Wednesday, October 12, 2016

Antara Musyawarah dan Voting Dalam Islam





Pendahuluan

S
ebagian orang berdalih dengan sebuah kisah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam di Perang Uhud ketika musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi Perang Uhud. Sebagian kecil shahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di Madinah, namun kebanyakan shahabat, dan yang belum sempat ikut dalam perang Badar sebelumnya, cenderung ingin menyongsong lawan di medan terbuka yang kemudian akhirnya Rasululullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengambil pendapat mayoritas shahabat.

            Mereka berdalih dengan kisah tersebut diatas untuk menunjukkan bahwa demokrasi dan voting pun sebenarnya merupakan sesuatu yang disyariatkan. Benarkah demikian?

            Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote (voting). Dengan satu orang satu suara, maka tak ada lagi istilah Muslim atau non-Muslim, ulama (orang berpendidikan) atau juhala (orang awam), ahli maksiat atau orang shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan ‘hukum’. Walhasil, keputusan terbaik adalah keputusan yang diperoleh dengan suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang patut didengar suaranya?

            Dalam ketatanegaraan Islam, dikenal istilah “ahli syur”’. Posisinya yang sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seseorang pemimpin, ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa hal.  Sampai-sampai Nabi Muhammad saw pun diperintahkan untuk melakukan syura, apalagi selain beliau tentunya.

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan:

“Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya –padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya dan paling bagus idenya– ‘maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’, maka bagaimana dengan selain beliau?” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 154)

Kata asy-syura (
الشُوْرَى) adalah ungkapan lain dari kata musyawarah (مَشَاوَرَةٌ) atau masyurah (مَشُوْرَةٌ) yang dalam bahasa kita dikenal dengan musyawarah, sehingga ahli syura adalah orang yang dipercaya untuk diajak bermusyawarah.


Disyariatkannya Syura

Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Āli ‘Imrān 3:159)

Juga Allah memuji kaum mukminin dengan firman-Nya yang artinya:

“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yang kami rizkikan kepada mereka.” (QS Asy-Syūra’ 42:38)

            Kedua ayat mulia diatas menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah. Ditambah lagi dengan praktek Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang sering melakukannya dengan para sahabatnya seperti dalam masalah tawanan perang Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menangggapi tuduhan orang-orang munafiq yang menuduh ‘Aisyah berzina, dan lain-lain. Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)

Ibnu Hajar berkata: “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” (Fathul Bari, 13/341)


Pentingnya Syura

            Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama, diantarnya Al-Qurthubi, mengatakan: “Syura adalah keberkahan.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/251)

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan:

Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari yang mereka ketahui saat itu.” (Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang kuat.” Lihat Fathul Bari, 13/340)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya menyebutkan faidah-faidah musyawarah diantaranya:

1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah.

2. Dengan musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak untuk hadir  bermusyawarah) dan menghilangkan ganjalan hati yang muncul karena sebuah peristiwa. Berbeda halnya dengan yang tidak melakukan musyawarah. Dikhawatirkan (jika tidak ada musyawarah), orang tidak akan sungguh-sungguh mencintai dan tidak menaatinya (suatu peraturan dll). Seandainya menaati pun, tidak dengan penuh ketaatan.

3. Dengan bermusyawarah, akan menyinari pemikiran karena menggunakan pada tempatnya.

4. Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, karena hampir-hampir seorang yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun salah atau belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela. (Taisir Karimirrahman, hal. 154)


Apa Yang Perlu Dimusyawarahkan?

            Para ulama berbeda pendapat dalam mempermasalahkan hal-hal yang sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam diperintah Allah untuk bermusyawarah dengan para shahabatnya, sebagaimana tersebut dalam surat ke-3, surat Āli ‘Imrān ayat 159.

Dalam hal ini, Ibnu Jarir menyebutkan beberapa pendapat:

1. Pada masalah strategi peperangan dan dalam menghadapi musuh untuk melegakan para shahabat dan untuk mengikat hati mereka kepada agama ini serta agar mereka melihat bahwa Nabi juga mendengar ucapan mereka.

2. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam justru diperintahkan untuk (institusi musyawarah) bermusyawarah dalam perkara itu walaupun beliau punya pendapat yang paling benar karena adanya keutamaan (fadhilah) dalam musyawarah.

3. Allah perintahkan Beliau saw untuk bermusyawarah padahal beliau sesungguhnya sudah cukup dengan bimbingan dari Allah. Hal ini dalam rangka memberi contoh kepada umatnya sehingga mereka mengikuti beliau ketika dilanda suatu masalah, dan ketika mereka bersepakat dalam sebuah perkara, maka Allah akan berikan taufiq-Nya kepada mereka kepada yang paling benar. (Tafsir Ath-Thabari, 4/152-153 dengan diringkas).

4. Sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah musyawarah pada perkara yang Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam belum diberi ketentuaannya tentang perkara itu secara khusus.

5. Maksudnya yaitu pada urusan keduniaan secara khusus.

6. Pada perkara agama dan kejadian-kejadian yang belum ada ketentuannya dari Allah yang harus diikuti. Juga pada urusan yang keduniaan yang dapat dicapai melalui ide dan perkiraan yang kuat. (Ahkamul Qur’an karya Al-Jashshash, 2/40-42)


Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh Al-Jashshash dengan alasan-alasan yang disebut dalam buku beliau.

Lalu beliau juga berkata:

“Dan pasti Nabi bermusyawarah pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari Allah. Dimana tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang telah ada ketentuannya dari Allah. Dan ketika Allah tidak mengkhususkan urusan agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah, maka pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan”.

Dan nampaknya pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari (13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat diatas. Juga oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya (hal. 154) seperti yang terpahami dari ucapan beliau.


Jadi tidak semua perkara dimusyawarahkan sampai-sampai sesuatu yang telah ditentukan syariat pun dimusyawarahkan, tetapi bagian tertentu saja seperti yang dijelaskan diatas.


Yang mendukung hal ini adalah bacaan ‘Abdullah bin ‘Abbas yang artinya:

Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250)

Semua hal diatas kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi. Maka yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin jelas, yaitu pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah atau Rasul-Nya. Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya. Dan mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut.

Allah ta’ala berfirman yang artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujurāt 49:1)

Al-Imam Al-Bukhari mengatakan:

“Maka Abu Bakar tidak memilih musyawarah jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah…(karena ketentuannya sudah ada)” [Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari]

Dan sebaliknya. Jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak mengetahuinya, atau lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk mengetahui ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan sesuatu yang berbeda dengan ketentuan syariat.

Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan:

“Seorang hakim atau pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah karena seorang penasehat akan mengingatkan dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasehat tersebut pada apa yang dia katakan. Karena sesungguhnya Allah tidak menjadikan kedudukan yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi”. (Fathul Bari, 13/342).”

Al-Bukhari mengatakan:

“Dan para imam setelah Nabi wafat bermusyawarah pada hal-hal yang mubah dengan para ulama yang amanah untuk mengambil yang paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…” (Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)

Ibnu Taimiyyah mengatakan:

“Dan jika seorang pemimpin bermusyawarah dengan mereka (ahli syura) kemudian sebagian mereka menjelaskan kepadanya sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma’ kaum muslimin maka dia wajib mengikutinya dan tiada ketaatan kepada siapapun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika pada hal-hal yang diperselisihkan kaum muslimin, maka mestinya meminta pendapat dari masing-masing mereka beserta alasannya, lalu pendapat paling mirip dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan.” (Siyasah Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyyah hal. 133-134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar’iyyah hal. 58))

Al-Qurthubi mengatakan:

“Syura terjadi karena perbedaan pendapat. Maka seseorang yang bermusyawarah hendaknya melihat perbedaan tersebut kemudian melihat kepada pendapat yang paling dekat kepada Al-Qur’an dan As- Sunnah jika ia mampu. Lalu jika Allah membimbingnya kepada yang Allah kehendaki, maka hendaknya ia ber-‘azam (bertekad) untuk kemudian melakukannya dengan bertawakkal kepada Allah. Dimana inilah ujung dari ijtihad yang diminta dan dengan inilah Allah perintahkan Nabi-Nya dalam ayat ini (Ali Imran: 159).” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)


Memilih Pemimpin dengan Pemilu (Voting)

            Sebelumnya telah kita bahas mengenai SYURO DALAM PANDANGAN ISLAM DAN DEMOKRASI Selanjutnya dalam pembahasan ini akan kita bahas mengenai pemilihan pemimpin melalui pemilihan umum atau voting atau jajak pendapat atau referendum.

Dalam demokrasi, seluruh keputusan dan pengambilan kebijakan dilaksanakan dengan sistem suara terbanyak. Sedangkan dalam Islam, dilaksanakan dengan sistem musyawarah untuk mufakat, baru kalau belum ada satu kata dalam mufakat diambil secara voting – pemilihan suara.


Tatacara Pemilihan Pemimpin dalam Islam

            Jika kita perhatikan sejarah para Khulafaur Rasyidin, maka akan kita dapati bahwa pemilihan pemimpin dilakukan dengan cara:

1. Musyawarah  dan Berdasarkan Nash

            Sebagian ulama mengatakan bahwa Abu Bakr  diangkat sebagai khalifah berdasarkan nash. Dalam hal ini pun terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan nash khafiy (nash teks dalam makna tersembunyi) dan berdasarkan nash jaliy (nash teks dalam makna yang jelas atau terang). Di antara mereka yang berpendapat berdasarkan nash khafiy adalah Al Hasan Al Bashri, satu riwayat dari Imam Ahmad, dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya. Adapun yang berpendapat berdasarkan nash jaliy adalah Ibnu Hazm Azh Zhahiri, Ibnu Hajar Al Haitami, dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakr radliyallāhu ’anhu didasarkan pada kesepakatan ahlul-halli wal-’aqdi yang berasal dari kaum Muhajirin dan Anshar setelah sebelumnya terjadi perselisihan di antara mereka. Dalam hal ini, ketidak sepakatan sebagian orang di antara mereka tidaklah dianggap (yaitu misalnya ketidak sepakatan Sa’d bin ’Ubadah radliyallaahu ’anhu).

2. Penunjukan Langsung

            Cara seperti ini adalah seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr kepada ’Umar bin Al-Khaththab radliyallāhu ’anhuma. Setelah Abu Bakr meminta pandangan dari beberapa orang shahabat tentang diri ’Umar bin Al-Khaththab (diantaranya ’Abdurrahman bin ’Auf, ’Utsman bin ’Affan, Sa’id bin Zaid, Usaid bin Hudlair, dan yang lainnya), maka beliau memanggil ’Utsman dan menyuruhnya untuk menulis wasiat penunjukkan ’Umar bin Al-Khaththab sebagai pengganti beliau menjadi khalifah.

3. Pembentukan Tim Formatur dan Jajak Pendapat

            Ketika Khalifah Umar bin Khatab mendekati ajalnya, beliau menunjukkan 6 orang yang bertanggung jawab memilih penggantinya. Beliau mengatakan yang artinya:

”Saya tidak menjumpai orang yang lebih berhak untuk memegang tampuk kekhalifahan ini, selain sekelompok orang ini, yaitu orang-orang yang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau ridha kepada mereka.”

Kemudian Umar menyebut beberapa nama, diantaranya, Ali, Utsman, az-Zubair, Thalhah, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Usai pemakaman jenazah Umar radhiyallāhu ‘anhu, enam orang ini berkumpul. Abdurrahman memimpin rapat. Beliau mengatakan, “Limpahkan wewenang kepemimpinan kepada 3 orang diantara kalian.”

Artinya, kerucutkan calon khalifah menjadi 3 orang. Az-Zubair mengatakan: “Aku limpahkan urusan ini kepada Ali.” Thalhah mengatakan: “Aku limpahkan urusan ini kepada Utsman.” Sementara Sa’d melimpahkan urusannya kepada Abdurrahman bin Auf. Seketika, Abdurrahman mengarahkan kepemimpinan kepada Ali dan Utsman, “Siapa diantara kalian yang menyatakan tidak bersedia menjadi khalifah, akan aku pilih sebagai khalifah. Allah akan menjadi saksi dan Islam menjadi hukum sesuai yang dia putuskan. Silahkan renungkan masing-masing.” Mendengar ini, dua sahabat mulia – Ali dan Utsman – terdiam. (HR Bukhari 3700).

            Dr. Utsman al-Khamis menjelaskan bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon khalifah, antara Ali dan Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya selama 3 hari. Selama rentang 3 hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah diantara dua orang ini yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79).

Anda bisa perhatikan, dalam hadis di atas, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu melakukan jajak pendapat, keliling kota Madinah, untuk menentukan siapa yang lebih layak menjadi khalifah. Dan penduduk Madinah, tidak ada yang tidak setuju jika Utsman yang menjadi khalifah.

4. Pemberontakan atau pemaksaan.

            Yaitu, imamah diperoleh dengan jalan mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan menggunakan pedangnya, lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan dengan kekuatan yang dimilikinya, sehingga kekuasaan atas umat Islam pun beralih kepadanya. Pada saat itulah, umat Islam wajib (dibolehkan) untuk taat (darurat) kepadanya, karena upaya untuk melakukan pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat Islam.

            Namun bila ini terjadi, maka (secara darurat) sah kepemimpinannya tersebut dan umat wajib (dibolehkan) berbaiat untuk mentaatinya. Ini adalah pendapat masyhur dari kalangan Ahlus-Sunnah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini.


Pemilihan Umum untuk Memilih Pemimpin Muslim

            Sebagaimana dijelaskan Dr. Utsman al-Khamis bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon khalifah, antara Ali dan  Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya selama 3 hari.

Selama rentang 3 hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah diantara dua orang ini yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79).

Anda bisa perhatikan, dalam hadits di atas, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu melakukan jajak pendapat, keliling kota Madinah, untuk menentukan siapa yang lebih layak (suaranya dalam memilih) menjadi khalifah. Dan penduduk Madinah, tidak ada yang tidak setuju jika Utsman yang menjadi khalifah.

            Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah, bahwasanya Abdurrahman menggunakan batas waktu tiga hari secara maksimal. Dia meminta masukan dari orang-orang Madinah, mana yang mereka pilih antara Utsman dan Ali. Hampir semua lapisan masyarakat ditanya; sahabat senior, para tokoh, tentara, laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang sedang belajar di kuttab juga ikut ditanya. Bahkan, orang-orang yang baru datang ke Madinah serta orang-orang Badui juga turut diminta pendapatnya.

Tidak ada perbedaan dalam “pemilihan umum” yang dilakukan Abdurrahman. Entah itu sahabat senior, orang Badui, pendatang, laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, semuanya sama; satu orang satu suara. Karena mayoritas mereka memilih Utsman, maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas.

Tidak ada seorang pun yang menentang pengangkatan ini. Juga tidak ada yang mempermasalahkan persamaan suara seorang sahabat utama dengan suara orang Badui atau antara suara pria dan wanita. Sebagaimana tidak ada perbedaan di hadapan hukum, dalam memilih pemimpin pun semua orang Islam sama; masing-masing satu suara.

            Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa memilih pemimpin dengan cara jajak pendapat diperbolehkan ketika musyawarah tidak bisa memberikan mufakat untuk menentukan pemimpin terpilih dari calon-calon yang ada.


Syarat Pemilih dan Calon Kandidat

            Namun, perlu dibatasi mengenai syarat-syarat calon yang dipilih dan pemilihnya:

Kita bicara tentang Pemilu di negeri Muslim: kandidatnya Muslim, pemilihnya pun Muslim dan keterlibatan nonMuslim dalam proses itu sangat tidak signifikan.

Adanya campur tangan manusia untuk menentukan jalan hidupnya selama masih dalam kaidah umum nash syariat Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

“Hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS Ath-Thalāq 65:2). “Jika kamu khawatir adanya perselisihan antara keduanya, hendaklah kamu hadirkan seorang hakim dari keluarga suami dan seorang hakim dari keluarga isteri.” (QS An-Nisā’ 4:35).

Jika kita perhatikan dengan seksama Pemilu atau pemungutan suara menurut Islam adalah pemberian kesaksian terhadap kelayakan calon pejabat negara atau calon anggota dewan. Oleh karena itu, si pemilih harus punya kelayakan sebagai seorang saksi adil dan baik perilakunya sehingga orang banyak ridha kepadanya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

“Hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS Ath-Thalāq 65:2) “Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (QS Al-Baqarah 2:282). Si pemilih harus jujur bahwa orang yang dipilihnya adalah orang shalih. Jika ternyata bohong (tidak shalih), berarti ia telah berbuat dosa besar karena memberikan qauluz zur (kesaksian palsu). “Jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta (kesaksian palsu).” (QS Al-Hajj 22:30).

Jadi, siapa saja yang memberikan kesaksian (memilih) calon pemimpin atau lainnya semata-mata karena orang tersebut masih kerabatnya, karena putera daerahnya atau demi keuntungan pribadi dari pilihannya (baca: nepotisme) tanpa memperhatikan kesolehan dan kecakapan, berarti itu menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS Ath-Thalāq 65:2).

            Di sisi lain, siapa yang tidak mau memberikan kesaksian (hak suara) sedangkan orang yang tidak layak dan tidak memenuhi syarat mendapatkan kemenangan; berarti ia telah menyembunyikan kesaksian yang sangat dibutuhkan umat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

“Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) jika mereka dipanggil.” (QS Al-Baqarah 2:208) “Janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Siapa saja yang menyembunyikannya, sesungguhnya dialah orang yang berdosa hatinya.” (QS Al-Baqarah 2:283)

Kesaksian terhadap sifat dan syarat kandidat yaitu shalih, layak dan berilmu adalah hal yang lebih utama untuk diperhatikan. Pada akhirnya, patokan dan arahan dalam Pemilu yang seolah berasal dari luar tampak sejalan dengan Islam.
Jadi, seseorang yang tidak mememuhi syarat-syarat sebagai saksi menurut standar Islam, maka gugurlah hak pilihnya dan hal dipilihnya.


Penutup

            Demikianlah gambaran Musyawarah dan Voting dalam Islam yang pernah terjadi dalam pemerintahan sejak awal berdirinya. Perlu dicatat disini bahwa ada pendapat dibolehkannya (walaupun keadaan darurat) dari ijtihad ulama seperti tersebut diatas,  yaitu imamah diperoleh dengan jalan mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan menggunakan pedangnya (bughat, kudeta), lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan dengan kekuatan yang dimilikinya, sehingga kekuasaan atas umat Islam pun beralih kepadanya. Pada saat itulah, umat Islam wajib (dibolehkan) untuk taat (darurat) kepadanya, karena upaya untuk melakukan pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat Islam.

            Pendapat ulama ini yang mensahkan (membolehkan) perolehan kepemimpinan dengan jalan seperti itu sangat bertentangan dengan Sunnah Rasul saw bahwa apa yang dilakukan orang tersebut ketika bughat (kudeta) merebut kekuasaan merupakan satu kemaksiatan yang besar menurut pandangan syari’at Islam, karena Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang memberontak kepada kami dengan senjata (kudeta), maka dia bukan golongan kami” (HR Al-Bukhari no. 6874, 7070 dan Muslim no. 98)

            Kalau dipandang perlu karena kepemimpinan jauh sekali menyimpang dari syariat Islam, maka boleh melakukan dengan jalan musyawarah impeachment (pemecatan dari jabatannya) dimana kalau tidak dapat secara mufakat (aklamasi), maka lakukan dengan jalan pemungutan suara (voting). Cara ini masih dalam koridor yang baik dari bughat (kudeta). Wallāhu a’lam bish-Shawab. Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM



Sumber:

https://adiabdullah.wordpress.com/2008/03/09/antara-musyawarah-dan-voting/ (Artikel ini diambil dari tulisan Buletin Al ilmu Jember edisi 7/II/II/1425 di situs Darussalaf dengan penyesuain seperlunya dari admin)

http://www.fimadani.com/hukum-memilih-pemimpin-dengan-pemilu-voting/□□□