K
|
arakteristik Kedua: Di
sunnahkan berpuasa. Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa
pertama dalam Islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu
‘anha, beliau mengatakan:
Suatu ketika, di pagi hari
Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang
mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa
yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai Maghrib. Dan
siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan:
Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa.
Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan,
kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR.
Al Bukhari dan Muslim)
Pada zaman
Rasulullah saw, orang Yahudi juga
mengerjakan puasa pada hari ‘asyūra.
Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa as.
Dari Ibnu
Abbas ra, ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau melihat
orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah saw
bertanya, “Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini hari
yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta
menenggelamkan Fir’aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun
berpuasa. Rasulullah saw bersabda, “Kami orang Islam lebih berhak dan lebih
utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian.” (HR Abu Daud).
Puasa Muharram merupakan puasa yang paling
utama setelah puasa bulan Ramadhan.
Dari
Abu Hurairah ra, Rasululllah saw bersabda:
“Sebaik-baik
puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik
shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR.
Muslim, Abu Daud, Tarmizi, dan Nasa’i).
Puasa pada bulan Muharram yang sangat
dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan
istilah ‘asyūra.
Aisyah ra
pernah ditanya tentang puasa ‘asyūra,
ia menjawab:
“Aku tidak
pernah melihat Rasulullah saw puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul
mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada
hari kesepuluh Muharram.” (HR Muslim).
Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa
puasa pada hari ‘asyūra (10 Muharram)
bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.
Dari Abu Qatadah ra, Rasululllah saw
ditanya tentang puasa hari ‘asyura,
beliau bersabda:
”Saya
berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.” (HR.
Muslim).
Disamping
itu, disunnahkan pula untuk berpuasa sehari sebelum ‘Asyūra
yaitu puasa Tasu’a pada
tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi saw
yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan Nabi
saw tetapi beliau sendiri belum
sempat melakukannya):
Ibnu Abbas ra menyebutkan, Rasulullah saw melakukan puasa ‘asyūra dan Beliau saw memerintahkan
para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, “Ini adalah hari yang
dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani.
Maka
Rasulullah saw bersabda, “Tahun depan
insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharram.” Namun,
pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).
Berdasar pada hadits ini, disunahkan bagi
umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal 9 Muharram, berarti 9 dan 10
Muharram. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari: 9, 10,
11 Muharram.
Ibnu Abbas ra berkata, Rasulullah saw bersabda:
“Puasalah
pada hari ‘asyūra dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum
dan sehari sesudahnya.” (HR Ahmad).
Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini
dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan
masuknya satu Muharram. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun
sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmu’ Syarhul Muhadzdzab VI/406).
Ibnul Qayim
menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan: ● Tingkatan
paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyūra, dan
sehari setelahnya (9, 10, 11 Muharram). ● Tingkatan kedua,
puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadits. ● Tingkatan ketiga,
puasa tanggal 10 saja. (Zadul Ma’ad, 2/72).
Keterangan:
Nabi dalam berpuasa ‘Asyuro
mengalami perkembangannya dalam empat fase:
Fase pertama: Beliau berpuasa
di Mekkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa.
Aisyah menuturkan: “Dahulu orang Quraisy
berpuasa A’syuro pada masa jahiliyyah. Dan Nabi-pun berpuasa ‘Asyuro pada masa
jahiliyyah. Tatkala beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap puasa ‘Asyuro dan
memerintahkan manusia juga untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhon telah
diwajibkan, beliau berkata: “Bagi yang hendak puasa silakan, bagi yang tidak
puasa, juga tidak mengapa”. [HR.Bukhari: 2002, Muslim: 1125]
Fase kedua: Tatkala beliau
datang di Madinah dan mengetahui bahwa orang Yahudi puasa ‘Asyuro, beliau juga
berpuasa dan memerintahkan manusia agar puasa. Sebagaimana keterangan Ibnu
Abbas di muka. Bahkan Rasulullah menguatkan perintahnya dan sangat menganjurkan
sekali, sampai-sampai para sahabat melatih anak-anak mereka untuk puasa
‘Asyuro.
Fase ketiga:
Setelah diturunkannya kewajiban puasa Ramadhon, beliau tidak lagi memerintahkan
para sahabatnya untuk berpuasa A’syuro, dan juga tidak melarang, dan membiarkan
perkaranya menjadi sunnah [Bahkan para ulama telah sepakat bahwa puasa ‘Asyuro
sekarang hukumnya sunnah tidak wajib. Ijma’at Ibnu Abdil Barr 2/798, Abdullah
Mubarak Al Saif, Shahih Targhib wa Tarhib, al-Albani 1/438, Tuhfatul Ahwadzi,
Mubarak Fury 3/524, Aunul Ma’bud, Syaroful Haq Azhim Abadi 7/121] sebagaimana
hadits Aisyah yang telah lalu.
Fase keempat: Pada akhir
hayatnya, Nabi bertekad untuk tidak hanya puasa pada hari A’syuro saja, namun
juga menyertakan hari tanggal 9 A’syuro agar berbeda dengan puasanya orang
Yahudi.
Ibnu Abbas
berkata: “Ketika Nabi puasa A’syuro dan beliau juga memerintahkan para
sahabatnya untuk berpuasa. Parasahabat berkata: “Wahai Rasululloh, hari Asyuro
adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashoro!! Maka Rasululloh berkata:
“Kalau begitu, tahun depan Insya Alloh kita puasa bersama tanggal sembelilannya
juga”. Ibnu Abbas berkata: “Belum sampai tahun depan, beliau sudah wafat
terlebih dahulu”. [HR Muslim: 1134]
Karakteristik Ketiga: Perbanyak Amalan Shalih dan Jauhi Maksiat. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata tentang tafsir firman Allah Ta’ala dalam Surat At
Taubah ayat 36: “…maka janganlah kalian menzhalimi diri kalian…”; Allah
telah mengkhususkan empat bulan dari kedua belas bulan tersebut. Dan Allah
menjadikannya sebagai bulan yang suci, mengagungkan kemulian-kemuliannya,
menjadikan dosa yang dilakukan pada bulan tersebut lebih besar (dari
bulan-bulan lainnya) serta memberikan pahala (yang lebih besar) dengan
amalan-amalan shalih.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir)
Mengingat besarnya pahala yang diberikan oleh Allah melebihi bulan
selainnya, hendaknya kita perbanyak amalan-amalan ketaatan kepada Allah pada
bulan Muharram ini dengan membaca Al Qur’an, berdzikir, shadaqah, puasa,
dan lainnya.
Selain memperbanyak amalan ketaatan, tak lupa untuk berusaha menjauhi
maksiat kepada Allah dikarenakan dosa pada bulan-bulan haram lebih besar
dibanding dengan dosa-dosa selain bulan haram.
Qatadah rahimahullah juga mengatakan, “Sesungguhnya kezaliman
pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada
kezaliman yang dilakukan di luar bulan-bulan haram tersebut. Meskipun
kezaliman pada setiap kondisi adalah perkara yang besar, akan tetapi Allah Ta’ala
menjadikan sebagian dari perkara menjadi agung sesuai dengan kehendaknya.”
Karakteristik Keempat: Muhasabah dan Introspeksi Diri. Hari berganti
dengan hari dan bulan pun silih berganti dengan bulan. Tidak terasa pergantian
tahun sudah kita jumpai lagi, rasa-rasanya sangat cepat waktu telah berlalu.
Semakin bertambahnya waktu, maka semakin bertambah pula usia kita. Perlu kita
sadari, bertambahnya usia akan mendekatkan kita dengan kematian dan alam
akhirat.
Sebuah pertanyaan besar, “Semakin bertambah usia kita, apakah amal
kita bertambah atau malah dosakah yang bertambah?” Maka pertanyaan ini
hendaknya kita jadikan alat untuk muhasabah dan introspeksi diri kita
masing-masing. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Tiada
yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, masa hidupku
berkurang, namun amalanku tidak bertambah.”
Wahai saudaraku! Sudahkah kita mempersiapkan bekal untuk menuju
perjalanan yang panjang di akhirat kelak dengan amalan-amalan shalih? Sudahkah
kita siap untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang telah kita perbuat
di hadapan Allah kelak? Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS Al Hasyr 59:18)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Yaitu,
hendaklah kalian menghitung-hitung diri kalian sebelum kalian dihisab
(pada hari kiamat), dan perhatikanlah apa yang telah kalian persiapkan berupa
amal kebaikan sebagai bekal kembali dan menghadap kepada Rabb kalian.”
Semoga Allah senantiasa memberikan kita taufik untuk tetap teguh berada
di atas jalan kebenaran-Nya, bersegera untuk melakukan instrospeksi diri
sebelum datang hari dihisab semua amalan, dan menjauhkan dari perbuatan
maksiat yang bisa membuat noda hitam di hati kita.
Dengan gambaran
karakteristik yang disertai amalan-amalan seperti paparan diatas, semoga Allah swt: Mengampuni segala dosa-dosa kita; Mendapat
berkah dan limpahan rahmat-Nya; Selalu ditunjuki jalan yang lurus; Diperkuat
iman kita serta dengan itu kita isi dengan amalan-amalan baik dan bermanfaat
bagi agama dan manusia serta lingkungan hidupnya sebagaimana suatu do’a
menyebutkan:
Allāhumma ashlih
lī dīniyalladzī huwa ‘ishmatu amrī, wa ashlih lī dunyā yallatī fīhā ma’āsyī,
wa ashlih lī ākhiratiyallatī fīhā ma’ādī.
Artinya:
Ya Allah! Karuniakan
kebaikan bagi hamba dalam beragama, yang merupakan kunci kehormatan bagi hamba.
Karuniakan kebaikan kepada hamba di
dunia, yang merupakan tempat hamba menjalani hidup. Karuniakan kebaikan akhirat
bagi hamba, yang merupakan tempat hamba kembali.
Bulan
Muharram juga sebagai bulan Tahun Baru Hijriah yang diharapkan pula sebagai
bulan pemotivasian hidup. Keperluan motivasi ini sangat berguna sebagai faktor
pemicu hidup membara kembali. Dengan itu kedepan hidup menjadi lebih baik dan
lebih maju bagi umat Muhammad saw sebagai
rahmat bagi alam semesta, Insya Allah.
Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Kembali ke: Keutamaan dan Kemuliaan bulan Muharram 1
Sumber
http://bedahbuku-faisal.blogspot.com/2016/10/sejarah-penetapan-penanggalan-hijriah.html
http://www.spiritmuda.net/2014/10/fadhilah-dan-amalan-bulan-muharram.html
http://www.hidayatullah.com/kajian/tazkiyatun-nafs/read/2013/10/28/7033/keutamaan-dan-kemuliaan-bulan-muharram-1.html
http://www.hidayatullah.com/kajian/tazkiyatun-nafs/read/2013/10/29/7053/keutamaan-dan-kemuliaan-bulan-muharram-2.html
http://www.mirajnews.com/id/amalanamalan-di-bulanmuharram/56199
https://buletin.muslim.or.id/ibadah-2/amalan-amalan-di-bulan-muharram
https://fadhlijauhari.wordpress.com/2011/12/04/keutamaan-puasa-muharram-dan-sholat-lail/□□□