Pendahuluan
M
|
Monumen Nasional – lebih
dikenal dengan nama “Tugu Monas” berada di lapangan yang sangat luas (alun-alun) yang
sebelumnya terdapat gedung PTT (Pos Telegram dan Telepon), gedung Pers Club,
dan lapangan kompleks olah raga serta taman-taman. Lapangan
kompleks olah raganya terdiri dari lapangan atletik,
lapangan-lapangan sepak bola, lapangan hoki, lapangan pacuan kuda, dan lapangan Stadium Sepak Bola Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Semuanya itu telah
diratakan dengan tanah guna mendirikan lapangan luas yang ditengahnya didirikan
Monumen (Tugu) Nasional layaknya seperti Monumen Nasional Washington di
Washington DC, Amerika Serikat. Impian ini terwujud dan patut dibanggakan,
karena tak kalah spektakulernya dengan monumen-monumen di Paris dan di
Washington DC.
Lapangan
Tugu Monas ini persis dua abad sebelumnya oleh Gubernur-Jenderal Herman William
Daendels (1818), mula-mula bernama Champ de Mars karena bertepatan
penaklukan Belanda oleh Napoleon Bonaparte. Kemudian ketika Belanda berhasil
merebut kembali negerinya dari Perancis, namanya diubah menjadi Koningsplein
(Lapangan Raja), karena di depan lapangan ini terdapat bangunan Istana
Koningsplein (Paleis te Koningsplein)
sekarang Istana Merdeka, lihat Gambar-1,
tempat orang Belanda I, Gubernur Jenral Hindia Belanda berdiam. Sebelumnya
telah ada Istana dibelakangnya, yaitu Istana Rijswijk (Paleis te Risjwijk)
didirikan tahun 1796, sekarang bernama Istana Negara, menghadap jalan Veteran,
lihat Gambar-2. Setelah zaman
kemerdekaan lapangan yang sangat luas di depan Istana Merdeka, rakyat lebih senang
menyebutnya Lapangan Gambir, karena banyak pepohonan Gambir. Kini nama itu diabadikan
untuk nama stasiun kereta api di dekatnya – Stasiun Gambir.
Tugu Monumen Nasional terletak di tengah
hamparan lapangan rumput hijau sekelilingnya. Dibatasi jalan aspal yang luas
yang dikelilingi pula lautan pepohonan yang rindang. Keseluruhan tertata baik
dan indah yang dikelilingi pula oleh gedung-gedung tinggi dan gedung-gedung
bersejarah lain seperti di sebelah utara Istana Merdeka (Paleis te Koningsplein); Di sebelah selatan Istana wakil Presiden
dan gedung Balai Kota; disebelah barat Gedung Museum Gajah (sekarang disebut
Museum Nasional) dan Gedung Radio Republik Indonesia; Disebelah Timur dan Taman Wihelmina yang kini dijadikan bangunan
Masjid Agung Istiqlal yang mampu menampung 200 ribu Jamaah dan Station Kereta
Api Gambir dibangun tahun 1930-an dengan nama Stasiun Koningsplein.
Tugu Monas
ini adalah monumen kebanggaan warga Jakarta sekaligus Indonesia. Jika Paris
(Perancis) mempunyai Menara Eiffel dan Washington DC (Amerika Serikat)
mempunyai Washington National Monument, maka Indonesia mempunyai Monumen
Nasional Jakarta (Tugu Monas). Tentunya Tugu Monas tidaklah ada begitu saja,
ada perjalanan cukup panjang di balik pembangunannya. Berikut ini kami
rangkumkan sejarah berdirinya monumen nasional kebanggaan bangsa Indonesia
tersebut.
Sejarah Tugu Monas
Tahun
1949 Negara Kesatuan Republik Indonesia (dulu Belanda menyebutnya Republik Indonesia Serikat - RIS) diakui sebagai sebuah Negara berdaulat
oleh pemerintahan Kerajaan Belanda setelah keputusan Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag
- Belanda, dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November
1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda,
dan BFO (Bijeenkomst voor
Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan
Belanda di kepulauan Nusantara (Indonesia).
Sebelum konferensi ini, telah berlangsung tiga
pertemuan tingkat tinggi untuk menyelesaikan pertikaian antara Belanda dan
Indonesia sehubungan Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya tang 17
Agustus 1945. Pada saat itu terjadi kevakuman pemerintahan, Belanda telah
angkat kaki dari Indonesia tahun 1942 karena dikalahkan tentara Jepang, dan
tahun 1945 Jepang telah menyerah kepada Amerika Serikat dalam menghadapi Perang
Dunia II yang dengan sendirinya akan angkat kaki dari Indonesia. Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia ini tidak diakui oleh Belanda, karena itu terjadilah
konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda. Untuk mengatasi konflik
bersenjata itu maka diadakan perundingan-perundingan yang hasilnya tertulis
dalam bentuk perjanjian tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak. Perjanjian-Perjanjian antara Indonesia dan
Belanda itu adalah: Perjanjian Linggarjati, Tahun 1947 – Baca juga
–klik---> Sejarah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville (1948) – Baca juga –klik--->
Sejarah Perjanjian Renville, dan Perjanjian Roem-Royen (1949) – Baca juga
–klik---> Sejarah Perjanjian Roem-Royen. Konferensi Meja Bundar ini berakhir
dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Sejak saat itu ibu
kota kembali ke Jakarta yang sebelumnya di Yogyakarta.
Saat
itulah Presiden Soekarno sangat menginginkan membuat sebuah bangunan monumen
yang menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan kemerdekannya.
Agar Jakarta dan Indonesia juga setara dengan ibu kota Negara-negara besar kala
itu, Soekarno menginginkan tugu peringatan atau monumen tersebut nantinya bisa menyamai
kemegahan menara Eiffel.
Soekarno
juga menjelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, hal tersebut
dapat dilihat dari peninggalan budaya seperti Candi Borobudur dan Prambanan
yang merupakan terbesar di dunia. Kalau pada masa awal sejarah Indonesia telah
mempunyai monumen berupa candi yang megah, Soekarno juga menginginkan hal yang
sama di masa sejarah moderen Bangsa Indonesia.
Usaha-usaha Awal Mendirikan Monas
Gagasan
Presiden Soekarno tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan sebuah
komite nasional pembangunan Monas pada tanggal 17 Agustus 1954. Kemudian diadakan
sayembara mendesain dan merancang Tugu Monas pun diadakan pada tahun 1955.
Terdapat 51 karya yang masuk pada tahun 1955 ini, dipilih hanya
satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang
ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan
dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar lagi pada tahun 1960 - karena bangunannya segara akan dimulai,
namun sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria.
Akhirnya Soekarno kemudian meminta F. Silaban merancang
Monas dengan konsep “Yoni” dan “Lingga”. Pasangan kata yang sangat bermakna, dimana arti Yoni merupakan sebuah objek cekung atau
berlubang, sedang Lingga adalah objek
yang tegak yaitu obelisk atau tugu.
Jadi tugu yang tegak berdiri diatas
objek cekung. Cekung lambang keseburan. Tugu tegak berdiri lambang kejayaan.
Cekung tempat berdiri tugu yang di puncaknya bersinar terang benderang. Ini
melambangkan telah berdirinya suatu negara besar yang kemudiannya tetap tegak
berdiri menerangi jagad Nusantara (tanah subur dan kaya sumber alam) tempat
hidupnya rakyat Indonesia yang kelak akan dikenal seentero dunia, sebagaimana tercermin
dalam Pembukaan UUD 1945 menyebutkan “Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, lengkapnya lihat lampiran.
Hasil karyanya kemudian diteruskan oleh arsitek
lain, bernama R.M. Soedarsono. Akhirnya rancangan itulah yang disetujui oleh
Presiden Soekarno.
Pembangunan Monas
Tugu
Peringatan Nasional tersebut dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu yang
diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono itu mulai dibangun pada
17 Agustus 1961. Periode pertama pembangunan tugu monas dilakukan pada kurun
waktu tahun 1961 hingga 1965, lihat planologi Gambar-3.
Pada tahap awal yaitu membangun fondasi.
Pembangunan fondasi diselesaikan hingga bulan Maret 1962. Dinding museum di
dasar Monas selesai dibangun pada Oktober 1962. Setelah dasar Monas selesai
dibangun, tahap selanjutnya adalah membangun obelisk (bangunan menjulang).
Pembangunan obelisk diselesaikan pada Agustus 1963. Namun finishing touch-nya secara keseluruhan termasuk lapangan luas
sekitar tugu dan landscaping belum
selesai (terbengkalai) karena mengadapi pemberontakan G30S/PKI. Image
pembangunan Tugu Monas yang belum selesai sampai tahun 1965 terlihat dinding
bangunan obelisknya masing dilingkupi
oleh scapffolding (perancah), dan lapangannya masih penuh gundukan tanah yang
belum beraturan, Gambar-4.
Rancangan Bangunan Monumen
Rancang
bangun Tugu Monas berdasarkan pada konsep pasangan universal yang abadi disebut
Lingga dan Yoni. Tugu obelisk yang menjulang tinggi adalah lingga yang
melambangkan laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif, serta melambangkan
siang hari. Sementara pelataran cawan landasan obelisk adalah yoni yang
melambangkan perempuan, elemen feminin yang subur, serta melambangkan malam
hari. Lingga dan Yoni merupakan lambang kesuburan yang berproduktifitas dan kesatuan harmonis yang
saling melengkapi sejak dari masa prasejarah Indonesia dan seterusnya. Selain itu bentuk Tugu
Monas juga dapat ditafsirkan pula sebagai sepasang “Alu” dan “Lesung”, lihat Gambar-5, alat penumbuk padi yang
didapati dalam setiap rumah tangga petani tradisional Indonesia. Dengan
demikian rancang bangun Monas penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia.
Monumen terdiri atas 117,7 meter obelisk di atas landasan persegi setinggi 17
meter, pelataran cawan. Monumen ini dilapisi dengan marmer Italia.
Kolam di Taman Medan Merdeka Utara berukuran 25
x 25 meter dirancang sebagai bagian dari sistem pendingin udara sekaligus
mempercantik penampilan Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan
patung Pengeran Diponegoro yang sedang menunggang kudanya, terbuat dari
perunggu seberat 8 ton. Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato
sebagai sumbangan oleh Konsul Jenderal Kehormatan, Dr. Mario, di Indonesia.
Pintu
masuk Monas terdapat di taman Medan Merdeka Utara dekat patung Pangeran
Diponegoro. Pintu masuk pengunjung menuju bangunan Tugu Monas melalui
terowongan yang berada 3 meter di bawah taman dan jalan silang Monas. Loket
tiket berada di ujung terowongan. Ketika pengunjung naik kembali ke permukaan
tanah di sisi utara Monas, pengunjung dapat melanjutkan berkeliling melihat
relief sejarah perjuangan Indonesia; masuk ke dalam Ruang Museum Sejarah Nasional
melalui pintu di sudut timur laut, atau langsung naik ke tengah menuju Ruang Kemerdekaan
atau lift menuju Pelataran Puncak Monumen.
Relief Sejarah Indonesia
Pada
tiap sudut halaman luar yang mengelilingi monumen terdapat relief yang
menggambarkan Sejarah Indonesia. Relief yang berada di halam luar ini bermula di sudut timur laut dengan
mengabadikan kejayaan Nusantara pada masa lampau; menampilkan sejarah
Singhasari dan Majapahit. Relief ini berlanjut secara kronologis searah jarum
jam menuju sudut tenggara, barat daya, dan barat laut. Secara kronologis
menggambarkan masa penjajahan Belanda, perlawanan rakyat Indonesia dan
pahlawan-pahlawan nasional Indonesia, terbentuknya organisasi modern yang
memperjuangkan Indonesia Merdeka pada awal abad ke-20, Sumpah Pemuda,
Pendudukan Jepang dan Perang Dunia II, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, disusul Revolusi dan
Perang kemerdekaan Republik Indonesia, hingga mencapai masa pembangunan
Indonesia modern. Relief dan patung-patung ini dibuat dari semen dengan
kerangka pipa atau logam, namun beberapa patung dan arca tampak tak terawat dan
rusak akibat hujan serta cuaca tropis.
Museum Sejarah Nasional
Di bagian
dasar monumen pada kedalaman 3 meter di bawah permukaan tanah, terdapat Museum
Sejarah Nasional Indonesia. Ruang besar museum sejarah perjuangan nasional
dengan ukuran luas 80 x 80 meter, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.
Ruangan besar berlapis marmer ini terdapat 48 diorama pada keempat sisinya dan
3 diorama di tengah, sehingga menjadi total 51 diorama, lihat Gambar-6 dan Gambar-7. Diorama ini menampilkan
sejarah Indonesia sejak masa pra sejarah hingga masa Orde Baru. Diorama ini
dimula dari sudut timur laut bergerak searah jarum jam menelusuri perjalanan
sejarah Indonesia; mulai masa pra sejarah, masa kemaharajaan kuno seperti Sriwijaya
dan Majapahit, disusul masa penjajahan bangsa Eropa yang disusul perlawanan
para pahlawan nasional pra kemerdekaan melawan VOC dan pemerintah Hindia
Belanda. Diorama berlangsung terus hingga masa pergerakan nasional Indonesia
awal abad ke-20, pendudukan Jepang, perang kemerdekaan dan masa revolusi,
hingga masa Orde Baru pada masa pemerintahan Suharto.
Ruang Kemerdekaan
Di bagian
dalam cawan monumen terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater. Ruangan
ini dapat dicapai melalui tangga berputar dari pintu sisi utara dan selatan.
Ruangan ini menyimpan simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Diantaranya naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam
kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas, lambang negara Indonesia, peta
kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, dan bendera merah
putih, dan dinding yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia.
Di dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional ini
digunakan sebagai ruang tenang untuk mengheningkan cipta dan bermeditasi
mengenang hakikat kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia. Naskah asli
proklamasi kemerdekaan Indonesia disimpan dalam kotak kaca dalam pintu gerbang
berlapis emas. Pintu mekanis ini terbuat dari perunggu seberat 4 ton berlapis
emas dihiasi ukiran bunga Wijaya Kusuma yang melambangkan keabadian, serta
bunga Teratai yang melambangkan kesucian. Pintu ini terletak pada dinding sisi
barat tepat di tengah ruangan dan berlapis marmer hitam. Pintu ini dikenal
dengan nama Gerbang Kemerdekaan yang secara mekanis akan membuka seraya
memperdengarkan lagu “padamu Negeri” diikuti kemudian oleh rekaman suara Soekarno
tengah membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945.
Pada sisi selatan terdapat patung Garuda Pancasila,
lambang negara Indonesia terbuat dari perunggu seberat 3,5 ton dan berlapis
emas. Pada sisi timur terdapat tulisan naskah proklamasi berhuruf perunggu,
seharusnya sisi ini menampilkan bendera yang paling suci dan dimuliakan Sang
Saka Merah Putih, yang aslinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan
tetapi karena kondisinya sudah semakin tua dan rapuh, bendera suci ini tidak
dipamerkan. Sisi utara dinding marmer hitam ini menampilkan kepulauan Nusantara
berlapis emas, melambangkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia
Pelataran Puncak dan Api Kemerdekaan
Sebuah elevator
(lift) pada pintu sisi selatan akan membawa pengunjung menuju Pelataran Puncak Tugu
Monas berukuran 11 x 11 meter di ketinggian 115 meter dari permukaan tanah –
lihat Gambar-8. Lift ini
berkapasitas 11 orang sekali angkut. Pelataran puncak ini dapat menampung
sekitar 50 orang, serta terdapat teropong untuk melihat panorama Jakarta lebih
dekat. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari
besi.
Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung
dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Bila kondisi cuaca
cerah tanpa asap kabut, di arah ke selatan terlihat dari kejauhan Gunung Salak
di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan
pulau-pulau kecil.
Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang
menopang nyala lampu perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas
35 Kilogram. Lidah api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter
6 meter terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Lidah api ini sebagai simbol
semangat perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.
Awalnya nyala api perunggu ini dilapisi lembaran
emas seberat 35 kilogram. Sebanyak 28 kilogram pada obor monas tersebut
merupakan sumbangan dari Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang pernah
menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.
Selanjutnya dalam rangka menyambut perayaan
setengah abad (50 tahun) Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lembaran emas
ini dilapis ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram lembaran emas. Puncak
tugu berupa “Api Nan Tak Kunjung Padam” yang bermakna agar Bangsa Indonesia
senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan tidak pernah
surut atau padam sepanjang masa.
Kembali
kelantai bawah yaitu Pelataran Cawan memberikan pemandangan bagi pengunjung
dari ketinggian 17 meter dari permukaan tanah. Pelataran Cawan dapat dicapai
melalui elevator ketika turun dari pelataran puncak, atau melalui tangga
mencapai dasar cawan. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 meter, sedangkan
rentang tinggi antara Ruang Museum Sejarah ke dasar cawan adalah 8 m (3 meter
di bawah tanah ditambah 5 meter tangga menuju dasar cawan). Luas pelataran yang
berbentuk bujur sangkar, berukuran 45 x 45 meter, semuanya merupakan
pelestarian “angka keramat” Proklamasi Kemerdekaan RI 17-8-1945 sebagaimana
yang dikatakan Bung Karno di Rengasdengklok sehari sebelum kemerdekaan
mengatakan:
"Saya seorang yang percaya pada “mistik”. Saya tidak dapat
menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan
kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat
yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam
bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling
suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat
yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam
sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan
manusia".
Demikianlah
antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok, baca
juga –Klik---> Membuka Catatan Sejarah Detik-Detik Proklamasi 17 Agustus
1945.
Penutup
Tugu Monumen Nasional, lebih dikenal dengan
nama Tugu Monas yang terletak di tengah hamparan lapangan rumput hijau
sekelilingnya. Dibatasi jalan aspal yang luas yang dikelilingi pula lautan
pepohonan yang rindang. Keseluruhan tertata baik dan indah yang dikelilingi
pula oleh gedung-gedung tinggi dan gedung-gedung bersejarah lain seperti di
sebelah utara Istana Negara (Paleis te
Koningsplein); Di sebelah selatan Istana Wakil Presiden dan gedung Balai
Kota; disebelah barat Gedung Museum Gajah dan Gedung Radio Republik Indonesia;
Disebelah Timur dan Taman Wihelmina yang kini dijadikan Masjid Agung Istiqlal
yang mampu menampung 200 ribu Jamaah dan Station Kereta Api Gambir dibangun
tahun 1930-an
dengan nama Stasiun Koningsplein.
Lapangan
Monas ini telah menjadi ikonnya kota Jakarta. Juga, pengenang perjuangan rakyat
Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari belenggu penjajahan. Berlokasi di
Lapangan Monas, Jakarta Pusat. Di dalam Monumen Nasional terdapat museum yang
menyajikan diorama perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Tersimpan pula teks asli Naskah Proklamasi Kemerdekaan. Di bagian puncak
monumennya Anda dapat melihat pemandangan kota Jakarta dengan bangunan pencakar
langit ibarat hutan beton yang menawarkan pemandangan lampu malam yang indah.
Monas memiliki tinggi 132 meter dengan bentuk
obelisk dan ada pula yang menyebut bentuknya sebagi lingga yang digandengkan
dengan yoni di puncaknya. Seluruh bangunan Monas dilapisi oleh marmer dengan
puncaknya berupa cawan dengan 77 bagian lidah api yang disatukan setinggi 17
meter dengan diameter 6 meter. Lidah api tersebut berbahan perunggu seberat
14,5 ton yang dilapisi emas 50 kg. Nyala lidah api itu merupakan simbol
semangat perjuangan rakyat Indonesia yang tidak pernah padam untuk meraih
kemerdekaan.
Emas di bagian pucuk Monas adalah sumbangan
seorang pengusaha pribumi asal Aceh yaitu Teuku Markam. Emas tersebut diambil
dari tambang yang berloksi di Lebong, Provinsi Bengkulu. Sebelumnya Pemerintah
Hindia Belanda menjadikan Bengkulu sebagai tambang emas dan menyebutnya sebagai
Batavia II. Sumber lain menyebut bahwa Kerajaan Belanda saat itu menukar
Singapura yang dikuasainya dengan Bengkulu kepada Kerajaan Inggris karena
alasan tambang emas di Bengkulu.
Monas begitu identik dengan Presiden Soekarno
karena memang rancangan pendirian monumen ini diawali oleh sayembara dan
dinilai langsung oleh beliau. Adalah Friederich Silaban yang memikat Soekarno
dengan konsep obelisk. Akan tetapi, saat awal pembangunan berjalan kemudian
Soekarno yang juga seorang arsitek mengubah dan mengalihkan konsep
pembangunannya dengan melibatkan seorang arsitek bernama Soedarsono dengan
konsultan Ir. Rooseno. Saat awal pembangunan Monas terkendala keuangan
mengingat Soekarno juga berambisi membangun Masjid Istiqlal, masjid yang terbesar se-Asia Tenggara.
Pada
masa Pemerintahan Hindia Belanda, kawasan sekitaran Monas adalah pusat bangunan
penting pemerintahan yang dinamakan Koningsplein.
Di bagian utaranya berdiam rumah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kini
menjadi Istana Merdeka (Paleis te
Koningsplein).
Di sekitaran Monas awalnya adalah taman hutan
kota yang dahulu dikenal dengan nama Lapangan Gambir. Namanya kemudian berubah
beberapa kali menjadi Lapangan Koningsplein,
Lapangan Ikada, Lapangan Medan Merdeka, Lapangan Monas, dan terakhir Taman
Monas.
Demikianlah
uraian sejarah monumen nasional yang mengingatkan penulis masih usia “Sekolah
Rakyat” sebagi tempat bermain seusai sekolah yang disebut Lapangan Ikada atau
Lapangan Medan Merdeka. Tempat ini tidak jauh dari rumah orang tua penulis di
Petodjo Entjlek, Jakarta Pusat yang jaraknya 10 menit jalan kaki. Jauh sebelum
berdiri Tugu Monas sering penulis menonton sepak bola baik pertandingan tingkat
nasional dan internasional. Ketika itu belum ada Stadium Sepak Bola Gelora Bung
Karno, Senayan. Ditempat itu pula penulis melihat Bung Karno yang berapi-api
dalam berpidato menyambut perayaan 17 Agustus.
Saat Pemilu tahun 1955 penulis melihat Bung
Karno yang didampingi Ali Sastro Amidjojo dan yang lainnya tanpa pengawalan
dari Istana Merdeka jalan kaki menuju Gedung RRI (Radio Republik Indonesia)
untuk mencoblos. Penulis dengan beberapa kawan-kawan sebaya (karena sekolah diliburkan)
dari kampung Petodjo ini berjalan mundur dihadapan rombongan ini, untuk
menyaksikan peristiwa Pemilu 1955.
Ketika usia SMP dan SMA mendapat dua kali
kesempatan berada bersama ratusan anak-anak sekolah lainnya di halaman Istana
Merdeka dalam kesempatan “aubade”,
menyanyikan Indonesia Raya dan lagu-lagu Kemerdekaan Indonesia lainnya yang
dipimpin oleh Perwira Polisi R. A. J. Soedjasmin. Dan pernah pula ketika
demonstrasi menuntut “Tritura” (Tiga Tuntutan Rayat yang berisi: 1-Pembubaran
PKI beserta ormas-ormasnya, 2-Perombakan Kabinet Dwikora, 3-Turunkan harga
pangan) ke depan Istana Merdeka di lapangan Medan Merdeka (Lapangan Monas) penulis
sebagai anggota KAPPI (Komite Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) tahun 1966 bersama
ribuan demonstran lainnya mulainya dihadang Tjakrabirawa (Satuan Tugas Penjaga
Keamanan Presiden) kemudian maju dan mengejar ribuan demonstran lainnya. Para demonstran
lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari hujaman ujung bayonetnya. Namun
terjadi juga penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan
menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim serta menyebabkan luka berat seorang
anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal
beberapa waktu kemudian. Penulis ikut ketika itu kebetulan sekolah penulis
berada di dekat Station Gambir, Jalan Medan Merdeka Timur dimana penulis sebagai
murid SMA Negri VII.
Suatu waktu penulis mengemudikan untuk mengantarkan
orang tua (karena mobil dinas dan supir belum ada) dengan menggunakan mobil
Mazda “Kotak Sabun” jatah anggota DPR-GR ke Istana Negara karena di panggil
Bung Karno selaku Menteri Penghubung Pemerintah dan Alim Ulama. Kedatangannya
diminta untuk memberi fatwa sehubungan dengan pengadilan pertama Mahmillub
(Mahkamah Militer Luar Biasa) yang menghadapkan Nyono terlibat dalam Peristiwa
G30S/PKI, namun diberi fatwa yang disampaikan secara diplomasi yang tidak
sesuai keinginan Bung Karno, yaitu membebaskan atau setidaknya mengurangi
hukuman Nyono dari tuntutan hukuman mati oleh pengadilan Mahmilub.
Menulis
tajuk ini ikut pula mengenang masa kecil dan remaja serta pemuda penulis
tahun-tahun 1954 sampai 1966 yang tinggal di Petodjo, dekat Istana Merdeka dan
Lapangan Monas, setelah itu penulis pindah ke Rawamangun, Jakarta Timur. Billahit Taufiq Wal-Hidayah. □ AFM
Lampiran:
Isi
Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia
"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa
mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
"Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia,
yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil
dan beradab; Persatuan Indonesia; danKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”□□
Referensi:
Heuken, A, (2008) Medan Merdeka - Jantung
Ibukota RI, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, No ISBN
Jakata Local Government website: Museum in
Jakata
National Monument Office, Jakarta Capital City
Administration (1996), National Monument: The Monument of the Indonesian
National Struggle ISBN 979-95172-0-6□□□
Sumber Penulisan:
Pesona Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Monumen_Nasional
https://id.wikipedia.org/wiki/Lapangan_Ikada
http://www.lahiya.com/sejarah-monas/
https://id.wikipedia.org/wiki/Istana_Merdeka
https://id.wikipedia.org/wiki/Istana_Negara
https://srimpet.wordpress.com/2011/09/24/tugu-monumen-nasional-sejarah-perkembangannya/
http://s-kisah.blogspot.com/2011/10/kisah-1966-dari-10-januari-menuju-11.html
https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2018/01/sejarah-perjanjian-linggarjati.html
https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2018/01/perjanjian-renville-dan-kartosoewirjo.html
https://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2017/08/membuka-catatan-sejarah.html□□□□