Pendahuluan
S
|
ebagian
orang berdalih dengan sebuah kisah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam di Perang Uhud ketika musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi Perang Uhud. Sebagian kecil shahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di
Madinah, namun kebanyakan shahabat, dan yang belum sempat ikut dalam perang
Badar sebelumnya, cenderung ingin menyongsong lawan di medan terbuka yang
kemudian akhirnya Rasululullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengambil
pendapat mayoritas shahabat.
Mereka berdalih dengan kisah
tersebut diatas untuk menunjukkan bahwa demokrasi dan voting pun sebenarnya
merupakan sesuatu yang disyariatkan. Benarkah demikian?
Dalam demokrasi, orang mengenal
istilah one man one vote (voting).
Dengan satu orang satu suara, maka tak ada lagi istilah Muslim atau non-Muslim,
ulama (orang berpendidikan) atau juhala (orang awam), ahli maksiat atau orang
shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan ‘hukum’. Walhasil,
keputusan terbaik adalah keputusan yang diperoleh dengan suara mayoritas. Lalu
bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang patut didengar suaranya?
Dalam ketatanegaraan Islam, dikenal istilah “ahli syur”’. Posisinya yang sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seseorang pemimpin, ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa hal. Sampai-sampai Nabi Muhammad saw pun diperintahkan untuk melakukan syura, apalagi selain beliau tentunya.
Asy-Syaikh Abdurrahman
As-Sa’di mengatakan:
“Jika Allah
mengatakan kepada Rasul-Nya –padahal beliau adalah orang yang paling sempurna
akalnya, paling banyak ilmunya dan paling bagus idenya– ‘maka bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu’, maka bagaimana dengan selain beliau?” (Taisir
Al-Karimirrahman, hal. 154)
Kata asy-syura (الشُوْرَى) adalah ungkapan lain dari kata musyawarah (مَشَاوَرَةٌ) atau masyurah (مَشُوْرَةٌ) yang dalam bahasa kita dikenal dengan musyawarah, sehingga ahli syura adalah orang yang dipercaya untuk diajak bermusyawarah.
Disyariatkannya
Syura
Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Āli ‘Imrān 3:159)
Juga Allah
memuji kaum mukminin dengan firman-Nya yang artinya:
“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yang kami rizkikan kepada mereka.” (QS Asy-Syūra’ 42:38)
Kedua ayat mulia diatas menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah. Ditambah lagi dengan praktek Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang sering melakukannya dengan para sahabatnya seperti dalam masalah tawanan perang Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menangggapi tuduhan orang-orang munafiq yang menuduh ‘Aisyah berzina, dan lain-lain. Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)
Ibnu Hajar
berkata: “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” (Fathul Bari,
13/341)
Pentingnya Syura
Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama, diantarnya Al-Qurthubi, mengatakan: “Syura adalah keberkahan.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/251)
Al-Hasan Al-Bashri mengatakan:
“Tidaklah
sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka
kepada yang paling utama dari yang mereka ketahui saat itu.” (Ibnu Hajar
mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi
Hatim dengan sanad yang kuat.” Lihat Fathul Bari, 13/340)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya menyebutkan faidah-faidah musyawarah diantaranya:
1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah.
2. Dengan
musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak untuk hadir bermusyawarah) dan menghilangkan ganjalan hati
yang muncul karena sebuah peristiwa. Berbeda halnya dengan yang tidak melakukan
musyawarah. Dikhawatirkan (jika tidak ada musyawarah), orang tidak akan
sungguh-sungguh mencintai dan tidak menaatinya (suatu peraturan dll).
Seandainya menaati pun, tidak dengan penuh ketaatan.
3. Dengan
bermusyawarah, akan menyinari pemikiran karena menggunakan pada tempatnya.
4.
Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, karena hampir-hampir seorang
yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun salah atau
belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela. (Taisir
Karimirrahman, hal. 154)
Apa Yang Perlu Dimusyawarahkan?
Para ulama berbeda pendapat dalam mempermasalahkan hal-hal yang sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam diperintah Allah untuk bermusyawarah dengan para shahabatnya, sebagaimana tersebut dalam surat ke-3, surat Āli ‘Imrān ayat 159.
Dalam hal
ini, Ibnu Jarir menyebutkan beberapa pendapat:
1. Pada masalah strategi peperangan dan dalam menghadapi musuh untuk melegakan para shahabat dan untuk mengikat hati mereka kepada agama ini serta agar mereka melihat bahwa Nabi juga mendengar ucapan mereka.
2. Nabi shalallahu
‘alaihi wassalam justru diperintahkan untuk (institusi musyawarah) bermusyawarah
dalam perkara itu walaupun beliau punya pendapat yang paling benar karena
adanya keutamaan (fadhilah) dalam
musyawarah.
3. Allah
perintahkan Beliau saw untuk
bermusyawarah padahal beliau sesungguhnya sudah cukup dengan bimbingan dari
Allah. Hal ini dalam rangka memberi contoh kepada umatnya sehingga mereka
mengikuti beliau ketika dilanda suatu masalah, dan ketika mereka bersepakat
dalam sebuah perkara, maka Allah akan berikan taufiq-Nya kepada mereka kepada
yang paling benar. (Tafsir Ath-Thabari, 4/152-153 dengan diringkas).
4. Sebagian
ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah musyawarah pada perkara yang Nabi shalallahu
‘alaihi wassalam belum diberi ketentuaannya tentang perkara itu secara
khusus.
5. Maksudnya
yaitu pada urusan keduniaan secara khusus.
6. Pada
perkara agama dan kejadian-kejadian yang belum ada ketentuannya dari Allah yang
harus diikuti. Juga pada urusan yang keduniaan yang dapat dicapai melalui ide
dan perkiraan yang kuat. (Ahkamul Qur’an karya Al-Jashshash, 2/40-42)
Pendapat
terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh Al-Jashshash dengan
alasan-alasan yang disebut dalam buku beliau.
Lalu beliau
juga berkata:
“Dan pasti
Nabi bermusyawarah pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari
Allah. Dimana tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang
telah ada ketentuannya dari Allah. Dan ketika Allah tidak mengkhususkan urusan
agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah, maka
pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan”.
Dan
nampaknya pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya
Fathul Bari (13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat diatas. Juga oleh
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya (hal. 154) seperti yang
terpahami dari ucapan beliau.
Jadi tidak
semua perkara dimusyawarahkan sampai-sampai sesuatu yang telah ditentukan
syariat pun dimusyawarahkan, tetapi bagian tertentu saja seperti yang
dijelaskan diatas.
Yang
mendukung hal ini adalah bacaan ‘Abdullah bin ‘Abbas yang artinya:
“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250)
Semua hal
diatas kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi. Maka yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin
jelas, yaitu pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah
atau Rasul-Nya. Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak
boleh melampauinya. Dan mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut.
Allah ta’ala berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujurāt 49:1)
Al-Imam Al-Bukhari mengatakan:
“Maka Abu
Bakar tidak memilih musyawarah jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah…(karena
ketentuannya sudah ada)” [Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari]
Dan
sebaliknya. Jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak
mengetahuinya, atau lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk mengetahui
ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan sesuatu yang
berbeda dengan ketentuan syariat.
Al-Imam
Asy-Syafi’i mengatakan:
“Seorang
hakim atau pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah karena seorang penasehat
akan mengingatkan dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-dalil yang
tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasehat tersebut pada apa yang
dia katakan. Karena sesungguhnya Allah tidak menjadikan kedudukan yang demikian
(diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi”. (Fathul Bari,
13/342).”
Al-Bukhari mengatakan:
“Dan para
imam setelah Nabi wafat bermusyawarah pada hal-hal yang mubah dengan para ulama
yang amanah untuk mengambil yang paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al-Qur’an
maupun As-Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil
selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…” (Shahih Al-Bukhari,
13/339-340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)
Ibnu Taimiyyah mengatakan:
“Dan jika
seorang pemimpin bermusyawarah dengan mereka (ahli syura) kemudian sebagian
mereka menjelaskan kepadanya sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah
atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma’ kaum muslimin maka dia wajib mengikutinya dan
tiada ketaatan kepada siapapun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika
pada hal-hal yang diperselisihkan kaum muslimin, maka mestinya meminta pendapat
dari masing-masing mereka beserta alasannya, lalu pendapat paling mirip dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan.” (Siyasah Syar’iyyah
karya Ibnu Taimiyyah hal. 133-134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar’iyyah hal.
58))
Al-Qurthubi mengatakan:
“Syura
terjadi karena perbedaan pendapat. Maka seseorang yang bermusyawarah hendaknya
melihat perbedaan tersebut kemudian melihat kepada pendapat yang paling dekat
kepada Al-Qur’an dan As- Sunnah jika ia mampu. Lalu jika Allah membimbingnya
kepada yang Allah kehendaki, maka hendaknya ia ber-‘azam (bertekad) untuk
kemudian melakukannya dengan bertawakkal kepada Allah. Dimana inilah ujung dari
ijtihad yang diminta dan dengan inilah Allah perintahkan Nabi-Nya dalam ayat
ini (Ali Imran: 159).” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)
Memilih Pemimpin dengan Pemilu (Voting)
Sebelumnya telah kita bahas mengenai
SYURO DALAM PANDANGAN ISLAM DAN DEMOKRASI Selanjutnya dalam pembahasan ini akan
kita bahas mengenai pemilihan pemimpin melalui pemilihan umum atau voting atau
jajak pendapat atau referendum.
Dalam
demokrasi, seluruh keputusan dan pengambilan kebijakan dilaksanakan dengan
sistem suara terbanyak. Sedangkan dalam Islam, dilaksanakan dengan sistem
musyawarah untuk mufakat, baru kalau belum ada satu kata dalam mufakat diambil
secara voting – pemilihan suara.
Tatacara
Pemilihan Pemimpin dalam Islam
Jika kita perhatikan sejarah para
Khulafaur Rasyidin, maka akan kita dapati bahwa pemilihan pemimpin dilakukan
dengan cara:
1. Musyawarah dan Berdasarkan Nash
Sebagian ulama mengatakan bahwa Abu
Bakr diangkat sebagai khalifah berdasarkan nash. Dalam hal ini pun
terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan nash khafiy (nash teks dalam makna tersembunyi) dan
berdasarkan nash jaliy (nash
teks dalam makna yang jelas atau terang). Di antara mereka yang
berpendapat berdasarkan nash khafiy adalah Al Hasan Al Bashri,
satu riwayat dari Imam Ahmad, dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya.
Adapun yang berpendapat berdasarkan nash jaliy adalah Ibnu
Hazm Azh Zhahiri, Ibnu Hajar Al Haitami, dan beberapa kalangan dari ahli hadits
lainnya.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakr radliyallāhu ’anhu didasarkan pada
kesepakatan ahlul-halli wal-’aqdi yang berasal dari kaum Muhajirin
dan Anshar setelah sebelumnya terjadi perselisihan di antara mereka. Dalam hal
ini, ketidak sepakatan sebagian orang di antara mereka tidaklah dianggap (yaitu
misalnya ketidak sepakatan Sa’d bin ’Ubadah radliyallaahu ’anhu).
2. Penunjukan Langsung
Cara seperti ini adalah seperti yang
dilakukan oleh Abu Bakr kepada ’Umar bin Al-Khaththab radliyallāhu ’anhuma. Setelah Abu Bakr meminta pandangan dari
beberapa orang shahabat tentang diri ’Umar bin Al-Khaththab (diantaranya
’Abdurrahman bin ’Auf, ’Utsman bin ’Affan, Sa’id bin Zaid, Usaid bin Hudlair,
dan yang lainnya), maka beliau memanggil ’Utsman dan menyuruhnya untuk menulis
wasiat penunjukkan ’Umar bin Al-Khaththab sebagai pengganti beliau menjadi
khalifah.
3. Pembentukan Tim Formatur dan Jajak Pendapat
Ketika Khalifah Umar bin Khatab
mendekati ajalnya, beliau menunjukkan 6 orang yang bertanggung jawab memilih
penggantinya. Beliau mengatakan yang artinya:
”Saya tidak
menjumpai orang yang lebih berhak untuk memegang tampuk kekhalifahan ini,
selain sekelompok orang ini, yaitu orang-orang yang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat,
beliau ridha kepada mereka.”
Kemudian
Umar menyebut beberapa nama, diantaranya, Ali, Utsman, az-Zubair, Thalhah, Sa’d
bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Usai pemakaman jenazah Umar radhiyallāhu ‘anhu, enam orang ini
berkumpul. Abdurrahman memimpin rapat. Beliau mengatakan, “Limpahkan wewenang
kepemimpinan kepada 3 orang diantara kalian.”
Artinya,
kerucutkan calon khalifah menjadi 3 orang. Az-Zubair mengatakan: “Aku limpahkan
urusan ini kepada Ali.” Thalhah mengatakan: “Aku limpahkan urusan ini kepada
Utsman.” Sementara Sa’d melimpahkan urusannya kepada Abdurrahman bin Auf.
Seketika, Abdurrahman mengarahkan kepemimpinan kepada Ali dan Utsman, “Siapa
diantara kalian yang menyatakan tidak bersedia menjadi khalifah, akan aku pilih
sebagai khalifah. Allah akan menjadi saksi dan Islam menjadi hukum sesuai yang
dia putuskan. Silahkan renungkan masing-masing.” Mendengar ini, dua sahabat
mulia – Ali dan Utsman – terdiam. (HR Bukhari 3700).
Dr. Utsman al-Khamis menjelaskan
bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon khalifah,
antara Ali dan Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya selama 3
hari. Selama rentang 3 hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah
di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah diantara dua orang ini
yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu
mengatakan, “Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum
Muhajirin dan Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan
seorangpun yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79).
Anda bisa
perhatikan, dalam hadis di atas, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu melakukan jajak pendapat, keliling kota Madinah,
untuk menentukan siapa yang lebih layak menjadi khalifah. Dan penduduk Madinah,
tidak ada yang tidak setuju jika Utsman yang menjadi khalifah.
4. Pemberontakan atau pemaksaan.
Yaitu, imamah diperoleh
dengan jalan mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan menggunakan pedangnya,
lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan dengan kekuatan yang dimilikinya,
sehingga kekuasaan atas umat Islam pun beralih kepadanya. Pada saat itulah,
umat Islam wajib (dibolehkan) untuk taat (darurat) kepadanya, karena upaya
untuk melakukan pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat Islam.
Namun bila ini terjadi, maka (secara
darurat) sah kepemimpinannya tersebut dan umat wajib (dibolehkan) berbaiat
untuk mentaatinya. Ini adalah pendapat masyhur dari kalangan Ahlus-Sunnah.
Tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini.
Pemilihan
Umum untuk Memilih Pemimpin Muslim
Sebagaimana dijelaskan Dr. Utsman
al-Khamis bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon
khalifah, antara Ali dan Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya
selama 3 hari.
Selama
rentang 3 hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah,
menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah diantara dua orang ini yang layak
untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan
Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun
yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79).
Anda bisa
perhatikan, dalam hadits di atas, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu melakukan jajak pendapat, keliling kota Madinah,
untuk menentukan siapa yang lebih layak (suaranya dalam memilih) menjadi
khalifah. Dan penduduk Madinah, tidak ada yang tidak setuju jika Utsman yang
menjadi khalifah.
Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah
wan Nihayah, bahwasanya Abdurrahman menggunakan batas waktu tiga hari
secara maksimal. Dia meminta masukan dari orang-orang Madinah, mana yang mereka
pilih antara Utsman dan Ali. Hampir semua lapisan masyarakat ditanya; sahabat
senior, para tokoh, tentara, laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang sedang
belajar di kuttab juga ikut ditanya. Bahkan, orang-orang yang baru
datang ke Madinah serta orang-orang Badui juga turut diminta pendapatnya.
Tidak ada
perbedaan dalam “pemilihan umum” yang dilakukan Abdurrahman. Entah itu sahabat
senior, orang Badui, pendatang, laki-laki, perempuan, maupun anak-anak,
semuanya sama; satu orang satu suara. Karena mayoritas mereka memilih Utsman,
maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas.
Tidak ada
seorang pun yang menentang pengangkatan ini. Juga tidak ada yang
mempermasalahkan persamaan suara seorang sahabat utama dengan suara orang Badui
atau antara suara pria dan wanita. Sebagaimana tidak ada perbedaan di hadapan
hukum, dalam memilih pemimpin pun semua orang Islam sama; masing-masing satu
suara.
Dari sini dapat kita ambil
kesimpulan bahwa memilih pemimpin dengan cara jajak pendapat diperbolehkan ketika musyawarah tidak bisa memberikan mufakat
untuk menentukan pemimpin terpilih dari calon-calon yang ada.
Syarat Pemilih dan Calon
Kandidat
Namun, perlu dibatasi mengenai
syarat-syarat calon yang dipilih dan pemilihnya:
Kita bicara
tentang Pemilu di negeri Muslim: kandidatnya Muslim, pemilihnya pun Muslim dan
keterlibatan nonMuslim dalam proses itu sangat tidak signifikan.
Adanya
campur tangan manusia untuk menentukan jalan hidupnya selama masih dalam kaidah
umum nash syariat Islam. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Hadirkanlah
dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS Ath-Thalāq 65:2). “Jika kamu
khawatir adanya perselisihan antara keduanya, hendaklah kamu hadirkan seorang
hakim dari keluarga suami dan seorang hakim dari keluarga isteri.” (QS An-Nisā’
4:35).
Jika kita
perhatikan dengan seksama Pemilu atau pemungutan suara menurut Islam adalah
pemberian kesaksian terhadap kelayakan calon pejabat negara atau calon anggota
dewan. Oleh karena itu, si pemilih harus punya kelayakan sebagai seorang
saksi adil dan baik perilakunya sehingga orang banyak ridha kepadanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang
artinya:
“Hadirkanlah
dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS Ath-Thalāq 65:2) “Dari
saksi-saksi yang kamu ridhai.” (QS Al-Baqarah 2:282). Si pemilih harus jujur
bahwa orang yang dipilihnya adalah orang shalih. Jika ternyata bohong (tidak
shalih), berarti ia telah berbuat dosa besar karena memberikan qauluz zur
(kesaksian palsu). “Jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta (kesaksian palsu).” (QS Al-Hajj 22:30).
Jadi, siapa
saja yang memberikan kesaksian (memilih) calon pemimpin atau lainnya
semata-mata karena orang tersebut masih kerabatnya, karena putera daerahnya
atau demi keuntungan pribadi dari pilihannya (baca: nepotisme) tanpa memperhatikan kesolehan dan kecakapan, berarti itu
menyalahi perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala, “Hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS Ath-Thalāq
65:2).
Di sisi lain, siapa yang tidak mau
memberikan kesaksian (hak suara) sedangkan orang yang tidak layak dan tidak
memenuhi syarat mendapatkan kemenangan; berarti ia telah menyembunyikan
kesaksian yang sangat dibutuhkan umat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya:
“Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) jika mereka dipanggil.” (QS Al-Baqarah
2:208) “Janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Siapa saja yang
menyembunyikannya, sesungguhnya dialah orang yang berdosa hatinya.” (QS Al-Baqarah
2:283)
Kesaksian
terhadap sifat dan syarat kandidat yaitu shalih, layak dan berilmu
adalah hal yang lebih utama untuk diperhatikan. Pada akhirnya, patokan dan
arahan dalam Pemilu yang seolah berasal dari luar tampak sejalan dengan Islam.
Jadi,
seseorang yang tidak mememuhi syarat-syarat sebagai saksi menurut standar
Islam, maka gugurlah hak pilihnya dan hal dipilihnya.
Penutup
Demikianlah gambaran Musyawarah dan
Voting dalam Islam yang pernah terjadi dalam pemerintahan sejak awal
berdirinya. Perlu dicatat disini bahwa ada pendapat dibolehkannya (walaupun
keadaan darurat) dari ijtihad ulama seperti tersebut diatas, yaitu imamah diperoleh dengan
jalan mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan menggunakan pedangnya (bughat, kudeta),
lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan dengan kekuatan yang dimilikinya,
sehingga kekuasaan atas umat Islam pun beralih kepadanya. Pada saat itulah,
umat Islam wajib (dibolehkan) untuk taat (darurat) kepadanya, karena upaya
untuk melakukan pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat Islam.
Pendapat ulama ini yang mensahkan (membolehkan)
perolehan kepemimpinan dengan jalan seperti itu sangat bertentangan dengan Sunnah
Rasul saw bahwa apa yang dilakukan
orang tersebut ketika bughat (kudeta) merebut kekuasaan
merupakan satu kemaksiatan yang besar menurut pandangan syari’at Islam, karena
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda,
“Barangsiapa yang memberontak kepada kami dengan senjata (kudeta), maka dia
bukan golongan kami” (HR Al-Bukhari no. 6874, 7070 dan Muslim no. 98)
Kalau dipandang perlu karena
kepemimpinan jauh sekali menyimpang dari syariat Islam, maka boleh melakukan
dengan jalan musyawarah impeachment
(pemecatan dari jabatannya) dimana kalau tidak dapat secara mufakat (aklamasi),
maka lakukan dengan jalan pemungutan suara (voting).
Cara ini masih dalam koridor yang baik dari bughat (kudeta). Wallāhu a’lam bish-Shawab. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Sumber:
https://adiabdullah.wordpress.com/2008/03/09/antara-musyawarah-dan-voting/
(Artikel ini diambil dari tulisan Buletin Al ilmu Jember edisi 7/II/II/1425 di
situs Darussalaf dengan penyesuain seperlunya dari admin)
http://www.fimadani.com/hukum-memilih-pemimpin-dengan-pemilu-voting/□□□