Wednesday, August 2, 2017

Cara Baik Menghadapi Perbedaan





“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits, sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [QS An-Nisā’ 4:59].


PENDAHULUAN


P
ada saat ini kadang atau acap kali timbul masalah yang bersifat “khilafiyyah” dan “furu’iyah” bahkan yang fundamental sekali pun. Masing-masing pihak punya alasan atau dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits serta lainnya. Yang menjadi masalah adalah pihak yang tidak sepaham saling  mencaci satu dengan lainnya. Dari membid’ahkan pihak yang lain, hingga mengkafirkan. Berbagai caci-makian bahkan fitnah dan kebohongan pun bisa saja terlontarkan – demi membelanya, karena saking emosinya. Sungguh hal yang demikian itu sangat jauh dari ajaran adab dan akhlak dalam Islam.

   Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal yang lumrah, sunnatullah. Dalam sehari-hari ada saja yang suka warna biru, ada yang merah. Memang rambut sama hitam, isi kepala berbeda-beda. Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, dan diantara anggota masyarakat pun demikian pula.

   Dalam hal keyakinan dan pandangan yang menjadi pegangan hidup begitu pula. Dalam hal ini para Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali terjadi perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, dijelaskan Allah swt dalam Surat Al-Anbiyā’ ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai, apabila saling memaklumi. Namun yang tidak boleh adalah menghadapinya dengan cara mencaci-maki pihak lain, akibatnya bisa menjadi pertengkaran yang serius.

   Perlu dicatat disini bahwa yang tidak boleh berbeda pendapat adalah yang menyangkut dengan masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i.


Bagaimana Cara Nabi Menghadapi Perbedaan

I
slam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi Muhammad saw mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada kita semua. Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no. 514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah saw kepada Umar. Setelah Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah swt dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’ū mā tayassara minhu,” sabda Rasulullah saw: “Maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.”


Lihat Bagaimana Nabi Tidak Menyalahkan Dua Pihak Yang Berbeda

A
l-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab yang artinya:

Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah” (sampai ditempat tujuan). Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka: “Kita tidak shalat, sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga (karena waktunya telah datang, jadi tidak usah menunggu sampai ketempat yang kita tuju). Bukan itu yang beliau inginkan dari kita” (maksudnya bukan soal sampai ditempat itu, melainkan waktu tiba shalat, ya mesti shalat). Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mencela salah satunya.”

   Sekali lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlainan pendapat (dalam menafsirkan apa yang dimaksud oleh Nabi saw)  itu dengan kata-kata bid’ah, sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi juga.

   Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata: “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di Masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘Aku telah melantunkan syair di Masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (maksudnya ada Nabi Muhammad di Masjid),’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah (sebagai saksinya). Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah saw? Jawablah pertanyaanku. Ya Allah mudah-mudahan engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab: ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya dan Hassan bin Tsabit benar).’ ” [HR Abu Dawud #4360; An-Nasa’i #709; dan Ahmad #20928].

   Lihat saat Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan Rasul-Nya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad saw tidak melarang atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.

   Beda bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau bershalawat sebelum waktu shalat dengan dalih Nabi Muhammad saw tidak pernah melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid sebelum waktu shalat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau berdzikir atau bershalawat!

   Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:

Anas bin Malik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [HR Bukhari and Muslim]

   Perbedaan itu akan bisa saja ada. Namun sayangnya kelompok yang “ekstrim” menafikan adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah laknat”.

   Jangankan manusia biasa. Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman yang dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal. Contohnya ini disebutkan dalam Surat Al-Anbiyā’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:

(78) Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu.

(79) Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu. [QS Al-Anbiyā’ 21:78-79]

Menurut riwayat Ibnu Abbas ra bahwa sekelompok kambing telah (memakan tanaman dalam kebun itu sampai) merusak tanaman di waktu malam, maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud as. Nabi Daud as memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman as memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan orang yang empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman as ini adalah keputusan yang tepat.

   Jelas orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi sempit dan membuat ribut yang akibatnya dapat memecah-belah persatuan ummat Islam karena kejahilannya. Ingat: Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela”. [QS Al-Humazah 104:1]


Sisi lain Tentang Penilaian Kebenaran

M
emang kadang atau hampir acapkali ada kelompok yang menganggap kebenaran hanya 1, yaitu kelompoknya saja yang benar, sehingga bersikap “ekstrim” dalam menghadapi perbedaan dengan dalilnya sebagai berikut:

Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” [HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim].

   Berdasarkan hadits ini mereka berpendirian “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman terhadap hadits Rasulullah saw:

Rasulullah saw bersabda: “Inilah jalan Allah yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya (perpecahan)”. Kemudian beliau membaca ayat yang artinya:

Dan sesungguh, inilah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah! Jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia (Allah) memerintahkan kepadamu agar kamu bertaqwa.” [QS Al-An’ām 6:153]. [HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim; lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48].


Kenyataan Yang Dihadapi Umat

D
alam tradisi ulama Islam, adanya perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Terdapat kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum masalah perbedaan pendapat (pandangan). Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, adalah sebuah kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang hukum Islam. Bahkan tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga menyangkut tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

   Para Imam Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam Hambali ada dalam masalah-masalah tertentu berbeda pendapat. Namun mereka tidak saling membid’ah atau menganggap sesat yang lain. Begitu pula para pengikutnya.

   Dalam khasanah Islam, para ulama salaf dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Syafi’i yang sangat masyhur sebagai bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”



ADAB BERBEDA PENDAPAT DALAM ISLAM


I
khtilaf (perbedaan pendapat) di mana pun bisa terjadi. Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita semua. Di bawah ini adalah adab-adab yang harusnya dilakukan kaum Muslim:

Pertama: Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu

K
ewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu tatkala mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga. [Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah].

Kedua: Kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah

Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Keduanya itu dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pendapat dan pemikiran, sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang mengandung firman-Nya sebagai berikut, yang artinya:

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits, sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. [QS An-Nisā’ 4:59].


Ketiga: Tidak Menjelekkan

M
asing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam materi perbedaan.

Keempat: Cara yang Baik

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah (bantahlah) dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yanglebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” [QS An-Nahl 16:125].

   Berdialog harus dengan cara yang baik (menarik, tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang antipati seperti yang dicontohkan Imam Syafi’i. Ucapan Imam Syafi’i yang sangat masyhur sebagai bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”

   Buya Hamka boleh jadi sosok yang paling ideal untuk dijadikan panutan dalam urusan toleransi dalam masalah furuiyah diantara pendapat fiqih. Meski beliau boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang “anti” qunut. Namun beliau bershahabat baik dengan tokoh ulama Betawi, KH. Abdullah Syafi'i, yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah.

Ada sebuah kisah yang menarik, khususnya masalah adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jum’at, KH Abdullah Syafi'i mengunjungi Buya masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena menghormati shahabatnya, maka Buya minta agar KH Abdullah Syafi'i yang naik menjadi khatib Jumat. Yang menarik, tiba-tiba adzan Jum’at dikumandangkan dua kali, padahal biasanya hanya satu kali. Rupanya, Buya menghormati ulama Betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jum’at itu adalah pendapat shahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambah jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.

   Ini luar biasa dan kisah ini perlu kita hidupkan lagi. Begitulah sikap kedua tokoh ulama besar negeri ini. Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal. Dan siapa tidak kenal KH Abdullah Syafi'i, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafi'iyah, yang umumnya kiyai Betawi hari ini adalah murid-murid beliau. Inilah tipologi ulama sejati yang ilmunya mendalam dan wawasannya luas. Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di mana dalil dan nash yang ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar asal beda dan cari-cari perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes.



   Jadi penyeru kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi. Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga berakibat orang menjauh dari dakwahnya.


Kelima: Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama

A
gar dapat keluar dari ikhtilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan yang umum bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas dengan yang terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.


Keenam: Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ dan yang Diperselisihkan

M
asalah-masalah yang sudah di-ijma’ (disepakati) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan dipertanyakan. Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama, seperti halnya terhadap Al-Qur’an dan Hadits.


Ketujuh: Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya

O
rang yang mencari kebenaran kemudian salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan kemampuannya. [QS Al-Baqarah 2:286].


PENUTUP


N
abi saw bersabda: “Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid’ah sesudah aku (Rasulullah saw) tiada, maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. ..... Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid’ah mereka. Dengan demikian, Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat.” [HR Ath-Thahawi].

   “Dikatakan kepada Nabi: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan shalat lail, berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang lain) melakukan shalat maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia tidak menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah: “Dia termasuk ahli surga.” [Silsilah Hadits Ash-Shahihah # 190].

   Memang Allah memerintahkan kita untuk bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu, hendaknya kita kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Para ulama hendaknya melakukan Ijma’ untuk memutuskan hal yang diperselisihkan.

   Namun jika terjadi perbedaan pendapat juga akibat beda dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Al-Hadits, hendaknya tidak saling mengolok-olok, mencela, memanggil dengan panggilan yang buruk serta prasangka, karena itu diharamkan Allah [QS Al-Hujurāt 49:11-12]. Sebab kadang perbedaan tak bisa dihindarkan sehingga para Nabi saja seperti Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as bisa berbeda pendapat. Namun Allah Ta’ala membenarkan pendapat Nabi Sulaiman as, karena lebih baik. Maka kisahnya masuk ke dalam Al-Qur’an, sebagai pedoman bagi umat berikutnya. [QS Al-Anbiyā’ 21:78-79]. Demikian pula para sahabat dan para Imam Mazhab. Mereka semua sangat faqih dalam memahami Kitab Suci dan Hadits. Begitu pula di zaman ini antara Buya Hamka dan KH Abdullah Syafi’i.

   Jika kita karena perbedaan tersebut mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul Bid’ah, Sesat, Kuffar, Musyrik, dsb sementara Jumhur Ulama tidak berpendapat demikian, maka kita dalam hal ini menghadapinya mestilah bijak (berakhlak atau beradab). Wallahu Ta’ala A’lam. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



Referensi dalam penyusunan tulisan:

● www.hidayatullah.com ● islamqu.blogspot.com ● www.nu.or.id ● www.ustsarwat.com ● khilafah1924.org  ● media.islam.or.id ● dan sumber-sumber lainnya. □□□