Wednesday, February 12, 2020

Riwayat Tan Malaka




KATA PENGANTAR

Riwayat Tan Malaka ini menggugah untuk dituliskan sajikan di blog ini. Lantaran ayah pernah menceritakan Tan Malaka kepada saya dan 3 saudara lainnya termasuk ibu yang biasa dilakukan ketika waktu makan siang tahun 1960-an. Disamping banyak tema-tema cerita di hari-hari yang lainnya.

Ceritanya memakan waktu pendek, tapi orang tua yang saya panggil Buya ini menceritakan sangat menarik, sistematis, sesuai dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Saya sadari ketika usia dewasa, inilah rupanya yang dimaksud bagian dari pendidikan langsung orang tua kepada anak-anaknya - disamping Madrasah 6 hari (3 jam perhari) sepekan selama lima tahun. Metode ini saya pakai untuk anak-anak saya yang alhamdulillāh semua berhasil tamat college dan pendidikan agamanya dari Madrasah IMAAM.

Begini ceritanya, ketika itu Tahun 40-an tiba-tiba datanglah Tan Malaka ke rumah kami di kota Padang. Buya kenal dengan beliau, karena beliau juga sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan di samping salah seorang tokoh Muhammadiyah Sumatra Barat.

Apa pertanyaan Tan Malaka kepada beliau, “Angku Marzoeki, kenapa agama melarang ‘berhubungan’ dengan perempuan dilarang, padahal suka sama suka (tanpa melalui proses nikah).” Lantas jawaban beliau singkat tapi jitu (Tan Malaka ini orangnya cerdas): “Anda berfikiran seperti itu bagaimana agamamu (mengajarkannya). Seandainya pemikiran tersebut dijadikan sistim, bagaimana kesudahan peradaban manusia selanjutnya. Anaknya tidak tahu siapa bapaknya atau siapa ibunya. Kemudian, bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya, pendidikannya, hubungan kejiwaan anak dan orang tua (karena diluar nikah). ‘Kedua orang tua’ berlepas hukum sebagai peran orang tua terhadap anak sebagaimana diatur oleh Islam.” Mendengarkan itu, berkatalah Tan Malaka, “Cukup Angku! Paham saya sekarang!” Kemudian mengucapkan salam dan meninggalkan rumah kami.

Dalam hal ini menjadi pelajaran bagi saya, bahwa tanpa agama bagaimana peradaban dunia-akhirat yang baik akan muncul? Kedua, Tan Malaka beragama Islam sebagaimana orang Minang, walaupun partai politiknya yang dianutnya bukan Islam, seperti Murba, Sosialis atau Komunis.

Boleh dibilang saya beruntung membaca buku-buku Islam dan buku-buku “isme-isme” dan “agama-agama” termasuk “filsafat umum dan Islam” dan “sejarah dunia dan sejarah Islam” serta astronomi - setelah mengetaui itu semua - tetap berpandangan “tauhid Islam” dalam hablum minallāh dan hablum minanās.

Karena usia “teenegers” sampai dewasa saya sudah membaca buku-buku, sejarah dan peradaban Islam termasuk buku-buku orientalis tahun 50-an dan 60-an yang berpandangan objektif tentang Islam, serta 20-an buku-buku Islam yang di susun orang tua.  Penerbit dan toko buku Bulan Bintang serta Gunung Agung-lah favorit sumber buku - waktu itu perpustakaan boleh dibilang langka, kecuali perpustakaan LIA (Lembaga Indonesia Amerika) yang juga menjadi anggotanya.

Selanjutnya, mari ikuti bahasan “Riwayat Tan Malaka” sebagai berikut dibawah ini.



RIWAYAT TAN MALAKA
Oleh: A. Faisal Marzuki


“Siapakah dia, tergantung kepada siapa dan lingkungan seperti apa dia berada, serta buku-buku apa saja yang dibacanya - karena faktor-faktor itulah yang membentuk watak dan alam pikirannya” [A. F. Marzuki]


T
an Malaka (2 Juni 1897 - 21 Februari 1949) adalah seorang guru, filsuf Indonesia, pendiri Persatuan Perjuangan dan Partai Murba, gerilyawan independen, pejuang Indonesia, dan pahlawan nasional Indonesia. Majalah Tempo menganggapnya sebagai Bapak Republik Indonesia.


Biografi

Nama lengkap Tan Malaka adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Nama aslinya adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-aristokrat yang berasal dari garis keibuannya. Ia dilahirkan di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Limapuluh Koto, Sumatra Barat, saat ini, meskipun tanggal kelahirannya tidak pasti. Orang tuanya adalah, ayah, H. M. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan ibu, Rangkayo Sinah, seorang putri dari orang yang dihormati di desa.

Sebagai seorang anak, Tan Malaka belajar ilmu agama dan melatih pencak silat, sebagaimana kebiasaan pemuda Minang pada saat itu. Pada tahun 1908 Tan Malaka bersekolah di Kweekschool - sekolah guru milik Hindia Belanda, di Fort de Kock (Bukittinggi). Menurut gurunya, G. H. Horensma, meskipun Tan Malaka kadang-kadang tidak patuh, ia adalah murid yang sangat baik. Di sekolah ini, Tan Malaka menikmati pelajaran bahasa Belanda, jadi Horensma menyarankan agar ia menjadi guru Belanda. Dia juga pemain sepak bola yang terampil. Dia lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, dan setelah itu ditawari gelar Datuk dan mau dijodohkan. Namun, ia hanya menerima sebagai Datuk, gelar tersebut sah setelah upacara tradisional adat berlangsung pada tahun 1913.


Pendidikan di Belanda

Meskipun Tan Malaka menjadi Datuk, ia meninggalkan desanya pada Oktober 1913 untuk belajar di Rijkskweekschool, sebuah sekolah pendidikan guru pemerintah Belanda yang didanai oleh paman dari desanya. Sesampainya di Belanda, Tan Malaka awalnya mengalami kejutan budaya lingkungan barunya yang berbeda. Dia juga, tidak menghiraukan iklim Eropa Utara yang pakaiannya tidak memenuhi syarat hidup di negara 4 musim, berbeda dengan iklim tropis dari mana ia dilahirkan dan dibesaran. Akhirnya, terinfeksi oleh radang selaput dada pada awal 1914, yang tidak sembuh sepenuhnya sampai pada tahun 1915.

Selama di Eropa, minat pengetahuannya tentang revolusi sebagai sarana transformasi - perubahan dalam memajukan - masyarakat mulai meningkat. Sumber inspirasi pertama adalah De Fransche Revolutie” (Revolusi Prancis), Sebuah buku terjemahan dari bahasa Jerman ke bahasa Belanda yang dimengertinya dari buku yang dikarang oleh sejarawan Jerman, penulis, jurnalis dan politisi sosial demokrat bernama Wilhelm Blos tahun 1889. Buku tersebut membahas Revolusi Perancis dan peristiwa bersejarah di Perancis dari 1789 hingga 1804. Buku ini diberikan Horensma kepada Tan Malaka.

Setelah Revolusi Rusia Oktober 1917, Tan Malaka menjadi semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme serta komunisme yang bertentangan dengan sosialisme reformis. Dia sedang membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.

Friedrich Nietzsche juga merupakan salah satu model peran politik awalnya, dan mungkin telah memberinya gagasan bahwa satu orang dapat melakukan tindakan besar jika dia berani mengambil peran sebagai pahlawan. Nietzsche berpendapat bahwa yang membuat seorang pahlawan (setidaknya dalam tragedi Yunani) adalah interaksi antara sifat Apollonian dan Dionysian dalam diri manusia - antara perencanaan logis yang jarak terkontrol, terstruktur (Apollonian) dan euforia (senang sangat) yang liar, adanya pengalaman (Dionysian).

Selama masa itu, sekitar 1917 - 1920, Tan Malaka sangat tidak menyukai budaya Belanda, malah kagum dengan masyarakat Jerman dan Amerika. Dia kemudian mendaftar untuk menjadi tentara Jerman, namun, ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing. Di sana, Malaka bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), cikal bakal Partai Komunis Indonesia atau PKI).

Tan Malaka juga tertarik pada Sociaal-Democratische Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Guru Sosial Demokrat). Pada bulan November 1919, Tab Malaka lulus dan menerima diploma untuk asisten guru. Menurut ayahnya, pada waktu itu mereka berkomunikasi melalui sarana mistik yang disebut tariqat.


Kembali ke Hindia Belanda

Setelah lulus, Tan Malaka kembali ke desanya. Dia menerima tawaran oleh Dr. C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak pekerja-bawah perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Timur. Tan Malaka pergi ke sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak Melayu pada Januari 1920. Selain mengajar, ia juga melakukan propaganda subversif untuk para pekerja bawahan ini yang dikenal sebagai Deli Spoor.

Selama periode ini ia belajar tentang terjadinya kemunduran masyarakat adat. Dia juga membuat kontak dengan ISDV dan menulis beberapa karya tulisannya untuk wartawan surat kabar. Salah satu karya awalnya adalah "Land of Paupers" (Tanah Orang Miskin) yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam kekayaan antara kapitalis dan pekerja’. Tulisan tersebut dimasukkan dalam edisi Het Vrije Woord pada bulan Maret 1920. Tan Malaka juga menulis tentang penderitaan para pekerja kasar di koran Sumatera Post.

Dalam pemilihan Volksraad (Dewan atau Majelis Rakyat - DPR) tahun 1920 ia adalah kandidat partai biasa di sebut ‘sayap kiri’, karena memperjuangkan nasib rakyat jelata. Kemudian dia memutuskan untuk mengundurkan diri pada 23 Februari 1921.


Bergabung sebentar dengan Partai Komunis Indonesia

Tan Malaka memilih pulau Jawa sebagai titik awal perjuangannya, mengingat ada banyak tokoh yang memiliki pandangan yang sama dengannya. Ia tiba di Batavia ketika guru lamanya, Horensma, menawarinya pekerjaan sebagai guru, namun Tan Malaka menolaknya. Malaka mengatakan bahwa dia ingin mendirikan sekolah, oleh Horensma  alasan tersebut diterima bahkan mendukungnya.

Tan Malaka tiba di Yogyakarta pada awal Maret 1921 dan tinggal di sebuah rumah milik Sutopo, mantan pemimpin Budi Utomo. Di sana ia menulis proposal tentang sekolah tata bahasa. Dia berpartisipasi dalam kongres ke-5 Sarekat Islam dan bertemu H.O.S. Tjokroaminoto, Agus Salim, Darsono, dan Semaun. Kongres membahas topik keanggotaan ganda. Agus Salim dan Abdul Muis melarang keanggotaan ganda, sementara Semaun dan Darsono adalah anggota PKI. Tan Malaka menawarkan solusi yang mengecualikan PKI, karena kedua organisasi memiliki visi yang sama, namun larangan itu diterapkan pada akhirnya. Akhirnya Sarekat Islam terpecah membentuk Sarekat Islam Putih (SI Putih), dipimpin oleh Tjokroaminoto, dan Sarekat Islam Merah (SI Merah), dipimpin oleh Semaun dan berpusat di Semarang.

Setelah kongres, Malaka diminta oleh Semaun untuk pergi ke Semarang untuk bergabung dengan PKI. Dia pergi ke Semarang dan kemudian menerimanya. Setiba di Semarang, Tan Malaka sakit. Sebulan kemudian, ia kembali sehat dan berpartisipasi dalam pertemuan dengan sesama anggota Sarekat Islam (SI) Semarang. Pertemuan itu menyimpulkan bahwa saingan ke sekolah pemerintah (Hindia Belanda) diperlukan. Sekolah, bernama Sekolah Sarekat Islam yang kemudian lebih dikenal sebagai Sekolah Tan Malaka. Sekolah Sarekat Islam menyebar ke Bandung dan Ternate, dibuka untuk pendaftaran pada 21 Juni 1921, sehari setelah pertemuan.

Sebagai buku panduan untuk sekolah-sekolah, Malaka menulis Sekolah Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs (Pendidikan). Pada Juni 1921 Tan Malaka menjadi Ketua Serikat Pegawai Pertjitakan (Asosiasi Pekerja Percetakan) dan menjabat sebagai Wakil Ketua dan Bendahara Serikat Pegawai Pelikan Hindia (SPPH atau Asosiasi Pekerja Minyak Hindia). Antara Mei dan Agustus buku pertamanya, Sovjet (Soviet) atau Parlemen? Kemudian serial tulisan tersebut ada dalam jurnal PKI Soeara Ra'jat”. Karya yulis Tan Malaka lainnya, termasuk artikel, diterbitkan dalam jurnal dan koran PKI Sinar Hindia. Pada bulan Juni Tan Malaka adalah salah satu pemimpin Revolutionaire Vakcentrale (Pusat Perdagangan Revolusioner),  dan pada bulan Agustus ia terpilih sebagai dewan editor jurnal SPPH Soeara Tambang.

Tan Malaka kemudian menggantikan Semaun - yang meninggalkan Hindia Belanda (nama Indonesia zaman Belanda) pada bulan Oktober, sebagai ketua PKI setelah kongres pada 24-25 Desember 1921 di Semarang. Sementara Semaun lebih berhati-hati, Malaka lebih radikal. Tan Malaka juga mempertahankan hubungan yang baik dengan Sarekat Islam.

Dengan sepak terjang Tan Malaka tersebut Pemerintah Hindia Belanda merasa terancam dan menangkapnya pada 13 Februari 1922 di Bandung ketika ia mengunjungi sekolah. Dia pertama kali diasingkan ke Kupang namun, ia ingin diasingkan ke Belanda. Dia meninggalkan Hindia Belanda pada bulan Maret dan tiba di Belanda pada 1 Mei.


Selama Pengasingan

Tan Malaka bergabung dengan Partai Komunis Belanda (CPN) dan diangkat sebagai kandidat ketiga partai untuk Tweede Kamer pada pemilihan umum tahun 1922 untuk Perkebunan Jenderal Belanda. Ia adalah orang pertama dari Hindia Belanda (Indonesia sekarang) yang pernah mencalonkan diri untuk jabatan di Belanda. Ia sendiri sebenarnya berharap tidak terpilih, karena di bawah sistem perwakilan proporsional yang digunakan, dimana posisi ketiganya dalam tiket’ kepengurusan tersebut membuat pemilihannya sangat tidak mungkin. Tujuan yang sebenarnya dalam pengasingannya itu adalah untuk mendapatkan kesempatan berbicara tentang bagaimana tindakan Belanda di Hindia Belanda (Indonesia), dan berusaha untuk membujuk CPN untuk mendukung kemerdekaan tanah jajahan Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Meskipun ia tidak memenangkan kursi, ia mendapat dukungan kuat yang tak terduga.

Sebelum penghitungan suara selesai, ia pergi ke Jerman. Di Berlin ia bertemu Darsono, seorang komunis Indonesia yang terkait dengan Biro Komintern Eropa Barat, dan berusaha bertemu dengan M. N. Roy. Tan Malaka kemudian melanjutkan ke Moskwa, dan tiba pada Oktober 1922 untuk berpartisipasi dalam Komite Eksekutif Komintern. Pada Kongres Dunia Keempat di Moskow, 1922, Tan Malaka mengusulkan agar komunisme dan Pan-Islamisme dapat berkolaborasi, namun usulannya ditolak. Pada Januari 1923 Tan Malaka dan Semaun diangkat sebagai koresponden Die Rote Gewerkschafts-Internationale. Selama paruh pertama tahun itu, ia juga menulis untuk jurnal-jurnal gerakan buruh Indonesia dan Belanda. Ia juga menjadi agen Biro Timur Komintern ketika ia melaporkan pada sidang pleno ECCI pada Juni 1923.

Tan Malaka pergi ke Kanton, tiba pada Desember 1923, dan mengedit jurnal bahasa Inggris The Dawn untuk organisasi Pekerja Transportasi Pasifik.

Pada Agustus 1924, Tan Malaka meminta pemerintah Hindia Belanda untuk mengizinkannya pulang karena sakit. Pemerintah menerima ini, tetapi dengan ketentuan yang memberatkan yaitu Tan Malaka tidak kembali ke rumah.

Pada bulan Desember 1924, PKI mulai runtuh, karena ditekan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai tanggapan, Malaka menulis dengan tema “Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), yang diterbitkan di Kanton pada bulan April 1925. Tulisan ini menjelaskan situasi dunia, dimana negeri Belanda yang menderita krisis ekonomi, dengan itu Hindia Belanda (negara jajahan Belanda) memiliki peluang untuk melakukan revolusi oleh Gerakan Nasionalis dan PKI, sampai prediksinya antara Amerika Serikat dan Jepang siapa yang "menang adu pedang" - siapa di antara mereka yang lebih kuat di Pasifik."

Pada Juli 1925 Tan Malaka pindah ke Manila, Filipina, karena lingkungannya mirip dengan Indonesia. Malaka tiba di Manila pada 20 Juli. Di sana ia menjadi koresponden surat kabar nasionalis El Debate, editornya adalah Francisco Varona. Publikasi karya-karya Tan Malaka, seperti edisi kedua Naar de Republiek Indonesia (Desember 1925) dan Semangat Moeda (Young Spirit; 1926) boleh jadi didukung oleh Francisco Varona. Di sana Tan Malaka juga bertemu dengan tokoh-tokoh pejuang Filipina a.l. Mariano de los Santos, José Abad Santos, dan Crisanto Evangelista.

Di Indonesia, PKI memutuskan untuk memberontak dalam waktu enam bulan setelah pertemuannya, yang diadakan sekitar hari Natal 1925. Pemerintah Hindia Belanda mengetahui hal ini dan mengasingkan beberapa pemimpin partai. Pada bulan Februari 1926, Alimin pergi ke Manila untuk meminta persetujuan adanya revolusi dari Tan Malaka. Malaka akhirnya menolak strategi ini dan menyatakan bahwa kondisi partai masih terlalu lemah dan belum memiliki kekuatan untuk melakukan revolusi. Dia menggambarkan dalam otobiografinya rasa frustrasi dengan ketidakmampuannya mendapatkan informasi tentang berbagai peristiwa di Indonesia dari tempatnya di Filipina, dan kurangnya pengaruhnya terhadap kepemimpinan PKI. Sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara, Tan Malaka berpendapat bahwa ia memiliki wewenang untuk menolak rencana PKI, sebuah pernyataan yang dalam retrospeksi, dibantah oleh mantan anggota PKI tertentu.

Selanjutnya Tan Malaka mengirim Alimin ke Singapura untuk menyampaikan pandangannya dan memerintahkannya untuk mengatur pertemuan dadakan antara para pemimpin. Melihat tidak ada kemajuan, Malaka pergi ke Singapura untuk bertemu Alimin dan mengetahui bahwa Alimin dan Muso telah melakukan perjalanan ke Moskow untuk mencari bantuan untuk melakukan pemberontakan. Di Singapura, Malaka bertemu Subakat, pemimpin PKI lain, yang berbagi pandangannya. Mereka memutuskan untuk menggagalkan rencana Muso dan Alimin. Selama periode ini Tan Malaka menulis Massa Actie (Aksi Massal), yang berisi pandangannya tentang Revolusi Indonesia dan gerakan nasionalis. Dalam buku ini Malaka mengusulkan Aslia” - federasi sosial antara negara-negara Asia Tenggara dan Australia utara. Buku ini dimaksudkan untuk mendukung upayanya untuk membalikkan arah PKI dan mendapatkan dukungan kader untuk berpihak kepadanya.


Perdjuangan, Kehidupan, dan Kematiannya.

Pada Desember 1926 Malaka pergi ke Bangkok, tempat ia mempelajari kekalahan PKI. Tan Malaka, bersama dengan Djamaludin Tamin dan Subakat, mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) pada awal Juni 1927, menjauhkan diri dari Komintern, dan dalam manifesto partai baru, mengkritik PKI. Meskipun PARI memiliki keanggotaan kecil di dalam negeri, PARI tidak pernah tumbuh menjadi organisasi besar; namun, dengan PKI yang bergerak di bawah tanah, itu adalah satu-satunya organisasi di akhir 1920-an yang secara terbuka menyerukan kemerdekaan segera bagi Indonesia. Beberapa kader partai adalah Adam Malik, Chaerul Saleh, Mohammad Yamin, dan Iwa Kusumantri. Tan Malaka kembali ke Filipina pada Agustus 1927.

Belanda ingin mengusir Tan Malaka ke kamp konsentrasi Digul. Kemudian,  Tan Malaka ditangkap pada 12 Agustus 1927 dengan tuduhan memasuki wilayah Filipina secara ilegal. San Jose Abad membantunya di pengadilan, namun Tan Malaka menerima vonis bahwa ia akan dideportasi ke Amoy (Xiamen), Cina. Polisi Pemukiman Internasional Kulangsu (Gulangyu), yang diberitahu tentang perjalanan Tan Malaka ke Amoy, menunggunya di pelabuhan dengan maksud menangkapnya untuk diekstradisi ke Hindia Belanda. Tetapi ia berhasil melarikan diri, karena kapten dan kru kapal ber simpati dan melindunginya. Selanjutnya mempercayakan keselamatannya ke inspektur kapal. Inspektur kapal membawa Tan Malaka ke sebuah wisma tamu dari tempat ia pergi ke desa Sionching dengan kenalan-kenalan baru. Tan Malaka kemudian melakukan perjalanan ke Shanghai pada akhir 1929. Poeze menulis bahwa Tan Malaka mungkin telah bertemu Alimin di sana pada Agustus 1931, dan membuat perjanjian dengannya bahwa Tan Malaka akan bekerja lagi untuk Komintern.

Tan Malaka pindah ke Shanghai pada September 1932 setelah serangan yang dilakukan oleh pasukan Jepang, dan memutuskan untuk pergi ke India, menyamar sebagai orang Cina-Filipina dan menggunakan nama samaran. Ketika dia berada di Hong Kong pada awal Oktober 1932, dia ditangkap oleh pejabat Inggris dari Singapura, dan ditahan selama beberapa bulan. Dia berharap memiliki kesempatan untuk memperdebatkan kasusnya di bawah hukum Inggris dan mungkin mencari suaka di Inggris, tetapi setelah beberapa bulan diinterogasi sekanjutnya dipindahkan bagian penjara antara "Eropa" dan "Cina", diputuskan bahwa dia hanya akan diasingkan dari Hong Kong tanpa biaya. Dia kemudian dideportasi lagi ke Amoy.

Tan Malaka melarikan diri lagi, dan melakukan perjalanan ke desa Iwe di selatan Cina. Di sana ia dirawat dengan obat tradisional Tiongkok untuk penyakitnya. Setelah kesehatannya membaik pada awal 1936, ia melakukan perjalanan kembali ke Amoy dan membentuk Sekolah Bahasa Asing.

Abidin Kusno berpendapat bahwa tinggal di Shanghai ini adalah periode penting dalam membentuk tindakan Tan Malaka di kemudian hari selama revolusi Indonesia di akhir 1940-an. Kota pelabuhan ini secara de jure berada di bawah kedaulatan Tiongkok tetapi didominasi pertama oleh negara-negara Eropa dengan konsesi perdagangan di kota itu, dan kemudian oleh Jepang setelah invasi September 1932. Penindasan terhadap orang Cina yang dilihatnya di bawah kedua kekuatan ini, Kusno berpendapat, berkontribusi pada posisinya yang tidak kenal kompromi melawan kolaborasi dengan Jepang atau negosiasi dengan Belanda pada tahun 1940-an, ketika banyak kaum nasionalis Indonesia terkemuka mengadopsi sikap yang lebih berdamai.

Pada Agustus 1937, dia pergi ke Singapura dengan identitas Cina palsu dan menjadi guru. Setelah Belanda menyerah ke Jepang, ia kembali ke Hindia Belanda (Indonesia) melalui Penang. Dia kemudian berlayar ke Sumatra tiba di Batavia (Jakarta) pada pertengahan 1942, di mana dia menulis buku dengan tema “Madilog”- (materialisme, dialektika, logika). Setelah merasa harus memiliki pekerjaan, ia melamar ke Dinas Kesejahteraan Sosial dan segera dikirim ke tambang batu bara di Bayah, di pantai selatan Jawa Barat.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ia mulai bertemu dengan bangsanya sendiri dan generasi yang lebih muda. Dia juga mulai menggunakan nama aslinya setelah 20 tahun menggunakan alias. Dia kemudian melakukan perjalanan ke Jawa dan melihat orang-orang Surabaya bertempur melawan tentara Inggris pada bulan November.

Tan Malaka menyadari perbedaan perjuangan antara orang-orang di beberapa tempat dan para pemimpin di Jakarta. Ia berpikiran bahwa para pemimpin terlalu lemah dalam negosiasi dengan Belanda. Solusi Tan Malaka untuk memutuskan hubungan ini adalah dengan mendirikan Persatuan Perjuangan (Front Perjuangan, atau United Action), sebuah koalisi dari sekitar 140 kelompok yang lebih kecil, tidak termasuk PKI. Setelah beberapa bulan berdiskusi, koalisi secara resmi didirikan di sebuah kongres di Surakarta (Solo) pada pertengahan Januari 1946. Koalisi ini mengadopsi "Program Minimum", yang menyatakan bahwa hanya kemerdekaan penuh yang dapat diterima, bahwa pemerintah harus mematuhi keinginan rakyat, dan bahwa perkebunan dan industri milik asing harus dinasionalisasi.

 Persatuan Perjuangan mendapat dukungan luas dari rakyat, juga dukungan dalam tentara republik, di mana Jenderal Sudirman adalah pendukung kuat koalisi yang dikelola Tan Malaka. Pada bulan Februari 1946, organisasi memaksa pengunduran diri sementara Perdana Menteri Sutan Sjahrir, seorang pendukung negosiasi dengan Belanda, dan Sukarno berkonsultasi dengan Tan Malaka untuk mencari dukungannya. Namun, Tan Malaka tampaknya tidak dapat menjembatani perpecahan politik dalam koalisinya untuk (dan) mengubahnya menjadi pengontrol politik yang sebenarnya, dan Syahrir kembali untuk memimpin kabinet Sukarno.

Setelah dibebaskan, ia menghabiskan akhir 1948 di Yogyakarta, bekerja untuk membentuk partai politik baru, yang disebut Partai Murba (Partai Proletar), tetapi ia tidak dapat mengulangi keberhasilan sebelumnya dalam menarik pengikut. Ketika Belanda melakukan Agresi Pertama, merebut pemerintahan nasional pada bulan Desember 1948, ia melarikan diri dari kota itu ke pedesaan Jawa Timur, tempat ia berharap akan dilindungi oleh pasukan gerilya anti-republik. Dia mendirikan markasnya di Blimbing, sebuah desa yang dikelilingi oleh sawah, dan menghubungkan dirinya dengan Mayor Sabarudin, pemimpin Batalyon 38. Menurut Tan Malaka, Sabarudin adalah satu-satunya kelompok bersenjata yang benar-benar memerangi Belanda. Namun, Sabarudin bertentangan dengan semua kelompok bersenjata lainnya. Pada 17 Februari, para pemimpin TNI di Jawa Timur memutuskan bahwa Sabarudin dan kawan-kawannya akan ditangkap dan dihukum berdasarkan hukum militer.

Berikutnya, pada tanggal 19, mereka menangkap Tan Malaka di Blimbing. Pada 20 Februari, Korps Tentara Belanda yang terkenal Speciale Troepen (KST - pasukan khusus tentara Belanda) kebetulan memulai apa yang disebut "operasi Harimau" dari kota Nganjuk, Jawa Timur. Mereka maju dengan cepat dan brutal. Poeze menjelaskan secara rinci bagaimana para prajurit TNI melarikan diri ke gunung-gunung dan bagaimana Tan Malaka, yang sudah terluka, berjalan ke sebuah pos TNI dan segera dieksekusi pada 21 Februari 1949. Malaka ditembak dalam hukuman mati di kaki gunung Wilis, Selopanggung, Kabupaten Kediri setelah penangkapan dan penahanan di desa Patje. Menurut Poeze, tembakan itu diperintahkan oleh Letnan Dua Sukotjo dari batalyon Sikatan, divisi Brawijaya. Tidak ada laporan dibuat dan Malaka dimakamkan di hutan.


Pemikirannya

Tan Malaka berargumen dengan kuat bahwa Komunisme dan Islam sesuai, dan bahwa di Indonesia, revolusi harus dibangun di atas keduanya. Karena itu, ia adalah pendukung kuat aliansi berkelanjutan PKI dengan Sarekat Islam (SI), dan merasa terganggu ketika, ketika ia berada di pengasingan, PKI memisahkan diri dari SI.

Pada skala internasional, Tan Malaka juga melihat Islam memegang potensi untuk menyatukan kelas pekerja sebagaimana telah berlaku di sebagian besar Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Selatan melawan imperialisme dan kapitalisme. Posisi yang diyakini Tan Malaka itu menempatkannya (sebagai yang berlawanan) dalam oposisi terhadap banyak Komunis Eropa dan kepemimpinan Komintern, yang melihat kepercayaan agama sebagai penghalang bagi revolusi proletar dan alat kelas penguasa.


Politiknya

Malaka menggambarkan pemikiran Nietzsche, Rousseau, dan Marx-Engels masing-masing sebagai tesis, antitesis, dan sintesis; sementara ia menggambarkan pemikiran Wilhelm-Hindenburg-Stinnes, Danton-Robespierre-Marat, dan kaum Bolshevik masing-masing sebagai genesis, negasi, dan negasi negasi.


Pendidikannya

Menurut Harry A. Poeze, Tan Malaka berasumsi bahwa pemerintah kolonial menggunakan sistem pendidikan untuk menghasilkan masyarakat adat yang terdidik sebagai alat yang kemudian akan diperalat untuk menekan rakyat mereka sendiri.

Untuk itu, Tan Malaka mendirikan Sekolah Sarekat Islam untuk menyaingi sekolah-sekolah pemerintah (Hindia Belanda). Syaifudin menulis bahwa Tan Malaka memiliki empat metode pengajaran yang berbeda yang masing-masing metode yaitu Dialog; “Jembatan Keledai”; Diskusi Kritis; dan Sosiodrama. Dalam metode dialog, Tan Malaka menggunakan komunikasi dua arah saat mengajar. Selama mengajar di Deli, ia mendorong siswa untuk mengkritik guru mereka, atau pelatih asal Belanda, yang sering salah. Di sekolah Sarikat Islam (SI), ia mempercayakan siswa yang menerima nilai lebih tinggi untuk mengajar siswa dengan nilai lebih rendah. Sedang metode pendidikan “Jembatan Keledai terinspirasi oleh car al-Ghazali mendidik muridnya, yaitu selain menghafal pengetahuan, para siswa diperintahkan untuk memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Syaifudin menulis bahwa itu adalah kebalikan dari konsep gaya bank, dan bahwa metode itu mirip dengan pengajaran dan pembelajaran kontekstual.

Pada diskusi kritis, Tan Malaka tidak hanya secara lisan memberikan masalah kepada siswa, tetapi berusaha untuk mengekspos masalah secara langsung, metode ini mirip dengan metode problem solving (pemecahan masalah) dari Paulo Freire. Dengan metode keempatnya, Sosiodrama, Tan Malaka bertujuan untuk membuat siswa memahami masalah sosial dan menyelesaikannya melalui permainan peran” (play game method), dan sebagai hiburan para siswa setelah belajar.


Legasinya

Sejarawan Indonesia menggambarkan Tan Malaka sebagai "komunis, nasionalis, komunis nasional, Trotskis, idealis, pemimpin Muslim, dan chauvinis (patriotisme yang agresif) Minangkabau".

Karya tulis Tan Malaka yang paling terkenal adalah otobiografinya, Dari Pendjara ke Pendjara. Dia menulis tiga jilid karya dengan tulisan tangannya ketika dipenjara oleh pemerintah Soekarno (Republik) pada tahun 1947 dan 1948. Karya ini bergantian antara bab-bab teoretis yang menggambarkan keyakinan dan filosofi politik Tan Malaka dan bab-bab otobiografi konvensional yang membahas berbagai fase kehidupannya. Volume tiga memiliki struktur narasi yang sangat longgar, berisi komentar tentang historiografi Marxis, posisinya tentang perjuangan yang berkelanjutan dengan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, dan cetak ulang bagian-bagian dokumen penting yang terkait dengan perjuangan.

Buku “Dari Pendjara ke Pendjara adalah salah satu dari sejumlah kecil otobiografi yang berada di Hindia Belanda (Indonesia di Zaman Kolonial). Buku Dari Penjara ke Penjara (1991)yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, menarik perhatian gerakan buruh.


PENUTUP

M
elihat pandangan atau cara berfikir Tan Malaka dibawah pendidikan kolonial Belanda yang berpandangan sekuler (dunia) disatu pihak, namun juga tumbuh sebagai remaja Minang yang berfalsafah “adaik basandi sara, sara basandi kitabullah” yang menorehkan pula kepribadian muslimnya. Dua kepribadian ini tertanam dalam dirinya sebagaimana kita pelajari pada catatan perjalan sejarah hidupnya seperti tersebut diatas.

Andai kata beliau membaca juga buku-buku Sejarah dan Ajaran Islam dengan Peradaban Tinggi yang di bangun sampai ketingkat The Golden Ages di abad tengan dimana bangsa-bangsa Eropa masih hidup dalam abad gelapnya (The Dark Ages), maka akan lain ceritanya - boleh jadi tidak tersedia ketika itu, dan tidak boleh ada, karena sifat kolonialis tidak akan mencerdaskan ‘pribumi yang pro pribumi’ disamping takut ‘senjata makan tuannya’.

Benar kata seorang bijak menyebutkan bahwa: “Siapakah dia, tergantung kepada siapa dan lingkungan seperti apa dia berada, serta buku-buku apa saja yang dibacanya - karena faktor-faktor itulah yang membentuk watak dan alam pikirannya”. Wallāhu ‘alam bish-Shawāb. Germantown, MD. 18 Jumādī Tsāni 1441 / 12 Februari 2020 M. □ AFM



Referensi
https://en.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka
dan sumber-sumber lainnya. □□