Wednesday, January 31, 2018

Pemikiran Sekulerisasi Nurcholish Madjid




Buku Prof. Faisal, “Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid – Seputar isu Sekularisasi dalam Islam” ini penting dibaca bagi pengkritik dan pendukung gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid, karena membongkar kerancuan pemikiran Nurcholish Madjid.


Pengantar:

N
Nurcholish Madjid  (17 Maret 1939-29 Agustus 2005), sang ‘nabi’ pembaruan pemikiran Islam asal Jombang, menggapai definisi sekularisasi yang ‘menyempal’ dari pendapat para pakar pada umumnya. Menurut Cak Nur, sekularisai adalah menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan Umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Sedang menurut para pakar pada umumnya, sekularisasi adalah ide, proses dan praktik yang membebaskan urusan-urusan yang bersifat duniawi dari urusan-urusan yang bersifat ukhrawi-agamawi. Dengan pola pemikiran seperti itu, Nurcholish secara eksklusif memberlakukan ide sekularisasinya di kalangan Umat Islam saja. Benarkah gagasan Cak Nur ini?

Pendekar dan ikon pembaruan pemikiran Islam dari Jombang itu menggunakan istilah sekularisasinya dalam banyak dimensi sesuai alur kemauan dan pemahamannya sendiri. Ada yang dikaitkan dengan ‘penduniawian’ nilai-nilai, ada yang diterapkan kepada animis yang convert ke kepercayaan tauhid (masuk Islam), ada yang dikaitkan dengan upaya menyentuhtanahkan ajaran-ajaran Islam agar sesuai dengan keadaan ruang dan waktu, dan ada pula yang dicangkok dari kerangka pemikiran sosiologis sekularisasi Robert N. Bellah. Sejauh menyangkut konversi animis ke kepercayaan tauhid (masuk Islam), Cak Nur mantap berpendapat bahwa Islam sebenarnya dimulai dengan proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi secara besar-besaran. Benarkah pendapat Cak Nur ini?

Buku “Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid: Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam” karangan Faisal Ismail ini berisi gugatan, sanggahan dan refutasi yang komprehensif terhadap pemikiran Cak Nur di seputar isu tersebut. Faisal menurunkan kritik-kritik tajamnya secara mendetail terhadap racikan ide yang Nurcholish klaim sebagai sekularisasi itu. Doktrin politik Cak Nur ‘Islam Yes, Partai No,’ juga mendapat sorotan tajam dari pengarang buku ini. Buku ini sudah pasti memberikan penjernihan spiritual dan pencerahan intelektual. [granadabooks.com]


Pembahasan:

B
Belum lama ini saya menemukan sebuah buku penting yang ditulis oleh Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas Islam Negeri Yogyakarta. Judulnya: “Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam.” (Cetakan pertama: Juli 2010).

Buku Prof. Faisal Ismail ini cukup mengejutkan, sebab selama ini, saya mengenalnya sebagai mantan Sekjen Departemen Agama dan Duta Besar RI untuk Kuwait. Membaca riwayat hidupnya, putra Madura kelahiran 1947 ini, terlihat telah lama menggeluti dunia pemikiran Islam. Sejumlah bukunya juga sudah diterbitkan.

Perjalanan intelektual Prof. Faisal Ismail pun cukup beragam. Lulus S-1 Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta, ia melanjutkan studi S-2 di Department of Middle East Languages and Cultures, Columbia University, AS. Tahun 1995, dia menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada.  Tahun 1991, Faisal Ismail sempat menjadi mahasiswa Nurcholish Madjid di McGill, saat Nurcholish menjadi dosen tamu, mengajar mata kuliah “Modern Islamic Development in Indonesia.”

“Saya ingin menjadi murid  yang baik Nurcholish Madjid, karena itu, saya “berani” dan memberanikan diri mengritisi, menilai, dan mengritik ide sekularisasi dan desakralisasinya dengan cara konstruktif-kritis-apresiatif,” tulis Faisal. (hal.  34).

Berbeda dengan banyak cendekiawan yang memberikan apresiasi dan membela ide sekularisasi Nurcholish Madjid secara berlebihan, Prof. Faisal Ismail berani mengambil sikap dan posisi yang tegas dan jelas terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid yang hingga sekarang masih dikeramatkan oleh sebagian kalangan.

Melalui karya ini, Prof. Faisal menguraikan secara sistematis dan illmiah kekeliruan gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Ia merasa perlu menulis buku tersebut – di sela-sela kesibukannya sebagai Dubes RI di Kuwait – karena sampai akhir hayatnya, Nurcholish Madjid belum pernah mengoreksi pemikirannya.

“Sampai dengan meninggalnya di tahun 2005, Nurcholish tidak pernah berubah dalam pendiriannya tentang ide sekularisasinya. Tidak ada pernyataan resmi dan terbuka dari dia, baik secara lisan maupun tertulis, yang isinya merevisi, meredefinisi, mencabut, atau me-mansukh idenya tentang sekularisasi dan desakralisasi itu. Dia sepenuhnya merasa benar dengan ide sekularisasinya itu…” (hal. 33)

Menurut Prof. Faisal, ide sekularisasi Nurcholish itulah perlu dikaji secara cermat dan mendalam, sebab ide itulah yang menjadi landasan pacu yang strategis bagi agenda kerja dan gerakan pembaruan Islam yang Nurcholish pelopori.

Ide sekularisasi Nurcholish Madjid sudah berumur 40 tahun. Selama  itu sudah cukup banyak yang mengkritisinya. Salah satu yang terkenal adalah kritik dari Prof. HM Rasjidi.  Direktur INSISTS, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, juga sudah memberikan kritik ilmiah dan tajam terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Kedua pemikir itu pun mempermasalahkan landasan ilmiah dan epistemologis gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Dalam bukunya ini, Prof. Faisal Ismail pun lebih jelas lagi memaparkan “ketidak-ilmiahan” gagasan sekularisasi Nurcholish.

Setelah menelusuri asal-muasal dan berbagai definisi yang diungkapkan Nurcholish Madjid, Faisal lalu memberikan kritik-kritik yang mendasar.  “Dari segi konsep dan definisi saja, ide yang Nurcholish klaim sebagai sekularisasi itu sudah tidak memiliki dasar keilmuan dan tidak tepat,” (hal. 53).

Nurcholish mendefinisikan sekularisasi  sebagai “menduniawikan masalah-masalah yang semestinya bersifat duniawi dan melepaskan umat Islam daru sikap mengukhrawikannya”.  Definisi dan penjelasan Nurcholish itu dianalisis oleh Faisal dan dibandingkan dengan pengertian sekularisasi yang diberikan sejumlah cendekiawan, seperti Peter Beger, Harvey Cox, Fazlur Rahman, HM Rasjidi, Mukti Ali, dan sebagainya. Kesimpulannya, tulis Faisal: Definisi Nurcholish Madjid tentang sekularisasi sangat tidak memadai, sangat lemah, bahkan tidak memiliki dasar rujukan ilmiah.

Berbeda dengan Nurcholish, Fazlur Rahman – guru Nurcholish di Chicago University – memberikan definisi sekularisasi sebagai berikut:

“Sekularisasi merupakan proses pemakaian hukum-hukum dan lembaga-lembaga social politik tanpa rujukan ajaran-ajaran Islam, yakni bersumber dari atau ada kaitannya dengan prinsip –prinsip Al Quran dan Sunnah Nabi.” (hal. 52).

Dengan kata lain, simpul Prof. Faisal, ide sekularisasi racikan Nurcholish, dilihat dari sudut pandang ilmiah dan perspektif akademis dengan sendirinya menjadi sangat layu, “gugur”, dan “digugurkan” kesahihannya.

Halaman demi halaman buku Prof. Faisal Ismail ini menyajikan data kerancuan pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid, sebagaimana disajikan dalam judulnya. Senada dengan Prof. HM Rasjidi, Faisal juga melihat kesewenang-wenangan Nurcholish dalam memberikan istilah dan definisi, sehingga tidak dapat dikaji secara ilmiah.

Sebagai contoh, Faisal mengkritik keras gagasan Nurcholish untuk melakukan sekularisasi secara terbatas, sebagaimana terjadi pada masyarakat Barat. Faisal menolak gagasan ini, dan menulis: “Menurut pendapat saya, ide sekularisasi terbatas dalam Islam yang digagas oleh Cak Nur untuk diterapkan  dikalangan umat Islam harus ditolak. Umat Islam tidak perlu melaksanakan sekularisasi, walaupun secara terbatas.” (hal. 76).

Membaca buku setebal 357 halaman ini cukup mengasyikkan. Apalagi yang terbiasa menggeluti bidang pemikiran Islam. Meskipun sudah tiada, Nurcholish Madjid masih terus dijadikan rujukan dalam bidang pemikiran Islam di Indonesia. Karena itu, buku Prof. Faisal ini sangat penting dibaca bagi pengkritik maupun pendukung gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Tujuannya, tentu, jangan kita terjebak kepada kebencian tanpa dasar dan jangan menjadi pemuja tanpa ilmu.

Saya sendiri sudah berulang kali memberikan kritik terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Secara khusus, kritik terhadap sekularisasi Nurcholish saya letakkan dalam satu bab dari buku Wajah Peradaban Barat.  Jika ditelusuri, gagasan sekularisasi Nurcholish sulit dilepaskan dari ide sekularisasi Harvey Cox, seorang teolog Kristen yang popular dengan bukunya The Secular City, tahun 1960-an.

Pada tanggal 2 Januari 1970 Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Menteng Raya 58, Jakarta Pusat. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.  Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”. Setelah itu, berjubellah para propagandis sekularisasi di Indonesia.

Jika dicermati, pengaruh “The Secular City” jelas sekali tampak pada pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi. Misalnya, tentang etimologi sekularisasi, Nurcholish berpendapat:

“Kata-kata “sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah kata ruang”.

Bandingkan ungkapan Nurcholish Madjid itu dengan kata-kata Harvey Cox: 

  • The English word secular derives from the Latin word saeculum, meaning “this present age”… Basically saeculum is one of the two Latin words denoting “world” (the other is mundus)… saeculum is a time word, used frequently to translate the Greek word aeon, which also means age or epoch. Mundus, on the other hand, is a space word.”


Jika Cox mencari legitimasi sekularisasi dalam agama Kristen, maka Nurcholish mencoba mengadopsi dan menyesuaikan gagasan Cox dengan mencari legitimasi dalam ajaran Islam. Ia tidak secara terang-terangan menyatakan, bahwa gagasannya tentang sekularisasi diadopsi dari pemikiran Harvey Cox.  Penjiplakan Nurcholish terhadap ide Cox bisa dilihat lagi pada  upayanya untuk membedakan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”, sebagaimana dilakukan oleh Cox. Menurut  Nurcholish, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah.

Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.

Dalam beberapa hal, jelas sekali terlihat, bahwa pendapat dan redaksi tulisan Nurcholish Madjid sangat mirip dengan pendapat dan redaksi tulisan Harvey Cox. Adalah menarik, melihat gaya Nurcholish dalam mengembangkan ide sekularisasi Harvey Cox. Ketika Cox menyatakan, bahwa sekularisasi adalah keharusan bagi kaum Kristen, maka Nurcholish melanjutkan, bahwa “sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam”.  Jika Cox mencari landasan sekularisasi dalam Bibel, maka Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam.

Sudah sangat banyak kritik diberikan terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Mudah-mudahan buku Prof. Faisal Ismail ini semakin memperjelas duduk persoalan dan kekeliruan ide sekularisasi yang memang sangat tidak diperlukan oleh umat Islam. □ [Adian Husaini - Depok, September 2010/hidayatullah.com]



Sumber:
granadabooks.com
hidayatullah.com
dan sumber-sumber lainnya □□

Wednesday, January 24, 2018

Sistim Pemilihan Umum





Dari akun Saafroedin Bahar January 22, 2018 menuliskan, bahwa:

Secara pribadi saya merasa bahwa akar sistemik dari gonjang ganjing politik di Indonesia ini ada dua:

1) Sistem pemilu proporsional, yang menyatukan seluruh suara ke tingkat nasional;

2) Sistem manajemen kepartaian yang bersifat oligarkik, sangat bergantung kepada putusan seorang ketua umum. Bagaimana cara jalan keluarnya?

Menurut pendapat saya (sebaiknya):

1) Ubah sistem pemilu proporsional menjadi sistem pemilu distrik, seperti disarankan oleh Seminar TNI-AD tahun 1966;

2) Jadikan desa - yang jumlahnya 80.000 - sebagai daerah pemilihan alamiah;

3) Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Presiden dilakukan oleh DPRD/DPR/MPR secara bertingkat. Rasanya sistem alternatif yang sederhana ini akan meniadakan seluruh kelemahan sistem politik yang ada sekarang.


D
Demikianlah beliau mengaharapkan pemilu menjadi adil dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian calon pemimpin berkualitas benar-benar tersaring dengan baik karena politik oligarkik dan juga politik uang (money politic) yang kenyataannya seperti itu. Bukan mana pemimpin yang mumpuni yang terpilih, tapi pemimpin yang tidak mumpuni lolos dan menang karena “money politic” ini, itulah kenyataan warga Indonesia akar rumput yang mayoritas yang masih miskin ini berpemilu.

Beliau sebagai pengamat politik - memberikan saran yang terbaik, untuk itu mengangkat tulisan yang sederhana ini sehubungan dari mengatasi kemungkinan terjadinya “Sengketa Pemilu” sebagaimana terjadi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (9 Juli 2014) antara Prabowo dan Jokowi. Dan dengan ini pula mencegah adanya sistem manajemen kepartaian yang bersifat oligarkik yang sangat bergantung kepada putusan seorang ketua umum. Kejadian ini telah beliau sampai melalui Republika 4 tahun yang lalu. □ AFM


LAMPIRAN BERITA:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik UGM, Brigjen TNI (Purn). Saafroedin Bahar, menyatakan Indonesia sebaiknya mengubah sistem Pemilu dari suara terbanyak ke distrik.

"Dengan sistem distrik, tidak akan ada permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK," tutur Saafroedin pada Rabu (20/8) siang.

Saafroedin menyatakan hal ini saat menjadi narasumber dalam acara "Dialog Kenegaraan: Menanti Putusan MK (Sengketa Pemilu 9 Juli 2014)" di Gedung DPD RI, Jakarta.

Menurut Saafroeddin, sebaiknya sistem Pilpres mendatang menjadikan desa sebagai daerah pemilihan (dapil).

Pasalnya, menurut undang-undang, Desa mempunyai hak asal usul yang bersifat asli. Jika ini dapat dilakukan, maka akan ada 50 s/d 70 ribu dapil di seluruh Indonesia.

Sistem distrik ini, paparnya, bukan sekedar meniru sistem distrik di AS. Pasalnya, para pendiri negara tampak memiliki gagasan ke sistem distrik.

Artinya, pilpres dilaksanakan secara tidak langsung melalui perwakilan rakyat di MPR. Saat itu bernama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Seperti di Amerika Serikat (AS), tutur Saafroedin, PPKI saat itu berfungsi seperti "electoral college" di AS.

Mantan Komisioner Komnas HAM itu pun yakin indonesia akan lebih tenang dengan menggunakan sistem distrik daripada sistem suara terbanyak seperti sekarang.

Dalam sistem distrik, berlaku prinsip "the winner takes all", jadi tinggal menghitung capres mana yang perolehan suara distriknya paling besar.

"Hal ini juga lebih sesuai dengan struktur sosial-budaya masyarakat Indonesia. Saya sedih melihat perdebatam di sosial media akibat Pilpres dengan sistem suara terbanyak ini," papar Saafroedin.

Jika dibiarkan, perdebatan media sosial itu dapat saja memecah-belah bangsa Indonesia. "Kita semua prihatin dengan kondisi ini. Mungkin kedua calon tenang saja, tapi pendukungnya yang bergelora," jelas Saafroedin.


BIOGRAFI SAAFROEDIN BAHAR:

Brigjen TNI (Purn) Dr. Saafroedin Bahar, lahir di Padangpanjang, Sumatera Barat, 10 Agustus 1937 adalah seorang intelektual TNI. Ia dikenal sebagai ilmuwan sosial dan politik, pengajar, budayawan dan politisi.

Saafroedin pernah mengemban tugas sebagai Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara Bidang Politik, Anggota Fraksi ABRI di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI), dan Asisten Menteri Sekretaris Negara Bidang Persatuan dan Kesatuan Bangsa.

Saafroedin Bahar juga pernah beraktivitas sebagai Komisioner Komhas HAM Bidang Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, serta menjadi Dosen Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. □□


Baca juga –klik---> Demokrasi Jalan Korupsi

Sumber:

http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/08/20/nalsfp-pengamat-ubah-sistem-pilpres-dari-suara-terbanyak-ke-distrik
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10046#.WmkJLzRG2Uk
https://id.wikipedia.org/wiki/Saafroedin_Bahar□□□