Monday, November 13, 2017

Masa Depan Partai Politik Islam di Indonesia




Pendahuluan

P
enduduk Indonesia yang diisi mayoritas beragama Islam (muslim) sebesar lebih dari 85%, tak menjadi jaminan bagi Partai Politik (parpol) Islam memenangkan pemilihan umum (Pemilu). Partai Islam tak pernah menjadi pemenang pemilu sejak pemilu pertama 1955. Bahkan perolehan suara gabungan partai Islam terus menurun, hingga tak pernah bisa melebihi gabungan suara partai Islam pada pemilu pertama 1955. Deliar Noer menggambarkan bahwa Islam mayoritas secara sosiologis, namun minoritas dalam politik.

Apa yang membuat suara partai islam tak pernah unggul? Apa yang mempengaruhi naik turunnya suara partai islam dari pemilu ke pemilu? Bagaimana masa depan partai islam? Buku berjudul Masa Depan Partai Islam di Indonesia: Studi tentang Volatilitas Elektoral dan Faktor-Faktor Penyebabnya yang merupakan riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini bisa menjadi rujukan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Buku ini melakukan pendekatan dengan teori volatilitas elektoral untuk melihat stabilitas atau labilitas suara partai islam dari pemilu ke pemilu. Volatilitas elektoral ialah sebuah alat ukur yang dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan kekuatan parpol melalui perolehan suara pemilih antara dua pemilihan secara berturut-turut. *

*catatan:
Volatilitas elektoral dihitung menggunakan Indeks Pedersen: Volatility (V) = 1/2 x Total Net Change (TNC). Secara sederhana, misal dalam pemilu pertama Partai A mendapatkan suara 65%, Partai B 25%, dan Partai C 10%, sedangkan pada pemilu berikutnya Partai A 65%, Partai B 10%, Partai C 20%. Maka selisih Partai A 0% (tetap), Partai B turun 10%, dan Partai C naik 10%. Sehingga Volatilitas Elektoral (Ve) = 1/2 x (0% + 10% + 10%) = 20/2 = 10%. Angka 10% tersebut adalah volatilitas pemilu di suatu negara. Sedangkan untuk menghitung volatilitas partai secara tunggal, secara sederhana mengikuti model perhitungan Scott Mainwaring, yakni menambahkan perubahan prosentase yang bertambah atau berkurang dari setiap pemilu, kemudian dibagi menjadi dua. Misalkan Partai A volatilitas elektoral sebesar 10%/2 = 5%. Bila angka volatilitas elektoral semakin mendekati nol, berarti perolehan suara partai dalam pemilu semakin stabil.

Namun, volatilitas elektoral tak cukup untuk mengungkap faktor apa yang mempengaruhi hal tersebut. Oleh karena itu, untuk mengungkapnya, Sergiu Ghergina menyebut sejumlah faktor yang mempengaruhi volatilitas elektoral, baik faktor internal maupun eksternal. Kajiannya adalah sebagai berikut dibawah ini.


SEJARAH PARTAI ISLAM DI INDONESIA

Zaman Sebelum Kemerdekaan

P
artai Sarekat Islam Indonesia (PSII) adalah partai islam pertama di Indonesia. PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Samanhoedi pada 1905. SDI bergerak di bidang ekonomi, yakni melindungi pedagang pribumi dari dominasi pedagang china.

SDI berubah menjadi gerakan politik saat menjadi Sarekat Islam (SI) pada 1912 yang dipimpin Haji Oemar Said Tjokroaminoto. SI kemudian berubah menjadi PSII pada tahun 1923. Sukiman - yang dikeluarkan dari PSII karena menuduh Tjokroaminoto korupsi - kemudian mendirikan Partai Islam Indonesia (PII atau Partii).

Setelah Jepang berkuasa, partai-partai dibubarkan, banyak muncul pemberontakan dari kalangan islam, terutama dari pesantren dan kalangan islam tradisionalis. Sehingga Jepang membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) untuk mengorganisir kekuatan islam agar lebih kooperatif. Masyumi yang banyak berisikan kalangan islam modernis, diciptakan sebagai ganti Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang didirikan Belanda. MIAI banyak berisi kalangan islam traidisionalis dan banyak melakukan pemberontakan terhadap Jepang.

Zaman Kemerdekaan Indonesia

Era Orde Lama (1945-1967)

S
elepas kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Masyumi dihidupkan kembali dalam Kongres Umat Islam di Yogyakarta, dengan tujuan menjadi wadah tunggal aspirasi politik umat islam. Oleh karenanya, Masyumi berisikan organisasi-organisasi islam seperti Nahdhatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), dan lainnya termasuk perorangan para tokoh islam yang tidak berafiliasi dengan organisasi islam. Dua organisasi islam terbesar di Indonesia dalam Masyumi ialah NU yang berisikan kalangan islam tradisionalis, berdiri sejak 1926, dan Muhammadiyah yang berasal dari kalangan islam modernis, yang didirikan pada 1912.

Namun, perpecahan melanda Masyumi, tokoh-tokoh mantan kader PSII keluar dan mendirikan PSII kembali pada 1947, sebagai respon atas tawaran koalisi dari Perdana Menteri Amir Sjarifudin. Kemudian, NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952 akibat makin terpinggirkannya kalangan islam tradisionalis dalam Masyumi. Partai islam lainnya adalah dari kalangan islam tradisionalis, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang berpusat di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Perti menolak bergabung dalam tubuh Masyumi. NU, PSII dan Perti, membentuk aliansi untuk menandingi Masyumi, yaitu Liga Muslim.

Partai islam, selalu dilibatkan dalam kabinet pemerintahan pasca kemerdekaan, karena merupakan elemen penting dalam politik tanah air. Termasuk memimpin kabinet saat Mohammad Natsir, kemudian Sukiman, lalu Burhanudin Harahap, pernah menjadi Perdana Menteri. Namun, perbedaan sikap terhadap tawaran koalisi maupun formulasi koalisi, membuat perpecahan dalam partai islam, seperti telah dibahas di atas.

Pemilu pertama pada 1955, dimenangkan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berhaluan nasionalis. Partai Islam seperti Masyumi berada di urutan kedua dan NU urutan ketiga. Gabungan suara partai islam hanya sebesar 43,9% padahal populasi umat muslim di Indonesia lebih dari 85%.

Perjuangan partai islam hasil pemilu 1955 berlangsung alot di dalam Majelis Konstituante dalam rangka merumuskan Undang-Undang Dasar baru, terutama mengenai dasar negara. Partai islam bersatu mengajukan islam sebagai dasar negara, melanjutkan perjuangan akibat kekecewaan dihilangkannya Piagam Jakarta dalam UUD 1945, dan kemudian perjuangan tertunda pasca kemerdekaan akibat agresi Belanda.

Namun karena tidak adanya partai yang berhasil menjadi mayoritas dalam pemilu, dan perimbangan yang besar dari partai lainnya yang menginginkan Pancasila tetap sebagai dasar negara, membuat jalan buntu di Majelis Konstituante. Hal ini membuat Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit membubarkan hasil pemilu. Soekarno juga membubarkan Masyumi dengan alasan keterlibatan dalam Pemberontakan PRII/Permesta. Muhammadiyah keluar dari Masyumi menjelang dibubarkannya Masyumi.


Era Orde Baru (1968-1998)

P
asca Soekarno Tumbang, Masyumi tak diizinkan eksis kembali, termasuk larangan kepada para mantan pemimpin Masyumi untuk aktif dalam politik praktis. Para kader Masyumi membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Pada pemilu 1971 yang merupakan pemilu pertama Orde Baru, dimenangkan oleh Golongan Karya sebagai partai pemerintah, disusul NU di posisi kedua. Gabungan suara partai islam pada pemilu 1971 sebesar 27,1%. Rezim Soeharto berhasil memenangkan Golkar pada pemilu pertama dengan gerakan masif terstruktur untuk melakukan kontrol politik demi menjamin stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Rezim menggencarkan kampanye “Pembangunan Yes, Politik No” dan juga konsep monoloyalitas pegawai negeri sipil (PNS).

Namun, hasil pemilu 1971 rupanya belum memuaskan Soeharto, sehingga pada 1973 dilakukan fusi partai politik. Partai-partai nasionalis dan kristen dikumpulkan dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI), sedangkan partai-partai islam seperti NU, Parmusi, PSII, dan Perti, digabungkan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Dalam tubuh PPP persaingan internal terus terjadi antara NU dan Parmusi, mewarisi persaingan pada masa Masyumi. Pemilu 1977 yang hanya diikuti oleh PDI, PPP, dan Golkar, kembali dimenangkan Golkar, sedangkan suara PPP sebesar 29,29%. Hasil itu masih merisaukan Soeharto, sehingga muncul larangan partai politik membangun struktur di tingkat desa. Tujuan utama larangan tersebut adalah agar desa steril dari kehidupan politik, sehingga berada dalam kontrol pemerintah. PPP sendiri memiliki basis di pedesaan, dengan menjamurnya pesantren di pedesaan, yang mayoritas berafiliasi politik ke NU.

Pada pemilu berikutnya, 1982 suara PPP turun menjadi 27,78% dan pemilu kembali dimenangkan Golkar. Pada Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, diputuskan bahwa NU kembali kepada khittah-nya sebagai organisasi sosial keagamaan, sehingga NU secara organisasi akhirnya keluar dari PPP, walaupun NU tak melarang tokoh dan waga NU berpolitik.

Pada 1985 pemerintah memberlakukan azas tunggal Pancasila, dimana semua organisasi termasuk partai, wajib merubah dasar organisasi menjadi Pancasila. PPP merubah dasar organisasi yang semula berdasarkan Islam menjadi Pancasila, dan merubah lambang partai dari semula bergambar ka’bah menjadi bergambar bintang. Akibat peristiwa-peristiwa tersebut, suara PPP turun menjadi hanya 15,97% pada pemilu 1987 yang kembali dimenangkan Golkar.

Pada pemilu 1992 suara PPP sedikit naik menjadi 17,01% dan 22,43% pada pemilu 1997. Menguatnya suara PPP dikarenakan Soeharto semakin akomodatif terhadap kalangan Islam. Terbukti dengan dibentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1990, yang diketuai Baharudin Jusuf Habibie, Menteri Riset dan Teknologi, yang kemudian menjadi wakil presiden setelah pemilu 1997. Semakin akomodatifnya Soeharto, sebagai upaya dirinya mencari perimbangan politik baru, mirip seperti saat Soeharto menggandeng kalangan islam untuk menghadang PKI pasca tragedi 1965.

Pemilu selama masa Orba memang tidak representatif untuk menilai kekuatan partai islam, karena upaya sistematis untuk melakukan kontrol politik yang dilakukan pemerintah. Sebagai respon atas kontrol politik pemerintah pada kekuatan politik islam, di masa orba juga muncul kalangan islam kultural. Kalangan islam kultural meyakini jalan lain memperjuangkan aspirasi umat islam selain jalur politik yang kian buntu. Aktivitas intelektual lewat para cendekiawan melahirkan ICMI, dan masuknya jamaah tarbiyah di kampus-kampus mengkader mahasiswa. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang dibentuk Mohammad Natsir, mantan ketua umum Masyumi, menyebarkan dakwah ke berbagai pelosok, mengkonsolidasikan dai-dai, dan menerjemahkan tulisan tokoh-tokoh Islam dari luar Indonesia. Muhammadiyah makin fokus mengembangkan pendidikan, pelayanan sosial dan ekonomi. Sedangkan NU kembali mencurahkan energinya pada upaya dakwah di masyarakat melalui pesantren dan para kyai, serta sekolah dan madrasah.


Era Orde Reformasi (1998 -  )

P
asca Soeharto lengser, muncul banyak partai islam, baik yang mengaku menjadi pewaris partai atau organisasi islam lama sejak era pasca-kemerdekaan seperti NU, Masyumi, PSII, dan Muhammadiyah, maupun yang mewarisi partai islam era Orba yaitu PPP, hingga partai yang baru muncul. Kalangan NU selain masih ada di PPP, juga mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI), Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan Partai Nahdlatul Ummah (PNU) yang berubah nama menjadi PPNUI di pemilu berikutnya. PSII lahir kembali dengan beberapa nama yang mirip semisal PSII, PSII Baru, dan PSII 1905. Masyumi pun demikian, melahirkan Partai Bulan Bintang (PBB), Masyumi Baru, dan Partai Politik Islam Indonesia (PPII) Masyumi. Muhammadiyah walau tidak secara organisasi, namun para tokohnya banyak berjasa mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Sedangkan pewaris PPP selain PPP sendiri, terdapat Partai Persatuan (PP) pimpinan mantan ketua umum PPP era orba, Jaelani Naro. Sedangkan partai islam baru misalnya Partai Keadilan (PK) yang kemudian berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PK berasal dari jamaah tarbiyah yang berkembang sejak masa era orba.

Namun, dalam pemilu di era reformasi, tak pernah sekalipun dimenangkan partai islam, bahkan gabungan suara partai islam tak pernah mendekati perolehan gabungan suara partai islam pada pemilu 1955. Pada pemilu 1999 yang dimenangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), gabungan suara 19 partai islam hanya 37,44%. Kemudian pada pemilu 2004 yang dimenangkan Golkar, gabungan suara 7 partai islam sebesar 38,34%.

Pada pemilu 2009 yang dimenangkan Partai Demokrat (PD), gabungan suara 9 partai islam hanya 27,35%. Dan pada pemilu 2014 yang dimenangkan PDIP, gabungan suara 5 partai islam sebesar 31,41%.


MASA DEPAN PARTAI-PARTAI ISLAM

Selama era reformasi, terdapat empat partai islam yang mampu bertahan dan eksis dari pemilu ke pemilu, dan meraih suara untuk mendapatkan kursi parlemen di tingkat nasional. Keempat partai tersebut, yaitu PKB, PAN, PPP, dan PKS. Bagaimana masa depan empat partai islam tersebut? Gambarannya sebagai dipaparkan dibawah ini.


Masa Depan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

PKB walau memakai Pancasila sebagai asas partai, namun sangat lekat dengan NU bahkan sejak pendiriannya. Oleh karenanya, PKB seakan menjadi kendaraan politik warga NU, mengingat NU secara organisasi sejak Muktamar di Situbondo 1984 kembali ke Khittahnya, tidak terlibat dalam politik praktis. Citarasa NU dalam PKB sangat lekat tidak hanya pada kemunculannya, namun juga dalam aturan dan perjalanan partai. Dalam anggaran dasar partai, citarasa NU tercermin dalam pandangan ahlussunah wal jamaah (aswaja) dan pandangan kebangsaan. Secara kultural, PKB juga sangat lekat dengan kultur NU terutama dalam hubungannya dengan kyai dan pesantren.

Namun, identifikasi PKB dengan NU tak selalu menguntungkan, bahkan pada titik tertentu bisa merugikan, jika tidak dikelola dengan baik. Penurunan suara PKB sejak pemilu 1999 hingga 2009 memperlihatkan kerugian dari tak terkelola dengan baiknya partai yang mewarisi kultur informal ala NU. PKB meraih 12,61% di pemilu 1999, kemudian menurun menjadi 10,62% di pemilu 2004, lalu menurun tajam di pemilu 2009 dengan suara 4,95%, namun berhasil bangkit pada pemilu 2014 dengan suara 9,04%. Tingkat volatilitas elektoral PKB sebesar 0,9-2,8%.

Kultur NU yang pada titik tertentu lebih menginginkan aturan informal, dan penokohan yang kuat terhadap figur kyai berpengaruh, membuat PKB sulit dilembagakan menjadi partai modern.

Basis massa NU yang minimal sekitar 65 juta jiwa dan terhubung erat dengan figur kyai, menguntungkan PKB sebagai jaminan suara. Figur Gusdur (Abdurrahman Wahid) sebagai ikon kebangsaan dan pluralisme juga menguntungkan bagi perolehan suara PKB di luar basis suara NU. Gusdur juga berhasil didorong untuk menjadi Presiden pada 1999. Namun, figur Gusdur yang sangat menonjol bahkan melebihi aturan partai, membuat perpecahan internal di PKB muncul sebanyak tiga kali.

Pada 2001 PKB pecah menjadi PKB-Matori dengan PKB-Gusdur/Alwi, akibat dilengserkannya Matori Abdul Jalil sebagai Ketua Dewan Tanfidz PKB karena dianggap membangkang. Matori tetap hadir pada Sidang Istimewa MPR dengan agenda melengserkan Gusdur dari kursi presiden, padahal PKB memboikot sidang tersebut. Matori beranggapan dirinya sebagai Wakil Ketua MPR wajib hadir, dan membawa kepentingan PKB yakni menyelamatkan muka PKB.

Konflik ini membuat penurunan suara pada pemilu 2004 walau tidak terlalu banyak. Kubu Matori sendiri mendirikan Partai Kejayaan Demokrasi (PKD). Namun, pasca pemilu, PKB kembali pecah, Alwi Shihab sebagai Ketua Dewan Tanfidz dan Syaifullah Yusuf sebagai Sekjen, dipecat karena rangkap jabatan saat dirinya menerima posisi menteri dalam kabinet SBY-JK. Muncul kepengurusan kembar, PKB-Alwi versus PKB-Gusdur/Muhaimin. Akibat konflik ini, para kyai mulai meninggalkan partai dan memihak Alwi, kemudian mendirikan Partai Kebangkitan Nasional Ummah (PKNU) sekaligus sebagai bentuk kritik pengelolaan partai dalam tubuh PKB.

Konflik kembali berlanjut saat Muhaimin dipecat dari posisi Ketua Dewan Tanfidz karena dianggap tidak loyal kepada Gusdur. Konflik ini melahirkan PKB-Gusdur/Ali Masykur Musa dan PKB-Muhaimin. Perpecahan internal sebanyak tiga kali di tingkat nasional merebak hingga ke daerah, hal ini sangat mempengaruhi mesin partai dan imej partai di mata publik. PKB kubu Muhaimin yang ikut dalam pemilu 2009, merosot suaranya akibat konflik dengan Gusdur, mundurnya para kyai, dan faktor SBY sebagai pendulang suara Partai Demokrat. Namun, pasca pemilu 2009, dan terutama pasca wafatnya Gusdur, konflik dalam tubuh PKB mereda.

PKB mencoba melakukan rekonsiliasi terutama terhadap para kyai dan pesantren. Sehingga meningkatkan suara PKB pada pemilu 2014. Walau ketokohan Gusdur sulit digantikan, dan konflik dengan Gusdur berujung negatif pada pemilu 2009, PKB mencoba mencatut nama Gusdur dengan tagline kampanye “PKB penerus perjuangan Gusdur”. Walau hal ini memunculkan kritik dari keluarga dan pengikut Gusdur karena terdengar ironis bahwa Gusdur terpental dari PKB namun setelah wafatnya coba diakui kembali.

Figur tunggal Gusdur coba digantikan dengan figur lain yang memiliki basis massa di tiap segmen, karena makin cairnya pemilih dan ketiadaan figur tunggal yang kuat. Mahfud MD, mantan Menteri era Gusdur dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi, getol bersafari di pesantren terutama di wilayah Jawa Timur termasuk Madura. Nama lain, seperti Roma Irama, pedangdut yang populer di kalangan islam tradisional, berjasa merebut suara terutama di Jawa Barat dan Banten yang sebelumnya lebih condong ke PPP. Di segmen pemilih pemula, PKB menggandeng Ahmad Dhani dan anaknya, Al-Ghazali. Strategi tersebut, secara jangka pendek terlihat berhasil, walau meninggalkan efek yang negatif, karena PKB dinilai pragmatis dan hanya memanfaatkan nama-nama tersebut untuk kepentingan PKB, tanpa timbal balik yang dijanjikan, yaitu mendukung nama-nama tersebut menjadi calon Presiden.

Secara jangka panjang, PKB tidak bisa hanya mengandalkan strategi serupa. Pasca konflik, PKB harus membenahi internal organisasi, membuat aturan main yang adil, sehingga setiap orang tunduk pada aturan tersebut. Namun, pengaruh tokoh NU masih sangat besar, misalnya dalam penentuan calon anggota legislatif, hanya karena seseorang tersebut keluarga, kerabat, atau rekomendasi dari kyai berpengaruh. Namun mengeliminasi sama sekali peran kyai, tak bisa jadi solusi karena sikap tersebut adalah sikap yang ahistoris dan terbukti mengakibatkan penurunan suara.

PKB harus segera mencari solusi terbaik untuk memodernisasi partai sekaligus membuat peran kyai tetap penting namun tidak kontraproduktif. PKB juga harus memiliki diferensiasi dengan partai lain baik partai islam lain atau partai nasionalis, karena semua partai sudah mulai menyasar pemilih muslim. PKB harus mampu menterjemahkan kekhasan pandangan islam dan kebangsaan ala NU menjadi program kerja yang konkrit dan menarik bagi pemilih, sekaligus menjadi solusi bagi masalah yang ada, terutama permasalahan yang menimpa kalangan pedesaan yang menjadi basis suara PKB. Kader PKB harus mampu tampil merepresentasikan ideologi partainya, tidak lagi hanya mengandalkan dukungan kyai untuk terpilih.


Masa Depan Partai Amanat Nasional (PAN)

PAN lahir dari rahim reformasi melalui tokoh-tokohnya yang berperan dalam peristiwa lengsernya Soeharto. Berbeda dengan PKB yang lahir atas inisiasi NU, sedangkan kelahiran PAN tak terkait dengan Muhammadiyah secara organisasi, walaupun banyak kader Muhammadiyah yang ada dalam stuktur PAN, termasuk ketokohan Amien Rais, mantan Ketua Umum Muhammadiyah. PAN memakai Pancasila sebagai landasan partai, meski tak bisa menafikan pengaruh keagamaan. Selain banyaknya kader Muhammadiyah, PAN juga menyebut bahwa moralitas agama menjadi salah satu hal yang dihargai dalam perjalanan partai, selain hal lain seperti kemajemukan, demokrasi, dan kemanusiaan. PAN lebih terlihat sebagai partai terbuka, sebagai representasi cita-cita reformasi. Dalam perolehan suara, PAN stabil (jika tidak dibilang stagnan) sebagai partai papan tengah, dengan perolehan suara sebesar 7,11% (1999), 6,41% (2004), 6,03% (2009), 7,57% (2014). Tingkat volatilitas elektoral PAN tergolong kecil, yakni 0,2-0,8%.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas (atau stagnasi?) suara PAN. Dari sisi internal, daya jual Amien Rais sebagai tokoh reformasi cukup baik, namun daya jualnya menurun terlihat pada hasil pilpres 2004. Amien dengan gaya yang ceplas-ceplos rupanya tak cocok dengan preferensi pemilih, pun saat Amien melengserkan Gusdur, padahal Amien pula lewat Poros Tengah yang mendukung Gusdur naik. Sikap tersebut seakan memperlihatkan ketiadaan etika politik di mata pemilih.

PAN sebagai partai terbuka yang majemuk, mencoba mengelola partai dengan kepemimpinan kolektif kolegial guna mengakomodasi kecenderungan ideologis yang berbeda dalam tubuh partai. Misalnya, sejumlah faksi dalam tubuh partai dapat diidentifikasi, seperti faksi moderat dalam diri Amien Rais, Amin Azis, M. Siswosoedarmo, dan Abdillah Thoha. Faksi sosial demokrat terutama dari kalangan akademisi dan LSM seperti Faisal Basri, Toety Heraty, Dawam Rahardjo, Syamsurizal Panggabean, Sandra Hamid, dan Taufik Abdullah. Faksi non-muslim yang menyerukan pluralisme, seperti Th. Sumartana dan Sindhunata. Dan faksi islam ideologis, A.M. Fatwa dan kader Muhammadiyah. Faksionalisasi sejauh ini dapat dikelola dengan baik tanpa memunculkan perpecahan. Walaupun terdapat sejumlah pendiri PAN yang keluar karena perbedaan pandangan politik pada 2001.

Pilihan PAN sebagai partai terbuka, selain memberi ruang yang lebih lebar bagi suara dari berbagai kalangan, namun bisa berdampak buruk bagi hubungan PAN dengan basis Muhammadiyah. Misalnya, munculnya Partai Matahari Bangsa (PMB) yang didirikan Angkatan Muda Muhammadiyah yang menilai PAN tak lagi representatif bagi perjuangan politik kader Muhammadiyah. Pun seperti hubungan yang renggang antara Muhammadiyah dengan PAN di masa kepemimpinan Soetrisno Bachir, walau hubungan menjadi sedikit membaik tatkala PAN dipimpin Hatta Rajasa.

Kepemimpinan yang baru, Zulkifli Hasan mencoba merapat kembali pada Muhammadiyah. Segmen PAN yaitu kelas menengah perkotaan, memang secara jumlah cukup besar, namun PAN memiliki banyak kompetitor, terlebih suara kelas menengah relatif independen dan cair dari pengaruh partai manapun, sehingga lebih sulit didekati. PAN mencoba menjaring kalangan muda dalam kepengurusan partai sejak era Hatta Rajasa, selain untuk masa depan partai agar tidak lagi menggantungkan pada figur Amien yang terus merosot, juga untuk menggaet pemilih muda dan kelas menengah.

Namun, mayoritas pemilih berada di pedesaan, yang mana bukan basis suara PAN, sehingga PAN terkesan pragmatis menggaet figur populer seperti artis. Julukan “Partai Artis Nasional” seolah lekat dengan citra PAN saat ini karena banyaknya figur artis dalam partai, dibanding partai lain. Jika PAN ingin naik kelas, tidak hanya menjadi partai papan tengah, PAN harus mampu mentrasfromasikan gagasan dan cita-cita reformasi yang melekat dalam pendirian PAN, ke dalam program dan strategi yang menjual dan memberikan solusi bagi permasalahan bangsa.


Masa Depan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

PPP sebagai partai yang ada sejak orde baru, seolah gamang dalam menghadapi perubahan politik di era reformasi. Tercermin dari sedikitnya usaha yang dilakukan untuk membuat partai ini tetap penting di tengah kelahiran partai-partai islam lainnya. Efeknya, suara PPP jauh tergerus dan terus menurun dari pemilu ke pemilu, yaitu 10,71% (1999), 8,16% (2004), 5,33% (2009), 6,53% (2014). Volatilitas elektoral PPP berkisar 0,6-1,25%.

Memasuki era reformasi, PPP mencoba kembali menjadikan islam sebagai asas partai, setelah pada era orba dipaksa menggunakan asas Pancasila sejak 1983. Lambang PPP kembali bergambar Ka’bah. Namun, selain itu, tidak ada perubahan yang serius dari PPP dalam memasuki babak baru politik reformasi.

PPP masih tradisional dalam pengelolaan partai, begitu mengandalkan organ pembentuknya, padahal, era kini berubah. PPP merupakan fusi dari beberapa partai, yaitu NU, PSII, Parmusi, dan Perti. Dengan NU dan Parmusi sebagai kekuatan utama. Namun, NU mundur dari PPP sejak 1984, dan setelah reformasi melahirkan PKB. Parmusi (kemudian berganti nama menjadi Muslimin Indonesia / MI) yang merupakan perkumpulan banyak organisasi islam yang mencoba melanjutkan perjuangan Masyumi di era orba, juga sama. Muhammadiyah, sebagai kekuatan Parmusi, lebih dekat kepada PAN di era reformasi. PPP seolah hanya merupakan sisa suara NU dan Muhammadiyah serta organisasi lain yang lebih kecil. Kader-kader PPP seakan orang buangan atau yang tak terpakai di PKB atau PAN.

Meski begitu, basis suara tradisional PPP dan struktur kepengurusan warisan era orba, membuat PPP sejauh ini mampu bertahan. Suara tradisional PPP masih kuat khususnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Serta menyebar di luar pulau Jawa, sehingga pada 1999 walau suara PPP lebih rendah dari PKB namun mendapatkan jumlah kursi lebih besar, karena PKB hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.

PPP pada titik tertentu mendapatkan limpahan suara di Jawa Timur akibat adanya konflik PKB. Namun, dengan PKB yang sudah pulih dari konflik, dan bergantian PPP yang berkonflik, dengan target suara yang sama, menjadi rawan bagi PPP. Hal ini terlihat dari merosotnya suara PPP di Jawa Barat dan Banten pada pemilu 2014 yang mungkin beralih ke PKB yang naik di dua wilayah tersebut.

PPP juga belum mampu melahirkan kepemimpinan yang kuat yang dapat menjadi figur yang mempunyai daya jual tinggi. Hasil kaderisasi tokoh NU dan Parmusi di PPP yang memenuhi kepengurusan, masih belum mampu tampil menjadi figur nasional yang mumpuni. Sedangkan secara ideologi, PPP belum mampu menerjemahkan ideologi islam ke dalam program konkrit untuk menyelesaikan masalah bangsa. Sehingga sulit melihat perbedaan PPP dengan partai islam lain baik secara program maupun figur.

Tanpa kepemimpinan dan internalisasi ideologi yang kuat, PPP akhirnya terjerumus permasalahan, seperti kasus korupsi yang menimpa Bachtiar Chamsyah (Ketua Dewan Pertimbangan PPP / Menteri Sosial) Suryadarma Ali (Ketua Umum PPP / Menteri Agama), Rahmat Yasin (Ketua DPW PPP Jawa Barat / Bupati Bogor). PPP juga dilanda perpecahan, melahirkan dualisme kepemimpian, yaitu PPP-Dzan Farid dan PPP-Romahurmuzy. Jika konflik ini tidak kunjung reda, maka bukan tidak mungkin berakibat buruk bagi suara PPP yang rawan berpindah ke partai lain.


Masa Depan Partai Keadilan Pembangunan (PKS)

PKS pada pemilu 1999 masih bernama PK, mendapatkan suara sebesar 1,36%. Kemudian pada pemilu selanjutnya PKS memperoleh suara sebesar 7,34% (2004), 7,89% (2009), dan 6,79% (2014). Volatilitas elektoral PKS merentang dari 0,3-3,0%.

Mendapatkan suara pada pemilu 1999, tentu cukup baik bagi komunitas jamaah tarbiyah yang baru tumbuh sejak tahun 1980an di masa represi rezim Soeharto. Perolehan suara PKS di pemilu pertama era reformasi, dengan hanya bermodalkan 42 ribu kader, tak bisa dibandingkan dengan partai islam lain dengan basis sosial yang sudah mengakar lebih lama, misalnya PKB dengan basis NU yang ada sejak 1926 bahkan komunitas pesantren sudah ada jauh sebelum itu, dengan pengalaman politik NU sejak berada di Masyumi pada 1945. Atau PAN dengan basis Muhammadiyah yang sudah ada sejak 1912, dengan pengalaman politik Muhammadiyah di Masyumi. Atau PPP yang lahir sejak era orba sebagai fusi tiga partai NU, Parmusi (kelanjutan dari Masyumi), PSII (sejak SDI 1905), dan Perti (sejak 1930).

PKS sebagai partai kader, begitu mengandalkan kader yang dididik sebagian besar dari kampus, pesantren, dan perkantoran, mengandalkan kelas menengah perkotaan dan terididik. Daya jual slogan “bersih dan peduli” yang merepresentasikan PKS, mampu mengangkat suara PKS pada pemilu 2004 bahkan memenangi suara di DKI Jakarta.

Namun pasca 2004, suara PKS stagnan. Pemilu 2009 dengan sumber daya finansial dan kader yang meningkat, hasilnya hanya naik sangat sedikit, walaupun masih selamat dari tsunami suara Partai Demokrat yang membuat suara partai lain berkurang. Stagnasi suara PKS juga akibat dari deklarasi PKS sebagai partai terbuka sehingga membuat kader PKS gamang. Blunder dalam iklan kampanye yang menampilkan sosok Soeharto sebagai pahlawan atau guru bangsa, juga mencoreng citra PKS. Usaha PKS meluaskan basis suara dengan menjadi partai terbuka, harus menggadaikan citra PKS sebagai partai islam dan anti-korupsi. Namun, pemilu 2009 sedikit merubah peta basis suara PKS, karena lebih menyebar dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Walau demikian, ini bisa saja hanya pergeseran suara biasa karena pimpinan partai yang sebelumnya mencalonkan diri di sekitar Jabodetabek, kini disebar ke berbagai daerah.

Pemilu 2014 merupakan yang paling berat bagi PKS, karena kasus korupsi yang mendera Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaq (LHI). Namun, PKS sebagai partai kader mampu bertahan, walau mengalami sedikit penurunan suara (namun mengalami penurunan sangat besar dalam jumlah kursi di DPR). Penurunan suara PKS, seakan berbanding terbalik dengan kenaikan suara partai islam lainnya. Basis suara PKS yang berasal dari kelas menengah terdidik, memang lebih kritis dan rasional dan relatif lebih cair dalam hubungan dengan partai, sehingga jika partai tak lagi diidentifikasi sesuai dengan apa yang diharapkan, maka pemilih kelas menengah akan dengan mudah berpindah pada partai lain yang dinilai lebih sesuai atau bahkan tidak memilih (golongan putih / golput).

PKS sebagai partai kader tak perlu diragukan dalam mendidik kadernya agar sesuai dengan ideologi partai, yakni islam. PKS juga telah merumuskan platform politik yang bersumber dari pemaknaan terhadap ideologi. Namun, sejauh ini PKS masih kesulitan mentransformasikan gagasannya ke dalam sesuatu yang lebih opersional berupa program yang khas dan dapat menjawab permasalahan yang ada. Program yang ditawarkan PKS tak berbeda jauh secara konseptual dengan partai lain, pun kader PKS yang telah menjadi pejabat publik tak mampu menerjemahkan platform tersebut dalam programnya.

Soliditas dalam tubuh PKS terbilang baik, dan berperan besar membuat partai bisa bertahan dari tsunami suara Partai Demokrat pada pemilu 2009 dan dari efek citra buruk kasus korupsi LHI pada pemilu 2014. Namun, soliditas internal belum bisa dijadikan modal bagi perkembangan partai.

Soliditas internal, terjadi karena penghormatan terhadap aturan main, pemahaman ideologi, dan adanya mekanisme musyawarah. Namun muncul juga penghambat seperti pertumbuhan kader (baik kuantitas maupun kualitas) yang tak sebanding dengan kebutuhan mengisi jabatan publik. Sehingga sirkulasi elite partai berputar itu-itu saja, terlebih kuatnya tokoh-tokoh tertentu dalam partai seperti Hilmi Aminudin, Ketua Majelis Syuro, dan Anis Matta, Sekjen Partai selama beberapa periode.

Kuatnya beberapa tokoh, membuat sirkulasi elite menjadi tidak berjalan baik karena terjadi pengkutuban akibat kedekatan personal atau pemikiran. Pengkutuban ini melahirkan faksi-faksi dalam tubuh PKS yang sejauh ini memang masih bisa dikelola dengan baik, karena faksionalisasi relatif cair dan tidak sampai menimbulkan perpecahan internal. Salah satu penyebab faksionalisasi dalam tubuh PKS adalah persepsi tentang sumber daya finansial dalam menggerakkan roda partai.

PKS sebagai partai kader tak bisa selalu hanya mengandalkan iuran dari kader, namun juga harus memiliki sumber finansial lain yang memungkinkan secara hukum. Apalagi mayoritas kader secara finansial tak seberapa walau berada dalam kelas ekonomi menengah, mengingat rata-rata hidup di perkotaan dengan biaya hidup relatif tinggi. Sedangkan kompetisi dengan partai lain menyebabkan kebutuhan akan sumber daya finansial kian besar. Hal ini mempengaruhi kinerja elektoral PKS dimana ada tidaknya pendanaan dalam kampanye menjadi pertimbangan, yang pada titik tertentu memunculkan kritik dari internal partai atau publik.

Kuatnya pengaruh tokoh tertentu dalam internal partai, tak sebanding dengan daya jual ketokohannya di mata publik. Namun, PKS menyadari hal ini, sehingga di kepengurusan baru, nama seperti Hilmi Aminudin dan Anis matta tergeser dari posisi penting.

Masih menjadi pekerjaan rumah bagi PKS untuk menerjemahkan ideologinya dalam bentuk program operasional, dan mampu dibuktikan oleh pejabat publik dari PKS. Dan juga melahirkan tokoh yang mampu menjadi magnet elektoral, tanpa harus menanggalkan ideologi maupun ciri khas sebagai partai kader.

*catatan:
Mengenai soliditas PKS, bisa dibaca dalam resensi buku: Perpecahan dan Soliditas Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi (Firman Noor)


Faktor Kegagalan Elektoral Partai Politik Islam


Faktor Internal

Faktor organisasi dan kelembagaan partai menjadi hal penting dalam menciptakan soliditas dalam partai sehingga bisa berfokus meraup suara pemilih. Namun, sejak era sebelum kemerdekaan, partai islam sudah diwarnai perpecahan, diantaranya terjadi pada PSII. Bahkan saat PSII masih menjadi SI sudah pecah antara SI-Putih yang menjadi PSII dan SI-Merah yang menjadi PKI. Perpecahan berlanjut dalam tubuh Masyumi di era orde lama, dan PPP di era orde baru. Bahkan menghinggapi partai islam di era reformasi. Perpecahan partai islam terjadi karena adanya polarisasi politik, seperti yang terjadi pada perpecahan SI-Putih dan SI-Merah, pun pada Masyumi dan PPP. Selian itu, perpecahan juga dikarenakan faktor kepemimpinan, diantaranya perpecahan dalam satu partai dengan basis ideologi (atau sub-ideologi) yang ssma, seperti perpecahan dalam PKB, atau PPP, atau kelahiran partai sempalan atau partai lain dengan akar organisasi atau basis ideologi (atau sub ideologi) yang sama (seperti sudah diceritakan di bagian sejarah partai islam di bagian atas tulisan ini). Faktor kepemimpinan dan ketokohan partai islam juga masih kalah dalam menarik suara dari pemilih, sehingga belum menjadi magnet elektoral dan belum diindentifikasi pemilih sebagai pemimpin bangsa yang layak memimpin negeri ini.

Faktor lainnya adalah adanya disorientasi ideologis dan identitas partai islam. Partai islam seakan tidak percaya diri dengan identitasnya, sehingga ikut-ikutan mengubah wujud menjadi partai kebangsaan, partai nasionalis, partai terbuka, dan sebagainya.

Di sisi lain, partai islam juga gagap dalam menerjemahkan ideologi (islam) untuk menjawab persoalan riil yang dialami masyarakat dan bangsa ini dalam bentuk program yang jelas, komprehensif, dan implementatif. Sehingga publik tak mampu membedakan antara partai islam yang satu dengan yang lain, bahkan antara partai islam dengan partai nasionalis. Belum ada upaya serius dari partai islam untuk duduk bersama, berdialog, dan merumuskan detail dari tiap pemikiran guna memberi solusi terbaik bagi bangsa ini. Partai islam pernah bersatu dalam payung Masyumi sebagai wadah tunggal aspirasi politik umat, walau berakhir karena adanya perpecahan. Partai islam pernah bersatu dalam Majelis Konstiante untuk menjadikan islam sebagai dasar negara, walau berakhir buntu hingga dibubarkan Soekarno. Pernah jua bersatu dalam PPP, hingga pernah memunculkan kampanye “haram memilih selain PPP”, walau berakhir perpecahan jua. Pernah pula bersatu dalam Poros Tengah menjadikan Gusdur sebagai presiden, walau ujungnya terlibat pula dalam pelengseran Gusdur. Namun setelah itu, partai islam seperti tak ingin bersama lagi.

Faktor lain yang berpengaruh adalah kinerja elektoral. Partai islam seakan masih nyaman dengan basis suara tradisionalnya yang besar sehingga tak serius dalam memikirkan strategi elektoral yang tepat. Terlebih menghadapi partai nasionalis yang secara finansial lebih mumpuni. Partai islam akhirnya terjebak pada pragmatisme dengan merekrut tokoh populer tanpa ikatan ideologi dengan partai atau tanpa melalui sistem kaderisasi yang jelas. Namun, partai islam kian berbenah, misalnya PAN mulai merekrut tokoh muda sebagai kader masa depan. Dan PKS masih konsisten sebagai partai kader.


Faktor Eksternal

Faktor eksternal partai yang mempengaruhi elektoral partai islam adalah, perkembangan sosio-kultural masyarakat. Indonesia walau mayoritas muslim, namun menurut Geertz terdiri dari ● santri dan ● abangan.

● Santri tradisionalis sejak dulu mendukung NU, kini mendukung PKB dan PPP. ● Santri modernis mendukung Masyumi, diantara itu mendukung PSII, kini mendukung PAN dan PKS.

● Sedangkan abangan, lebih condong mendukung partai nasionalis bahkan komunis seperti PNI, PSI, hingga PKI, kini mendukung Golkar, Demokrat, Gerindra, Hanura, hingga PDIP.

Era orde baru dengan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan pendidikan yang lebih luas bagi masyarakat, dan berlanjut di era reformasi dan di sisi lain kebijakan orba menjinakkan aktivitas politik islam, memunculkan pesatnya muslim kelas menengah.

Kelas menengah muslim ini, relatif lebih independen dan cair dalam hubungannya dengan partai politik. Selain itu, kebuntuan gagasan politik islam era orba dan gagapnya politik islam era reformasi, memunculkan gagasan islam kultural sebagai alternatif solusi. Tagline “Islam yes, partai islam no” seakan menjadi barometer bagi sikap kelas menengah muslim.

Namun, makin meningkatnya kelas menengah muslim, dan juga keterbukaan politik era reformasi membuat dakwah islam lebih leluasa, membuat kultur islam merebak, seperti penggunaan jilbab, dakwah di televisi dan perkantoran, dan penyebaran produk-produk keislaman seperti buku tentang islam, makanan halal, pakaian muslim, bank syariah, dan lainnya.

Hal ini memaksa partai nasionalis lebih akomodatif terhadap aspirasi umat islam, jika tidak ingin kehilangan suara muslim. Maka tak heran partai islam ikut mendukung atau merekrut tokoh islam, atau menggunakan simbol islam misalnya dengan menggunakan peci, jilbab/kerudung, atau menuliskan gelar haji/hajjah.

Partai nasionalis seperti Golkar misalnya sudah menggunakan simbol islam seperti Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) yang sudah terlibat dalam pemenangan Golkar sejak pemilu 1971. Sayap islam Golkar lainnya seperti Pengajian Al-Hidayah, Satuan Karya Ulama, dan Majelis Dakwah Islamiyah. Masuknya kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan menguatnya Habibie dalam Golkar hingga ia terpilih sebagai wakil Presiden, juga mempengaruhi sikap akomodasi pada aspirasi umat islam.

Pasca reformasi, keluarnya kelompok sekuler Golkar di bawah Edi Sudrajat yang membentuk Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP) membuat kelompok HMI semakin kuat di bawah Akbar Tandjung. Akomodasi Golkar terhadap aspirasi umat islam, misalnya tercermin dalam dukungan terhadap RUU Pornografi. Partai Demokrat menyebut dirinya nasionalis-religius. Masuknya Anas Urbaningrum juga membawa banyak gerbong kader HMI ke dalam Partai Demokrat. Demokrat juga memiliki sayap organisasi muslim, yaitu Aliansi Nasionalis Religius, Badan Koordinasi Silaturahmi Ulama dan Umaroh, dan Majelis Dzikir Nurussalam SBY. PDIP memiliki sayap organisasi muslim, yaitu Baitul Muslimin. Gerindra memiliki Gerakan Muslim Indonesia Raya.

Faktor eksternal lain yang berpengaruh tentunya struktur politik yang ada, seperti sudah diceritakan dalam sejarah partai islam (bagian atas tulisan ini). Bahwa perolehan suara partai islam bergantung pada sistem politik yang ada. Pada era demokrasi multipartai seperti era pasca kemerdekaan dan era reformasi, partai islam dapat tumbuh dengan leluasa. Sedangkan pada era rezim otoriter di orde lama dan orde baru, partai islam begitu dibatasi.

Volatilitas elektoral gabungan suara partai islam selama pemilu di era reformasi (1999-2014) berkisar sebesar 5-7%, jauh lebih kecil dibanding volatilitas nasional sebesar 25-27%. Artinya, suara partai islam cenderung stabil, ini mengindikasikan, walau partai islam belum pernah memenangkan pemilu, namun memiliki prospek yang menjanjikan ke depan.

Islam sebagai ideologi (dan identitas) tak bisa dipungkiri merupakan satu faktor penting dalam tradisi politik di Indonesia. Itu kenapa keberadaan partai islam, tak hanya menjadi bukti pluralitas politik di Indonesia, namun juga sebuah keharusan untuk menjamin pluralitas politik tersebut. Tanpa partai islam, aspirasi suara pemilih muslim yang cenderung ideologis, tak mendapatkan saluran yang cukup. Tanpa ada saluran politik yang cukup, aspirasi bisa bermuara pada tindakan yang destruktif berupa tindakan kekerasan atau bahkan terorisme. Hal itu tentu membahayakan demokrasi dan politik suatu negara.

Partai islam hendaknya tidak sekedar berfikir untuk sekedar terlibat dalam demokrasi atau ingin berkuasa, namun harus serius membangun partai modern yang demokratis, akuntabel, transparan, dan berbasis meritokrasi, sekaligus menjaga etika, dan adab atau moral agama dalam pengelolaan partai.

Partai islam juga diharapkan mampu memberikan solusi konkrit bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat dan bangsa, sekaligus menjadi partner kritis dan penyeimbang bagi partai nasionalis atau partai sekuler. Dengan cara ini, maka keberadaan partai islam dapat memberi nilai tambah pada demokrasi di negeri ini. Sehingga bisa menjadi contoh bagi kehidupan demokrasi global terutama di negeri mayoritas muslim.


Penutup

D
emikianlah gambaran pemaparan tentang Partai Islam dan ummat yang 85% ini yang “terombang ambing” (dan diombang-ambingkan), karena yang satu kadarnya ‘santri’ dan lainnya ‘abangan’.

Kemudian yang santri ini pun terbagi pula antara ‘tradisional’ dan ‘modern’. Hal inilah yang tergambarkan oleh buku ini yang disusun berdasarkan penelitian oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dalam pendekatan analisa partai-partai politik islam.

Tidaklah salah jika disebutkan oleh pakar ilmuan kajian islam yang menganalisis bahwa corak seseorang, kelompok orang, komunitas di tentukan worldviews-nya. Begitu beragam latar belakang pendidikan warga muslim tercermin disini. Apa hikmahnya? Bagaimana menyikapinya dipandang dari ‘Islam Sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin’ yang tetap berpegang kepada “akidah islamiyyah”! Berpulang kepada Ulama, Umaro, Dai dan sistim pendidikan tarbiyah Islamiyyah. Terutama dalam menghadapi abad globalisasi post-modern ini dalam bentuk arus informasi dari luar Islam dalam segala bentuk - terutama pengaruh sosmed bagi generasi muda Islam. Allāhu ‘alam. Billahit Taifiq wal Hidayah. □ AFM


Keterangan Buku:
Judul: Masa Depan Partai Islam di Indonesia: Studi tentang Volatilitas Elektoral dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penulis: Moch. Nurhasim, Lili Romli, Sri Nuryanti, Luky Sandra Amalia, Ridho Imawan Hanafi, Devi Darmawan, dan Syamsuddin Haris
Penyunting: Moch. Nurhasim
Penerbitan: Pustaka Pelajar, 2016
Halaman: xxv+ 314 halaman □□

Sumber:
https://pijarkecillibrary.wordpress.com/2017/05/25/masa-depan-partai-politik-islam-di-indonesia-sebuah-resensi-buku/□□□