Kata Pengantar:
Nama lengkapnya Muhammad
Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha
Ainun Nadjib atau Cak Nun,
lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia adalah seorang tokoh intelektual
berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami.
Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak
Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan
nasihatnya yang kemudian kalimatnya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora
dadi presiden ora patheken". Emha juga dikenal sebagai seniman, budayawan,
penyair, dan pemikir yang menularkan gagasannya melalui buku-buku yang
ditulisnya. [Wikipedia]
Baik, di hari yang masih tetap dingin ini
(maklum disini masih musim dingin, January 21, 2018), mari kita sempatkan untuk merenungi isi pesan yang timbul dari perasaan hati
seorang yang dikenal sebagai tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia. Ia
berbicara tentang apa dan bagaimana seorang pemimpin boneka itu.
Mari ikuti apa yang dipikirkannya itu, melalui
penanya, yang kami dapati dari laman sahabat kami. Tulisannya dikemas hemat dan
padat, tapi telak membangunkan kesadaran kita
yang disampaikannya dalam dialog gaya
metahapor khas seorang seniman. Selamat
menyimak. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
KETIKA BONEKA JADI PEMIMPIN
Oleh: MH. Ainun Nadjib
KENAPA RAKYAT mau memilih boneka, patung atau berhala
untuk menjadi pemimpinnya?
.
Karena partai politik memperkenalkan calonnya
dengan mendustakan kenyataannya. Calon pemimpin ditampilkan dengan pencitraan,
pembohongan, dimake-up sedemikian rupa, dibesar-besarkan, dibaik-baikkan,
diindah-indahkan, dihebat-hebatkan.
Itu bukan politik namanya, Pak, itu kriminal
MEMANG bukan politik, melainkan perdagangan. Bukan
demokrasi, melainkan perjudian. Memang bukan kepemimpinan, tapi talbis. Kalau
dipaksakan untuk disebut demokrasi, ya itu namanya Demokrasi Talbis
Talbis itu apa to Pak?
TALBIS adalah Iblis menemui Adam di sorga dengan
kostum dan make up Malaikat, sehingga Adam menyangka ia adalah Malaikat. Maka
Adam tertipu. Rakyat adalah korban talbis di berbagai lapisan. Mereka dibohongi
sehingga menyangka bahwa yang dipilihnya adalah pemimpin, padahal boneka.
Boneka yang diberhalakan melalui pencitraan”.
Apakah pemimpin yang demikian bisa berkuasa?
YANG benar-benar berkuasa adalah botoh-botoh yang
membiayainya. Setiap langkahnya dikendalikan oleh para botoh. Setiap
keputusannya sudah dipaket oleh penguasa modal. Ia tidak bisa mandiri, karena
dikepung oleh kelompok-kelompok yang juga saling berebut demi melaksanakan kepentingan
masing-masing.
Apa ia tidak merasa malu menjadi boneka?
ITU satu rangkaian: tidak merasa bersalah, tidak
malu, tidak tahu diri, tak mengerti bahwa ia sedang menyakiti dan menyusahkan
rakyatnya, tidak memahami posisinya di hati masyarakat, tidak punya cermin
untuk melihat wajahnya”.
Sampai separah itu, Pak?
Tidak punya konsep tentang martabat manusia, harga
diri Bangsa dan marwah Negara. Hanya mengerti perdagangan linier dan sepenggal,
tidak paham perniagaan panjang yang ada lipatan dan rangkaian putarannya. Tidak
memahami tanah dan akar kedaulatan, pertumbuhan pohon kemandirian, dengan
time-line matangnya bunga dan bebuahannya. Pemimpin yang demikian membawa
bangsanya berlaku sebagai pengemis yang melamar ke Rentenir…
.
“Pemimpin yang seperti itu akhirnya pasti jatuh dan hancur”,
kata Kakak.
“Belum tentu”, kata Bapak.
“Jangan lupa bahwa kalau para botoh mampu
mengangkat berhala ke kursi singgasana, berarti mereka juga menguasai seluruh
perangkat dan modalnya untuk bikin apa saja semau mereka di Negara itu.
Juga selalu sangat banyak orang dan kelompok
yang mencari keuntungan darinya, bahkan menggantungkan hidupnya. Sehingga
mereka membela boneka itu mati-matian.
Mereka selalu mengumumkan betapa baik dan
hebatnya pemimpin yang mereka mendapatkan keuntungan darinya, sampai-sampai
akhirnya mereka yakin sendiri bahwa ia benar-benar baik dan hebat. Uang, kekuasaan dan
media, sanggup mengumumkan sorga sebagai neraka, dan meyakinkan neraka adalah
sorga”. □ [Yogya, 1 Agustus 2017 *Emha Ainun Nadjib*]