrol atas
tindakan-tindakan warga yang melukai orang lain. Tapi saya tidak terluka
sedikitpun kalau tetangga saya bilang (mereka) ada 20 tuhan maupun tidak ada
tuhan. Mereka tidak mencopet dompet saya atau mematahkan kaki saya
(mereka dilindungi haknya).”
Dengan pernyataannya bahwa
pemerintah tidak boleh mengganggu keyakinan spiritual warganya (yang bukan
Kristen saja tapi juga Islam, Katolik Yahudi), secara tidak disadari Jefferson
menunjukkan titik lemah kepada musuh-musuh politiknya. Bagi banyak orang,
pernyataan Jefferson itu membuktikan bahwa dia bukan seorang Kristiani sejati.
Versi resmi Jefferson tentang
Kaidah Emas, dikombinasikan dengan pandangan Locke tentang hak-hak sipil
Muslim, dengan sangat nyata tergambar dalam autobiografinya pada 1821, di mana
dia mengenang pertarungan terakhirnya untuk memenangkan rancangan
undang-undangnya yang paling terkenal, the Statute of Virginia for Religious
Freedom (Statuta Virginia untuk Kebebasan Beragama) - yang masih berlaku hingga
kini.
Statuta itu menyatakan “Hak-hak
sipil kita tidak bergantung pada pandangan keagamaan kita.” Meskipun usulan
undang-undang Jefferson itu semula ditentang pada 1779, beberapa redaksionalnya
dapat dinegosiasikan oleh James Madison dan akhirnya lolos disahkan pada 1786
saat Jefferson berada di Prancis.
Jefferson dengan gembira
mencatat dalam autobiografinya bahwa upaya lawan-lawannya untuk mengubah
redaksional dengan menambahkan “Yesus Kristus” di bagian pembukaan
undang-undang tidak berhasil. Dan kegagalan tersebut menjadikan Jefferson
semakin yakin untuk menegaskan maksudnya agar penerapan statuta itu berlaku
“universal”. Dengan ini dia memaksudkan kebebasan beragama dan persamaan hak
politik bukan hanya eksklusif bagi umat Kristiani - suatu keyakinan pada
pluralisme agama yang juga diyakini Madison.
Jefferson menegaskan bahwa
usulan awal undang-undangnya dimaksudkan untuk “mencakupkan perlindungannya
terhadap Yahudi dan bukan Yahudi, Kristen dan Muslim, Hindu, dan kaum
kafir….”
Pada saat menulis kata-kata
seperti itu pada 1821, Jefferson tentu menyadari konsekuensinya, yaitu dirinya
sendiri akan dicap sebagai kafir oleh kalangan mayoritas agama di Amerika
Serikat yang baru merdeka 45 tahun ketika itu. Menjelang kemenangannya yang
tipis dalam pemilihan presiden pada 1800 - yaitu saat baru 2 decade merdeka
dari pemerintahan Inggris, dia mengaku pada seorang karibnya, “Betapa hebatnya
upaya kita melampaui kemunafikan dalam politik dan agama ini, kawan.”
Jefferson bukanlah kandidat
presiden terakhir yang dikecam dan difitnah gara-gara keterkaitannya dengan
Islam, tapi dialah yang pertama. Tragisnya, meskipun Jefferson menang
memperjuangkan kesamaan hak sipil Muslim, dia tak pernah tahu bahwa Muslim
pertama Amerika - para budak dari Afrika Barat - tidak memperoleh kebebasan
ketika itu yang dikiranya berlaku universal. Pendiri negara Amerika itu bahkan
mungkin saja memiliki budak Muslim, meski tak ada bukti pasti tentang hal itu.
Namun tak diragukan lagi, bahwa Jefferson sejak awal membayangkan Muslim
sebagai sesama tetangga di masa depan negaranya, sebuah ramalan yang sudah
dapat dipastikan kebenarannya saat ini.
Adapun penulis buku
Thomas Jefferson’s Qur’an - Islam and the Founders adalah Denise A. Spellberg,
pengajar sejarah dan studi Timur Tengah di University of Texas, Austin. Semoga
dengan penulisan tajuk ini, menambah pengetahuan kita bagaimana orang diluar Islam
menghargai dan mempelajari Al-Qur’an secara serius. Malah seorang Muslim
Amerika Hamza Yusuf (terlahir dengan nama Mark Hanson) seorang
sarjana dalam Islam (American Islamic
scholar) merasa tertarik dan beruntung mempelajari Islam dari sumber-sumber
aslinya yaitu antara lain Al-Qur’an. Kini ia bukan hanya seorang muallaf saja,
tapi ia sebagai salah seorang dari pendiri Zaytuna College (Perguruan Tinggi
Islam Zaytuna, dan pendukung pembelajaran Islam Klasik dan mempromosikan
metodelogi pembelajaran Islam dalam
pendekatannya kepada Islamic Sciences dan Klasik sekaligus ke seluruh dunia. Billahit Taufiq wal Hidayah. □ AFM
Catatan Kaki:
[1] William Montgomery Watt (lahir 14 Maret 1909 di Ceres, Fife,
Skotlandia dan wafat 24 Oktober 2006;
Edinburgh, Skotlandia) adalah seorang pakar studi-studi keislaman dari Britania
Raya, dan salah seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia
Barat.
Montgomery Watt adalah seorang
profesor Studi-studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh antara tahun
1964-1979. Ia juga merupakan visiting professor pada Universitas
Toronto, Collage de France, Paris, dan Universitas Georgetown; serta menerima
gelar kehormatan Doctor of Divinity
dari Universitas Aberdeen. Dalam hal kerohanian, Montgomery Watt adalah pendeta
(reverend) pada Gereja Episkopal Skotlandia, dan pernah menjadi
spesialis bahasa bagi Uskup Yerusalem antara tahun 1943-1946. Ia menjadi
anggota gerakan ekumenisme "Iona Community" di Skonlandia pada
1960. Beberapa media massa Islam pernah menjulukinya sebagai "Orientalis
Terakhir".
Montgomery Watt meninggal di
Edinburgh pada tanggal 24 Oktober 2006, pada usia 97 tahun.
[2] Hamza Yusuf is an American
Islamic scholar, and is co-founder of Zaytuna College. He is a proponent of
classical learning in Islam and has promoted Islamic sciences and classical
teaching methodologies throughout the world.
[3] Sementara dalam sejarah
Islam ajaran agama Islam dalam hidup di dunia (bukan Kekuasaan Agama, dalam
Islam tidak ada Kekuasaan Yang Dijalankan Pemuka Agama) tidak dipisahkan dalam
bernegara, karena bagaimana ajaran moral
bermasyarakat atau bernegara dalam ajaran agama Islam disebutkan dalam
al-Qur’an. Definisi agama yang dikenal bangsa Eropa (Barat) berbeda dalam
Islam. Dalam Islam mengandung apa yang disebut “kaffah” lengkap yaitu selamat
dan sejahtera di Dunia dan di Akhirat. Oleh karena itu selaku seorang Muslim
berdo’a dan mengharapkan agar hidupnya baik (selamat dan sejahtera) di Dunia
dan baik (selamat dan sejahtera) pula di Akhirat. Apa yang di lakukan di Dunia
berefek langsung kepada kehidupan di Akhirat. Bersikap atau bekerja baik di
Dunia, akibatnya baik pula yang akan di dapatnya di Akhirat, nantinya. Begitu
pula sebaliknya.
Kepustakaan:
●Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders
adalah Denise
A. Spellberg
●islamophobiatoday.com
●wikipedia
●http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/08/islam-di-spanyol-dan-peninggalannya.html
●http://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2016/02/latar-belakang-lahirnya-zaman-kegelapan.html[][][]