Kata Pengantar
Dr.
KH. A. Mustain Syafi’i, MA, Pengasuh ponpes Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang
mengatakan: Isu SARA dilarang jika untuk memprovokasi, menfitnah, merendahkan
dll. Tapi apa salahnya, apa yang dilanggar bila muslim memilih pemimpin seiman
dan menolak yang tidak seiman tanpa merendahkan keimanan yang lain. Adalah hak
bagi setiap warga memilih pemimpin sesama Suku, tanpa merendahkan Suku lain.
Sesama Ras, tanpa menfitnah Ras yang lain atau sama Adat tanpa menghina Adat
lain. Itu hak berdemokrasi.
Di
Indonesia sering rancu antara SARA, DEMOKRASI dan TOLERANSI, terutama
dalam menghadapi Pemilu dan Pilkada. Bahkan pengertian ketiga kata kata itu sering
dalam pelaksanaannya inkonsisten (tidak konsisten) dalam prakteknya.
Untuk membahas hal tersebut diatas ada
tiga sumber yang akan diketengahkan disini. Pertama: Tulisan Imam Shamsi Ali dalam tajuk “Inkonsistensi”. Kedua: Tulisan Dr. KH. A. Mustain
Syafi’i, MA dalam tajuk “Masihkah NU sebagai Organisasi Keagamaan?” Ketiga: Tulisan Dr. Gamal Albinsaid
dalam tajuk “Betapa
Tinggi Makna Toleransi” (tajuk aslinya The Highest Result of Tolerance
is Respect and Social Relations). □ AFM
INKONSISTENSI
Oleh: Imam
Shamsi Ali [1]
D
|
alam ajaran
Islam, sikap konsisten adalah kunci kesuksesan. Pengakuan atau keimanan kepada
Tuhan yang Satu, Rabbunallah, menuntut sikap konsisten (istaqāmu). Jika tidak, boleh jadi pengakuan itu tinggalah hiasan
bibir.
Dalam dunia yang penuh "tipu
daya" (tricks) saat ini, sikap
konsisten itu semakin menipis. Berbagai pernyataan, opini, propaganda, dan
semacamnya tidak lagi konsisten pada "nilai kebenarannya". Tapi terombang
ambing di tengah derasnya gelombang kepentingan (bahkan disertai money politics, sogok – Admin).
Keadilan yang menjadi dasar
kemuliaan hidup manusia menjadi keadilan sepihak karena hilangnya
"konsistensi". Di dalam menilai dan memperjuangkan keadilan kerap
kali tersembunyi maksud. Yaitu keadilan untuk diri atau kelompok sendiri.
Ketika keadilan itu memihak pada diri dan kelompok kita maka itulah keadilan
yang mutlak dipertahankan dan diperjuangkan. Sebaliknya ketika keadilan itu
dimaksudkan bagi orang lain, apalagi yang dianggap lawan, maka keadilan bisa
dipersepsikan atau dikampanyekan sebagai "kezaliman". (Sama seperti
yang dikatakan pepatah lama: “Tiba di diri dikembangkan. Tiba di diri orang
lain dikempiskan” – Admin)
Ketika kaum penguasa atau penjajah
melakukan kekerasan maka itu adalah penegakan hukum dan untuk menjamin
keamanan. Tapi ketika kaum lemah dan terjajah melakukan perlawanan maka itu adalah
"kekerasan dan terorisme".
Kebebasan juga demikian. Ketika
kebebasan itu dieskpresikan oleh kita atau kelompok kita maka kebebasan itu
murni sebagai kebebasan. Tapi ketika kebebasan itu diekspresikan oleh pihak
lain, apalagi jika ekspresi kebebasan itu berlawanan dengan konsep dan
pemahaman, atau kepentingan kita dan kelompok kita, maka kebebasan itu berbalik
menjadi "keterkungkungan".
Wanita-wanita di dunia barat bebas
berpakaian sesuai keinginannya. Bahkan bebas setengah berpakaian, bahkan tidak
berpakaian sekalipun. Tidak akan dihalangi selama itu tidak mengganggu orang
lain. Tapi ketika wanita-wanita Muslimah berpakaian dengan ekspresi kebebasan yang
dipahaminya, oleh pihak lain akan dipandang sebagai
"keterkungkungan".
Beberapa waktu lalu ada tiga orang
Amerika di Kansas ditangkap karena akan melakukan pemboman ke pemukiman imigran
Somalia. Menurut informasi FBI mereka menamakan kelompok "crusaders" itu telah membuat, dan
mampu membuat alat pemboman.
Hari ini kita baca berita dengan
judul: White privilege wages jihad: Kansas “militia members” aren’t considered
“terrorists” because they’re not Muslim.
Itu satu
sikap inkonsisten, bahkan kemunafikan dalam menyikapi permasalahan yang ada.
Bayangkan jika yang tertangkap itu adalah seseorang yang beragama Islam.
Pastilah tanpa penyelidikan awal semua media akan melabelkannya dengan "islamic terrorist".
Toleransi
Kita hidup dalam dunia ragam. Ragam
suku, bangsa, budaya dan bahkan agama dan bahkan asosiasi politik. Keragaman ini
rentan membawa kepada gesekan-gesekan sosial, jika tidak terantisipasi dengan
baik dan dengan kedewasaan.
Seringkali kita dengarkan bahwa
kunci utama dari solusi permasalahan sosial akibat keragaman ini adalah
toleransi. Tapi sejujurnya toleransi bukanlah kata yang tepat. Kata yang tepat
adalah saling belajar (ta'aruf)
sehingga tumbuh sikap saling memahami (tafahum).
Dari sikap saling memahami inilah semua pihak akan belajar untuk saling
"menghormati" berdasarkan kepada kebebasan yang masing-masing dipilihnya.
Tapi anggaplah kita semua sepakat
menerima istilah toleransi sebagai jembatan yang bisa mendekatkan sekat-sekat
perbedaan (keragaman) itu. Dengan toleransi kita menumbuhkan sikap penerimaan
atas sesuatu yang kita setujui. Menerima dalam arti menghormati pilihan orang
lain.
Masalahnya adalah seringkali tumbuh
sikap "inkonsisten" dalam menyikapinya. Seolah toleransi itu adalah
"pahamai, hormati dan terima aku". Sebaliknya ketika pihak lain
memilih bersikap sebaliknya, tentu atas dasar pertimbangan dan kemerdekaannya,
maka akan dicap sebagai pihak yang tidak toleran, bahkan egois.
Dalam menyikapi pilihan politik
misalnya, kita akan dikategorikan toleran jika memilih pilihan orang lain. Atau
minimal diam terhadap berbagai ketidak wajaran dari pilihan orang lain. Di saat
anda menyuarakan, atau bahkan menjatuhkan pilihan dengan pertimbangan anda
sendiri, boleh jadi anda akan berbalik tertuduh tidak toleran.
Oleh karenanya, saya ingin melihat
konsistensi semua pihak dalam semua hal. Tentu termasuk dalam sikap atau
pilihan seseorang dan atau kelompok. Jika seseorang menjatuhkan pilihannya
karena pertimbangan agama, ras dan suku, saya melihat tidak salah. Tidak perlu
dituduh SARA karena itu bagian dari ekspresi kebebasan. Jangan-jangan tingkatan
toleransi anda sedang teruji.
Ini tentunya termasuk ketika ada
sebagian masyarakat memahami Kitab Sucinya sebagai acuan untuk memilih atau
tidak memilih. Tidak perlu pemahaman ayat atau pun agama secara umum dituduh
politisasi agama.
Saya tidak akan keberatan kalau misalnya
jika di Amerika saat ini ada yang melarang orang-orang Kristiani memilih calon
Muslim berdasarkan Kitab Sucinya. Toh itu bagian dari keimanan dan praktek iman
yang dijamin oleh Konstitusi.
Terlepas dari apakah saya setuju
atau tidak, Kenapa ketika sebagian orang Islam melarang sesama memilih pemimpin
berdasarkan pemahamannya dari Kitab sucinya dianggap SARA atau tidal toleran?
Jangan-jangan itu memang bukti inkonsisensi kita dalam nilai-nilai yang kita
kampanyekan. Termasuk kampanye toleransi itu. Wallahu a'lam! □
MASIHKAH NU
SEBAGAI ORGANISASI KEAGAMAAN?
Oleh: Dr.
KH. A. Mustain Syafi’i, MA [2]
Berikut ini tulisan seorang kyai dari Jombang
Jawa Timur, Pengasuh ponpes Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang, tempat
lahirnya NU tahun 1926, yang mempertanyakan keadaan NU sekarang.
K
|
eputusan pemuda NU Jakarta dalam pilgub DKI
NETRAL. Identik dengan para kiainya di jajaran Syuriah yang hingga kini membisu
soal ini. Tak heran, siapa dulu dong bapaknya? Artinya:
1. Rupanya, Penguasa NU sekarang tidak
menganggap NASHBUL IMAM sebagai bagian dari agama, sehingga tidak masalah umat
nahdliyin dipimpin nonmuslim. Lalu apa gunanya kiai sebagai pewaris Nabi?
Pernahkh nabi, para sahabat, tabi’in, al-salaf al-shalih, kiai-kiai pendiri NU
membiarkn nonmuslim menguasai umat Islam? Sebagai muslim, Penjajah ditumpas bukan
semata karena membela negara, tapi lebih karena agama. Makanya ada istilah
perang SABIL, RESOLUSI JIHAD dll. Pejuang yang gugur dihukumi syahid, tanpa
dimandikan, tanpa dikafani, tanpa dishalati
2. Nashbul Imam adalah masalah agama yang
sangat serius. Karena pemimpin adalah penentu kebijakan yang berdampak besar kepada
rakyat. Jika pemimpin nonmuslim menentukan kebijakan yang merugikan Islam (umat
Islam), demi Allah - mereka yang memilih dia berdosa, termasuk yang membiarkn tanpa
fatwa agama, apalagi tim suksesnya.
3. Netral, memangnya NU itu KPU? Jika para
cagub seiman, wajar NU netral. Tapi ini beda. Isu SARA dilarang jika untuk memprovokasi,
menfitnah, merendahkn dll. Tapi apa salahnya, apa yang dilanggar bila muslim
memilih pemimpin seiman dan menolak yang tidak seiman tanpa merendahkan keimanan
yang lain. Adalah hak bagi setiap warga memilih pemimpin sesama Suku, tanpa
merendahkan Suku lain. Sesama Ras, tanpa menfitnah Ras yang lain atau sama Adat
tanpa menghina Adat lain. Itu hak berdemokrasi.
4. Sangat memprihatinkan jika NU hanya vokal
soal tahlilan, yasinan, ziarah kubur yang diganggu. Tapi tekad punya nyali
memberi fatwa politik yang agamis dan demokratis. Padahal ini masalah besar terkait
kemaslahatan umat baik di dunia lebih-lebih di akhirat. Hanya muslim minimalis
(musailim) yang memandang politik hanya masalah dunia. Sadarilah, Tercatat 65 kali
perang (ghazwah dan sariyah) selama periode Nabi demi memaslahatkan umat via
kekuasaan.
5. Sekelas Syuriah NU tidak mungkin tidak
mengerti ini. Bisunya mereka pasti ada sesuatu yang amat dahsyat hingga
menyebabkan amanat agama mereka tersandera. Dan umat sudah tahu hal itu dari
omongan mereka sendiri (?)
6. Kiai Syuriah NU bukanlah kiai pesanan, bukan
pula kiai jadian yang dijadikan oleh para broker Politik. Kiai Syuriah adalah
benar-benar ulama pewaris Nabi yang dipilih secara mukhlis dan bersih dari
sum’ah dan ambisi sehingga memiliki sifat syaja’ah yang terpuji, selalu
“YAKHSYA ALLĀH” dan tidak “YAKHSYA AL-NĀS”. Harusnya, Kiai Syuri’ah NU bukan
Kiai yang diperalat broker politik. Kiai NU adalah Kiai yang mukhlis, ikhlas,
tidak sum’ah, yang beramal untuk diperdengarkan. Miliki sifat syaja’ah, berani
karena Allah dan (membela) Rasulullah. Selalu Yakhsya Allah, hanya takut pada
Allah, tidak Yakhsya Al Nās, takut pada manusia, celaan orang-orang yang
mencela. (nahimunkar.com) □
Pendahuluan
Ruang paripurna DPR tiba-tiba
bergemuruh suara takbir ketika Anggota Fraksi PKS Almuzammil Yusuf membacakan
surat terkait dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta soal Al Maidah ayat 51.
Bagaimana ceritanya?
Sebelum rapat paripurna yang
membahas tentang Perjanjian Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai
perubahan iklim dibuka, Al Muzammil mengangkat tangan untuk mengajukan
interupsi. Ia menyuarakan pernyataan seorang doktor asal Universitas Brawijaya
soal toleransi antar umat beragama.
"Saya hanya ingin menyampaikan satu hal yang menjadi hak saya sebagai
(anggota) dewan. Saya ingin menyampaikan soal suara seseorang tentang makna
toleransi," kata Muzammil di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu
(19/10/2016).
Muzammil ternyata menyampaikan soal kegelisahan umat Islam terkait pernyataan Ahok terkait Al Maidah ayat 51. Ia menceritakan pengalaman seseorang tentang betapa tingginya makna toleransi.
Muzammil ternyata menyampaikan soal kegelisahan umat Islam terkait pernyataan Ahok terkait Al Maidah ayat 51. Ia menceritakan pengalaman seseorang tentang betapa tingginya makna toleransi.
"Saya ingatkan kepada Presiden, Kapolri, negara kita negara hukum, hormati hukum. Pernyataan kami kalau ada anggota mari didukung, kita hanya tuntut jalur hukum. Sehingga tak perlu ditakutkan seperti apa yang dikatakan Hendropriyono. Tak perlu. Karena kita tak ingin onar. Kita hanya menjalankan Pancasila. Saya ajak takbir. Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar walillahilham," ungkap Muzammil yang diiringi gema suara takbir.
Berikut surat lengkap yang disampaikan Al Muzammil dalam rapat paripurna hari ini:
BETAPA TINGGI MAKNA TOLERANSI
Oleh Dr. Gamal Albinsaid [3]
Social relations adalah salah satu indikator dari suksesnya toleransi
di sebuah masyarakat. Oleh karenanya hasil dari toleransi adalah kenyamanan
individu dan keharmonisan sosial. [UNESCO dalam publikasinya "Tolerance:
The Threshold of Peace"]
Bismillahirrahmanirrahim.
D
|
ua hari lalu, sebelum saya menerima penghargaan Empowering people Award
dari Siemens di Jerman, salah seorang panitia mendatangi saya untuk menanyakan
cara bersalaman di atas panggung karena pimpinan mereka adalah seorang wanita.
Mereka menghormati ketika tahu saya tidak bersalaman dengan wanita karena tidak
ingin bersentuhan dengan yang bukan muhrim saya. Saya cukup menempelkan kedua
tangan saya, lalu menyapa mereka tanpa menyentuh tangannya. Mereka mengatur itu
di atas panggung agar saya merasakan kenyamanan. Itulah toleransi.
Di perjalanan ke Inggris untuk kunjungan ke 15 perusahaan, pernah saya menaiki pesawat yang tidak menyediakan makanan halal. Setelah saya sampaikan kepada mereka saya hanya bisa makan makanan halal, mereka mencari sebuah mie instan yang memiliki label halal untuk saya. Itulah toleransi.
Ketika saya harus presentasi di California University yang bersamaan saat Salat Jumat, saya minta panitia menggeser jam presentasi kami, karena saya ingin melaksanakan Salat Jum'at di sana. Mereka mengijinkan menggeser waktu presentasi saya. Itulah toleransi.
Ketika makan malam dengan pangeran Charles di Istana Buckingham, mereka mengatur supaya saya mendapatkan makanan untuk vegetarian agar saya merasa nyaman. Itulah toleransi.
Di berbagai pengalaman itu, saya merasakan dan menyimpulkan bahwa bentuk toleransi adalah hormat. Bagi saya "The highest result of tolerance is respect and social relations" – Puncak yang dicapai dari bertoleransi adalah saling menghargai dalam hubungan social kemasyarakatan, toleransi itu adalah bentuk penghormatan kita pada perbedaan yang ada. Mulai dari hal yang kecil seperti makanan, cara berpakaian, cara beraktivitas, sampai hal yang besar soal agama, kitab suci, dan prinsip Ketuhanan.
UNESCO dalam publikasinya "Tolerance: The Threshold of Peace"
Menyatakan social relations adalah salah satu indikator dari suksesnya toleransi di sebuah masyarakat. Oleh karenanya hasil dari toleransi adalah kenyamanan individu dan keharmonisan sosial.
Mau tidak mau, pemimpin berperan besar dalam menjaga, membangun, dan menciptakan toleransi yang baik. Tidak boleh pemimpin itu masuk atau memberikan komentar terhadap agama, kitab suci, prinsip Ketuhanan, dan cara beribadah sebuah agama.
Peran pemimpin itu penting sekali dalam toleransi yang kita bangun. Kita rindu pemimpin yang mampu menyejukkan perbedaan kita dalam kesantunan, menciptakan keharmonisan di antara perbedaan dengan sikap saling menghormati dalam cinta kasih. Bukan pemimpin yang tidak mempedulikan perbedaan yang ada, menciptakan ketegangan dengan menghina agama, melecehkan kitab, membatasi cara beribadah. Seorang pemimpin harus menghormati agama yang berbeda dengan tidak menilai atau mengomentari agama, tidak mengomentari kitab suci, dan tidak mengomentari cara beribadah. Lalu bagaimana keharmonisan bisa hadir jika pernyataan mengarah pada pelecehan atau penghinaan pada kitab suci dan isi kitab suci?
Teruntuk Pak Ahok, before you say something, stop and think how you'd feel if someone said it to you. Sungguh menyakitkan jika anda merasakan bagaimana yang kami rasakan sebagai umat Islam, kitab yang kami baca tiap hari, kami jadikan pegangan hidup, kami hafalkan, kami baca saat banyak orang tidur, kami pelajari bertahun-tahun, lalu dengan mudahnya anda sebut sebagai alat melakukan kebohongan. Apakah Pak Ahok pernah menempuh jurusan tafsir hingga merasa berhak menafsirkan Al-Quran seenaknya? Pak Ahok, jangan hina kitab suci saya hanya untuk kepentingan politik anda! Tidak ada sedikitpun kebohongan dalam Al-Quran! Hormati Al-Quran kami!
"Don't get so tolerant that you tolerate intolerance"(Bill Maher). Kita tidak boleh mentoleransi sebuah keintoleransian. Jangan salah mengartikan toleransi, "Tolerance does not mean tolerating intolerance".
Saya sebenarnya tidak suka menuliskan atau memberikan tanggapan soal permasalahan politik, tapi nasehat Ayaan Hirsi Ali bahwa "Tolerance of intolerance is cowardice (mentoleransi sebuah intoleransi adalah sikap pengecut)" cukup memantapkan hati saya untuk tidak diam.
Gagasan toleransi Ayaah Hirsi Ali itu sama dengan apa yang dikatakan Haji Abdul malik Karim Amrullah atau yang biasa kita kenal dengan Buya Hamka, "Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah ghiroh telah hilang darimu…. Jika ghiroh telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan. Sebab kehilangan ghiroh sama dengan mati….."
Ya, jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan. Itu jika diam.
Lalu bagaimana "jika membela orang yang menghina agamamu?" Guntur Romli dan Nusron Wahid mungkin bisa membantu saya menjawabnya.
Sumber:
[1]Imam Shamsi Ali, New York City, USA,
adalah sebagai Imam dan juga Presiden Nusantara Foundation dan Muslim
Foundation of America, Inc.
[2]https://www.nahimunkar.com/kyai-jombang-pertanyakan-nu-apa-gunanya-ulama-pewaris-nabi-nu-kini/
[3]http://news.detik.com/berita/d-3324187/gemuruh-takbir-di-paripurna-dpr-saat-politikus-pks-bacakan-surat-toleransi□□□