Thursday, October 20, 2016

Sara Demokrasi Toleransi




Kata Pengantar

      Dr. KH. A. Mustain Syafi’i, MA, Pengasuh ponpes Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang mengatakan: Isu SARA dilarang jika untuk memprovokasi, menfitnah, merendahkan dll. Tapi apa salahnya, apa yang dilanggar bila muslim memilih pemimpin seiman dan menolak yang tidak seiman tanpa merendahkan keimanan yang lain. Adalah hak bagi setiap warga memilih pemimpin sesama Suku, tanpa merendahkan Suku lain. Sesama Ras, tanpa menfitnah Ras yang lain atau sama Adat tanpa menghina Adat lain. Itu hak berdemokrasi.

     Di Indonesia sering rancu antara SARA, DEMOKRASI dan TOLERANSI, terutama dalam menghadapi Pemilu dan Pilkada. Bahkan pengertian ketiga kata kata itu sering dalam pelaksanaannya inkonsisten (tidak konsisten) dalam prakteknya.

     Untuk membahas hal tersebut diatas ada tiga sumber yang akan diketengahkan disini. Pertama: Tulisan Imam Shamsi Ali dalam tajuk “Inkonsistensi”. Kedua: Tulisan Dr. KH. A. Mustain Syafi’i, MA dalam tajuk “Masihkah NU sebagai Organisasi Keagamaan?” Ketiga: Tulisan Dr. Gamal Albinsaid dalam tajuk “Betapa Tinggi Makna Toleransi” (tajuk aslinya The Highest Result of Tolerance is Respect and Social Relations). AFM


INKONSISTENSI
Oleh: Imam Shamsi Ali [1]


D
alam ajaran Islam, sikap konsisten adalah kunci kesuksesan. Pengakuan atau keimanan kepada Tuhan yang Satu, Rabbunallah, menuntut sikap konsisten (istaqāmu). Jika tidak, boleh jadi pengakuan itu tinggalah hiasan bibir.

       Dalam dunia yang penuh "tipu daya" (tricks) saat ini, sikap konsisten itu semakin menipis. Berbagai pernyataan, opini, propaganda, dan semacamnya tidak lagi konsisten pada "nilai kebenarannya". Tapi terombang ambing di tengah derasnya gelombang kepentingan (bahkan disertai money politics, sogok – Admin).

        Keadilan yang menjadi dasar kemuliaan hidup manusia menjadi keadilan sepihak karena hilangnya "konsistensi". Di dalam menilai dan memperjuangkan keadilan kerap kali tersembunyi maksud. Yaitu keadilan untuk diri atau kelompok sendiri. Ketika keadilan itu memihak pada diri dan kelompok kita maka itulah keadilan yang mutlak dipertahankan dan diperjuangkan. Sebaliknya ketika keadilan itu dimaksudkan bagi orang lain, apalagi yang dianggap lawan, maka keadilan bisa dipersepsikan atau dikampanyekan sebagai "kezaliman". (Sama seperti yang dikatakan pepatah lama: “Tiba di diri dikembangkan. Tiba di diri orang lain dikempiskan” – Admin)

      Ketika kaum penguasa atau penjajah melakukan kekerasan maka itu adalah penegakan hukum dan untuk menjamin keamanan. Tapi ketika kaum lemah dan terjajah melakukan perlawanan maka itu adalah "kekerasan dan terorisme".

       Kebebasan juga demikian. Ketika kebebasan itu dieskpresikan oleh kita atau kelompok kita maka kebebasan itu murni sebagai kebebasan. Tapi ketika kebebasan itu diekspresikan oleh pihak lain, apalagi jika ekspresi kebebasan itu berlawanan dengan konsep dan pemahaman, atau kepentingan kita dan kelompok kita, maka kebebasan itu berbalik menjadi "keterkungkungan".

       Wanita-wanita di dunia barat bebas berpakaian sesuai keinginannya. Bahkan bebas setengah berpakaian, bahkan tidak berpakaian sekalipun. Tidak akan dihalangi selama itu tidak mengganggu orang lain. Tapi ketika wanita-wanita Muslimah berpakaian dengan ekspresi kebebasan yang dipahaminya, oleh pihak lain akan dipandang sebagai "keterkungkungan".

        Beberapa waktu lalu ada tiga orang Amerika di Kansas ditangkap karena akan melakukan pemboman ke pemukiman imigran Somalia. Menurut informasi FBI mereka menamakan kelompok "crusaders" itu telah membuat, dan mampu membuat alat pemboman.

          Hari ini kita baca berita dengan judul: White privilege wages jihad: Kansas “militia members” aren’t considered “terrorists” because they’re not Muslim.

Itu satu sikap inkonsisten, bahkan kemunafikan dalam menyikapi permasalahan yang ada. Bayangkan jika yang tertangkap itu adalah seseorang yang beragama Islam. Pastilah tanpa penyelidikan awal semua media akan melabelkannya dengan "islamic terrorist".


Toleransi

        Kita hidup dalam dunia ragam. Ragam suku, bangsa, budaya dan bahkan agama dan bahkan asosiasi politik. Keragaman ini rentan membawa kepada gesekan-gesekan sosial, jika tidak terantisipasi dengan baik dan dengan kedewasaan.

        Seringkali kita dengarkan bahwa kunci utama dari solusi permasalahan sosial akibat keragaman ini adalah toleransi. Tapi sejujurnya toleransi bukanlah kata yang tepat. Kata yang tepat adalah saling belajar (ta'aruf) sehingga tumbuh sikap saling memahami (tafahum). Dari sikap saling memahami inilah semua pihak akan belajar untuk saling "menghormati" berdasarkan kepada kebebasan yang masing-masing dipilihnya.

        Tapi anggaplah kita semua sepakat menerima istilah toleransi sebagai jembatan yang bisa mendekatkan sekat-sekat perbedaan (keragaman) itu. Dengan toleransi kita menumbuhkan sikap penerimaan atas sesuatu yang kita setujui. Menerima dalam arti menghormati pilihan orang lain.

     Masalahnya adalah seringkali tumbuh sikap "inkonsisten" dalam menyikapinya. Seolah toleransi itu adalah "pahamai, hormati dan terima aku". Sebaliknya ketika pihak lain memilih bersikap sebaliknya, tentu atas dasar pertimbangan dan kemerdekaannya, maka akan dicap sebagai pihak yang tidak toleran, bahkan egois.

         Dalam menyikapi pilihan politik misalnya, kita akan dikategorikan toleran jika memilih pilihan orang lain. Atau minimal diam terhadap berbagai ketidak wajaran dari pilihan orang lain. Di saat anda menyuarakan, atau bahkan menjatuhkan pilihan dengan pertimbangan anda sendiri, boleh jadi anda akan berbalik tertuduh tidak toleran.

         Oleh karenanya, saya ingin melihat konsistensi semua pihak dalam semua hal. Tentu termasuk dalam sikap atau pilihan seseorang dan atau kelompok. Jika seseorang menjatuhkan pilihannya karena pertimbangan agama, ras dan suku, saya melihat tidak salah. Tidak perlu dituduh SARA karena itu bagian dari ekspresi kebebasan. Jangan-jangan tingkatan toleransi anda sedang teruji.

         Ini tentunya termasuk ketika ada sebagian masyarakat memahami Kitab Sucinya sebagai acuan untuk memilih atau tidak memilih. Tidak perlu pemahaman ayat atau pun agama secara umum dituduh politisasi agama.

          Saya tidak akan keberatan kalau misalnya jika di Amerika saat ini ada yang melarang orang-orang Kristiani memilih calon Muslim berdasarkan Kitab Sucinya. Toh itu bagian dari keimanan dan praktek iman yang dijamin oleh Konstitusi.

          Terlepas dari apakah saya setuju atau tidak, Kenapa ketika sebagian orang Islam melarang sesama memilih pemimpin berdasarkan pemahamannya dari Kitab sucinya dianggap SARA atau tidal toleran? Jangan-jangan itu memang bukti inkonsisensi kita dalam nilai-nilai yang kita kampanyekan. Termasuk kampanye toleransi itu. Wallahu a'lam!


MASIHKAH NU SEBAGAI ORGANISASI KEAGAMAAN?
Oleh: Dr. KH. A. Mustain Syafi’i, MA [2]

Berikut ini tulisan seorang kyai dari Jombang Jawa Timur, Pengasuh ponpes Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang, tempat lahirnya NU tahun 1926, yang mempertanyakan keadaan NU sekarang.

K
eputusan pemuda NU Jakarta dalam pilgub DKI NETRAL. Identik dengan para kiainya di jajaran Syuriah yang hingga kini membisu soal ini. Tak heran, siapa dulu dong bapaknya? Artinya:

1. Rupanya, Penguasa NU sekarang tidak menganggap NASHBUL IMAM sebagai bagian dari agama, sehingga tidak masalah umat nahdliyin dipimpin nonmuslim. Lalu apa gunanya kiai sebagai pewaris Nabi? Pernahkh nabi, para sahabat, tabi’in, al-salaf al-shalih, kiai-kiai pendiri NU membiarkn nonmuslim menguasai umat Islam? Sebagai muslim, Penjajah ditumpas bukan semata karena membela negara, tapi lebih karena agama. Makanya ada istilah perang SABIL, RESOLUSI JIHAD dll. Pejuang yang gugur dihukumi syahid, tanpa dimandikan, tanpa dikafani, tanpa dishalati

2. Nashbul Imam adalah masalah agama yang sangat serius. Karena pemimpin adalah penentu kebijakan yang berdampak besar kepada rakyat. Jika pemimpin nonmuslim menentukan kebijakan yang merugikan Islam (umat Islam), demi Allah - mereka yang memilih dia berdosa, termasuk yang membiarkn tanpa fatwa agama, apalagi tim suksesnya.

3. Netral, memangnya NU itu KPU? Jika para cagub seiman, wajar NU netral. Tapi ini beda. Isu SARA dilarang jika untuk memprovokasi, menfitnah, merendahkn dll. Tapi apa salahnya, apa yang dilanggar bila muslim memilih pemimpin seiman dan menolak yang tidak seiman tanpa merendahkan keimanan yang lain. Adalah hak bagi setiap warga memilih pemimpin sesama Suku, tanpa merendahkan Suku lain. Sesama Ras, tanpa menfitnah Ras yang lain atau sama Adat tanpa menghina Adat lain. Itu hak berdemokrasi.

4. Sangat memprihatinkan jika NU hanya vokal soal tahlilan, yasinan, ziarah kubur yang diganggu. Tapi tekad punya nyali memberi fatwa politik yang agamis dan demokratis. Padahal ini masalah besar terkait kemaslahatan umat baik di dunia lebih-lebih di akhirat. Hanya muslim minimalis (musailim) yang memandang politik hanya masalah dunia. Sadarilah, Tercatat 65 kali perang (ghazwah dan sariyah) selama periode Nabi demi memaslahatkan umat via kekuasaan.

5. Sekelas Syuriah NU tidak mungkin tidak mengerti ini. Bisunya mereka pasti ada sesuatu yang amat dahsyat hingga menyebabkan amanat agama mereka tersandera. Dan umat sudah tahu hal itu dari omongan mereka sendiri (?)

6. Kiai Syuriah NU bukanlah kiai pesanan, bukan pula kiai jadian yang dijadikan oleh para broker Politik. Kiai Syuriah adalah benar-benar ulama pewaris Nabi yang dipilih secara mukhlis dan bersih dari sum’ah dan ambisi sehingga memiliki sifat syaja’ah yang terpuji, selalu “YAKHSYA ALLĀH” dan tidak “YAKHSYA AL-NĀS”. Harusnya, Kiai Syuri’ah NU bukan Kiai yang diperalat broker politik. Kiai NU adalah Kiai yang mukhlis, ikhlas, tidak sum’ah, yang beramal untuk diperdengarkan. Miliki sifat syaja’ah, berani karena Allah dan (membela) Rasulullah. Selalu Yakhsya Allah, hanya takut pada Allah, tidak Yakhsya Al Nās, takut pada manusia, celaan orang-orang yang mencela. (nahimunkar.com)



Pendahuluan

       Ruang paripurna DPR tiba-tiba bergemuruh suara takbir ketika Anggota Fraksi PKS Almuzammil Yusuf membacakan surat terkait dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta soal Al Maidah ayat 51. Bagaimana ceritanya?

        Sebelum rapat paripurna yang membahas tentang Perjanjian Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai perubahan iklim dibuka, Al Muzammil mengangkat tangan untuk mengajukan interupsi. Ia menyuarakan pernyataan seorang doktor asal Universitas Brawijaya soal toleransi antar umat beragama.

"Saya hanya ingin menyampaikan satu hal yang menjadi hak saya sebagai (anggota) dewan. Saya ingin menyampaikan soal suara seseorang tentang makna toleransi," kata Muzammil di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/10/2016).

       Muzammil ternyata menyampaikan soal kegelisahan umat Islam terkait pernyataan Ahok terkait Al Maidah ayat 51. Ia menceritakan pengalaman seseorang tentang betapa tingginya makna toleransi.

         "Saya ingatkan kepada Presiden, Kapolri, negara kita negara hukum, hormati hukum. Pernyataan kami kalau ada anggota mari didukung, kita hanya tuntut jalur hukum. Sehingga tak perlu ditakutkan seperti apa yang dikatakan Hendropriyono. Tak perlu. Karena kita tak ingin onar. Kita hanya menjalankan Pancasila. Saya ajak takbir. Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar walillahilham," ungkap Muzammil yang diiringi gema suara takbir.

Berikut surat lengkap yang disampaikan Al Muzammil dalam rapat paripurna hari ini:


BETAPA TINGGI MAKNA TOLERANSI

Oleh Dr. Gamal Albinsaid [3]


Social relations adalah salah satu indikator dari suksesnya toleransi di sebuah masyarakat. Oleh karenanya hasil dari toleransi adalah kenyamanan individu dan keharmonisan sosial. [UNESCO dalam publikasinya "Tolerance: The Threshold of Peace"]


Bismillahirrahmanirrahim.

D
ua hari lalu, sebelum saya menerima penghargaan Empowering people Award dari Siemens di Jerman, salah seorang panitia mendatangi saya untuk menanyakan cara bersalaman di atas panggung karena pimpinan mereka adalah seorang wanita. Mereka menghormati ketika tahu saya tidak bersalaman dengan wanita karena tidak ingin bersentuhan dengan yang bukan muhrim saya. Saya cukup menempelkan kedua tangan saya, lalu menyapa mereka tanpa menyentuh tangannya. Mereka mengatur itu di atas panggung agar saya merasakan kenyamanan. Itulah toleransi.

         Di perjalanan ke Inggris untuk kunjungan ke 15 perusahaan, pernah saya menaiki pesawat yang tidak menyediakan makanan halal. Setelah saya sampaikan kepada mereka saya hanya bisa makan makanan halal, mereka mencari sebuah mie instan yang memiliki label halal untuk saya. Itulah toleransi.

          Ketika saya harus presentasi di California University yang bersamaan saat Salat Jumat, saya minta panitia menggeser jam presentasi kami, karena saya ingin melaksanakan Salat Jum'at di sana. Mereka mengijinkan menggeser waktu presentasi saya. Itulah toleransi.

        Ketika makan malam dengan pangeran Charles di Istana Buckingham, mereka mengatur supaya saya mendapatkan makanan untuk vegetarian agar saya merasa nyaman. Itulah toleransi.

          Di berbagai pengalaman itu, saya merasakan dan menyimpulkan bahwa bentuk toleransi adalah hormat. Bagi saya "The highest result of tolerance is respect and social relations" – Puncak yang dicapai dari bertoleransi adalah saling menghargai dalam hubungan social kemasyarakatan, toleransi itu adalah bentuk penghormatan kita pada perbedaan yang ada. Mulai dari hal yang kecil seperti makanan, cara berpakaian, cara beraktivitas, sampai hal yang besar soal agama, kitab suci, dan prinsip Ketuhanan.

          UNESCO dalam publikasinya "Tolerance: The Threshold of Peace"
Menyatakan social relations adalah salah satu indikator dari suksesnya toleransi di sebuah masyarakat. Oleh karenanya hasil dari toleransi adalah kenyamanan individu dan keharmonisan sosial.

         Mau tidak mau, pemimpin berperan besar dalam menjaga, membangun, dan menciptakan toleransi yang baik. Tidak boleh pemimpin itu masuk atau memberikan komentar terhadap agama, kitab suci, prinsip Ketuhanan, dan cara beribadah sebuah agama.

            Peran pemimpin itu penting sekali dalam toleransi yang kita bangun. Kita rindu pemimpin yang mampu menyejukkan perbedaan kita dalam kesantunan, menciptakan keharmonisan di antara perbedaan dengan sikap saling menghormati dalam cinta kasih. Bukan pemimpin yang tidak mempedulikan perbedaan yang ada, menciptakan ketegangan dengan menghina agama, melecehkan kitab, membatasi cara beribadah. Seorang pemimpin harus menghormati agama yang berbeda dengan tidak menilai atau mengomentari agama, tidak mengomentari kitab suci, dan tidak mengomentari cara beribadah. Lalu bagaimana keharmonisan bisa hadir jika pernyataan mengarah pada pelecehan atau penghinaan pada kitab suci dan isi kitab suci?

         Teruntuk Pak Ahok, before you say something, stop and think how you'd feel if someone said it to you. Sungguh menyakitkan jika anda merasakan bagaimana yang kami rasakan sebagai umat Islam, kitab yang kami baca tiap hari, kami jadikan pegangan hidup, kami hafalkan, kami baca saat banyak orang tidur, kami pelajari bertahun-tahun, lalu dengan mudahnya anda sebut sebagai alat melakukan kebohongan. Apakah Pak Ahok pernah menempuh jurusan tafsir hingga merasa berhak menafsirkan Al-Quran seenaknya? Pak Ahok, jangan hina kitab suci saya hanya untuk kepentingan politik anda! Tidak ada sedikitpun kebohongan dalam Al-Quran! Hormati Al-Quran kami!

         "Don't get so tolerant that you tolerate intolerance"(Bill Maher).  Kita tidak boleh mentoleransi sebuah keintoleransian. Jangan salah mengartikan toleransi, "Tolerance does not mean tolerating intolerance".

Saya sebenarnya tidak suka menuliskan atau memberikan tanggapan soal permasalahan politik, tapi nasehat Ayaan Hirsi Ali bahwa "Tolerance of intolerance is cowardice (mentoleransi sebuah intoleransi adalah sikap pengecut)" cukup memantapkan hati saya untuk tidak diam.

Gagasan toleransi Ayaah Hirsi Ali itu sama dengan apa yang dikatakan Haji Abdul malik Karim Amrullah atau yang biasa kita kenal dengan Buya Hamka, "Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah ghiroh telah hilang darimu…. Jika ghiroh telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan. Sebab kehilangan ghiroh sama dengan mati….."

Ya, jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan. Itu jika diam.

Lalu bagaimana "jika membela orang yang menghina agamamu?" Guntur Romli dan Nusron Wahid mungkin bisa membantu saya menjawabnya.


Sumber:
[1]Imam Shamsi Ali, New York City, USA, adalah sebagai Imam dan juga Presiden Nusantara Foundation dan Muslim Foundation of America, Inc.
[2]https://www.nahimunkar.com/kyai-jombang-pertanyakan-nu-apa-gunanya-ulama-pewaris-nabi-nu-kini/
[3]http://news.detik.com/berita/d-3324187/gemuruh-takbir-di-paripurna-dpr-saat-politikus-pks-bacakan-surat-toleransi□□□