S
|
udah banyak buku yang membahas paham Islam
Liberal maupun pengkritiknya. Bagi yang mengikuti perkembangannya, pasti akrab
dengan nama-nama seperti H.M. Rasjidi, Hartono Ahmad Jaiz, hingga Adian Husaini
yang aktif mengkritik paham-paham yang diusung oleh Nurcholish Madjid, Harun
Nasution, hingga Ulil Abshar Abdalla – yang kemudian biasa dinamakan dengan
Islam Liberal. Akan tetapi, barangkali tinjauan pertarungan pemikiran tersebut
menjadi semakin menarik dengan kehadiran buku karangan Tiar Anwar Bachtiar yang
diterbitkan Pustaka Al-Kautsar dengan judul Pertarungan
Pemikiran Islam di Indonesia: Kritik-kritik terhadap Islam Liberal dari H.M
Rasjidi Sampai INSIST.
Buku yang merupakan adaptasi dari disertasi
penulis ketika mengambil program doktor Sejarah di Universitas Indonesia ini
meninjau diskursus intelektual antara – meminjam istilah beberapa peneliti –
kaum “Islam tradisionalis”, “Islam modernis”, dan “Islam fundamentalis” dengan
kaum “Islam Liberal” dari perspektif segi sejarah, tepatnya sejarah pemikiran (history of thought). Buku ini
menceritakan pergulatan pemikiran antara kedua kubu dari tahun 1970an (orde
baru) hingga tahun 2012 di Indonesia. Secara khusus, buku ini juga membahas
kiprah Institute for the Study of
Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) yang dianggap membuka
babak baru dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia.
Pada bagian pengantar, penulis (Tiar Anwar
Bachtiar) mengatakan bahwa studi mengenai sejarah pemikiran Islam di Indonesia,
terutama pada abad ke-20 sudah cukup banyak dilakukan dan dipublikasikan.
Diantaranya ada disertasi Muhammad Kamal Hassan yang diterbitkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul Modernisasi
Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim pada tahun 1978. Dalam
disertasinya, Kamal Hassan membahas polarisasi baru kelompok gerakan Islam.
Polarisasi tersebut terjadi antara kelompok eks Masjumi yang tergabung dalam
Dewan Dakwah dan kelompok “pembaruan” yang didorong oleh kiprah Nurcholish
Madjid. Setelahnya, ada Fahry Ali dan Bachtiar Effendy yang membahas lebih
dalam pemikiran Nucholish Madjid dan pengaruhnya. Di dalam pembahasannya,
gerakan pemikiran baru pada masa orde baru dipelopoeri oleh Nurcholish Madjid, Limited Group Yogyakarta asuhan
Mukti Ali, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada era pasca-Reformasi,
nomenklatur bagi yang mendukung ide-ide Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid
lebih dikenal dengan istilah “Islam Liberal” daripada kelompok “pembaruan”.
Istilah tersebut makin kentara dengan lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL).
Selain itu, ada juga buku Charles Kurzman yang berjudul Liberal Islam: A source Book dan
buku Greg Barton yang berjudul Gagasan
Islam Liberal di Indonesia.
Di masa pasca-orde baru, terdapat buku Zuly
Qodir yang berjudul Islam Liberal: Varian-varian
Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002. Akan tetapi, buku
tersebut tidak mengkaji kelompok-kelompok yang tergolong kontra terhadap
pemikiran Islam Liberal. Buku Yudi Latif yang berjudul Intelegensia Muslim dan Kuasal Genealogi
Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20 menyediakan
penelusuran intelektualisme kelompok penentang Islam Liberal (disebutnya
“gerakan dakwah”) juga menggambarkan secara umum genealogi pemikiran Islam di
Indonesia abad ke-20.
Pada bab pertama, buku ini membahas tentang
gelombang baru pemikiran Islam di Indonesia. Sebelumnya, polarisasi gerakan
hanya bersumber kepada gerakan “modernis” dan “tradisionalis”. Akan tetapi,
terbukti keduanya mampu bersatu, bahkan bisa menciptakan kongres yang diberi
nama Kongres Al-Islam yang merupakan cikal-bakal MIAI (Majelis Islam A’la
Indonesia). MIAI pada tahun 1945 resmi menjadi satu-satunya partai Islam di
Indonesia dengan nama Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi). Pada sidang
BPUPK pun, perwakilan dari kedua kelompok kompak mendukung Islam sebagai dasar
negara. Lebih menarik lagi ketika pada tahun 1975 MUI yang dipimpin Buya Hamka
mampu ‘duduk bersama’ dalam berbagai masalah, termasuk fatwa fikih.
Tren tradisionalis vs modernis berubah pada
tahun 1970 semenjak kemunculan kelompok yang diberi nama “pembaruan Islam” yang
dipelopori Nurcholish Madjid dan Harun Nasution. Perbedaan mendasar gerakan ini
dengan dua gerakan sebelumnya dari segi pemikiran adalah sikap dan penerimaan
terhadap sekularisasi dan sekularisme. Terdapat beberapa nomenklatur dari
gerakan ini seperti “neo-modernis”, “Islam Liberal”, “gerakan pembaruan”, dll
(meskipun esensinya sama saja). Gerakan ini menyasar PTAI (Perguruan Tinggi
Agama Islam), mahasiswa, dan pemuda sebagai ‘objek dakwah’-nya.
Gerakan Islam Liberal ini sebenarnya sudah
banyak dikritik oleh tokoh-tokoh DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia). Akan
tetapi, para peneliti beranggapan bahwa kritik-kritik terhadap Islam Liberal
dianggap skripturalis dan sering hanya berputar-putar dalam masalah istilah
kebahasaan tanpa menghiraukan substansi pemikirannya. Kritik-kritik ini juga
dianggap sebagai tidak ilmiah, jumud, konservatif, dan tidak progresif. Pada
kenyataannya, pemikiran Islam Liberal berhasil dikembangkan dalam kajian-kajian
akademik, terbukti dengan dihasilkannya banyak penelitian ilmiah menggunakan framework Islam Liberal. Barulah,
pada sekitar tahun 2003 muncul INSISTS yang memberikan kritik lebih mendalam
terhadap paham-paham Islam Liberal. Tidak sampai kritik saja, framework kritik Islam Liberal ala
INSISTS berhasil diterima oleh beberapa perguruan tinggi seperti PSTTI-UI,
Pascasarjana Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Solo, UNIDA Gontor,
Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dll. Sejak 2007, sudah lebih dari 100 riset
ditulis berdasarkan paradigma anti-Islam Liberal yang dikembangkan INSISTS.
Selain membahas latar belakang polarisasi baru
pemikiran Islam di Indonesia, pada bab pertama dijelaskan juga beberapa hal
yang berkaitan dengan buku ini seperti pengertian sejarah pemikiran (history of thought) dan definisi
Islam Liberal.
Pada bab kedua, penulis membahas tentang asal
mula kemunculan Islam Liberal. Kebijakan “modernisasi” – khususnya modernisasi
di bidang agama – tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemunculan Islam Liberal.
Penunjukan Mukti Ali sebagai menteri agama menyebabkan terlaksananya program
IAIN. Mukti Ali juga bertanggung jawab atas terpilihnya Harun Nasution sebagai
rektor IAIN pada tahun 1970an.
Penulis beranggapan bahwa kemunculan Islam
Liberal dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah pidato Nurcholish
Madjid pada tahun 1970 dan 1972 yang mendukung gerakan pembaruan Islam yang
sejatinya adalah sekularisasi. Di saat yang bersamaan, pengangkatan Harun
Nasution sebagai rektor IAIN dan disahkannya buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya sebagai panduan
mata kuliah Pengantar Ilmu Agama dianggap menjadi salah satu pelanggeng
masuknya paham Islam Liberal di Indonesia. Fase kedua lebih berfokus ke
pendidikan kader-kader lewat berbagai sarana: Paramadina dan HMI (Nurcholish
Madjid), NU (Abdurrahman Wahid), IAIN (Harun Nasution dan Munawir Sjadzali),
dan Muhammadiyah.
Selain itu, diterbitkannya jurnal Ulumul Qur’an juga dianggap sebagai
penanda berkembangnya pemikiran Islam Liberal. Terakhir, fase ketiga timbul
pada masa pasca-reformasi. Iklim kebebasan berpendapat yang lebih luas pada
masa ini membuat kelompok Islam Liberal berani unjuk gigi dengan membuat
jaringan intelektual bernama Jaringan Islam Liberal (JIL).
Jika pada bab dua dibahas perkembangan Islam
Liberal, maka untuk mengimbanginya bab tiga membahas tentang kritik dan respon
terhadap pemikiran Islam Liberal dari tahun 1970 hingga 2005. Pada era orde
baru, nama-nama seperti H.M. Rasjidi, Natsir, dan HAMKA menjadi poros utama
dalam kelompok anti Islam Liberal. Sementara itu, di era 90-an nama-nama
seperti Daud Rasyid dan Ahmad Husnan lebih populer. Di era pasca-reformasi,
sebelum berdirinya INSISTS, ada juga nama-nama seperti Hartono Ahmad Jaiz dan
Agus Hasan Bashori di ranah penulis lepas dan FUUI dan MMI di ranah organisasi.
Akan tetapi, seperti yang diutarakan penulis, kritik terhadap Islam Liberal
yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut banyak yang tidak terlalu membahas akar
permasalahan (terutama di era 90-an dan pasca reformasi). Barulah, semenjak
berdiri tahun 2003, INSISTS memberi warna baru dalam jajaran pengkritik Islam
Liberal.
Bab empat fokus membahas INSISTS dalam wacana
pemikiran Islam di Indonesia. INSISTS sendiri sebenarnya tidak dibuat khusus
untuk menanggapi pemikiran Islam Liberal. Menurut para pendirinya, INSISTS
didirikan atas pemahaman bahwa problem paling krusial yang dihadapi oleh umat
Islam adalah keilmuan yang rusak oleh hegemoni pemikiran Barat yang sekular.
Selama keberjalanannya, INSISTS serius membumikan ide-ide pemikirannya lewat
berbagai media seperti jurnal, koran, buku, workshop,
diskusi pekanan, dll. Selain aktivitas secara lembaga, pendiri-pendirinya juga
cukup aktif dalam menyuarakan pemikiran INSISTS. Diantaranya ada Adian Husaini
yang sudah mengarang lebih dari 30 judul buku, Hamid Fahmy Zarkasyi yang mengurusi
CIOS-ISID Gontor, Anis Malik Thoha yang menjadi rektor Unissula, dll.
Aktivitas-aktivitas pendirinya memungkinkan INSISTS memiliki jaringan yang luas
di seluruh Indonesia. Pada bab ini juga dibahas pengaruh pemikiran seorang Syed
Muhammad Naquib Al-Attas dalam berdirinya INSISTS. Hal ini dapat dimaklumi,
sebab INSISTS bermula dari diskusi yang diadakan oleh dosen dan mahasiswa ISTAC
IIUM yang dipimpin oleh Al-Attas. Al-Attas sendiri merupakan salah satu
cendekiawan Muslim kontemporer yang telah memberikan sumbangan besar dalam
pemikiran Islam kontemporer dan pendidikan Islam. Terakhir, pada bab ini
dibahas perluasan jaringan INSISTS seperti DISC-UI, INPAS, PIMPIN, dll. Secara
kelembagaan, lembaga-lembaga tersebut dengan INSISTS bisa jadi tidak memiliki
kesepakatan formal. Akan tetapi, poin yang digarisbawahi penulis adalah tentang
bagaimana pemikiran INSISTS berhasil diduplikasi di berbagai daerah oleh
orang-orang yang mengikuti program-program INSISTS.
Bab kelima fokus membahas pemikiran Al-Attas yang
menjadi landasan gerakan INSISTS. Al-Attas berpendapat bahwa problem utama yang
dihadapi umat Islam sekarang adalah sekularisasi ilmu akibat peradaban Barat.
Oleh karenanya, untuk membangkitkan kembali kejayaan peradaban Islam,
diperlukan Islamisasi ilmu pengetahuan. Pada bab ini juga dibahas Islamisasi
ilmu pengetahuan versi Al-Attas dan Al-Faruqi serta kaitannya dengan INSISTS.
Terakhir, bab enam membahas isu-isu Islam
Liberal yang aktif dikritisi oleh INSISTS. Isu orientalisme, hermeneutika
Al-Qur’an, pluralisme agama, dll tidak lepas dari sorotan INSISTS. Pada bab
ini, untuk masing-masing isu, dipaparkan pandangan Islam Liberal dan pandangan
INSISTS.
Akhirnya, buku ini ditutup dengan rangkuman
kemunculan Islam Liberal dari tahun 1970-an di Indonesia beserta kritiknya dari
zaman H.M. Rasjidi hingga INSISTS. Dibahas juga gerakan-gerakan dan landasan
pemikiran yang dilakukan oleh INSISTS dalam kaitannya dengan kritik terhadap
Islam Liberal. Penutup ini sebenarnya adalah rangkuman seluruh bab dalam buku ini
plus beberapa informasi yang berkaitan dengannya.
Dari segi ilmiah, buku ini tidak perlu
dipertanyakan lagi kualitasnya karena memang berasal dari disertasi. Objek
penelitiannya juga menarik karena membahas tentang dinamika pemikiran Islam di
Indonesia, terlebih lagi karena membahas INSISTS sebagai ‘tren’ baru dalam
mengkritik Islam Liberal di Indonesia. Daftar pustakanya juga dilengkapi dengan
sumber-sumber yang relevan (dalam membahas pemikiran Islam di Indonesia).
Sedikit kritik terhadap buku ini, terdapat banyak sekali typo dan kesalahan penulisan nama
(baik nama orang, judul buku, nama organisasi, dll). Namun demikian, tidak
mengurangi kualitas buku ini sebagai salah satu referensi sejarah pemikiran
Islam di Indonesia yang otoritatif. □
Sumber:
https://jurisarrozy.wordpress.com/2017/07/17/pertarungan-pemikiran-islam-di-indonesia-kritik-kritik-terhadap-islam-liberal-dari-h-m-rasjidi-sampai-insist/