Kata
Pengantar
Sebahagian besar umat Islam tahu
bahwa penanggalan yang diketahui adalah Penanggalan Masehi dan Penanggalan Islam
disebut juga Penanggalan Hijriah. Dalam sehari-hari hanya dikenal Penanggalan
Masehi. Sedang Penanggalan Hijriah, praktis tahu dalam menghadapi bulan
Ramadhan sebagai hari melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Berakhirnya
bulan Ramadhan, bulan Syawal, dimana tanggal 1 adalah Hari Raya Idul Fitri. Satunya
lagi adalah bulan Dzulhijjah, dimana tanggal 10 adalah Hari Raya Idul Adha, acap
kali juga disebut Idul Qurban atau Lebaran Haji.
Ada Penanggalan Masehi kita
sebut seperti itu. Setanding dengan itu orang Barat menyebutnya tahun AD, Anno
Domini dari bahasa Latin. Nama AD ini diambil dari Eropah abad tengah yang
artinya Tahun Tuhan (The Year of The Lord). Dalam sejarahnya disebut juga tahun
dari kelahiran Jesus. Yang lainnya tidak menyebutkan seperti itu melainkan tahun
CE, Common Era atau Current Era, secara harfiah berarti "Era Umum", alternatif
dari AD. Perhitungan tahun Masehi
berdasarkan peredaran Matahari, dalam bahasa Arab Syamsiyah.
Nah, bagaimana umat Islam
menentukan Penanggalan Hijriah ini. Kenapa tidak mengikuti Penanggalan Masehi
saja. Untuk itu mari ikuti pembahasannya.
M
|
asyarakat
Arab sejak masa silam, sebelum kedatangan Islam, telah menggunakan Penanggalan Qamariyah
(Kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat tanggal 1 ditandai
dengan kehadiran hilal (mulai munculnya Bulan baru dipermukaan horizon Bumi yang timbul di waktu Maghrib tiba).
Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal. Mereka mengenal
bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal,
Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan
suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci
ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.
Hanya saja masyarakat
jazirah Arab belum memiliki angka tahun. Mereka tahu tanggal dan bulan, tapi
tidak ada tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan adalah peristiwa
terbesar yang terjadi ketika itu. Kita kenal ada istilah Tahun Gajah, karena
pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah dari Yaman oleh
raja Abrahah. Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar. Tahun
renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun
ulang. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya sebagai acuan,
semisal; 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai.
Keadaan semacam ini
berlangsung terus sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu, para sahabat belum
memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah
peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Berikut beberapa nama tahun di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
1. Tahun izin (sanatul
idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke
Madinah.
2. Tahun perintah (sanatul
amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik.
3. Tahun tamhish,
artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya, ayat 141 surat Āli
‘Imrān, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika
Perang Uhud.
4. Tahun zilzal
(ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi,
keamanan, krisis pangan, karena Perang Khandaq, dst. [1]
Sampai akhirnya di zaman
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah. Di tahun ketiga
beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa
al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur
untuk daerah Bashrah. Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:
“Telah datang kepada kami beberapa surat dari Amirul Mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya.
Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak
tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Kemudian
Umar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada
mereka:
“Tetapkan tahun untuk
masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”
Ada
yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi (Penanggalan Masehi). Namun usulan ini dibantah, karena
tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak
zaman Dzul Qarnain. [2]
Kemudian
disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib,
beliau menceritakan:
Umar bin Khattab
mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau
bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.” Kemudian Ali bin Abi Thalib
mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun
peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama. [3]
Mengapa
bukan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi
acuan?
Jawabannya
disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:
Para sahabat yang diajak
musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa
dijadikan acuan tahun dalam penanggalan (kalender) ada empat: tahun kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah,
dan tahun ketika beliau wafat. Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari
perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. Mereka juga menolak jika tahun
kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum
muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau. [4]
Abu
Zinad mengatakan:
“Umar bermusyawarah dalam
menentukan tahun untuk Penanggalan (Kalender) Islam. Mereka sepakat mengacu pada
'peristiwa hijrah'. [5]
Karena hitungan tahun dalam
Penanggalan Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
selanjutnya penanggalan ini dinamakan ‘Penanggalan Hijriah’ atau ‘Kalender Hijriah’.
Setelah mereka sepakat,
perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan
sebagai bulan pertama.
Pada musyawarah tersebut,
Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam
Penanggalan Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa alasan:
a. Muharam merupakan bulan
pertama dalam penanggalan masyarakat Arab di masa masa silam.
b. Di bulan Muharam, kaum
muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke Baitullah.
c. Pertama kali munculnya
tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah,
beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua. [6]
Sejak saat itu, kaum
muslimin memiliki penanggalan resmi, yaitu Penanggalan Hijriah, dan bulan
Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut. Manfaat dari pananggalan
atau kalender hijriah dalam menentukan “Hari-Hari Ibadah” yang ditentukan
berdasarkan ‘peredaran bulan’ selalu
berlaku adil. Karena apa?
Perilaku alam suatu waktu
di belahan Bumi Bagian Utara jatuh di musim panas berarti waktu puasanya panjang,
sementara pada waktu yang sama di belahan Bumi Bagian Selatan jatuh musim
dingin berarti waktunya puasa pendek. Pada giliran tahun-tahun berikutnya
terjadi sebaliknya. Artinya saling merasakan kapan waktu puasa panjang kapan
waktu puasa pendek.
Contoh praktis yang sangat
nyata sekali adalah Bulan Puasa tidak selalu di musim panas. Pada waktu musim
panas siangnya panjang, pada saat itu orang yang berpuasa lama sekali bisa 16
sampai 22 jam mangkin dekat daerah kutub Bumi makin lama. Berlawanan dengannya, pada waktu musim dingin siangnya pendek, pada saat itu orang
yang berpuasa pendek antara 10 sampai 12 jam. Sementara umat yang lain dalam
merayakankan hari besarnya seperti Hari Natal yang selalu jatuh tanggal 25
Desember pemeluknya merayakan di bulan musim dingin dengan saljunya yang
membuat Bumi Belahan Utara putih yang disebut “White Chrismas”. Sementara di
Bumi Belahan Selatan selalu musim panas yang selalu tidak bersalju, tiap
tahunnya begitu.
Seandainya umat Islam
menggunakan Penanggalan Masehi bukan Penanggalan Hijriah puasa umat Islam yang
berada di Belahan Bumi Selatan puasanya selalu dilakukan sebulan penuh selama
16 sampai 22 jam! Penanggalan yang benar untuk Hari-hari Ibadah Umat Islam adalah
penanggalan Hijriah yang dihitung berdasarkan Lunar Year atau Qamariah
sesuai dengan petunjuk dan keridhaan Allah Yang Rahman dan Yang
Rahim. Tahun Baru di mulai dari 1 Muharam, pada hari ini mulai waktu
Maghrib tiba. Allāhu A’lam
bish-Shawab. Billahit Taufiq
wal-Hidayah. □ AFM.
Baca juga: Benarkah 1Januari Tahun Baru? dan Pergantian TahunSyamsiyah
dengan mengklik tajuknya masing-masing.
Catatan Kaki:
[1]
Arsyif Multaqa Ahlul Hadits, Abdurrahman al-Faqih, 14 Maret 2005
[2]
Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati
Ibnul Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150
[3]
al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi.
[4] Fathul Bari,
7:268.
[5]
Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul
Khatthab, Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150.
[6]
Simak keterangan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, 7:268
Sumber:
https://konsultasisyariah.com/14956-sejarah-penetapan-kalender-hijriah.html[Ustadz
Ammi Nur Baits]
http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2016/01/benarkah-1-januari-tahun-baru.html
http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/12/pergantian-tahun-syamsiyah.html□□□