Friday, November 30, 2018

Journey to The Greatest Ottoman




PENDAHULUAN

P
erjalanan ini seharusnya ke gurun pasir, secara tidak terduga harus berbelok dan berjumpa salju! Bagaimana bisa?” Istanbul adalah jantung Daulah Utsmani atau Ottoman sekaligus bukti nubuat Rasulullah saw: “Konstantinopel akan ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Yang memerintah adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan.” [HR. Ahmad]




Hati bergetar memandang kaligrafi kalimat Tauhid yang terpahat di gerbang Topkapi Sarayi. Dari tempat inilah Muhammad Al-Fatih memimpin pasukannya hingga menguasai 2/3 wilayah dunia. Begitu luasnya, hingga wilayah itu kini terpecah menjadi 60 negara!

Daulah Utsmani menorehkan sejarah dengan tinta emas. Pranata yang dibangun menjadi bukti bagaimana Islam memimpin dengan adil di muka Bumi. Medallion raksasa yang saat ini masih terpasang di Aya Sofya Hagia Sophia) menjadi bukti bagaimana kehidupan harmoni yang sejati. Seperti apa Istanbul kini? Mari menyusuri indahnya Blue Mosque, Aya Sofya, Selat Bosphorus, hingga gunung salju di Cappadocia dan memunguti hikmah yang berserak melalui buku ini."

Istilah ‘daulah’ berasal dari bahasa Arab dari asal kata; dala - yaduludaulah yang artinya bergilir, beredar, dan berputar. Kata ini dapat diartikan kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan terorganisir oleh suatu pemerintahan (kerajaan, kesultanan, negara) yang mengatur kepentingan dan kemashlahatan yang dipergilirkan atau dilajutkan oleh penggantinya. Sedangkan dinasti adalah keturunan raja-raja yang memerintah, yang semuanya berasal dari satu keluarga dalam pemerintahan yang berdasarkan sistim kerajaan atau kesultanan.

Dalam sejarah Islam, tercatat tiga daulah besar yang pernah menguasai peradaban dunia. Daulah Umayyah (Damaskus 661750 dan Andalusia 7111492); Daulah Abbasiyah (7501258); dan Daulah Utsmani atau Ottoman (12991924).

Sebagai penguasa dua pertiga wilayah dunia, peninggalan Dinasti Utsmani atau Ottoman sangat tidak ternilai. Semua terangkum rapi dan tersimpan di Istana Topkapi, bekas istana yang kini difungsikan sebagai museum. Dari meriam, peralatan perang yang belum pernah diciptakan manusia sebelumnya; Rantai raksasa untuk menghalangi laju kapal yang terpasang di Golden Horn; Sampai berlian 86 karat bisa disaksikan di tempat itu.

Jika beruntung, kita juga bisa menyaksikan kemegahan upacara pasukan Inkisyiriyah (Jenisari), pasukan khusus yang tidak terkalahkan, sekaligus pasukan yang pertama menggunakan tetabuhan sebagai genderang perang. Pasukan inilah yang membawa Daulah Utsmani mencapai kegemilangan. Lewat buku ini, penulis mencoba untuk menyusuri kepingan-kepingan sejarah Islam yang berserakan di Benua Eropa.

Penulis berharap dengan kehadiran buku ini mampu memberi pengetahuan kepada para pembaca, terutama kaum muda. Dilengkapi dengan gambar-gambar penunjang yang mampu membawa pembaca ikut menelusuri jejak-jejak Islam di Benua Eropa.


KOTA ISTANBUL

“Konstantinopel akan ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Yang memerintah adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan.” [HR. Ahmad]

K
ota Istanbul dulu bernama Konstantinopel ibu kota dari Byzantium (Romawi Timur), yang selanjutnya disebut Turki Utsmani atau Kesultanan- Kekhilafahan Utsmaniyah atau Ottoman – setelah dibawah penaklukan Ottoman. Kota Istanbul, satu-satunya kota di dunia yang terletak diantara dua benua Asia dan Eropa yang dipisahkan selat Boshporus yang menghubungi dua laut yaitu Laut Hitam dan Laut Mediterenian.

Sejarah memberikan kepada seseorang lebih dari sekedar informasi, ia menyusun cara berfikir seseorang saat ini dan menentukan langkah apa yang akan diambil pada masa yang akan datang.  “History is a people’s memory, and without a memory, man is demoted to the lower animals” begitu Malcolm-X.

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam At-Takfir menyampaikan kepada kita bahwa “berfikir tidak akan bisa terwujud kecuali dengan adanya informasi terdahulu” dan ini diperoleh dari membaca sejarah atau kisah perjalan yang dipaparkan buku ini.

Lebih daripada itu, sejarah adalah informarsi, ia akan mempengaruhi siapapun yang membacanya dan membentuknya persis seperti tokoh yang menjadi sentral dalam penceritaan dalam kisah sejarah biografinya.  Ada cara yang menyenangkan untuk mengubah kepribadian Anda agar menjadi selevel para ksatria Islam yang terpisah zaman dan waktu yang patut kita ketahui.


SEJARAH THE GRAND TURK MEHMET

M
ehmed II Bin Murad II diberi gelar al-Fatih.  Itulah sebuah kisah sejarah yang sungguh Indah dalam ketakwaan kepada Allah swt.  Usianya baru 21 tahun lewat 2 bulan ketika itu, namun bisyarah Rasulullah keluar dari lisannya yang mulia berhasil direalisasikan. Fatih Sultan Mehmed, begitulah lidah orang Turki menyebutnya - The Grand Turk Mehmet, begitu gelar yang diberikan Eropa kepadanya, namun ia lebih dikenal di dunia Islam sebagai Muhammad Al-Fatih. Ummat mempunyai panggilan sayang kepadanya atas prestasi yang kelak akan dia persembahkan kepada kemanusiaan dan peradaban, Abu Al-Khair - Bapak Kebaikan, begitulah panggilannya.




Diawali dengan usaha penaklukkan Konstantinopel sebelum masa Mehmed II (Muhammad Al-Fatih) yang belum kesampaian. Muhammad Al-Fatih bukanlah putra pertama, tubuhnya kecil. Tidak terpikir bahwa ialah yang dapat membuktikan kebenaran Hadits Rasulullah saw tentang takluknya Konstantinopel - “Konstantinopel akan ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Yang memerintah adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan”, Hadits Riwayat Ahmad.

Semua itu bermula dari terbunuhnya kakaknya, lantas dimulailah semuanya. Ia didik untuk kelak menjadi pemimpin tangguh kesultanan Utsmani. Kemampuan berperang, ibadah yang sangat kuat, kemampuan di banyak bahasa, dan banyak kehebatan lain, akhirnya membawanya sebagai sosok yang ditakuti seluruh pihak yang tidak menginginkan Islam ikut berperan dalam memimpin dunia saat itu.

Konstantinopel, suatu kota yang berusaha ditaklukkan selama 11 abad. Bukan suatu hal yang mudah ataupun biasa saja untuk dapat menembus benteng kokohnya, bahkan untuk sebaik-baik pemimpin ini seperti Muhammad Al-Fatih, harus menempuh jalan panjang untuk akhirnya mengibarkan bendera Islam di kota indah yang saat itu menjadi sorotan seluruh dunia.

Permasalahan dimulai dari keadaan internal kesultanan, pada awalnya, beberapa tokoh di kesultanan Utsmani tidak menginginkan usaha penaklukan konstantinopel, tapi ada satu hal hebat yang memang seharusnya menjadi ciri muslim, patuh pada pemimpinnya selama perintahnya haqq. Pihak-pihak yang tidak menginginkan penaklukan ini tetap tunduk pada pemimpinnya dan berangkat berperang.

Usaha untuk menguasai Konstantinopel menjadi satu hal yang sudah direncanakan Muhammad Al-Fatih jauh-jauh hari sebelum berperang. Di kala malam, matanya tak terpejam, membuka peta untuk merancang strategi. Sejumlah persenjataan disiapkan. Dengan bantuan seorang ahli senjata, pada peperangan ini, kaum muslim mengagetkan lawannya dengan membawa senjata yang dapat melemparkan pelurunya seberat ratusan kilogram, untuk menghancurkan tembok kokoh Konstantinopel.

Selain mengguncangkan lawan dengan senjata menakjubkannya, ada satu hal menarik yang dilakukan Muhammad Al-Fatih, yang membuat lawannya bertanya-tanya. Muhammad Al-Fatih bersama pasukannya, dapat memindahkan 72 kapal melintasi gunung dalam semalam, karena jalan laut tertutup rantai besar Konstantinopel. Dari selat Bosphorus ke selat Tanduk. Bayangkan saja, bagaimana kapal-kapal itu dapat berjalan bukan di atas air dan seluruhnya berpindah dalam semalam.

Tidak hanya perkara strategi berperang, Muhammad Al-Fatih harus memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup ratusan ribu muslim yang berangkat berperang berpuluh-puluh hari dimana setiap orang setiap hari membutuhkan makan, minum, dan buang air. Beban yang sangat besar memang ditempuhnya, sang Al-Fatih.

Itulah sedikit cerita mengenai bagaimana perjalanan sang Al-Fatih sebelum Konstantinopel takluk. Tapi ada satu hal lagi, yang ingin disampaikan penulis tentang Muhammad Al-Fatih. Muhammad Al-Fatih adalah seorang muslim yang sangat taat. Ia bukan hanya seorang yang tak pernah sekalipun meninggalkan shalat wajib. Ia tidak pernah masbuq sekalipun, ia tak pernah meninggalkan shalat rawatib sekalipun, ia tak pernah meninggalkan tahajud sekalipun, ya semua itu ia lakukan semenjak baligh.




Semenjak 29 Mei 1453, hari penaklukan Konstantinopel, ia menjadi sosok pemimpin yang membuat banyak penduduk Konstantinopel akhirnya takjub pada Islam. Ternyata di bawah pimpinannya, rakyat tetap damai, tak ada paksaan untuk memeluk agama Islam, namun banyak pihak memilih masuk Islam karena ternyata Islam dapat memimpin dengan baik dan damai disana, bahkan bagi rakyat nonmuslim, mereka tetap hidup damai, hanya membayar jizyah – pengganti fitrah dan zakat (pajak) yang menjadi kewajiban setiap muslim.

Di belahan lain, ia terus menjadi sosok yang ditakuti siapapun yang tidak rela menyerahkan kepemimpinan wilayahnya pada Islam. Ia selalu berusaha untuk menaklukkan tujuan-tujuan selanjutnya. Sampai pada suatu hari, ketika ia sudah menyiapkan segalanya untuk membebaskan Roma, Allah swt memanggilnya. Muhammad Al-Fatih menutup usianya dalam kondisi bersiap untuk membebaskan Roma pada 3 Mei 1481 dalam usia 49 tahun.


PENUTUP

S
etelah Rasulullah saw wafat, ada seorang muslim setangguh, sepatuh, sepintar, seberani ini, dan yang sangat ditakuti oleh lawannya, sampai ketika ia wafat, lawannya berteriak bahagia, “elang perkasa itu telah tiada”, beliaulah Muhammad Al-Fatih (Sultan Mehmed II).

Demikianlah buku Journey to The Greatest Ottoman ditutup dengan kisah dari seorang sultan Turki yang dikenal dengan nama Muhammad Al-Fatih  yang telah dipaparkan seperti tersebut diatas, kepahlawanannya menjadi suri tauladan kita bersama atas ketaatan, kesolehan dan keberaniannya dalam memperjuangkan nilai-nilai pada waktu ini sebagaimana layaknya sampai di akhir mellinnial ke-3 melalui peperangan bersenjata. Baca juga (klik --->) Muhammad al-Fatih, Penakluk Konstantinopel.

 Boleh jadi di mellinnium ke-3 usaha-usaha melalui “peperangan senjata” harus kita hilangkan, karena apa? Karena perang yang akan datang sangat sangat sangat berbahaya dan mengerikan sekali yaitu menggunakan senjata pemusnah massal yang daya rusaknya sungguh sungguh luar biasa. Perang Nuklir, Perang Kuman, Perang Kimia adalah perang yang sangat konyol dan biadab.

Perang tidak lagi antara tentara-tentara saja terbunuh, tapi anak-anak, orang-orang tua dan perempuan menjadi korban-korban massal yang sia-sia dan konyol. Bumi, alam atmosfir, hutan, tanaman, biodata, khewan, rumah-rumah ibadah, bangunan-bangunan, jembatan, jalan, taman, sungai, danau dan laut hancur pula bukan karena daya ledaknya saja dari senjata pemusnah massal tapi dari kontaminasi radiasi nuklir, kuman, dan kimia! Mari tegakkan dunia secara damai melalui 3T1I - Ta’aruf, Tafahum, Ta’awun dan Itsar [1]. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM



Catatan Kaki:
[1] Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling KENAL MENGENAL (TA’ARUF). [QS Al Hujurāt 49:13].

Ta’aruf ini seterusnya berkelanjutan kepada Tafahum, Ta’awun, dan Itsar yang makna masing-masing adalah sebagai berikut:  

1) Ta’aruf, yaitu saling kenal mengenal yang tidak hanya bersifat fisik atau biodata ringkas belaka, tetapi lebih jauh lagi menyangkut latar belakang sejarah dan pendidikan, budaya, keagamaan, pemikiran, ide-ide, cita-cita, serta problem-problem hidup yang di alami suku dan bangsa tersebut baik dalam pengertian seorang atau kelompok orang pada umumnya.

2) Tafahum, yaitu saling memaklumi kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga segala macam bentuk kesalahpahaman dapat di hindari. Kemudian dicari kesamaan-kesamaan titik temu. Kalau ada perbedaan yang tidak dapat dipersatukan, dimaklumi saja, asalkan tidak menyalahi ajaran pokok Islam sebenarnya.

3) Ta’awun, yaitu tolong menolong adalah kebutuhan hidup manusia yang tidak dapat dipungkiri sebagai makhluk sosial. Kenyataan membuktikan, bahwa suatu pekerjaan atau apa saja selalu membutuhkan pihak lain. Pekerjaan tidak akan dapat dilakukan sendirian oleh seseorang meski dia memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu. Ini menunjukkan, bahwa tolong-menolong dan saling membantu (adanya gotong royong dan teamwork) adalah suatu keharusan dalam hidup manusia yang ada secara naluriah dalam hati yang bersih. Mestinya tidak ada keraguannya.

Untuk itu perlu Allah Subhana wa Ta’ala mengingatkan manusia yang mungkin hatinya telah lalai - sehingga ragu dalam menyadarinya, dengan berfirman-Nya mempertegas sebagai berikut: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” [QS Al-Maidah  5:2].

Ta’awun dalam artian semangat teamwork dalam bekerja, yaitu tolong menolong dimana yang kuat menolong yang lemah dan yang memiliki kelebihan menolong orang yang kekurangan. Nah kalau ada saja pandangan atau paradigma yang menjadi ideologi masing-masing individu seperti tersebut, maka harapan hidup tanpa konflik yang yang serius akan dapat dihindari.

4) Itsar, artinya adalah mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri. Maknanya diambil dari surat ke-59, Al-Hasyir, ayat 9 yang kisahnya terjadi dalam menghadapi para pendatang dari Makkah yang berimigrasi ke Madinah (karena tekanan Musyrikin Makkah terpaksa menyingkir ke Madinah) yang tidak banyak membawa perbekalan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Dengan itu penduduk Madinah memberi kemudahan dan pertolongannya.

Dalam pengertian praktisnya, yaitu saling tolong menolong dan saling kerjasama. Tidak bertengkar dan tidak memusuhi, melainkan peduli (caring each other). □□


Sumber:
gramedia.com [Jelajah tiga daulah Journey to the gratest Ottoman]
aisadluv.wordpress.com [Travel Book Journey Journey to the gratest Ottoman]
Dan sumber-sumber lainnya. □□□

Thursday, November 29, 2018

Journey to Andalusia



JOURNEY TO ANDALUSIA
JELAJAHI KEMEGAHAN ISLAM DI BENUA BIRU


KATA PENGANTAR

T
idak banyak generasi muda Muslim yang masih mengetahui jejak sejarah Andalusia. Sebenarnya, Andalusia adalah sejarah yang paripurna, negeri sejuta cahaya, tempat segala hal hebat berawal. Islam pernah menyinari negeri itu dengan ilmu pengetahuan, peradaban, dan kemanusiaan selama 800 tahun. Lebih dari 2/3 sejarah Islam ada di sana. Kalkulus, algoritma, trigonometri, aljabar, adalah hasil pemikiran ilmuwan muslim bagi kemajuan peradaban. Tanpa penemuan-penemuan itu, tidak akan ada revolusi digital yang kita nikmati saat ini.

Catatan perjalanan ini bukan sekedar menjelaskan bahwa Islam pernah berada di Andalusia, wilayah yang kini bersama Spanyol, Portugal, dan sebagian Prancis tapi juga mengingatkan bahwa benderang itu bersumber dari Islam.


RESENSI BUKU JOURNEY TO ANDALUSIA

A
ndalusia adalah wilayah yang luas melingkupi Semenanjung Iberia bagian selatan seperti sebagian Spanyol dan Portugal, juga Afrika bagian utara yaitu Maroko. Andalusia berasal dari bahasa Arab “Al-Andalus” yang merujuk pada bagian jazirah Iberia yang dahulu berada di bawah pemerintahan muslim.

Sedikit yang tahu bahwa Islam pernah berjaya di wilayah Eropa bagian selatan tersebut. Andalusia menjadi tempat segala hal hebat berawal. Di sini, Islam unggul di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, dan kemanusiaan dari tahun 711 sampai 1492 Kalender Gregorian.

Delapan ratus tahun memang bukan waktu singkat. Perlahan kejayaan Islam itu mulai memudar, hingga akhirnya sirna seakan tak berbekas. Namun, dunia Barat berhutang banyak pada Islam. "Bagaikan bulan yang cahayanya hasil meminjam dari umat Islam," tulis Stanley Lane Poole dalam bukunya yang berjudul The Moors in Spain.

Ahli hitung muslim berhasil membuat peta dunia yang rumit dan detail, mengukur radius bumi, menemukan istilah mil untuk menunjukkan jarak yang digunakan sampai saat ini. Kalkulus, algoritma, trigonometri, dan aljabar, juga hasil pemikiran ilmuwan muslim yang tak ternilai bagi kemajuan peradaban.

Seorang muslimah asal Indonesia, Marfuah Panji Astuti, berhasil membedah dan menjabarkan keberhasilan muslim di Andalusia dalam Journey to Andalusia. Selain bercerita tentang bangunan peninggalan Islam di lokasi yang disinggahinya di kawasan Andalusia, wanita yang kerap dipanggil Uttiek ini juga mengangkat tokoh-tokoh bersejarah dari Andalusia dan warisan-warisan yang ditinggalkan.

Tak ketinggalan, sebagai buku traveling, Uttiek juga membagikan tip perjalanan secara mandiri atau melalui travel agent dan tip moslem traveler ke Eropa. Buku ini cocok dibaca bagi mereka yang ingin tahu kemegahan Islam masa lalu di Andalusia.

Secara rinci, berikut tiga dari sepuluh warisan Andalusia untuk dunia yang dikutip dari buku Journey to Andalusia.


1. Kedokteran

Di saat Barat masih menganggap penyakit sebagai kutukan, dokter-dokter muslim di Andalusia telah berhasil mengklasifikasi penyakit berdasar gejala, melakukan pembedahan, menghentikan perdarahan, dan mendirikan rumah sakit. Salah satu dokter yang termasyhur adalah Abu Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi (930-1013), atau di Barat dikenal sebagai Abulcasis.


2. Kuliner

Kebudayaan Andalusia memperkenalkan pembagian menu makan menjadi beberapa bagian, yakni appetizer (makanan pembuka), main course (makanan utama), dan dessert (makanan penutup). Tata cara makan seperti itu masih digunakan hingga sekarang. Beberapa makanan yang merupakan warisan kuliner Andalusia, salah satunya pasta. Sekarang pasta dikenal sebagai makanan khas Italia, namun sejatinya wanita Andalusia sudah membuat pasta untuk jamuan makan jauh sebelumnya - boleh jadi juga ada pengaruh dari Sisilia (kepulauan yang terletak di sisi selatan semenajung Italia) yang 290 tahun lamanya Muslim memerintah di sana.


3. Perpustakaan

Ilmu pengetahuan yang tumbuh subur di Andalusia sejalan dengan munculnya perpustakaan. Ibaratnya, bak cendawan di musim hujan. Tercatat di kota Cordoba saja telah berdiri lebih dari 70 perpustakaan atau yang disebut Dar-Al-Ilmi (rumah ilmu). Tidak hanya tempat meminjam buku, perpustakaan juga menjadi tempat diskusi antara guru dan murid-muridnya.


PENUTUP

D
emikianlah Marfuah Panji Astuti penulis buku Journey to Andalusia yang diterbitkan oleh Gramedia mengisahkan perjalanannya yang mengagumi dari jejak-jejak Peradaban Islam selama 800 tahun yang masih membekas dan terpelihara dengan baik. □ AFM


Sumber:
Gramedia - Journey to Andalusia