Friday, July 29, 2016

Pergelutan Thomas Jefferson dengan Al Quran





Nabi (Muhammad saw) sebagai “pribadi yang sungguh baik karakternya, punya kecerdasan yang mendalam, perilaku yang menyenangkan, mengasihi orang miskin, sopan kepada setiap orang, kukuh di hadapan musuh, dan di atas segalanya, memiliki penghormatan yang sangat tinggi atas nama Allah”.

[George Sale]


S
eperti halnya dengan John Locke, Thomas Jefferson memiliki sebuah Qur’an. Jefferson yang waktu itu berusia 22 tahun membeli Qur’an pertamanya pada 1765, ketika sedang menempuh studi hukum di Williamsburg, Virginia yang masih dibawah kekuasaan (pemerintahan) Kerajaan Inggris. Sebuah surat kabar lokal mendokumentasikan pembeliannya atas Qur’an dua volume tersebut yang diterjemahkan seorang Inggris bernama George Sale. Pertama kali diterbitkan pada 1734, versi George Sale adalah yang paling awal diterjemahkan langsung dari bahasa Arab ke bahasa Inggris. Sebelumnya hanya dari terjemahan ke terjemahan, yang dengan itu jauh dari kedekatan dimaksudkan dalam Qur’an  yang sebenarnya. Di dalamnya tercakup 200 halaman “Wacana Awal ” yang berisi gambaran tentang keyakinan, ibadah dan hukum-hukum Islam.

Jefferson tertarik pada Qur’an sebagai sebuah kitab hukum, karena pada saat itu ia juga memesan banyak karya bahasa Inggris terkait yurisprudensi. Pastinya dia cukup surprise membaca definisi penerjemah yang menyebut Nabi (Muhammad) sebagai “pemberi ketentuan hukum bagi orang-orang Arab”. Jadi dengan itu jauh sebelum Barat berkembang seperti sekarang ini, masyarakat Islam ketika itu telah berkembang maju karena berdasarkan hukum seperti apa yang tertulis dari kitab Qur’an sendiri. Hal inilah yang dipelajari Thomas Jefferson.


Meski begitu Sale sebagai penerjemah Qur’an kedalam bahasa Inggris menyebut Islam sebagai “agama palsu”, tapi sementara itu dia juga memuji Nabi sebagai “pribadi yang sungguh baik karakternya, punya kecerdasan yang mendalam, perilaku yang menyenangkan, mengasihi orang miskin, sopan kepada setiap orang, kukuh di hadapan musuh, dan di atas segalanya, memiliki penghormatan yang sangat tinggi atas nama Allah”. Penerjemah juga menolak mendefinisikan Islam “disebarkan oleh pedang saja” dengan mengingatkan pembacanya bahwa orang Yahudi dan Kristen (beberapa kali Perang Salib) juga berperang atas nama agama mereka. Muhammad saw yang kemudiannya diketahui sebagaimana yang digambarkan Montgemary Watt [1] adalah seorang pacifis – yaitu seorang yang suka dengan ke-damai-an, tidak suka kekerasan. Tiga belas tahun lamanya selaku pembawa risalah Islamiyyah tidak pernah membalas orang yang melakukan kekerasan dan penganiayaan atas diri dan pengikutnya, bahkan dia luput atas assasinasi (pembunuhan) yang terencana terhadap dirinya, yang dengan itu ia melakukan hijrah ke Madinah - karena sudah merasa tidak aman lagi tinggal di Makkah, yang sebelumnya para pengikutnya secara berangsur-angsur hijrah terlebih dahulu.

Para pengkritik menuduh George Sale terlalu adil menggambarkan Islam, sehingga pengusaha misionaris agama Anglikan (Katolik Inggris) yang mempekerjakannya pun menolak hasil terjemahannya itu. Sale pun dianggap sebagai sebagai “setengah Muslim” oleh sejarawan Inggris Edward Gibbon pada 1788. Jadi di kedua sisi benua yang diantarai oleh lautan Atlantik - Amerika dan Eropa, mereka yang dinilai membela Islam atau penganutnya, sama-sama dikecam keras.

Lalu, apa yang ada dalam benak Jefferson mengenai Qur’an dan isinya? Dia tidak meninggalkan secuil pun catatan yang merekam pemikirannya tentang Kitab Suci Islam itu, mungkin karena memang dia tak pernah menulisnya, atau karena catatannya ikut musnah  saat rumah ibunya terbakar lima tahun kemudian. Akibat kebakaran itu, menurut Jefferson, dia kehilangan “semua kertas” dan “hampir semua buku”. Qur’an miliknya mungkin juga ikut terbakar, tapi kalaupun demikian, pasti dia membelinya lagi karena saat ini Qur’an milik Jefferson tersimpan rapi di Library of Congress. Di buku Qur’an terjemahan George Sale itu, Jefferson menorehkan parafnya di halaman pertama jilid pertama.

“Kasihilah tetanggamu–manusia seperti dirimu sendiri–dan negaramu, lebih dari mengasihi dirimu sendiri,” tulis Thomas Jefferson sebelum kematiannya. Siapa kiranya “tetangga” yang dimaksudkan Jefferson dalam pesan yang belakangan jadi cetak biru bagi kelahiran negara dan bangsa Amerika yang begitu dicintainya?

Secara implisit Jefferson memasukkan warga Muslim dalam rumusan “Kaidah Emas” yang ditulisnya. Banyak orang sekarang akan merasa kaget gagasan tersebut muncul pada masa itu, namun telah banyak bukti menguatkan hal ini.


Pada 1776, Jefferson menulis di antara catatan pribadinya: “Tidak seorang pun dari kalangan Pagan maupun Muslim atau warga Yahudi boleh dikecualikan dari hak-hak sipil persemakmuran karena agamanya.” Catatan itu ditulisnya beberapa bulan setelah ia menulis Deklarasi Kemerdekaan, ketika ia kembali ke Virginia untuk menyusun undang-undang baru bagi Amerika.

Jefferson mengadopsi preseden “hak-hak sipil” bagi Muslim dari traktat yang ditulis filsuf Inggris John Locke pada 1689, “A Letter Concerning Toleration”. Ide-ide Locke tentang toleransi terhadap Muslim dan Yahudi memicu serangan terhadapnya. Seorang kritikus mengecamnya karena memiliki “iman seorang Turki”(maksudnya Islam), dan dia pun dituduh menyimpan Al-Qur’an yang oleh para pengecamnya disebut sebagai “Injil Muhammad”.

Selama berabad-abad, praktik memfitnah orang - bagi orang yang dianggap simpati dengan yang berbau Islam - dengan cara menghubungkannya dengan Islam sangat umum dilakukan penganut Kristiani di Eropa. Dan praktik ini pun menyeberangi Samudera Atlantik sampai ke daratan Amerika.  Jefferson, karena pandangannya yang luas tentang kebebasan beragama dan kesetaraan politik, mengalami serangan berulang kali sebagai “kafir” - kata yang pada masanya berarti bukan  sekadar “tidak beriman”, melainkan juga “seorang Muslim”.

Jefferson sendiri mengkritik agama (Islam) dalam debat politiknya di awal tahun 1776 menyebut agama “membelenggu kebebasan” - artinya agama Islam disamakan saja dengan agama Kristen Katolik seperti sejarah Eropa abad tengah dimana agama (Kristen Katolik) menghambat kemajuan dan membelengu kebebasan dan berfikir sains, padahal sejarah Islam tidak demikian, baca Islam di Spanyol dan Peninggalannya. Tuduhan yang juga ia lontarkan terhadap ajaran Katolik dan pendetanya dalam sejarah mencatatnya memang membelengu kemajuan. Dengan itu kemudiannnya dipisahkanlah antara agama (Kristen dan Katolik) dengan urusan Negara yang dulunya dilakukan oleh Pendeta (kaum agama) dan Raja, baca Latar Belakang Lahirnya Zaman Kegelapan Eropah.  Jefferson berpikir kedua agama tersebut (agama Kristen dan Katolik) itu mencampuradukkan Agama dan urusan Negara tepat ketika ia ingin memisahkan Kekuasaan Agama dan Negara layaknya seperti di Eropa yang telah memisahkan antara  Agama dan Negara yang akan di aplikasikan di Virginia, kemudian secara keselurahan di Amerika.

Meskipun kritis terhadap Islam, Jefferson mendukung hak-hak para penganutnya (Kristen dan Islam), kebijakan yang dilakukannya juga untuk warga Yahudi dan Katolik - dalam hal ini dia bergerak melampaui pahlawannya, Locke, yang tidak bertoleransi kepada penganut Katolik dan Ateis.


Dalam buku Jefferson 1784 Notes on Virginia, dia mengungkapkan pandangannya tentang kaitan antara agama yang dianut tetangganya dengan negara: “Kekuasaan yang sah dari pemerintah mencakup kontrol atas tindakan-tindakan warga yang melukai orang lain. Tapi saya tidak terluka sedikitpun kalau tetangga saya bilang (mereka) ada 20 tuhan maupun tidak ada tuhan.  Mereka tidak mencopet dompet saya atau mematahkan kaki saya (mereka dilindungi haknya).” 

Dengan pernyataannya bahwa pemerintah tidak boleh mengganggu keyakinan spiritual warganya (yang bukan Kristen saja tapi juga Islam, Katolik Yahudi), secara tidak disadari Jefferson menunjukkan titik lemah kepada musuh-musuh politiknya. Bagi banyak orang, pernyataan Jefferson itu membuktikan bahwa dia bukan seorang Kristiani sejati.

Versi resmi Jefferson tentang Kaidah Emas, dikombinasikan dengan pandangan Locke tentang hak-hak sipil Muslim, dengan sangat nyata tergambar dalam autobiografinya pada 1821, di mana dia mengenang pertarungan terakhirnya untuk memenangkan rancangan undang-undangnya yang paling terkenal, the Statute of Virginia for Religious Freedom (Statuta Virginia untuk Kebebasan Beragama) - yang masih berlaku hingga kini.

Statuta itu menyatakan “Hak-hak sipil kita tidak bergantung pada pandangan keagamaan kita.” Meskipun usulan undang-undang Jefferson itu semula ditentang pada 1779, beberapa redaksionalnya dapat dinegosiasikan oleh James Madison dan akhirnya lolos disahkan pada 1786 saat Jefferson berada di Prancis.

Jefferson dengan gembira mencatat dalam autobiografinya bahwa upaya lawan-lawannya untuk mengubah redaksional dengan menambahkan “Yesus Kristus” di bagian pembukaan undang-undang tidak berhasil. Dan kegagalan tersebut menjadikan Jefferson semakin yakin untuk menegaskan maksudnya agar penerapan statuta itu berlaku “universal”. Dengan ini dia memaksudkan kebebasan beragama dan persamaan hak politik bukan hanya eksklusif bagi umat Kristiani - suatu keyakinan pada pluralisme agama yang juga diyakini Madison.

Jefferson menegaskan bahwa usulan awal undang-undangnya dimaksudkan untuk “mencakupkan perlindungannya terhadap Yahudi dan bukan Yahudi, Kristen dan Muslim, Hindu, dan kaum kafir….”

Pada saat menulis kata-kata seperti itu pada 1821, Jefferson tentu menyadari konsekuensinya, yaitu dirinya sendiri akan dicap sebagai kafir oleh kalangan mayoritas agama di Amerika Serikat yang baru merdeka 45 tahun ketika itu. Menjelang kemenangannya yang tipis dalam pemilihan presiden pada 1800 - yaitu saat baru 2 decade merdeka dari pemerintahan Inggris, dia mengaku pada seorang karibnya, “Betapa hebatnya upaya kita melampaui kemunafikan dalam politik dan agama ini, kawan.”

Jefferson bukanlah kandidat presiden terakhir yang dikecam dan difitnah gara-gara keterkaitannya dengan Islam, tapi dialah yang pertama. Tragisnya, meskipun Jefferson menang memperjuangkan kesamaan hak sipil Muslim, dia tak pernah tahu bahwa Muslim pertama Amerika - para budak dari Afrika Barat - tidak memperoleh kebebasan ketika itu yang dikiranya berlaku universal. Pendiri negara Amerika itu bahkan mungkin saja memiliki budak Muslim, meski tak ada bukti pasti tentang hal itu. Namun tak diragukan lagi, bahwa Jefferson sejak awal membayangkan Muslim sebagai sesama tetangga di masa depan negaranya, sebuah ramalan yang sudah dapat dipastikan kebenarannya saat ini.

Adapun penulis buku Thomas Jefferson’s Qur’an - Islam and the Founders adalah Denise A. Spellberg, pengajar sejarah dan studi Timur Tengah di University of Texas, Austin. Semoga dengan penulisan tajuk ini, menambah pengetahuan kita bagaimana orang diluar Islam menghargai dan mempelajari Al-Qur’an secara serius. Malah seorang Muslim Amerika Hamza Yusuf (terlahir dengan nama Mark Hanson) seorang sarjana dalam  Islam (American Islamic scholar) merasa tertarik dan beruntung mempelajari Islam dari sumber-sumber aslinya yaitu antara lain Al-Qur’an. Kini ia bukan hanya seorang muallaf saja, tapi ia sebagai salah seorang dari pendiri Zaytuna College (Perguruan Tinggi Islam Zaytuna, dan pendukung pembelajaran Islam Klasik dan mempromosikan metodelogi pembelajaran Islam  dalam pendekatannya kepada Islamic Sciences dan Klasik sekaligus ke seluruh dunia. Billahit Taufiq wal Hidayah. □ AFM


Catatan Kaki:
[1] William Montgomery Watt (lahir 14 Maret 1909 di Ceres, Fife, Skotlandia dan  wafat 24 Oktober 2006; Edinburgh, Skotlandia) adalah seorang pakar studi-studi keislaman dari Britania Raya, dan salah seorang orientalis dan sejarawan utama tentang Islam di dunia Barat.
Montgomery Watt adalah seorang profesor Studi-studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh antara tahun 1964-1979. Ia juga merupakan visiting professor pada Universitas Toronto, Collage de France, Paris, dan Universitas Georgetown; serta menerima gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Universitas Aberdeen. Dalam hal kerohanian, Montgomery Watt adalah pendeta (reverend) pada Gereja Episkopal Skotlandia, dan pernah menjadi spesialis bahasa bagi Uskup Yerusalem antara tahun 1943-1946. Ia menjadi anggota gerakan ekumenisme "Iona Community" di Skonlandia pada 1960. Beberapa media massa Islam pernah menjulukinya sebagai "Orientalis Terakhir".
Montgomery Watt meninggal di Edinburgh pada tanggal 24 Oktober 2006, pada usia 97 tahun.
[2] Hamza Yusuf is an American Islamic scholar, and is co-founder of Zaytuna College. He is a proponent of classical learning in Islam and has promoted Islamic sciences and classical teaching methodologies throughout the world.
[3] Sementara dalam sejarah Islam ajaran agama Islam dalam hidup di dunia (bukan Kekuasaan Agama, dalam Islam tidak ada Kekuasaan Yang Dijalankan Pemuka Agama) tidak dipisahkan dalam bernegara,  karena bagaimana ajaran moral bermasyarakat atau bernegara dalam ajaran agama Islam disebutkan dalam al-Qur’an. Definisi agama yang dikenal bangsa Eropa (Barat) berbeda dalam Islam. Dalam Islam mengandung apa yang disebut “kaffah” lengkap yaitu selamat dan sejahtera di Dunia dan di Akhirat. Oleh karena itu selaku seorang Muslim berdo’a dan mengharapkan agar hidupnya baik (selamat dan sejahtera) di Dunia dan baik (selamat dan sejahtera) pula di Akhirat. Apa yang di lakukan di Dunia berefek langsung kepada kehidupan di Akhirat. Bersikap atau bekerja baik di Dunia, akibatnya baik pula yang akan di dapatnya di Akhirat, nantinya. Begitu pula sebaliknya.

Kepustakaan:

●Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders adalah Denise A. Spellberg
●islamophobiatoday.com
●wikipedia
http://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/08/islam-di-spanyol-dan-peninggalannya.html
●http://jendelailmu-faisal.blogspot.com/2016/02/latar-belakang-lahirnya-zaman-kegelapan.html[][][]