Saturday, January 13, 2018

Sejarah Monumen Nasional Jakarta





Pendahuluan

M
Monumen Nasional – lebih dikenal dengan nama “Tugu Monas” berada di lapangan yang sangat luas (alun-alun) yang sebelumnya terdapat gedung PTT (Pos Telegram dan Telepon), gedung Pers Club, dan lapangan kompleks olah raga serta taman-taman. Lapangan kompleks olah raganya terdiri dari lapangan atletik, lapangan-lapangan sepak bola, lapangan hoki, lapangan pacuan kuda, dan lapangan Stadium Sepak Bola Ikada (Ikatan Atletik Djakarta). Semuanya itu telah diratakan dengan tanah guna mendirikan lapangan luas yang ditengahnya didirikan Monumen (Tugu) Nasional layaknya seperti Monumen Nasional Washington di Washington DC, Amerika Serikat. Impian ini terwujud dan patut dibanggakan, karena tak kalah spektakulernya dengan monumen-monumen di Paris dan di Washington DC.

   Lapangan Tugu Monas ini persis dua abad sebelumnya oleh Gubernur-Jenderal Herman William Daendels (1818), mula-mula bernama Champ de Mars karena bertepatan penaklukan Belanda oleh Napoleon Bonaparte. Kemudian ketika Belanda berhasil merebut kembali negerinya dari Perancis, namanya diubah menjadi Koningsplein (Lapangan Raja), karena di depan lapangan ini terdapat bangunan Istana Koningsplein (Paleis te Koningsplein) sekarang Istana Merdeka, lihat Gambar-1, tempat orang Belanda I, Gubernur Jenral Hindia Belanda berdiam. Sebelumnya telah ada Istana dibelakangnya, yaitu Istana Rijswijk (Paleis te Risjwijk) didirikan tahun 1796, sekarang bernama Istana Negara, menghadap jalan Veteran, lihat Gambar-2. Setelah zaman kemerdekaan lapangan yang sangat luas di depan Istana Merdeka, rakyat lebih senang menyebutnya Lapangan Gambir, karena banyak pepohonan Gambir. Kini nama itu diabadikan untuk nama stasiun kereta api di dekatnya – Stasiun Gambir.




  
 Tugu Monumen Nasional terletak di tengah hamparan lapangan rumput hijau sekelilingnya. Dibatasi jalan aspal yang luas yang dikelilingi pula lautan pepohonan yang rindang. Keseluruhan tertata baik dan indah yang dikelilingi pula oleh gedung-gedung tinggi dan gedung-gedung bersejarah lain seperti di sebelah utara Istana Merdeka (Paleis te Koningsplein); Di sebelah selatan Istana wakil Presiden dan gedung Balai Kota; disebelah barat Gedung Museum Gajah (sekarang disebut Museum Nasional) dan Gedung Radio Republik Indonesia; Disebelah Timur dan Taman Wihelmina yang kini dijadikan bangunan Masjid Agung Istiqlal yang mampu menampung 200 ribu Jamaah dan Station Kereta Api Gambir dibangun tahun 1930-an dengan nama Stasiun Koningsplein.


   Tugu Monas ini adalah monumen kebanggaan warga Jakarta sekaligus Indonesia. Jika Paris (Perancis) mempunyai Menara Eiffel dan Washington DC (Amerika Serikat) mempunyai Washington National Monument, maka Indonesia mempunyai Monumen Nasional Jakarta (Tugu Monas). Tentunya Tugu Monas tidaklah ada begitu saja, ada perjalanan cukup panjang di balik pembangunannya. Berikut ini kami rangkumkan sejarah berdirinya monumen nasional kebanggaan bangsa Indonesia tersebut.


Sejarah Tugu Monas

   Tahun 1949 Negara Kesatuan Republik Indonesia (dulu Belanda menyebutnya Republik Indonesia Serikat - RIS) diakui sebagai sebuah Negara berdaulat oleh pemerintahan Kerajaan Belanda setelah keputusan Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag - Belanda, dari tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Nusantara (Indonesia).

Sebelum konferensi ini, telah berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi untuk menyelesaikan pertikaian antara Belanda dan Indonesia sehubungan Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya tang 17 Agustus 1945. Pada saat itu terjadi kevakuman pemerintahan, Belanda telah angkat kaki dari Indonesia tahun 1942 karena dikalahkan tentara Jepang, dan tahun 1945 Jepang telah menyerah kepada Amerika Serikat dalam menghadapi Perang Dunia II yang dengan sendirinya akan angkat kaki dari Indonesia. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini tidak diakui oleh Belanda, karena itu terjadilah konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda. Untuk mengatasi konflik bersenjata itu maka diadakan perundingan-perundingan yang hasilnya tertulis dalam bentuk perjanjian tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak. Perjanjian-Perjanjian antara Indonesia dan Belanda itu adalah: Perjanjian Linggarjati, Tahun 1947 – Baca juga –klik---> Sejarah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville (1948) – Baca juga –klik---> Sejarah Perjanjian Renville, dan Perjanjian Roem-Royen (1949) – Baca juga –klik---> Sejarah Perjanjian Roem-Royen. Konferensi Meja Bundar ini berakhir dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Sejak saat itu ibu kota kembali ke Jakarta yang sebelumnya di Yogyakarta.

   Saat itulah Presiden Soekarno sangat menginginkan membuat sebuah bangunan monumen yang menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia dalam mewujudkan kemerdekannya. Agar Jakarta dan Indonesia juga setara dengan ibu kota Negara-negara besar kala itu, Soekarno menginginkan tugu peringatan atau monumen tersebut nantinya bisa menyamai kemegahan menara Eiffel.

   Soekarno juga menjelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, hal tersebut dapat dilihat dari peninggalan budaya seperti Candi Borobudur dan Prambanan yang merupakan terbesar di dunia. Kalau pada masa awal sejarah Indonesia telah mempunyai monumen berupa candi yang megah, Soekarno juga menginginkan hal yang sama di masa sejarah moderen Bangsa Indonesia.


Usaha-usaha Awal Mendirikan Monas

   Gagasan Presiden Soekarno tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan sebuah komite nasional pembangunan Monas pada tanggal 17 Agustus 1954. Kemudian diadakan sayembara mendesain dan merancang Tugu Monas pun diadakan pada tahun 1955.

Terdapat 51 karya yang masuk pada tahun 1955 ini, dipilih hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar lagi pada tahun 1960 - karena bangunannya segara akan dimulai, namun sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria.

Akhirnya Soekarno kemudian meminta F. Silaban merancang Monas dengan konsep  Yoni” dan “Lingga”. Pasangan kata yang sangat bermakna, dimana arti Yoni merupakan sebuah objek cekung atau berlubang, sedang Lingga adalah objek yang tegak yaitu obelisk atau tugu. Jadi  tugu yang tegak berdiri diatas objek cekung. Cekung lambang keseburan. Tugu tegak berdiri lambang kejayaan. Cekung tempat berdiri tugu yang di puncaknya bersinar terang benderang. Ini melambangkan telah berdirinya suatu negara besar yang kemudiannya tetap tegak berdiri menerangi jagad Nusantara (tanah subur dan kaya sumber alam) tempat hidupnya rakyat Indonesia yang kelak akan dikenal seentero dunia, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 menyebutkan “Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, lengkapnya lihat lampiran.

Hasil karyanya kemudian diteruskan oleh arsitek lain, bernama R.M. Soedarsono. Akhirnya rancangan itulah yang disetujui oleh Presiden Soekarno.


Pembangunan Monas

   Tugu Peringatan Nasional tersebut dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu yang diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono itu mulai dibangun pada 17 Agustus 1961. Periode pertama pembangunan tugu monas dilakukan pada kurun waktu tahun 1961 hingga 1965, lihat planologi Gambar-3.



Pada tahap awal yaitu membangun fondasi. Pembangunan fondasi diselesaikan hingga bulan Maret 1962. Dinding museum di dasar Monas selesai dibangun pada Oktober 1962. Setelah dasar Monas selesai dibangun, tahap selanjutnya adalah membangun obelisk (bangunan menjulang). Pembangunan obelisk diselesaikan pada Agustus 1963. Namun finishing touch-nya secara keseluruhan termasuk lapangan luas sekitar tugu dan landscaping belum selesai (terbengkalai) karena mengadapi pemberontakan G30S/PKI. Image pembangunan Tugu Monas yang belum selesai sampai tahun 1965 terlihat dinding bangunan  obelisknya masing dilingkupi oleh scapffolding (perancah), dan lapangannya masih penuh gundukan tanah yang belum beraturan, Gambar-4.



Rancangan Bangunan Monumen

   Rancang bangun Tugu Monas berdasarkan pada konsep pasangan universal yang abadi disebut Lingga dan Yoni. Tugu obelisk yang menjulang tinggi adalah lingga yang melambangkan laki-laki, elemen maskulin yang bersifat aktif, serta melambangkan siang hari. Sementara pelataran cawan landasan obelisk adalah yoni yang melambangkan perempuan, elemen feminin yang subur, serta melambangkan malam hari. Lingga dan Yoni merupakan lambang kesuburan yang berproduktifitas dan kesatuan harmonis yang saling melengkapi sejak dari masa prasejarah Indonesia dan seterusnya. Selain itu bentuk Tugu Monas juga dapat ditafsirkan pula sebagai sepasang “Alu” dan “Lesung”, lihat Gambar-5, alat penumbuk padi yang didapati dalam setiap rumah tangga petani tradisional Indonesia. Dengan demikian rancang bangun Monas penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Monumen terdiri atas 117,7 meter obelisk di atas landasan persegi setinggi 17 meter, pelataran cawan. Monumen ini dilapisi dengan marmer Italia.



Kolam di Taman Medan Merdeka Utara berukuran 25 x 25 meter dirancang sebagai bagian dari sistem pendingin udara sekaligus mempercantik penampilan Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pengeran Diponegoro yang sedang menunggang kudanya, terbuat dari perunggu seberat 8 ton. Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsul Jenderal Kehormatan, Dr. Mario, di Indonesia.

   Pintu masuk Monas terdapat di taman Medan Merdeka Utara dekat patung Pangeran Diponegoro. Pintu masuk pengunjung menuju bangunan Tugu Monas melalui terowongan yang berada 3 meter di bawah taman dan jalan silang Monas. Loket tiket berada di ujung terowongan. Ketika pengunjung naik kembali ke permukaan tanah di sisi utara Monas, pengunjung dapat melanjutkan berkeliling melihat relief sejarah perjuangan Indonesia; masuk ke dalam Ruang Museum Sejarah Nasional melalui pintu di sudut timur laut, atau langsung naik ke tengah menuju Ruang Kemerdekaan atau lift menuju Pelataran Puncak Monumen.


Relief Sejarah Indonesia

   Pada tiap sudut halaman luar yang mengelilingi monumen terdapat relief yang menggambarkan Sejarah Indonesia. Relief yang berada di halam luar ini bermula di sudut timur laut dengan mengabadikan kejayaan Nusantara pada masa lampau; menampilkan sejarah Singhasari dan Majapahit. Relief ini berlanjut secara kronologis searah jarum jam menuju sudut tenggara, barat daya, dan barat laut. Secara kronologis menggambarkan masa penjajahan Belanda, perlawanan rakyat Indonesia dan pahlawan-pahlawan nasional Indonesia, terbentuknya organisasi modern yang memperjuangkan Indonesia Merdeka pada awal abad ke-20, Sumpah Pemuda, Pendudukan Jepang dan Perang Dunia II, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, disusul Revolusi dan Perang kemerdekaan Republik Indonesia, hingga mencapai masa pembangunan Indonesia modern. Relief dan patung-patung ini dibuat dari semen dengan kerangka pipa atau logam, namun beberapa patung dan arca tampak tak terawat dan rusak akibat hujan serta cuaca tropis.


Museum Sejarah Nasional

   Di bagian dasar monumen pada kedalaman 3 meter di bawah permukaan tanah, terdapat Museum Sejarah Nasional Indonesia. Ruang besar museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80 x 80 meter, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang. Ruangan besar berlapis marmer ini terdapat 48 diorama pada keempat sisinya dan 3 diorama di tengah, sehingga menjadi total 51 diorama, lihat Gambar-6 dan Gambar-7. Diorama ini menampilkan sejarah Indonesia sejak masa pra sejarah hingga masa Orde Baru. Diorama ini dimula dari sudut timur laut bergerak searah jarum jam menelusuri perjalanan sejarah Indonesia; mulai masa pra sejarah, masa kemaharajaan kuno seperti Sriwijaya dan Majapahit, disusul masa penjajahan bangsa Eropa yang disusul perlawanan para pahlawan nasional pra kemerdekaan melawan VOC dan pemerintah Hindia Belanda. Diorama berlangsung terus hingga masa pergerakan nasional Indonesia awal abad ke-20, pendudukan Jepang, perang kemerdekaan dan masa revolusi, hingga masa Orde Baru pada masa pemerintahan Suharto.





Ruang Kemerdekaan

   Di bagian dalam cawan monumen terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater. Ruangan ini dapat dicapai melalui tangga berputar dari pintu sisi utara dan selatan. Ruangan ini menyimpan simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Diantaranya naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas, lambang negara Indonesia, peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, dan bendera merah putih, dan dinding yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Di dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional ini digunakan sebagai ruang tenang untuk mengheningkan cipta dan bermeditasi mengenang hakikat kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia. Naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia disimpan dalam kotak kaca dalam pintu gerbang berlapis emas. Pintu mekanis ini terbuat dari perunggu seberat 4 ton berlapis emas dihiasi ukiran bunga Wijaya Kusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga Teratai yang melambangkan kesucian. Pintu ini terletak pada dinding sisi barat tepat di tengah ruangan dan berlapis marmer hitam. Pintu ini dikenal dengan nama Gerbang Kemerdekaan yang secara mekanis akan membuka seraya memperdengarkan lagu “padamu Negeri” diikuti kemudian oleh rekaman suara Soekarno tengah membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945.

Pada sisi selatan terdapat patung Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia terbuat dari perunggu seberat 3,5 ton dan berlapis emas. Pada sisi timur terdapat tulisan naskah proklamasi berhuruf perunggu, seharusnya sisi ini menampilkan bendera yang paling suci dan dimuliakan Sang Saka Merah Putih, yang aslinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi karena kondisinya sudah semakin tua dan rapuh, bendera suci ini tidak dipamerkan. Sisi utara dinding marmer hitam ini menampilkan kepulauan Nusantara berlapis emas, melambangkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia


Pelataran Puncak dan Api Kemerdekaan

   Sebuah elevator (lift) pada pintu sisi selatan akan membawa pengunjung menuju Pelataran Puncak Tugu Monas berukuran 11 x 11 meter di ketinggian 115 meter dari permukaan tanah – lihat Gambar-8. Lift ini berkapasitas 11 orang sekali angkut. Pelataran puncak ini dapat menampung sekitar 50 orang, serta terdapat teropong untuk melihat panorama Jakarta lebih dekat. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi.



Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Bila kondisi cuaca cerah tanpa asap kabut, di arah ke selatan terlihat dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil.

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang nyala lampu perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram. Lidah api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Lidah api ini sebagai simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Awalnya nyala api perunggu ini dilapisi lembaran emas seberat 35 kilogram. Sebanyak 28 kilogram pada obor monas tersebut merupakan sumbangan dari Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh yang pernah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.

Selanjutnya dalam rangka menyambut perayaan setengah abad (50 tahun) Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lembaran emas ini dilapis ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram lembaran emas. Puncak tugu berupa “Api Nan Tak Kunjung Padam” yang bermakna agar Bangsa Indonesia senantiasa memiliki semangat yang menyala-nyala dalam berjuang dan tidak pernah surut atau padam sepanjang masa.

   Kembali kelantai bawah yaitu Pelataran Cawan memberikan pemandangan bagi pengunjung dari ketinggian 17 meter dari permukaan tanah. Pelataran Cawan dapat dicapai melalui elevator ketika turun dari pelataran puncak, atau melalui tangga mencapai dasar cawan. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 meter, sedangkan rentang tinggi antara Ruang Museum Sejarah ke dasar cawan adalah 8 m (3 meter di bawah tanah ditambah 5 meter tangga menuju dasar cawan). Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45 x 45 meter, semuanya merupakan pelestarian “angka keramat” Proklamasi Kemerdekaan RI 17-8-1945 sebagaimana yang dikatakan Bung Karno di Rengasdengklok sehari sebelum kemerdekaan mengatakan:

"Saya seorang yang percaya pada “mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur'an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia".

   Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok, baca juga –Klik---> Membuka Catatan Sejarah Detik-Detik Proklamasi 17 Agustus 1945.


Penutup

   Tugu Monumen Nasional, lebih dikenal dengan nama Tugu Monas yang terletak di tengah hamparan lapangan rumput hijau sekelilingnya. Dibatasi jalan aspal yang luas yang dikelilingi pula lautan pepohonan yang rindang. Keseluruhan tertata baik dan indah yang dikelilingi pula oleh gedung-gedung tinggi dan gedung-gedung bersejarah lain seperti di sebelah utara Istana Negara (Paleis te Koningsplein); Di sebelah selatan Istana Wakil Presiden dan gedung Balai Kota; disebelah barat Gedung Museum Gajah dan Gedung Radio Republik Indonesia; Disebelah Timur dan Taman Wihelmina yang kini dijadikan Masjid Agung Istiqlal yang mampu menampung 200 ribu Jamaah dan Station Kereta Api Gambir dibangun tahun 1930-an dengan nama Stasiun Koningsplein.

   Lapangan Monas ini telah menjadi ikonnya kota Jakarta. Juga, pengenang perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari belenggu penjajahan. Berlokasi di Lapangan Monas, Jakarta Pusat. Di dalam Monumen Nasional terdapat museum yang menyajikan diorama perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Tersimpan pula teks asli Naskah Proklamasi Kemerdekaan. Di bagian puncak monumennya Anda dapat melihat pemandangan kota Jakarta dengan bangunan pencakar langit ibarat hutan beton yang menawarkan pemandangan lampu malam yang indah.

Monas memiliki tinggi 132 meter dengan bentuk obelisk dan ada pula yang menyebut bentuknya sebagi lingga yang digandengkan dengan yoni di puncaknya. Seluruh bangunan Monas dilapisi oleh marmer dengan puncaknya berupa cawan dengan 77 bagian lidah api yang disatukan setinggi 17 meter dengan diameter 6 meter. Lidah api tersebut berbahan perunggu seberat 14,5 ton yang dilapisi emas 50 kg. Nyala lidah api itu merupakan simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang tidak pernah padam untuk meraih kemerdekaan.

Emas di bagian pucuk Monas adalah sumbangan seorang pengusaha pribumi asal Aceh yaitu Teuku Markam. Emas tersebut diambil dari tambang yang berloksi di Lebong, Provinsi Bengkulu. Sebelumnya Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bengkulu sebagai tambang emas dan menyebutnya sebagai Batavia II. Sumber lain menyebut bahwa Kerajaan Belanda saat itu menukar Singapura yang dikuasainya dengan Bengkulu kepada Kerajaan Inggris karena alasan tambang emas di Bengkulu.

Monas begitu identik dengan Presiden Soekarno karena memang rancangan pendirian monumen ini diawali oleh sayembara dan dinilai langsung oleh beliau. Adalah Friederich Silaban yang memikat Soekarno dengan konsep obelisk. Akan tetapi, saat awal pembangunan berjalan kemudian Soekarno yang juga seorang arsitek mengubah dan mengalihkan konsep pembangunannya dengan melibatkan seorang arsitek bernama Soedarsono dengan konsultan Ir. Rooseno. Saat awal pembangunan Monas terkendala keuangan mengingat Soekarno juga berambisi membangun Masjid Istiqlal, masjid  yang terbesar se-Asia Tenggara.

   Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, kawasan sekitaran Monas adalah pusat bangunan penting pemerintahan yang dinamakan Koningsplein. Di bagian utaranya berdiam rumah Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kini menjadi Istana Merdeka (Paleis te Koningsplein).

Di sekitaran Monas awalnya adalah taman hutan kota yang dahulu dikenal dengan nama Lapangan Gambir. Namanya kemudian berubah beberapa kali menjadi Lapangan Koningsplein, Lapangan Ikada, Lapangan Medan Merdeka, Lapangan Monas, dan terakhir Taman Monas.

   Demikianlah uraian sejarah monumen nasional yang mengingatkan penulis masih usia “Sekolah Rakyat” sebagi tempat bermain seusai sekolah yang disebut Lapangan Ikada atau Lapangan Medan Merdeka. Tempat ini tidak jauh dari rumah orang tua penulis di Petodjo Entjlek, Jakarta Pusat yang jaraknya 10 menit jalan kaki. Jauh sebelum berdiri Tugu Monas sering penulis menonton sepak bola baik pertandingan tingkat nasional dan internasional. Ketika itu belum ada Stadium Sepak Bola Gelora Bung Karno, Senayan. Ditempat itu pula penulis melihat Bung Karno yang berapi-api dalam berpidato menyambut perayaan 17 Agustus.

Saat Pemilu tahun 1955 penulis melihat Bung Karno yang didampingi Ali Sastro Amidjojo dan yang lainnya tanpa pengawalan dari Istana Merdeka jalan kaki menuju Gedung RRI (Radio Republik Indonesia) untuk mencoblos. Penulis dengan beberapa kawan-kawan sebaya (karena sekolah diliburkan) dari kampung Petodjo ini berjalan mundur dihadapan rombongan ini, untuk menyaksikan peristiwa Pemilu 1955.

Ketika usia SMP dan SMA mendapat dua kali kesempatan berada bersama ratusan anak-anak sekolah lainnya di halaman Istana Merdeka dalam kesempatan “aubade”, menyanyikan Indonesia Raya dan lagu-lagu Kemerdekaan Indonesia lainnya yang dipimpin oleh Perwira Polisi R. A. J. Soedjasmin. Dan pernah pula ketika demonstrasi menuntut “Tritura” (Tiga Tuntutan Rayat yang berisi: 1-Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, 2-Perombakan Kabinet Dwikora, 3-Turunkan harga pangan) ke depan Istana Merdeka di lapangan Medan Merdeka (Lapangan Monas) penulis sebagai anggota KAPPI (Komite Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) tahun 1966 bersama ribuan demonstran lainnya mulainya dihadang Tjakrabirawa (Satuan Tugas Penjaga Keamanan Presiden) kemudian maju dan mengejar  ribuan demonstran lainnya. Para demonstran lari tunggang langgang menyelamatkan diri dari hujaman ujung bayonetnya. Namun terjadi juga penembakan oleh Tjakrabirawa terhadap barisan mahasiswa dan menyebabkan gugurnya Arief Rahman Hakim serta menyebabkan luka berat seorang anggota puteri KAPPI, Siti Zubaedah. Anggota KAPPI ini akhirnya meninggal beberapa waktu kemudian. Penulis ikut ketika itu kebetulan sekolah penulis berada di dekat Station Gambir, Jalan Medan Merdeka Timur dimana penulis sebagai murid SMA Negri VII.

Suatu waktu penulis mengemudikan untuk mengantarkan orang tua (karena mobil dinas dan supir belum ada) dengan menggunakan mobil Mazda “Kotak Sabun” jatah anggota DPR-GR ke Istana Negara karena di panggil Bung Karno selaku Menteri Penghubung Pemerintah dan Alim Ulama. Kedatangannya diminta untuk memberi fatwa sehubungan dengan pengadilan pertama Mahmillub (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang menghadapkan Nyono terlibat dalam Peristiwa G30S/PKI, namun diberi fatwa yang disampaikan secara diplomasi yang tidak sesuai keinginan Bung Karno, yaitu membebaskan atau setidaknya mengurangi hukuman Nyono dari tuntutan hukuman mati oleh pengadilan Mahmilub.

   Menulis tajuk ini ikut pula mengenang masa kecil dan remaja serta pemuda penulis tahun-tahun 1954 sampai 1966 yang tinggal di Petodjo, dekat Istana Merdeka dan Lapangan Monas, setelah itu penulis pindah ke Rawamangun, Jakarta Timur. Billahit Taufiq Wal-Hidayah. □ AFM



Lampiran:

Isi Pembukaan UUD 1945 Republik Indonesia

"Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur."

"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; danKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”□□




Referensi:
Heuken, A, (2008) Medan Merdeka - Jantung Ibukota RI, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, No ISBN
Jakata Local Government website: Museum in Jakata
National Monument Office, Jakarta Capital City Administration (1996), National Monument: The Monument of the Indonesian National Struggle ISBN 979-95172-0-6□□□


Sumber Penulisan:
Pesona Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Monumen_Nasional
https://id.wikipedia.org/wiki/Lapangan_Ikada
http://www.lahiya.com/sejarah-monas/
https://id.wikipedia.org/wiki/Istana_Merdeka
https://id.wikipedia.org/wiki/Istana_Negara
https://srimpet.wordpress.com/2011/09/24/tugu-monumen-nasional-sejarah-perkembangannya/
http://s-kisah.blogspot.com/2011/10/kisah-1966-dari-10-januari-menuju-11.html
https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2018/01/sejarah-perjanjian-linggarjati.html
https://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2018/01/perjanjian-renville-dan-kartosoewirjo.html
https://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2017/08/membuka-catatan-sejarah.html□□□□