Saturday, October 1, 2016

Sejarah Penetapan Penanggalan Hijriah





Kata Pengantar

Sebahagian besar umat Islam tahu bahwa penanggalan yang diketahui adalah Penanggalan Masehi dan Penanggalan Islam disebut juga Penanggalan Hijriah. Dalam sehari-hari hanya dikenal Penanggalan Masehi. Sedang Penanggalan Hijriah, praktis tahu dalam menghadapi bulan Ramadhan sebagai hari melaksanakan ibadah puasa selama sebulan penuh. Berakhirnya bulan Ramadhan, bulan Syawal, dimana tanggal 1 adalah Hari Raya Idul Fitri. Satunya lagi adalah bulan Dzulhijjah, dimana tanggal 10 adalah Hari Raya Idul Adha, acap kali juga disebut Idul Qurban atau Lebaran Haji.

Ada Penanggalan Masehi kita sebut seperti itu. Setanding dengan itu orang Barat menyebutnya tahun AD, Anno Domini dari bahasa Latin. Nama AD ini diambil dari Eropah abad tengah yang artinya Tahun Tuhan (The Year of The Lord). Dalam sejarahnya disebut juga tahun dari kelahiran Jesus. Yang lainnya tidak menyebutkan seperti itu melainkan tahun CE, Common Era atau Current Era, secara harfiah berarti "Era Umum", alternatif dari AD.  Perhitungan tahun Masehi berdasarkan peredaran Matahari, dalam bahasa Arab Syamsiyah.

Nah, bagaimana umat Islam menentukan Penanggalan Hijriah ini. Kenapa tidak mengikuti Penanggalan Masehi saja. Untuk itu mari ikuti pembahasannya.


M
asyarakat Arab sejak masa silam, sebelum kedatangan Islam, telah menggunakan Penanggalan Qamariyah (Kalender berdasarkan peredaran bulan). Mereka sepakat tanggal 1 ditandai dengan kehadiran hilal (mulai munculnya Bulan baru dipermukaan horizon Bumi yang timbul di waktu Maghrib tiba). Mereka juga menetapkan nama bulan sebagaimana yang kita kenal. Mereka mengenal bulan Dzulhijah sebagai bulan haji, mereka kenal bulan Rajab, Ramadhan, Syawal, Safar, dan bulan-bulan lainnya. Bahkan mereka juga menetapkan adanya 4 bulan suci: Dzulqa’dah, Dzulhijah, Shafar Awal (Muharam), dan Rajab. Selama 4 bulan suci ini, mereka sama sekali tidak boleh melakukan peperangan.

Hanya saja masyarakat jazirah Arab belum memiliki angka tahun. Mereka tahu tanggal dan bulan, tapi tidak ada tahunnya. Biasanya, acuan tahun yang mereka gunakan adalah peristiwa terbesar yang terjadi ketika itu. Kita kenal ada istilah Tahun Gajah, karena pada saat itu terjadi peristiwa besar, serangan pasukan gajah dari Yaman oleh raja Abrahah. Tahun Fijar, karena ketika itu terjadi perang Fijar. Tahun renovasi Ka’bah, karena ketika itu Ka’bah rusak akibat banjir dan dibangun ulang. Terkadang mereka juga menggunakan tahun kematian tokohnya sebagai acuan, semisal; 10 tahun setelah meninggalnya Ka’ab bin Luai.

Keadaan semacam ini berlangsung terus sampai zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khalifah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu, para sahabat belum memiliki acuan tahun. Acuan yang mereka gunakan untuk menamakan tahun adalah peristiwa besar yang terjadi ketika itu. Berikut beberapa nama tahun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1. Tahun izin (sanatul idzni), karena ketika itu kaum muslimin diizinkan Allah untuk berhijrah ke Madinah.
 
2. Tahun perintah (sanatul amri), karena mereka mendapat perintah untuk memerangi orang musyrik.

3. Tahun tamhish, artinya ampunan dosa. Di tahun ini Allah menurunkan firmanNya, ayat 141 surat Āli ‘Imrān, yang menjelaskan bahwa Allah mengampuni kesalahan para sahabat ketika Perang Uhud.

4. Tahun zilzal (ujian berat). Ketika itu, kaum muslimin menghadapi berbagai cobaan ekonomi, keamanan, krisis pangan, karena Perang Khandaq, dst. [1]

Sampai akhirnya di zaman Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah. Di tahun ketiga beliau menjabat sebagai khalifah, beliau mendapat sepucuk surat dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, yang saat itu menjabat sebagai gubernur untuk daerah Bashrah. Dalam surat itu, Abu Musa mengatakan:

 “Telah datang kepada kami beberapa surat dari Amirul Mukminin, sementara kami tidak tahu kapan kami harus menindaklanjutinya. Kami telah mempelajari satu surat yang ditulis pada bulan Sya’ban. Kami tidak tahu, surat itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu mengumpulkan para sahabat, beliau berkata kepada mereka:

“Tetapkan tahun untuk masyarakat, yang bisa mereka jadikan acuan.”

Ada yang usul, kita gunakan acuan tahun bangsa Romawi (Penanggalan  Masehi). Namun usulan ini dibantah, karena tahun Romawi sudah terlalu tua. Perhitungan tahun Romawi sudah dibuat sejak zaman Dzul Qarnain. [2]

Kemudian disebutkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, dari Said bin al-Musayib, beliau menceritakan:

Umar bin Khattab mengumpulkan kaum Muhajirin dan Anshar radhiyallahu ‘anhum, beliau bertanya: “Mulai kapan kita menulis tahun.” Kemudian Ali bin Abi Thalib mengusulkan: “Kita tetapkan sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, meninggalkan negeri syirik.” Maksud Ali adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Kemudian Umar menetapkan tahun peristiwa terjadinya Hijrah itu sebagai tahun pertama. [3]


Mengapa bukan tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi acuan?

Jawabannya disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar sebagai berikut:

Para sahabat yang diajak musyawarah oleh Umar bin Khatthab, mereka menyimpulkan bahwa kejadian yang bisa dijadikan acuan tahun dalam penanggalan (kalender) ada empat: tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun ketika diutus sebagai rasul, tahun ketika hijrah, dan tahun ketika beliau wafat. Namun ternyata, pada tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tahun ketika beliau diutus, tidak lepas dari perdebatan dalam penentuan tahun peristiwa itu. Mereka juga menolak jika tahun kematian sebagai acuannya, karena ini akan menimbulkan kesedihan bagi kaum muslimin. Sehingga yang tersisa adalah tahun hijrah beliau. [4]

Abu Zinad mengatakan:

“Umar bermusyawarah dalam menentukan tahun untuk Penanggalan (Kalender) Islam. Mereka sepakat mengacu pada 'peristiwa hijrah'. [5]



Karena hitungan tahun dalam Penanggalan Islam mengacu kepada hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya penanggalan ini dinamakan ‘Penanggalan Hijriah’ atau ‘Kalender Hijriah’.

Setelah mereka sepakat, perhitungan tahun mengacu pada tahun hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selanjutnya mereka bermusyawarah, bulan apakah yang dijadikan sebagai bulan pertama.

Pada musyawarah tersebut, Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengusulkan agar bulan pertama dalam Penanggalan Hijriah adalah Muharam. Karena beberapa alasan:

a. Muharam merupakan bulan pertama dalam penanggalan masyarakat Arab di masa masa silam.

b. Di bulan Muharam, kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah yang besar yaitu haji ke Baitullah.

c. Pertama kali munculnya tekad untuk hijrah terjadi di bulan Muharam. Karena pada bulan sebelumnya, Dzulhijah, beberapa masyarakat Madinah melakukan Baiat Aqabah yang kedua. [6]

Sejak saat itu, kaum muslimin memiliki penanggalan resmi, yaitu Penanggalan Hijriah, dan bulan Muharam sebagai bulan pertama dalam kalender tersebut. Manfaat dari pananggalan atau kalender hijriah dalam menentukan “Hari-Hari Ibadah” yang ditentukan berdasarkan ‘peredaran bulan’  selalu berlaku adil. Karena apa?

Perilaku alam suatu waktu di belahan Bumi Bagian Utara jatuh di musim panas berarti waktu puasanya panjang, sementara pada waktu yang sama di belahan Bumi Bagian Selatan jatuh musim dingin berarti waktunya puasa pendek. Pada giliran tahun-tahun berikutnya terjadi sebaliknya. Artinya saling merasakan kapan waktu puasa panjang kapan waktu puasa pendek.

Contoh praktis yang sangat nyata sekali adalah Bulan Puasa tidak selalu di musim panas. Pada waktu musim panas siangnya panjang, pada saat itu orang yang berpuasa lama sekali bisa 16 sampai 22 jam mangkin dekat daerah kutub Bumi makin lama. Berlawanan dengannya, pada waktu musim dingin siangnya pendek, pada saat itu orang yang berpuasa pendek antara 10 sampai 12 jam. Sementara umat yang lain dalam merayakankan hari besarnya seperti Hari Natal yang selalu jatuh tanggal 25 Desember pemeluknya merayakan di bulan musim dingin dengan saljunya yang membuat Bumi Belahan Utara putih yang disebut “White Chrismas”. Sementara di Bumi Belahan Selatan selalu musim panas yang selalu tidak bersalju, tiap tahunnya begitu.

Seandainya umat Islam menggunakan Penanggalan Masehi bukan Penanggalan Hijriah puasa umat Islam yang berada di Belahan Bumi Selatan puasanya selalu dilakukan sebulan penuh selama 16 sampai 22 jam! Penanggalan yang benar untuk Hari-hari Ibadah Umat Islam adalah penanggalan Hijriah yang dihitung berdasarkan Lunar Year atau Qamariah sesuai dengan petunjuk dan keridhaan Allah Yang Rahman dan Yang Rahim. Tahun Baru di mulai dari 1 Muharam, pada hari ini mulai waktu Maghrib tiba.  Allāhu A’lam bish-Shawab. Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM.


dengan mengklik tajuknya masing-masing.


Catatan Kaki:

[1] Arsyif Multaqa Ahlul Hadits, Abdurrahman al-Faqih, 14 Maret 2005
[2] Mahdhu ash-Shawab, 1:316, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150
[3] al-Mustadrak 4287 dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi.
[4] Fathul Bari, 7:268.
[5] Mahdzus Shawab, 1:317, dinukil dari Fashlul Khithab fi Sirati Ibnul Khatthab,  Dr. Ali Muhammad ash-Shalabi, 1:150.
[6] Simak keterangan Ibn Hajar dalam Fathul Bari, 7:268


Sumber:

https://konsultasisyariah.com/14956-sejarah-penetapan-kalender-hijriah.html[Ustadz Ammi Nur Baits]
http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2016/01/benarkah-1-januari-tahun-baru.html
http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2014/12/pergantian-tahun-syamsiyah.html□□□