Buku
Prof. Faisal, “Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid – Seputar isu Sekularisasi
dalam Islam” ini penting dibaca bagi pengkritik dan pendukung gagasan
sekularisasi Nurcholish Madjid, karena membongkar kerancuan pemikiran Nurcholish Madjid.
Pengantar:
N
|
Nurcholish Madjid (17 Maret 1939-29 Agustus 2005), sang ‘nabi’
pembaruan pemikiran Islam asal Jombang, menggapai definisi sekularisasi yang
‘menyempal’ dari pendapat para pakar pada umumnya. Menurut Cak Nur, sekularisai
adalah menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan Umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Sedang
menurut para pakar pada umumnya, sekularisasi adalah ide, proses dan praktik
yang membebaskan urusan-urusan yang bersifat duniawi dari urusan-urusan yang
bersifat ukhrawi-agamawi. Dengan pola pemikiran seperti itu, Nurcholish secara eksklusif
memberlakukan ide sekularisasinya di kalangan Umat Islam saja. Benarkah gagasan
Cak Nur ini?
Pendekar dan ikon pembaruan pemikiran
Islam dari Jombang itu menggunakan istilah sekularisasinya dalam banyak dimensi
sesuai alur kemauan dan pemahamannya sendiri. Ada yang dikaitkan dengan
‘penduniawian’ nilai-nilai, ada yang diterapkan kepada animis yang convert ke
kepercayaan tauhid (masuk Islam), ada yang dikaitkan dengan upaya
menyentuhtanahkan ajaran-ajaran Islam agar sesuai dengan keadaan ruang dan waktu,
dan ada pula yang dicangkok dari kerangka pemikiran sosiologis sekularisasi
Robert N. Bellah. Sejauh menyangkut konversi animis ke kepercayaan tauhid
(masuk Islam), Cak Nur mantap berpendapat bahwa Islam sebenarnya dimulai dengan
proses sekularisasi dan ajaran tauhid merupakan pangkal tolak sekularisasi
secara besar-besaran. Benarkah pendapat Cak Nur ini?
Buku “Membongkar Kerancuan Pemikiran
Nurcholish Madjid: Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam” karangan Faisal Ismail
ini berisi gugatan, sanggahan dan refutasi yang komprehensif terhadap pemikiran
Cak Nur di seputar isu tersebut. Faisal menurunkan kritik-kritik tajamnya
secara mendetail terhadap racikan ide yang Nurcholish klaim sebagai
sekularisasi itu. Doktrin politik Cak Nur ‘Islam Yes, Partai No,’ juga mendapat
sorotan tajam dari pengarang buku ini. Buku ini sudah pasti memberikan
penjernihan spiritual dan pencerahan intelektual. [granadabooks.com]
Pembahasan:
B
|
Belum lama ini saya menemukan sebuah buku
penting yang ditulis oleh Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., guru besar Universitas
Islam Negeri Yogyakarta. Judulnya: “Membongkar
Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam.”
(Cetakan pertama: Juli 2010).
Buku Prof. Faisal Ismail ini cukup mengejutkan,
sebab selama ini, saya mengenalnya sebagai mantan Sekjen Departemen Agama dan
Duta Besar RI untuk Kuwait. Membaca riwayat hidupnya, putra Madura kelahiran
1947 ini, terlihat telah lama menggeluti dunia pemikiran Islam. Sejumlah
bukunya juga sudah diterbitkan.
Perjalanan intelektual Prof. Faisal Ismail pun
cukup beragam. Lulus S-1 Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta, ia melanjutkan
studi S-2 di Department of Middle East Languages and Cultures, Columbia University, AS. Tahun 1995, dia menyelesaikan
S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada. Tahun 1991, Faisal
Ismail sempat menjadi mahasiswa Nurcholish Madjid di McGill, saat Nurcholish
menjadi dosen tamu, mengajar mata kuliah “Modern
Islamic Development in Indonesia.”
“Saya ingin menjadi murid yang baik
Nurcholish Madjid, karena itu, saya “berani” dan memberanikan diri mengritisi,
menilai, dan mengritik ide sekularisasi dan desakralisasinya dengan cara
konstruktif-kritis-apresiatif,” tulis Faisal. (hal. 34).
Berbeda dengan banyak cendekiawan yang
memberikan apresiasi dan membela ide sekularisasi Nurcholish Madjid secara
berlebihan, Prof. Faisal Ismail berani mengambil sikap dan posisi yang tegas
dan jelas terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid yang hingga sekarang
masih dikeramatkan oleh sebagian kalangan.
Melalui karya ini, Prof. Faisal menguraikan
secara sistematis dan illmiah kekeliruan gagasan sekularisasi Nurcholish
Madjid. Ia merasa perlu menulis buku tersebut – di sela-sela kesibukannya
sebagai Dubes RI di Kuwait – karena sampai akhir hayatnya, Nurcholish Madjid
belum pernah mengoreksi pemikirannya.
“Sampai dengan meninggalnya di tahun 2005,
Nurcholish tidak pernah berubah dalam pendiriannya tentang ide sekularisasinya.
Tidak ada pernyataan resmi dan terbuka dari dia, baik secara lisan maupun
tertulis, yang isinya merevisi, meredefinisi, mencabut, atau me-mansukh idenya
tentang sekularisasi dan desakralisasi itu. Dia sepenuhnya merasa benar dengan
ide sekularisasinya itu…” (hal. 33)
Menurut Prof. Faisal, ide sekularisasi
Nurcholish itulah perlu dikaji secara cermat dan mendalam, sebab ide itulah
yang menjadi landasan pacu yang strategis bagi agenda kerja dan gerakan
pembaruan Islam yang Nurcholish pelopori.
Ide sekularisasi Nurcholish Madjid sudah berumur
40 tahun. Selama itu sudah cukup banyak yang mengkritisinya. Salah satu
yang terkenal adalah kritik dari Prof. HM Rasjidi. Direktur INSISTS, Dr.
Hamid Fahmy Zarkasyi, juga sudah memberikan kritik ilmiah dan tajam terhadap
gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Kedua pemikir itu pun mempermasalahkan
landasan ilmiah dan epistemologis gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Dalam
bukunya ini, Prof. Faisal Ismail pun lebih jelas lagi memaparkan
“ketidak-ilmiahan” gagasan sekularisasi Nurcholish.
Setelah menelusuri asal-muasal dan berbagai
definisi yang diungkapkan Nurcholish Madjid, Faisal lalu memberikan
kritik-kritik yang mendasar. “Dari segi konsep dan definisi saja, ide
yang Nurcholish klaim sebagai sekularisasi itu sudah tidak memiliki dasar
keilmuan dan tidak tepat,” (hal. 53).
Nurcholish mendefinisikan sekularisasi
sebagai “menduniawikan masalah-masalah yang semestinya bersifat duniawi dan
melepaskan umat Islam daru sikap mengukhrawikannya”. Definisi dan
penjelasan Nurcholish itu dianalisis oleh Faisal dan dibandingkan dengan
pengertian sekularisasi yang diberikan sejumlah cendekiawan, seperti Peter
Beger, Harvey Cox, Fazlur Rahman, HM Rasjidi, Mukti Ali, dan sebagainya.
Kesimpulannya, tulis Faisal: Definisi Nurcholish Madjid tentang sekularisasi
sangat tidak memadai, sangat lemah, bahkan tidak memiliki dasar rujukan ilmiah.
Berbeda dengan Nurcholish, Fazlur Rahman – guru
Nurcholish di Chicago University – memberikan definisi sekularisasi sebagai
berikut:
“Sekularisasi
merupakan proses pemakaian hukum-hukum dan lembaga-lembaga social politik
tanpa rujukan ajaran-ajaran Islam, yakni bersumber dari atau ada kaitannya
dengan prinsip –prinsip Al Quran dan Sunnah Nabi.” (hal. 52).
Dengan kata lain, simpul Prof. Faisal, ide
sekularisasi racikan Nurcholish, dilihat dari sudut pandang ilmiah dan
perspektif akademis dengan sendirinya menjadi sangat layu, “gugur”, dan
“digugurkan” kesahihannya.
Halaman demi halaman buku Prof. Faisal Ismail
ini menyajikan data kerancuan pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid,
sebagaimana disajikan dalam judulnya. Senada dengan Prof. HM Rasjidi, Faisal
juga melihat kesewenang-wenangan Nurcholish dalam memberikan istilah dan
definisi, sehingga tidak dapat dikaji secara ilmiah.
Sebagai contoh, Faisal mengkritik keras gagasan
Nurcholish untuk melakukan sekularisasi secara terbatas, sebagaimana terjadi
pada masyarakat Barat. Faisal menolak gagasan ini, dan menulis: “Menurut
pendapat saya, ide sekularisasi terbatas dalam Islam yang digagas oleh Cak Nur
untuk diterapkan dikalangan umat Islam harus ditolak. Umat Islam tidak
perlu melaksanakan sekularisasi, walaupun secara terbatas.” (hal. 76).
Membaca buku setebal 357 halaman ini cukup
mengasyikkan. Apalagi yang terbiasa menggeluti bidang pemikiran Islam. Meskipun
sudah tiada, Nurcholish Madjid masih terus dijadikan rujukan dalam bidang
pemikiran Islam di Indonesia. Karena itu, buku Prof. Faisal ini sangat penting
dibaca bagi pengkritik maupun pendukung gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid.
Tujuannya, tentu, jangan kita terjebak kepada kebencian tanpa dasar dan jangan
menjadi pemuja tanpa ilmu.
Saya sendiri sudah berulang kali memberikan
kritik terhadap gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Secara khusus, kritik
terhadap sekularisasi Nurcholish saya letakkan dalam satu bab dari buku Wajah
Peradaban Barat. Jika ditelusuri, gagasan sekularisasi Nurcholish sulit
dilepaskan dari ide sekularisasi Harvey Cox, seorang teolog Kristen yang
popular dengan bukunya The
Secular City, tahun 1960-an.
Pada tanggal 2 Januari 1970 Nurcholish Madjid
secara resmi meluncurkan gagasan sekularisasinya dalam diskusi di Menteng Raya
58, Jakarta Pusat. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul
“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dua
puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan pidatonya di
Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 1992, yang dia beri
judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”. Setelah
itu, berjubellah para propagandis sekularisasi di Indonesia.
Jika dicermati, pengaruh “The Secular City” jelas sekali
tampak pada pemikiran Nurcholish Madjid tentang sekularisasi. Misalnya,
tentang etimologi sekularisasi, Nurcholish berpendapat:
“Kata-kata
“sekular” dan “sekularisasi” berasal dari bahasa Barat (Inggris, Belanda dan
lain-lain). Sedangkan asal kata-kata itu, sebenarnya, dari bahasa Latin, yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang
ini. Dan kata-kata saeculum itu sebenarnya adalah salah satu
dari dua kata Latin yang berarti dunia. Kata lainnya ialah mundus. Tetapi, jika saeculum adalah kata waktu, maka mundus adalah
kata ruang”.
Bandingkan ungkapan Nurcholish Madjid itu dengan
kata-kata Harvey Cox:
- “The English word secular derives from the Latin word saeculum, meaning “this present age”… Basically saeculum is one of the two Latin words denoting “world” (the other is mundus)… saeculum is a time word, used frequently to translate the Greek word aeon, which also means age or epoch. Mundus, on the other hand, is a space word.”
Jika Cox mencari legitimasi sekularisasi dalam
agama Kristen, maka Nurcholish mencoba mengadopsi dan menyesuaikan gagasan Cox
dengan mencari legitimasi dalam ajaran Islam. Ia tidak secara terang-terangan
menyatakan, bahwa gagasannya tentang sekularisasi diadopsi dari pemikiran
Harvey Cox. Penjiplakan Nurcholish terhadap ide Cox bisa dilihat lagi
pada upayanya untuk membedakan antara “sekularisasi” dan “sekularisme”,
sebagaimana dilakukan oleh Cox. Menurut Nurcholish, pembedaan antara
“sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan
pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap
rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas
adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang
suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode
itu. Analoginya, lanjut Nurcholish, sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu
proses penduniawian tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah
terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah.
Sekularisasi tanpa sekularisme adalah
sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan
oleh kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi
adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam.
Dalam beberapa hal, jelas sekali terlihat, bahwa
pendapat dan redaksi tulisan Nurcholish Madjid sangat mirip dengan pendapat dan
redaksi tulisan Harvey Cox. Adalah menarik, melihat gaya Nurcholish dalam
mengembangkan ide sekularisasi Harvey Cox. Ketika Cox menyatakan, bahwa
sekularisasi adalah keharusan bagi kaum Kristen, maka Nurcholish melanjutkan,
bahwa “sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat
Islam”. Jika Cox mencari landasan sekularisasi dalam Bibel, maka
Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam.
Sudah sangat banyak kritik diberikan terhadap
gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid. Mudah-mudahan buku Prof. Faisal Ismail
ini semakin memperjelas duduk persoalan dan kekeliruan ide sekularisasi yang
memang sangat tidak diperlukan oleh umat Islam. □ [Adian
Husaini - Depok, September 2010/hidayatullah.com]
Sumber:
granadabooks.com
hidayatullah.com
dan
sumber-sumber lainnya □□