“Kemudian
jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits, sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah
dan Hari Kemudian, Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. [QS An-Nisā’ 4:59].
PENDAHULUAN
P
|
ada saat ini kadang atau acap kali timbul
masalah yang bersifat “khilafiyyah” dan “furu’iyah” bahkan yang fundamental
sekali pun. Masing-masing pihak punya alasan atau dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits
serta lainnya. Yang menjadi masalah adalah pihak yang tidak sepaham saling mencaci satu dengan lainnya. Dari membid’ahkan
pihak yang lain, hingga mengkafirkan. Berbagai caci-makian bahkan fitnah dan
kebohongan pun bisa saja terlontarkan – demi membelanya, karena saking emosinya.
Sungguh hal yang demikian itu sangat jauh dari ajaran adab dan akhlak dalam Islam.
Sesungguhnya
perbedaan pendapat itu hal yang lumrah, sunnatullah.
Dalam sehari-hari ada saja yang suka warna biru, ada yang merah. Memang rambut sama hitam, isi kepala
berbeda-beda. Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, dan diantara anggota
masyarakat pun demikian pula.
Dalam hal keyakinan dan pandangan yang menjadi pegangan hidup begitu pula. Dalam hal ini para
Ulama Mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali
terjadi perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Bahkan para Nabi pun seperti
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, dijelaskan Allah swt dalam Surat Al-Anbiyā’ ayat 78 dan 79 berbeda pendapat. Jika
kita saling menghormati, niscaya perbedaan pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa
hidup rukun dan damai, apabila saling memaklumi. Namun yang tidak boleh adalah
menghadapinya dengan cara mencaci-maki pihak lain, akibatnya bisa menjadi
pertengkaran yang serius.
Perlu
dicatat disini bahwa yang tidak boleh berbeda pendapat adalah yang menyangkut dengan
masalah prinsip akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i.
Bagaimana
Cara Nabi Menghadapi Perbedaan
I
|
slam dikenal sangat menghargai perbedaan. Nabi
Muhammad saw mencontohkan dengan
dengan sangat indah kepada kita semua. Dalam Shahih al-Bukhari, Volume 6, hadits no. 514,
diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah memarahi Hisyam ibn Hakim yang
membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan berbeda dari yang diajarkan Rasulullah saw kepada Umar. Setelah Hisyam
menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu, mereka berdua
menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah membenarkan kedua
sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an memang diturunkan Allah swt dengan beberapa variasi bacaan (7
bacaan). “Faqra’ū mā
tayassara minhu,” sabda Rasulullah saw: “Maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.”
Lihat Bagaimana
Nabi Tidak Menyalahkan Dua Pihak Yang Berbeda
A
|
l-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim
meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab yang artinya:
Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah” (sampai ditempat tujuan). Lalu ada di
antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian
mereka: “Kita tidak shalat, sampai tiba di sana.” Yang lain
mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga (karena waktunya
telah datang, jadi tidak usah menunggu sampai ketempat yang kita tuju). Bukan itu yang beliau inginkan dari kita” (maksudnya bukan soal
sampai ditempat itu, melainkan waktu tiba shalat, ya mesti shalat). Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw namun beliau tidak mencela salah
satunya.”
Sekali
lagi Nabi tidak mencela salah satu pihak yang berlainan pendapat (dalam
menafsirkan apa yang dimaksud oleh Nabi saw)
itu dengan kata-kata bid’ah, sesat,
kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya. Masing-masing
pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan bukan ingkar kepada
Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu sebagaimana diperintahkan Allah
dan Rasul-Nya. Yang shalat belakangan di perkampungan Bani Quraizah juga bukan
melanggar perintah sholat di awal waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi
juga.
Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata: “Suatu ketika Umar berjalan
kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di Masjid.
Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘Aku telah melantunkan syair di Masjid
yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (maksudnya ada Nabi Muhammad di Masjid),’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah (sebagai saksinya). Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan
sabda Rasulullah saw? Jawablah
pertanyaanku. Ya Allah mudah-mudahan engkau
menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab: ‘Ya Allah,
benar (aku telah medengarnya dan Hassan bin Tsabit benar).’ ” [HR Abu Dawud #4360; An-Nasa’i #709; dan Ahmad #20928].
Lihat saat
Hassan Bin Tsabit sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah
dan Rasul-Nya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad saw tidak melarang atau mencelanya.
Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda
bukan dengan sekelompok orang yang memvonis bid’ah
orang-orang yang berdzikir atau bershalawat sebelum waktu shalat dengan dalih
Nabi Muhammad saw tidak pernah
melakukannya. Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di
Masjid sebelum waktu shalat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak
melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti bid’ah,
sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, apalagi kalau
berdzikir atau bershalawat!
Saat
berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada
yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Malik berkata: “Kami sedang bermusafir bersama dengan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak
berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak berpuasa
dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa. [HR
Bukhari and Muslim]
Perbedaan
itu akan bisa saja ada. Namun sayangnya kelompok yang “ekstrim” menafikan
adanya perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung
disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan mereka
mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan adalah
laknat”.
Jangankan
manusia biasa. Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman yang dibimbing Allah pun bisa
berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal. Contohnya ini disebutkan dalam
Surat Al-Anbiyā’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:
(78) Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya
memberikan keputusan mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh
kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan)
oleh mereka itu.
(79) Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang
hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.
[QS Al-Anbiyā’ 21:78-79]
Menurut riwayat Ibnu Abbas ra bahwa sekelompok kambing telah (memakan tanaman dalam kebun itu sampai)
merusak tanaman di waktu malam, maka yang empunya tanaman mengadukan hal ini
kepada Nabi Daud as. Nabi Daud as memutuskan bahwa kambing-kambing itu
harus diserahkan kepada yang empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang
rusak. Tetapi Nabi Sulaiman as memutuskan
supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang empunya tanaman
untuk diambil manfaatnya. Dan orang yang empunya kambing diharuskan mengganti
tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila tanaman yang baru telah
dapat diambil hasilnya, mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil
kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman as
ini adalah keputusan yang tepat.
Jelas
orang yang suka mencaci tersebut tidak membaca dan memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits
secara keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi
sempit dan membuat ribut yang akibatnya dapat memecah-belah persatuan ummat
Islam karena kejahilannya. Ingat: “Kecelakaanlah bagi
setiap pengumpat dan pencela”. [QS
Al-Humazah 104:1]
Sisi lain Tentang Penilaian Kebenaran
M
|
emang kadang atau hampir acapkali ada kelompok
yang menganggap kebenaran hanya 1, yaitu kelompoknya saja yang benar, sehingga
bersikap “ekstrim” dalam menghadapi perbedaan dengan dalilnya sebagai berikut:
“Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan.
Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau,
“Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang
mengikutiku dan para sahabatku.” [HR Abu
Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim].
Berdasarkan
hadits ini mereka berpendirian “Kebenaran hanya satu sedangkan kesesatan
jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman terhadap hadits
Rasulullah saw:
Rasulullah
saw bersabda: “Inilah jalan Allah
yang lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, kemudian
beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang bercerai-berai,
atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak kearahnya (perpecahan)”.
Kemudian beliau membaca ayat yang artinya:
“Dan sesungguh, inilah jalan-Ku yang
lurus, Maka ikutilah! Jangan kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), yang akan
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia (Allah) memerintahkan kepadamu
agar kamu bertaqwa.” [QS Al-An’ām 6:153]. [HR Ahmad, Ibnu
Hibban dan Hakim; lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal.
47-48].
Kenyataan
Yang Dihadapi Umat
D
|
alam tradisi ulama Islam, adanya perbedaan
pendapat bukanlah hal yang baru. Terdapat kitab-kitab yang ditulis ulama Islam
yang disusun khusus untuk merangkum masalah perbedaan pendapat (pandangan).
Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, adalah sebuah kitab yang menyangkut
berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang hukum Islam. Bahkan tak hanya
berlaku masalah hukum saja. Juga menyangkut tafsir, ulumul qur’an, syarh
hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah,
dan lain-lain.
Para
Imam Madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam Hambali ada
dalam masalah-masalah tertentu berbeda pendapat. Namun mereka tidak saling
membid’ah atau menganggap sesat yang lain. Begitu pula para pengikutnya.
Dalam
khasanah Islam, para ulama salaf dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi,
dan objektivitasnya yang tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Syafi’i
yang sangat masyhur sebagai bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain
adalah, “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan
pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”
ADAB
BERBEDA PENDAPAT DALAM ISLAM
I
|
khtilaf (perbedaan pendapat) di mana pun bisa
terjadi. Jika tidak disikapi dengan tepat dan bijaksana, tidak menutup
kemungkinan akan melahirkan perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran.
Karena itu, Islam memberi arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat
di antara kita semua. Di bawah ini adalah adab-adab yang harusnya dilakukan
kaum Muslim:
Pertama:
Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu
K
|
ewajiban setiap orang yang berkecimpung dalam
ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu tatkala mengupas
masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak terdorong kecintaan
mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan diri sendiri. Sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits, orang yang mencari ilmu karena hendak mendebat para
ulama, melecehkan orang-orang yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian
manusia pada dirinya, maka dia tidak akan mencium bau surga. [Riwayat Tirmidzi
dan Ibnu Majah].
Kedua:
Kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Ketika terjadi perbedaan pendapat, hendaklah
dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Keduanya itu dijadikan sebagai
ukuran hukum dari setiap pendapat dan pemikiran, sebagaimana yang disebutkan
dalam Kitab Suci Al-Qur’an yang mengandung firman-Nya sebagai berikut, yang
artinya:
“Kemudian
jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits, sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah
dan Hari Kemudian, Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. [QS An-Nisā’ 4:59].
Ketiga:
Tidak Menjelekkan
M
|
asing-masing tetap mempunyai hak yang tidak bisa
dihilangkan dan dilanggar, hanya karena tidak sependapat dalam suatu masalah.
Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang tidak boleh dinodai, meski
perdebatan atau perbedaan pendapat semakin meruncing. Wilayah pribadi seperti
itu tidak boleh dimasukkan dalam materi perbedaan.
Keempat:
Cara yang Baik
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah
(bantahlah) dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu,
Dia-lah yanglebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang
lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” [QS An-Nahl 16:125].
Berdialog
harus dengan cara yang baik (menarik, tegas dan benar yang dapat membedakan
antara yang hak dan yang bathil) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan
bicara mau mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari
sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan mengundang
antipati seperti yang dicontohkan Imam Syafi’i. Ucapan Imam Syafi’i yang sangat
masyhur sebagai bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah,
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat
orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”
Buya
Hamka boleh jadi sosok yang paling ideal untuk dijadikan panutan dalam urusan
toleransi dalam masalah furuiyah diantara
pendapat fiqih. Meski beliau boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang “anti”
qunut. Namun beliau bershahabat baik dengan tokoh ulama Betawi, KH. Abdullah
Syafi'i, yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah.
Ada sebuah kisah yang menarik, khususnya masalah
adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jum’at, KH Abdullah Syafi'i mengunjungi
Buya masjid Al-Azhar Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu menurut jadwal seharusnya
giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena menghormati shahabatnya, maka Buya
minta agar KH Abdullah Syafi'i yang naik menjadi khatib Jumat. Yang menarik,
tiba-tiba adzan Jum’at dikumandangkan dua kali, padahal biasanya hanya satu
kali. Rupanya, Buya menghormati ulama Betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali
pada shalat Jum’at itu adalah pendapat shahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar
Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambah jadi dua kali, semata-mata
karena ulama ini menghormati ulama lainnya.
Ini
luar biasa dan kisah ini perlu kita hidupkan lagi. Begitulah sikap kedua tokoh
ulama besar negeri ini. Siapa yang tidak kenal Buya Hamka, dengan perguruan
Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal. Dan siapa tidak kenal KH Abdullah
Syafi'i, pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafi'iyah, yang umumnya kiyai Betawi
hari ini adalah murid-murid beliau. Inilah tipologi ulama sejati yang ilmunya
mendalam dan wawasannya luas. Tidak pernah meributkan urusan khilafiyah, sebab pada hakikatnya urusan
khilafiyah lahir karena memang proses yang alami, di mana dalil dan nash yang
ada menggiring kita ke arah sana. Bukan sekedar asal beda dan cari-cari
perhatian orang. Karena itu harus disikapi dengan luas dan luwes.
Jadi penyeru
kebenaran adalah orang yang mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi.
Jika bersikap keras dan kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga
berakibat orang menjauh dari dakwahnya.
Kelima:
Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama
A
|
gar dapat keluar dari ikhtilaf dengan membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah
yang berkaitan dengan masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan
yang umum bisa dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas
dengan yang terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.
Keenam:
Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ dan yang Diperselisihkan
M
|
asalah-masalah yang sudah di-ijma’ (disepakati)
sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan dipertanyakan. Komitmen kepadanya
merupakan keharusan agama, seperti halnya terhadap Al-Qur’an dan Hadits.
Ketujuh:
Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya
O
|
rang yang mencari kebenaran kemudian salah,
berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu dia
mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu
wa Ta’ala tetap memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara
hukum, namun salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran.
Dan Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan
kemampuannya. [QS Al-Baqarah 2:286].
PENUTUP
N
|
abi saw
bersabda: “Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli
bid’ah sesudah aku (Rasulullah saw)
tiada, maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. ..... Dustakanlah
mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang
yang dikhawatirkan meniru-niru bid’ah mereka. Dengan demikian, Allah akan
mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat.” [HR
Ath-Thahawi].
“Dikatakan
kepada Nabi: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan shalat lail,
berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti
tetangganya dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah: “Tidak ada kebaikan padanya,
dia termasuk ahli neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang lain)
melakukan shalat maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia tidak
menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah: “Dia termasuk ahli surga.”
[Silsilah Hadits Ash-Shahihah # 190].
Memang
Allah memerintahkan kita untuk bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu,
hendaknya kita kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Para ulama hendaknya
melakukan Ijma’ untuk memutuskan hal yang diperselisihkan.
Namun
jika terjadi perbedaan pendapat juga akibat beda dalam menafsirkan Al-Qur’an
dan Al-Hadits, hendaknya tidak saling mengolok-olok, mencela, memanggil dengan
panggilan yang buruk serta prasangka, karena itu diharamkan Allah [QS Al-Hujurāt
49:11-12]. Sebab kadang perbedaan tak bisa dihindarkan sehingga para Nabi saja
seperti Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman
as bisa berbeda pendapat. Namun Allah
Ta’ala membenarkan pendapat Nabi
Sulaiman as, karena lebih baik. Maka
kisahnya masuk ke dalam Al-Qur’an, sebagai pedoman bagi umat berikutnya. [QS Al-Anbiyā’
21:78-79]. Demikian pula para sahabat dan para Imam Mazhab. Mereka semua sangat
faqih dalam memahami Kitab Suci dan Hadits. Begitu pula di zaman ini antara
Buya Hamka dan KH Abdullah Syafi’i.
Jika
kita karena perbedaan tersebut mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul
Bid’ah, Sesat, Kuffar, Musyrik, dsb sementara Jumhur Ulama tidak berpendapat
demikian, maka kita dalam hal ini menghadapinya mestilah bijak (berakhlak atau
beradab). Wallahu Ta’ala A’lam. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □
AFM
Referensi dalam penyusunan tulisan:
● www.hidayatullah.com ● islamqu.blogspot.com ● www.nu.or.id
● www.ustsarwat.com ● khilafah1924.org ●
media.islam.or.id ● dan sumber-sumber lainnya. □□□