Monday, October 3, 2016

Keutamaan dan Kemuliaan bulan Muharram 2





K
arakteristik Kedua: Di sunnahkan berpuasa. Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:

Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai Maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Pada zaman Rasulullah saw, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari ‘asyūra. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa as.

Dari Ibnu Abbas ra, ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah saw bertanya, “Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa. Rasulullah saw  bersabda, “Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian.” (HR Abu Daud).

Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan.

Dari Abu Hurairah ra, Rasululllah saw bersabda:

“Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tarmizi, dan Nasa’i).

Puasa pada bulan Muharram yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ‘asyūra.

Aisyah ra pernah ditanya tentang puasa ‘asyūra, ia menjawab:

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw  puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharram.” (HR Muslim).

Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘asyūra (10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.

Dari Abu Qatadah ra, Rasululllah saw  ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda:

”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.” (HR. Muslim).

Disamping itu, disunnahkan pula untuk berpuasa sehari sebelum  ‘Asyūra yaitu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi saw yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan Nabi saw tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya):

Ibnu Abbas ra menyebutkan, Rasulullah saw melakukan puasa ‘asyūra dan Beliau saw memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, “Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani.

Maka Rasulullah saw bersabda, “Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharram.” Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).

Berdasar pada hadits ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal 9 Muharram, berarti 9 dan 10 Muharram. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari: 9, 10, 11 Muharram.

Ibnu Abbas ra berkata, Rasulullah saw bersabda:

“Puasalah pada hari ‘asyūra dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum dan sehari sesudahnya.” (HR Ahmad).

Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharram. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmu’ Syarhul Muhadzdzab VI/406). 

Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan: Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyūra, dan sehari setelahnya (9, 10, 11 Muharram).   Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadits.    Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zadul Ma’ad, 2/72).

Keterangan:

Nabi dalam berpuasa ‘Asyuro mengalami perkembangannya dalam empat fase:

Fase pertama: Beliau berpuasa di Mekkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa.

Aisyah menuturkan: “Dahulu orang Quraisy berpuasa A’syuro pada masa jahiliyyah. Dan Nabi-pun berpuasa ‘Asyuro pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap puasa ‘Asyuro dan memerintahkan manusia juga untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhon telah diwajibkan, beliau berkata: “Bagi yang hendak puasa silakan, bagi yang tidak puasa, juga tidak mengapa”. [HR.Bukhari: 2002, Muslim: 1125]

Fase kedua: Tatkala beliau datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa ‘Asyuro, beliau juga berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa. Sebagaimana keterangan Ibnu Abbas di muka. Bahkan Rasulullah menguatkan perintahnya dan sangat menganjurkan sekali, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka untuk puasa ‘Asyuro.

Fase ketiga: Setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhon, beliau tidak lagi memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa A’syuro, dan juga tidak melarang, dan membiarkan perkaranya menjadi sunnah [Bahkan para ulama telah sepakat bahwa puasa ‘Asyuro sekarang hukumnya sunnah tidak wajib. Ijma’at Ibnu Abdil Barr 2/798, Abdullah Mubarak Al Saif, Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani 1/438, Tuhfatul Ahwadzi, Mubarak Fury 3/524, Aunul Ma’bud, Syaroful Haq Azhim Abadi 7/121] sebagaimana hadits Aisyah yang telah lalu.

Fase keempat: Pada akhir hayatnya, Nabi bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari A’syuro saja, namun juga menyertakan hari tanggal 9 A’syuro agar berbeda dengan puasanya orang Yahudi.

Ibnu Abbas berkata: “Ketika Nabi puasa A’syuro dan beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa. Parasahabat berkata: “Wahai Rasululloh, hari Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashoro!! Maka Rasululloh berkata: “Kalau begitu, tahun depan Insya Alloh kita puasa bersama tanggal sembelilannya juga”. Ibnu Abbas berkata: “Belum sampai tahun depan, beliau sudah wafat terlebih dahulu”. [HR Muslim: 1134]


Karakteristik Ketiga:  Perbanyak Amalan Shalih dan Jauhi Maksiat. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata tentang tafsir firman Allah Ta’ala dalam Surat At Taubah ayat 36: “…maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian…”; Allah telah mengkhususkan empat bulan dari kedua belas bulan tersebut. Dan Allah menjadikannya sebagai bulan yang suci, mengagungkan kemulian-kemuliannya, menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar (dari bulan-bulan lainnya) serta memberikan pahala (yang lebih besar) dengan amalan-amalan shalih.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir)

Mengingat besarnya pahala yang diberikan oleh Allah melebihi bulan selainnya, hendaknya kita perbanyak amalan-amalan ketaatan kepada Allah pada bulan Muharram ini dengan membaca Al Qur’an, berdzikir, shadaqah, puasa, dan lainnya.

Selain memperbanyak amalan ketaatan, tak lupa untuk berusaha menjauhi maksiat kepada Allah dikarenakan dosa pada bulan-bulan haram lebih besar dibanding dengan dosa-dosa selain bulan haram.

Qatadah rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada kezaliman yang dilakukan di luar bulan-bulan haram tersebut. Meskipun kezaliman pada setiap kondisi adalah perkara yang besar, akan tetapi Allah Ta’ala menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung sesuai dengan kehendaknya.”



Karakteristik Keempat: Muhasabah dan Introspeksi Diri. Hari berganti dengan hari dan bulan pun silih berganti dengan bulan. Tidak terasa pergantian tahun sudah kita jumpai lagi, rasa-rasanya sangat cepat waktu telah berlalu. Semakin bertambahnya waktu, maka semakin bertambah pula usia kita. Perlu kita sadari, bertambahnya usia akan mendekatkan kita dengan kematian dan alam akhirat.

Sebuah pertanyaan besar, “Semakin bertambah usia kita, apakah amal kita bertambah atau malah dosakah yang bertambah?” Maka pertanyaan ini hendaknya kita jadikan alat untuk muhasabah dan introspeksi diri kita masing-masing. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, masa hidupku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.”

Wahai saudaraku! Sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menuju perjalanan yang panjang di akhirat kelak dengan amalan-amalan shalih? Sudahkah kita siap untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah kita perbuat di hadapan Allah kelak? Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS Al Hasyr 59:18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Yaitu, hendaklah kalian menghitung-hitung diri kalian sebelum kalian dihisab (pada hari kiamat), dan perhatikanlah apa yang telah kalian persiapkan berupa amal kebaikan sebagai bekal kembali dan menghadap kepada Rabb kalian.”

Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik untuk tetap teguh berada di atas jalan kebenaran-Nya, bersegera untuk melakukan instrospeksi diri sebelum datang hari dihisab semua amalan, dan menjauhkan dari perbuatan maksiat yang bisa membuat noda hitam di hati kita.

Dengan gambaran karakteristik yang disertai amalan-amalan seperti paparan diatas, semoga Allah swt: Mengampuni segala dosa-dosa kita; Mendapat berkah dan limpahan rahmat-Nya; Selalu ditunjuki jalan yang lurus; Diperkuat iman kita serta dengan itu kita isi dengan amalan-amalan baik dan bermanfaat bagi agama dan manusia serta lingkungan hidupnya sebagaimana suatu do’a menyebutkan:

Allāhumma ashlih lī dīniyalladzī huwa ‘ishmatu amrī, wa ashlih lī dunyā yallatī fīhā ma’āsyī, wa ashlih lī ākhiratiyallatī fīhā ma’ādī.

Artinya:

Ya Allah! Karuniakan kebaikan bagi hamba dalam beragama, yang merupakan kunci kehormatan bagi hamba.  Karuniakan kebaikan kepada hamba di dunia, yang merupakan tempat hamba menjalani hidup. Karuniakan kebaikan akhirat bagi hamba, yang merupakan tempat hamba kembali.

Bulan Muharram juga sebagai bulan Tahun Baru Hijriah yang diharapkan pula sebagai bulan pemotivasian hidup. Keperluan motivasi ini sangat berguna sebagai faktor pemicu hidup membara kembali. Dengan itu kedepan hidup menjadi lebih baik dan lebih maju bagi umat Muhammad saw sebagai rahmat bagi alam semesta, Insya Allah. Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM

 

Kembali ke: Keutamaan dan Kemuliaan bulan Muharram 1



Sumber
http://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2016/10/sejarah-penetapan-penanggalan-hijriah.html
http://www.spiritmuda.net/2014/10/fadhilah-dan-amalan-bulan-muharram.html
http://www.hidayatullah.com/kajian/tazkiyatun-nafs/read/2013/10/28/7033/keutamaan-dan-kemuliaan-bulan-muharram-1.html
http://www.hidayatullah.com/kajian/tazkiyatun-nafs/read/2013/10/29/7053/keutamaan-dan-kemuliaan-bulan-muharram-2.html
http://www.mirajnews.com/id/amalanamalan-di-bulanmuharram/56199
https://buletin.muslim.or.id/ibadah-2/amalan-amalan-di-bulan-muharram
https://fadhlijauhari.wordpress.com/2011/12/04/keutamaan-puasa-muharram-dan-sholat-lail/□□□