Sunday, November 5, 2017

Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia




S
udah banyak buku yang membahas paham Islam Liberal maupun pengkritiknya. Bagi yang mengikuti perkembangannya, pasti akrab dengan nama-nama seperti H.M. Rasjidi, Hartono Ahmad Jaiz, hingga Adian Husaini yang aktif mengkritik paham-paham yang diusung oleh Nurcholish Madjid, Harun Nasution, hingga Ulil Abshar Abdalla – yang kemudian biasa dinamakan dengan Islam Liberal. Akan tetapi, barangkali tinjauan pertarungan pemikiran tersebut menjadi semakin menarik dengan kehadiran buku karangan Tiar Anwar Bachtiar yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar dengan judul Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia: Kritik-kritik terhadap Islam Liberal dari H.M Rasjidi Sampai INSIST.

Buku yang merupakan adaptasi dari disertasi penulis ketika mengambil program doktor Sejarah di Universitas Indonesia ini meninjau diskursus intelektual antara – meminjam istilah beberapa peneliti – kaum “Islam tradisionalis”, “Islam modernis”, dan “Islam fundamentalis” dengan kaum “Islam Liberal” dari perspektif segi sejarah, tepatnya sejarah pemikiran (history of thought). Buku ini menceritakan pergulatan pemikiran antara kedua kubu dari tahun 1970an (orde baru) hingga tahun 2012 di Indonesia. Secara khusus, buku ini juga membahas kiprah Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) yang dianggap membuka babak baru dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia.

Pada bagian pengantar, penulis (Tiar Anwar Bachtiar) mengatakan bahwa studi mengenai sejarah pemikiran Islam di Indonesia, terutama pada abad ke-20 sudah cukup banyak dilakukan dan dipublikasikan. Diantaranya ada disertasi Muhammad Kamal Hassan yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim pada tahun 1978. Dalam disertasinya, Kamal Hassan membahas polarisasi baru kelompok gerakan Islam. Polarisasi tersebut terjadi antara kelompok eks Masjumi yang tergabung dalam Dewan Dakwah dan kelompok “pembaruan” yang didorong oleh kiprah Nurcholish Madjid. Setelahnya, ada Fahry Ali dan Bachtiar Effendy yang membahas lebih dalam pemikiran Nucholish Madjid dan pengaruhnya. Di dalam pembahasannya, gerakan pemikiran baru pada masa orde baru dipelopoeri oleh Nurcholish Madjid, Limited Group Yogyakarta asuhan Mukti Ali, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pada era pasca-Reformasi, nomenklatur bagi yang mendukung ide-ide Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid lebih dikenal dengan istilah “Islam Liberal” daripada kelompok “pembaruan”. Istilah tersebut makin kentara dengan lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain itu, ada juga buku Charles Kurzman yang berjudul Liberal Islam: A source Book dan buku Greg Barton yang berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia.

Di masa pasca-orde baru, terdapat buku Zuly Qodir yang berjudul Islam Liberal: Varian-varian Liberalisme Islam di Indonesia 1991-2002. Akan tetapi, buku tersebut tidak mengkaji kelompok-kelompok yang tergolong kontra terhadap pemikiran Islam Liberal. Buku Yudi Latif yang berjudul Intelegensia Muslim dan Kuasal Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20  menyediakan penelusuran intelektualisme kelompok penentang Islam Liberal (disebutnya “gerakan dakwah”) juga menggambarkan secara umum genealogi pemikiran Islam di Indonesia abad ke-20.

Pada bab pertama, buku ini membahas tentang gelombang baru pemikiran Islam di Indonesia. Sebelumnya, polarisasi gerakan hanya bersumber kepada gerakan “modernis” dan “tradisionalis”. Akan tetapi, terbukti keduanya mampu bersatu, bahkan bisa menciptakan kongres yang diberi nama Kongres Al-Islam yang merupakan cikal-bakal MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). MIAI pada tahun 1945 resmi menjadi satu-satunya partai Islam di Indonesia dengan nama Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi). Pada sidang BPUPK pun, perwakilan dari kedua kelompok kompak mendukung Islam sebagai dasar negara. Lebih menarik lagi ketika pada tahun 1975 MUI yang dipimpin Buya Hamka mampu ‘duduk bersama’ dalam berbagai masalah, termasuk fatwa fikih.

Tren tradisionalis vs modernis berubah pada tahun 1970 semenjak kemunculan kelompok yang diberi nama “pembaruan Islam” yang dipelopori Nurcholish Madjid dan Harun Nasution. Perbedaan mendasar gerakan ini dengan dua gerakan sebelumnya dari segi pemikiran adalah sikap dan penerimaan terhadap sekularisasi dan sekularisme. Terdapat beberapa nomenklatur dari gerakan ini seperti “neo-modernis”, “Islam Liberal”, “gerakan pembaruan”, dll (meskipun esensinya sama saja). Gerakan ini menyasar PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam), mahasiswa, dan pemuda sebagai ‘objek dakwah’-nya.

Gerakan Islam Liberal ini sebenarnya sudah banyak dikritik oleh tokoh-tokoh DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia). Akan tetapi, para peneliti beranggapan bahwa kritik-kritik terhadap Islam Liberal dianggap skripturalis dan sering hanya berputar-putar dalam masalah istilah kebahasaan tanpa menghiraukan substansi pemikirannya. Kritik-kritik ini juga dianggap sebagai tidak ilmiah, jumud, konservatif, dan tidak progresif. Pada kenyataannya, pemikiran Islam Liberal berhasil dikembangkan dalam kajian-kajian akademik, terbukti dengan dihasilkannya banyak penelitian ilmiah menggunakan framework Islam Liberal. Barulah, pada sekitar tahun 2003 muncul INSISTS yang memberikan kritik lebih mendalam terhadap paham-paham Islam Liberal. Tidak sampai kritik saja, framework kritik Islam Liberal ala INSISTS berhasil diterima oleh beberapa perguruan tinggi seperti PSTTI-UI, Pascasarjana Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Solo, UNIDA Gontor, Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dll. Sejak 2007, sudah lebih dari 100 riset ditulis berdasarkan paradigma anti-Islam Liberal yang dikembangkan INSISTS.

Selain membahas latar belakang polarisasi baru pemikiran Islam di Indonesia, pada bab pertama dijelaskan juga beberapa hal yang berkaitan dengan buku ini seperti pengertian sejarah pemikiran (history of thought) dan definisi Islam Liberal.

Pada bab kedua, penulis membahas tentang asal mula kemunculan Islam Liberal. Kebijakan “modernisasi” – khususnya modernisasi di bidang agama – tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemunculan Islam Liberal. Penunjukan Mukti Ali sebagai menteri agama menyebabkan terlaksananya program IAIN. Mukti Ali juga bertanggung jawab atas terpilihnya Harun Nasution sebagai rektor IAIN pada tahun 1970an.

Penulis beranggapan bahwa kemunculan Islam Liberal dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah pidato Nurcholish Madjid pada tahun 1970 dan 1972 yang mendukung gerakan pembaruan Islam yang sejatinya adalah sekularisasi. Di saat yang bersamaan, pengangkatan Harun Nasution sebagai rektor IAIN dan disahkannya buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya sebagai panduan mata kuliah Pengantar Ilmu Agama dianggap menjadi salah satu pelanggeng masuknya paham Islam Liberal di Indonesia. Fase kedua lebih berfokus ke pendidikan kader-kader lewat berbagai sarana: Paramadina dan HMI (Nurcholish Madjid), NU (Abdurrahman Wahid), IAIN (Harun Nasution dan Munawir Sjadzali), dan Muhammadiyah.

Selain itu, diterbitkannya jurnal Ulumul Qur’an juga dianggap sebagai penanda berkembangnya pemikiran Islam Liberal. Terakhir, fase ketiga timbul pada masa pasca-reformasi. Iklim kebebasan berpendapat yang lebih luas pada masa ini membuat kelompok Islam Liberal berani unjuk gigi dengan membuat jaringan intelektual bernama Jaringan Islam Liberal (JIL).

Jika pada bab dua dibahas perkembangan Islam Liberal, maka untuk mengimbanginya bab tiga membahas tentang kritik dan respon terhadap pemikiran Islam Liberal dari tahun 1970 hingga 2005. Pada era orde baru, nama-nama seperti H.M. Rasjidi, Natsir, dan HAMKA menjadi poros utama dalam kelompok anti Islam Liberal. Sementara itu, di era 90-an nama-nama seperti Daud Rasyid dan Ahmad Husnan lebih populer. Di era pasca-reformasi, sebelum berdirinya INSISTS, ada juga nama-nama seperti Hartono Ahmad Jaiz dan Agus Hasan Bashori di ranah penulis lepas dan FUUI dan MMI di ranah organisasi. Akan tetapi, seperti yang diutarakan penulis, kritik terhadap Islam Liberal yang dilakukan tokoh-tokoh tersebut banyak yang tidak terlalu membahas akar permasalahan (terutama di era 90-an dan pasca reformasi). Barulah, semenjak berdiri tahun 2003, INSISTS memberi warna baru dalam jajaran pengkritik Islam Liberal.

Bab empat fokus membahas INSISTS dalam wacana pemikiran Islam di Indonesia. INSISTS sendiri sebenarnya tidak dibuat khusus untuk menanggapi pemikiran Islam Liberal. Menurut para pendirinya, INSISTS didirikan atas pemahaman bahwa problem paling krusial yang dihadapi oleh umat Islam adalah keilmuan yang rusak oleh hegemoni pemikiran Barat yang sekular. Selama keberjalanannya, INSISTS serius membumikan ide-ide pemikirannya lewat berbagai media seperti jurnal, koran, buku, workshop, diskusi pekanan, dll. Selain aktivitas secara lembaga, pendiri-pendirinya juga cukup aktif dalam menyuarakan pemikiran INSISTS. Diantaranya ada Adian Husaini yang sudah mengarang lebih dari 30 judul buku, Hamid Fahmy Zarkasyi yang mengurusi CIOS-ISID Gontor, Anis Malik Thoha yang menjadi rektor Unissula, dll. Aktivitas-aktivitas pendirinya memungkinkan INSISTS memiliki jaringan yang luas di seluruh Indonesia. Pada bab ini juga dibahas pengaruh pemikiran seorang Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam berdirinya INSISTS. Hal ini dapat dimaklumi, sebab INSISTS bermula dari diskusi yang diadakan oleh dosen dan mahasiswa ISTAC IIUM yang dipimpin oleh Al-Attas. Al-Attas sendiri merupakan salah satu cendekiawan Muslim kontemporer yang telah memberikan sumbangan besar dalam pemikiran Islam kontemporer dan pendidikan Islam. Terakhir, pada bab ini dibahas perluasan jaringan INSISTS seperti DISC-UI, INPAS, PIMPIN, dll. Secara kelembagaan, lembaga-lembaga tersebut dengan INSISTS bisa jadi tidak memiliki kesepakatan formal. Akan tetapi, poin yang digarisbawahi penulis adalah tentang bagaimana pemikiran INSISTS berhasil diduplikasi di berbagai daerah oleh orang-orang yang mengikuti program-program INSISTS.

Bab kelima fokus membahas pemikiran Al-Attas yang menjadi landasan gerakan INSISTS. Al-Attas berpendapat bahwa problem utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah sekularisasi ilmu akibat peradaban Barat. Oleh karenanya, untuk membangkitkan kembali kejayaan peradaban Islam, diperlukan Islamisasi ilmu pengetahuan. Pada bab ini juga dibahas Islamisasi ilmu pengetahuan versi Al-Attas dan Al-Faruqi serta kaitannya dengan INSISTS.

Terakhir, bab enam membahas isu-isu Islam Liberal yang aktif dikritisi oleh INSISTS. Isu orientalisme, hermeneutika Al-Qur’an, pluralisme agama, dll tidak lepas dari sorotan INSISTS. Pada bab ini, untuk masing-masing isu, dipaparkan pandangan Islam Liberal dan pandangan INSISTS.

Akhirnya, buku ini ditutup dengan rangkuman kemunculan Islam Liberal dari tahun 1970-an di Indonesia beserta kritiknya dari zaman H.M. Rasjidi hingga INSISTS. Dibahas juga gerakan-gerakan dan landasan pemikiran yang dilakukan oleh INSISTS dalam kaitannya dengan kritik terhadap Islam Liberal. Penutup ini sebenarnya adalah rangkuman seluruh bab dalam buku ini plus beberapa informasi yang berkaitan dengannya.

Dari segi ilmiah, buku ini tidak perlu dipertanyakan lagi kualitasnya karena memang berasal dari disertasi. Objek penelitiannya juga menarik karena membahas tentang dinamika pemikiran Islam di Indonesia, terlebih lagi karena membahas INSISTS sebagai ‘tren’ baru dalam mengkritik Islam Liberal di Indonesia. Daftar pustakanya juga dilengkapi dengan sumber-sumber yang relevan (dalam membahas pemikiran Islam di Indonesia). Sedikit kritik terhadap buku ini, terdapat banyak sekali typo dan kesalahan penulisan nama (baik nama orang, judul buku, nama organisasi, dll). Namun demikian, tidak mengurangi kualitas buku ini sebagai salah satu referensi sejarah pemikiran Islam di Indonesia yang otoritatif. □


Sumber:
https://jurisarrozy.wordpress.com/2017/07/17/pertarungan-pemikiran-islam-di-indonesia-kritik-kritik-terhadap-islam-liberal-dari-h-m-rasjidi-sampai-insist/