Thursday, October 20, 2016

Sara Demokrasi Toleransi




Kata Pengantar

      Dr. KH. A. Mustain Syafi’i, MA, Pengasuh ponpes Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang mengatakan: Isu SARA dilarang jika untuk memprovokasi, menfitnah, merendahkan dll. Tapi apa salahnya, apa yang dilanggar bila muslim memilih pemimpin seiman dan menolak yang tidak seiman tanpa merendahkan keimanan yang lain. Adalah hak bagi setiap warga memilih pemimpin sesama Suku, tanpa merendahkan Suku lain. Sesama Ras, tanpa menfitnah Ras yang lain atau sama Adat tanpa menghina Adat lain. Itu hak berdemokrasi.

     Di Indonesia sering rancu antara SARA, DEMOKRASI dan TOLERANSI, terutama dalam menghadapi Pemilu dan Pilkada. Bahkan pengertian ketiga kata kata itu sering dalam pelaksanaannya inkonsisten (tidak konsisten) dalam prakteknya.

     Untuk membahas hal tersebut diatas ada tiga sumber yang akan diketengahkan disini. Pertama: Tulisan Imam Shamsi Ali dalam tajuk “Inkonsistensi”. Kedua: Tulisan Dr. KH. A. Mustain Syafi’i, MA dalam tajuk “Masihkah NU sebagai Organisasi Keagamaan?” Ketiga: Tulisan Dr. Gamal Albinsaid dalam tajuk “Betapa Tinggi Makna Toleransi” (tajuk aslinya The Highest Result of Tolerance is Respect and Social Relations). AFM


INKONSISTENSI
Oleh: Imam Shamsi Ali [1]


D
alam ajaran Islam, sikap konsisten adalah kunci kesuksesan. Pengakuan atau keimanan kepada Tuhan yang Satu, Rabbunallah, menuntut sikap konsisten (istaqāmu). Jika tidak, boleh jadi pengakuan itu tinggalah hiasan bibir.

       Dalam dunia yang penuh "tipu daya" (tricks) saat ini, sikap konsisten itu semakin menipis. Berbagai pernyataan, opini, propaganda, dan semacamnya tidak lagi konsisten pada "nilai kebenarannya". Tapi terombang ambing di tengah derasnya gelombang kepentingan (bahkan disertai money politics, sogok – Admin).

        Keadilan yang menjadi dasar kemuliaan hidup manusia menjadi keadilan sepihak karena hilangnya "konsistensi". Di dalam menilai dan memperjuangkan keadilan kerap kali tersembunyi maksud. Yaitu keadilan untuk diri atau kelompok sendiri. Ketika keadilan itu memihak pada diri dan kelompok kita maka itulah keadilan yang mutlak dipertahankan dan diperjuangkan. Sebaliknya ketika keadilan itu dimaksudkan bagi orang lain, apalagi yang dianggap lawan, maka keadilan bisa dipersepsikan atau dikampanyekan sebagai "kezaliman". (Sama seperti yang dikatakan pepatah lama: “Tiba di diri dikembangkan. Tiba di diri orang lain dikempiskan” – Admin)

      Ketika kaum penguasa atau penjajah melakukan kekerasan maka itu adalah penegakan hukum dan untuk menjamin keamanan. Tapi ketika kaum lemah dan terjajah melakukan perlawanan maka itu adalah "kekerasan dan terorisme".

       Kebebasan juga demikian. Ketika kebebasan itu dieskpresikan oleh kita atau kelompok kita maka kebebasan itu murni sebagai kebebasan. Tapi ketika kebebasan itu diekspresikan oleh pihak lain, apalagi jika ekspresi kebebasan itu berlawanan dengan konsep dan pemahaman, atau kepentingan kita dan kelompok kita, maka kebebasan itu berbalik menjadi "keterkungkungan".

       Wanita-wanita di dunia barat bebas berpakaian sesuai keinginannya. Bahkan bebas setengah berpakaian, bahkan tidak berpakaian sekalipun. Tidak akan dihalangi selama itu tidak mengganggu orang lain. Tapi ketika wanita-wanita Muslimah berpakaian dengan ekspresi kebebasan yang dipahaminya, oleh pihak lain akan dipandang sebagai "keterkungkungan".

        Beberapa waktu lalu ada tiga orang Amerika di Kansas ditangkap karena akan melakukan pemboman ke pemukiman imigran Somalia. Menurut informasi FBI mereka menamakan kelompok "crusaders" itu telah membuat, dan mampu membuat alat pemboman.

          Hari ini kita baca berita dengan judul: White privilege wages jihad: Kansas “militia members” aren’t considered “terrorists” because they’re not Muslim.

Itu satu sikap inkonsisten, bahkan kemunafikan dalam menyikapi permasalahan yang ada. Bayangkan jika yang tertangkap itu adalah seseorang yang beragama Islam. Pastilah tanpa penyelidikan awal semua media akan melabelkannya dengan "islamic terrorist".


Toleransi

        Kita hidup dalam dunia ragam. Ragam suku, bangsa, budaya dan bahkan agama dan bahkan asosiasi politik. Keragaman ini rentan membawa kepada gesekan-gesekan sosial, jika tidak terantisipasi dengan baik dan dengan kedewasaan.

        Seringkali kita dengarkan bahwa kunci utama dari solusi permasalahan sosial akibat keragaman ini adalah toleransi. Tapi sejujurnya toleransi bukanlah kata yang tepat. Kata yang tepat adalah saling belajar (ta'aruf) sehingga tumbuh sikap saling memahami (tafahum). Dari sikap saling memahami inilah semua pihak akan belajar untuk saling "menghormati" berdasarkan kepada kebebasan yang masing-masing dipilihnya.

        Tapi anggaplah kita semua sepakat menerima istilah toleransi sebagai jembatan yang bisa mendekatkan sekat-sekat perbedaan (keragaman) itu. Dengan toleransi kita menumbuhkan sikap penerimaan atas sesuatu yang kita setujui. Menerima dalam arti menghormati pilihan orang lain.

     Masalahnya adalah seringkali tumbuh sikap "inkonsisten" dalam menyikapinya. Seolah toleransi itu adalah "pahamai, hormati dan terima aku". Sebaliknya ketika pihak lain memilih bersikap sebaliknya, tentu atas dasar pertimbangan dan kemerdekaannya, maka akan dicap sebagai pihak yang tidak toleran, bahkan egois.

         Dalam menyikapi pilihan politik misalnya, kita akan dikategorikan toleran jika memilih pilihan orang lain. Atau minimal diam terhadap berbagai ketidak wajaran dari pilihan orang lain. Di saat anda menyuarakan, atau bahkan menjatuhkan pilihan dengan pertimbangan anda sendiri, boleh jadi anda akan berbalik tertuduh tidak toleran.

         Oleh karenanya, saya ingin melihat konsistensi semua pihak dalam semua hal. Tentu termasuk dalam sikap atau pilihan seseorang dan atau kelompok. Jika seseorang menjatuhkan pilihannya karena pertimbangan agama, ras dan suku, saya melihat tidak salah. Tidak perlu dituduh SARA karena itu bagian dari ekspresi kebebasan. Jangan-jangan tingkatan toleransi anda sedang teruji.

         Ini tentunya termasuk ketika ada sebagian masyarakat memahami Kitab Sucinya sebagai acuan untuk memilih atau tidak memilih. Tidak perlu pemahaman ayat atau pun agama secara umum dituduh politisasi agama.

          Saya tidak akan keberatan kalau misalnya jika di Amerika saat ini ada yang melarang orang-orang Kristiani memilih calon Muslim berdasarkan Kitab Sucinya. Toh itu bagian dari keimanan dan praktek iman yang dijamin oleh Konstitusi.

          Terlepas dari apakah saya setuju atau tidak, Kenapa ketika sebagian orang Islam melarang sesama memilih pemimpin berdasarkan pemahamannya dari Kitab sucinya dianggap SARA atau tidal toleran? Jangan-jangan itu memang bukti inkonsisensi kita dalam nilai-nilai yang kita kampanyekan. Termasuk kampanye toleransi itu. Wallahu a'lam!


MASIHKAH NU SEBAGAI ORGANISASI KEAGAMAAN?
Oleh: Dr. KH. A. Mustain Syafi’i, MA [2]

Berikut ini tulisan seorang kyai dari Jombang Jawa Timur, Pengasuh ponpes Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang, tempat lahirnya NU tahun 1926, yang mempertanyakan keadaan NU sekarang.

K
eputusan pemuda NU Jakarta dalam pilgub DKI NETRAL. Identik dengan para kiainya di jajaran Syuriah yang hingga kini membisu soal ini. Tak heran, siapa dulu dong bapaknya? Artinya:

1. Rupanya, Penguasa NU sekarang tidak menganggap NASHBUL IMAM sebagai bagian dari agama, sehingga tidak masalah umat nahdliyin dipimpin nonmuslim. Lalu apa gunanya kiai sebagai pewaris Nabi? Pernahkh nabi, para sahabat, tabi’in, al-salaf al-shalih, kiai-kiai pendiri NU membiarkn nonmuslim menguasai umat Islam? Sebagai muslim, Penjajah ditumpas bukan semata karena membela negara, tapi lebih karena agama. Makanya ada istilah perang SABIL, RESOLUSI JIHAD dll. Pejuang yang gugur dihukumi syahid, tanpa dimandikan, tanpa dikafani, tanpa dishalati

2. Nashbul Imam adalah masalah agama yang sangat serius. Karena pemimpin adalah penentu kebijakan yang berdampak besar kepada rakyat. Jika pemimpin nonmuslim menentukan kebijakan yang merugikan Islam (umat Islam), demi Allah - mereka yang memilih dia berdosa, termasuk yang membiarkn tanpa fatwa agama, apalagi tim suksesnya.

3. Netral, memangnya NU itu KPU? Jika para cagub seiman, wajar NU netral. Tapi ini beda. Isu SARA dilarang jika untuk memprovokasi, menfitnah, merendahkn dll. Tapi apa salahnya, apa yang dilanggar bila muslim memilih pemimpin seiman dan menolak yang tidak seiman tanpa merendahkan keimanan yang lain. Adalah hak bagi setiap warga memilih pemimpin sesama Suku, tanpa merendahkan Suku lain. Sesama Ras, tanpa menfitnah Ras yang lain atau sama Adat tanpa menghina Adat lain. Itu hak berdemokrasi.

4. Sangat memprihatinkan jika NU hanya vokal soal tahlilan, yasinan, ziarah kubur yang diganggu. Tapi tekad punya nyali memberi fatwa politik yang agamis dan demokratis. Padahal ini masalah besar terkait kemaslahatan umat baik di dunia lebih-lebih di akhirat. Hanya muslim minimalis (musailim) yang memandang politik hanya masalah dunia. Sadarilah, Tercatat 65 kali perang (ghazwah dan sariyah) selama periode Nabi demi memaslahatkan umat via kekuasaan.

5. Sekelas Syuriah NU tidak mungkin tidak mengerti ini. Bisunya mereka pasti ada sesuatu yang amat dahsyat hingga menyebabkan amanat agama mereka tersandera. Dan umat sudah tahu hal itu dari omongan mereka sendiri (?)

6. Kiai Syuriah NU bukanlah kiai pesanan, bukan pula kiai jadian yang dijadikan oleh para broker Politik. Kiai Syuriah adalah benar-benar ulama pewaris Nabi yang dipilih secara mukhlis dan bersih dari sum’ah dan ambisi sehingga memiliki sifat syaja’ah yang terpuji, selalu “YAKHSYA ALLĀH” dan tidak “YAKHSYA AL-NĀS”. Harusnya, Kiai Syuri’ah NU bukan Kiai yang diperalat broker politik. Kiai NU adalah Kiai yang mukhlis, ikhlas, tidak sum’ah, yang beramal untuk diperdengarkan. Miliki sifat syaja’ah, berani karena Allah dan (membela) Rasulullah. Selalu Yakhsya Allah, hanya takut pada Allah, tidak Yakhsya Al Nās, takut pada manusia, celaan orang-orang yang mencela. (nahimunkar.com)



Pendahuluan

       Ruang paripurna DPR tiba-tiba bergemuruh suara takbir ketika Anggota Fraksi PKS Almuzammil Yusuf membacakan surat terkait dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta soal Al Maidah ayat 51. Bagaimana ceritanya?

        Sebelum rapat paripurna yang membahas tentang Perjanjian Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai perubahan iklim dibuka, Al Muzammil mengangkat tangan untuk mengajukan interupsi. Ia menyuarakan pernyataan seorang doktor asal Universitas Brawijaya soal toleransi antar umat beragama.

"Saya hanya ingin menyampaikan satu hal yang menjadi hak saya sebagai (anggota) dewan. Saya ingin menyampaikan soal suara seseorang tentang makna toleransi," kata Muzammil di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/10/2016).

       Muzammil ternyata menyampaikan soal kegelisahan umat Islam terkait pernyataan Ahok terkait Al Maidah ayat 51. Ia menceritakan pengalaman seseorang tentang betapa tingginya makna toleransi.

         "Saya ingatkan kepada Presiden, Kapolri, negara kita negara hukum, hormati hukum. Pernyataan kami kalau ada anggota mari didukung, kita hanya tuntut jalur hukum. Sehingga tak perlu ditakutkan seperti apa yang dikatakan Hendropriyono. Tak perlu. Karena kita tak ingin onar. Kita hanya menjalankan Pancasila. Saya ajak takbir. Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar walillahilham," ungkap Muzammil yang diiringi gema suara takbir.

Berikut surat lengkap yang disampaikan Al Muzammil dalam rapat paripurna hari ini:


BETAPA TINGGI MAKNA TOLERANSI

Oleh Dr. Gamal Albinsaid [3]


Social relations adalah salah satu indikator dari suksesnya toleransi di sebuah masyarakat. Oleh karenanya hasil dari toleransi adalah kenyamanan individu dan keharmonisan sosial. [UNESCO dalam publikasinya "Tolerance: The Threshold of Peace"]


Bismillahirrahmanirrahim.

D
ua hari lalu, sebelum saya menerima penghargaan Empowering people Award dari Siemens di Jerman, salah seorang panitia mendatangi saya untuk menanyakan cara bersalaman di atas panggung karena pimpinan mereka adalah seorang wanita. Mereka menghormati ketika tahu saya tidak bersalaman dengan wanita karena tidak ingin bersentuhan dengan yang bukan muhrim saya. Saya cukup menempelkan kedua tangan saya, lalu menyapa mereka tanpa menyentuh tangannya. Mereka mengatur itu di atas panggung agar saya merasakan kenyamanan. Itulah toleransi.

         Di perjalanan ke Inggris untuk kunjungan ke 15 perusahaan, pernah saya menaiki pesawat yang tidak menyediakan makanan halal. Setelah saya sampaikan kepada mereka saya hanya bisa makan makanan halal, mereka mencari sebuah mie instan yang memiliki label halal untuk saya. Itulah toleransi.

          Ketika saya harus presentasi di California University yang bersamaan saat Salat Jumat, saya minta panitia menggeser jam presentasi kami, karena saya ingin melaksanakan Salat Jum'at di sana. Mereka mengijinkan menggeser waktu presentasi saya. Itulah toleransi.

        Ketika makan malam dengan pangeran Charles di Istana Buckingham, mereka mengatur supaya saya mendapatkan makanan untuk vegetarian agar saya merasa nyaman. Itulah toleransi.

          Di berbagai pengalaman itu, saya merasakan dan menyimpulkan bahwa bentuk toleransi adalah hormat. Bagi saya "The highest result of tolerance is respect and social relations" – Puncak yang dicapai dari bertoleransi adalah saling menghargai dalam hubungan social kemasyarakatan, toleransi itu adalah bentuk penghormatan kita pada perbedaan yang ada. Mulai dari hal yang kecil seperti makanan, cara berpakaian, cara beraktivitas, sampai hal yang besar soal agama, kitab suci, dan prinsip Ketuhanan.

          UNESCO dalam publikasinya "Tolerance: The Threshold of Peace"
Menyatakan social relations adalah salah satu indikator dari suksesnya toleransi di sebuah masyarakat. Oleh karenanya hasil dari toleransi adalah kenyamanan individu dan keharmonisan sosial.

         Mau tidak mau, pemimpin berperan besar dalam menjaga, membangun, dan menciptakan toleransi yang baik. Tidak boleh pemimpin itu masuk atau memberikan komentar terhadap agama, kitab suci, prinsip Ketuhanan, dan cara beribadah sebuah agama.

            Peran pemimpin itu penting sekali dalam toleransi yang kita bangun. Kita rindu pemimpin yang mampu menyejukkan perbedaan kita dalam kesantunan, menciptakan keharmonisan di antara perbedaan dengan sikap saling menghormati dalam cinta kasih. Bukan pemimpin yang tidak mempedulikan perbedaan yang ada, menciptakan ketegangan dengan menghina agama, melecehkan kitab, membatasi cara beribadah. Seorang pemimpin harus menghormati agama yang berbeda dengan tidak menilai atau mengomentari agama, tidak mengomentari kitab suci, dan tidak mengomentari cara beribadah. Lalu bagaimana keharmonisan bisa hadir jika pernyataan mengarah pada pelecehan atau penghinaan pada kitab suci dan isi kitab suci?

         Teruntuk Pak Ahok, before you say something, stop and think how you'd feel if someone said it to you. Sungguh menyakitkan jika anda merasakan bagaimana yang kami rasakan sebagai umat Islam, kitab yang kami baca tiap hari, kami jadikan pegangan hidup, kami hafalkan, kami baca saat banyak orang tidur, kami pelajari bertahun-tahun, lalu dengan mudahnya anda sebut sebagai alat melakukan kebohongan. Apakah Pak Ahok pernah menempuh jurusan tafsir hingga merasa berhak menafsirkan Al-Quran seenaknya? Pak Ahok, jangan hina kitab suci saya hanya untuk kepentingan politik anda! Tidak ada sedikitpun kebohongan dalam Al-Quran! Hormati Al-Quran kami!

         "Don't get so tolerant that you tolerate intolerance"(Bill Maher).  Kita tidak boleh mentoleransi sebuah keintoleransian. Jangan salah mengartikan toleransi, "Tolerance does not mean tolerating intolerance".

Saya sebenarnya tidak suka menuliskan atau memberikan tanggapan soal permasalahan politik, tapi nasehat Ayaan Hirsi Ali bahwa "Tolerance of intolerance is cowardice (mentoleransi sebuah intoleransi adalah sikap pengecut)" cukup memantapkan hati saya untuk tidak diam.

Gagasan toleransi Ayaah Hirsi Ali itu sama dengan apa yang dikatakan Haji Abdul malik Karim Amrullah atau yang biasa kita kenal dengan Buya Hamka, "Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina dan engkau diam saja, jelaslah ghiroh telah hilang darimu…. Jika ghiroh telah hilang dari hati, gantinya hanya satu, yaitu kain kafan. Sebab kehilangan ghiroh sama dengan mati….."

Ya, jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan. Itu jika diam.

Lalu bagaimana "jika membela orang yang menghina agamamu?" Guntur Romli dan Nusron Wahid mungkin bisa membantu saya menjawabnya.


Sumber:
[1]Imam Shamsi Ali, New York City, USA, adalah sebagai Imam dan juga Presiden Nusantara Foundation dan Muslim Foundation of America, Inc.
[2]https://www.nahimunkar.com/kyai-jombang-pertanyakan-nu-apa-gunanya-ulama-pewaris-nabi-nu-kini/
[3]http://news.detik.com/berita/d-3324187/gemuruh-takbir-di-paripurna-dpr-saat-politikus-pks-bacakan-surat-toleransi□□□

Wednesday, October 12, 2016

Antara Musyawarah dan Voting Dalam Islam





Pendahuluan

S
ebagian orang berdalih dengan sebuah kisah dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam di Perang Uhud ketika musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi Perang Uhud. Sebagian kecil shahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di Madinah, namun kebanyakan shahabat, dan yang belum sempat ikut dalam perang Badar sebelumnya, cenderung ingin menyongsong lawan di medan terbuka yang kemudian akhirnya Rasululullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengambil pendapat mayoritas shahabat.

            Mereka berdalih dengan kisah tersebut diatas untuk menunjukkan bahwa demokrasi dan voting pun sebenarnya merupakan sesuatu yang disyariatkan. Benarkah demikian?

            Dalam demokrasi, orang mengenal istilah one man one vote (voting). Dengan satu orang satu suara, maka tak ada lagi istilah Muslim atau non-Muslim, ulama (orang berpendidikan) atau juhala (orang awam), ahli maksiat atau orang shalih, dan seterusnya. Semua suara bernilai sama di hadapan ‘hukum’. Walhasil, keputusan terbaik adalah keputusan yang diperoleh dengan suara mayoritas. Lalu bagaimana dengan sistem Islam? Siapakah yang patut didengar suaranya?

            Dalam ketatanegaraan Islam, dikenal istilah “ahli syur”’. Posisinya yang sangat penting membuat keberadaannya tidak mungkin dipisahkan dengan struktur ketatanegaraan. Karena bagaimanapun bagusnya seseorang pemimpin, ia tetap tidak akan pernah lepas dari kelemahan, kelalaian, atau ketidaktahuan dalam beberapa hal.  Sampai-sampai Nabi Muhammad saw pun diperintahkan untuk melakukan syura, apalagi selain beliau tentunya.

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di mengatakan:

“Jika Allah mengatakan kepada Rasul-Nya –padahal beliau adalah orang yang paling sempurna akalnya, paling banyak ilmunya dan paling bagus idenya– ‘maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu’, maka bagaimana dengan selain beliau?” (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 154)

Kata asy-syura (
الشُوْرَى) adalah ungkapan lain dari kata musyawarah (مَشَاوَرَةٌ) atau masyurah (مَشُوْرَةٌ) yang dalam bahasa kita dikenal dengan musyawarah, sehingga ahli syura adalah orang yang dipercaya untuk diajak bermusyawarah.


Disyariatkannya Syura

Allah Ta’ala berfirman yang artinya:

“Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Āli ‘Imrān 3:159)

Juga Allah memuji kaum mukminin dengan firman-Nya yang artinya:

“Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah dan mereka menafkahkan sebagian yang kami rizkikan kepada mereka.” (QS Asy-Syūra’ 42:38)

            Kedua ayat mulia diatas menunjukkan tentang disyariatkannya bermusyawarah. Ditambah lagi dengan praktek Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang sering melakukannya dengan para sahabatnya seperti dalam masalah tawanan perang Badr, kepergian menuju Uhud untuk menghadapi kaum musyrikin, menangggapi tuduhan orang-orang munafiq yang menuduh ‘Aisyah berzina, dan lain-lain. Demikian pula para shahabat beliau berjalan di atas jalan ini. (lihat Shahih Al-Bukhari, 13/339 dengan Fathul Bari)

Ibnu Hajar berkata: “Para ulama berselisih dalam hukum wajibnya.” (Fathul Bari, 13/341)


Pentingnya Syura

            Syura teramat penting keberadaannya sehingga para ulama, diantarnya Al-Qurthubi, mengatakan: “Syura adalah keberkahan.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/251)

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan:

Tidaklah sebuah kaum bermusyawarah di antara mereka kecuali Allah akan tunjuki mereka kepada yang paling utama dari yang mereka ketahui saat itu.” (Ibnu Hajar mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad dan Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang kuat.” Lihat Fathul Bari, 13/340)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya menyebutkan faidah-faidah musyawarah diantaranya:

1. Musyawarah termasuk ibadah yang mendekatkan kepada Allah.

2. Dengan musyawarah akan melegakan mereka (yang diajak untuk hadir  bermusyawarah) dan menghilangkan ganjalan hati yang muncul karena sebuah peristiwa. Berbeda halnya dengan yang tidak melakukan musyawarah. Dikhawatirkan (jika tidak ada musyawarah), orang tidak akan sungguh-sungguh mencintai dan tidak menaatinya (suatu peraturan dll). Seandainya menaati pun, tidak dengan penuh ketaatan.

3. Dengan bermusyawarah, akan menyinari pemikiran karena menggunakan pada tempatnya.

4. Musyawarah akan menghasilkan pendapat yang benar, karena hampir-hampir seorang yang bermusyawarah tidak akan salah dalam perbuatannya. Kalaupun salah atau belum sempurna sesuatu yang ia cari, maka ia tidak tercela. (Taisir Karimirrahman, hal. 154)


Apa Yang Perlu Dimusyawarahkan?

            Para ulama berbeda pendapat dalam mempermasalahkan hal-hal yang sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam diperintah Allah untuk bermusyawarah dengan para shahabatnya, sebagaimana tersebut dalam surat ke-3, surat Āli ‘Imrān ayat 159.

Dalam hal ini, Ibnu Jarir menyebutkan beberapa pendapat:

1. Pada masalah strategi peperangan dan dalam menghadapi musuh untuk melegakan para shahabat dan untuk mengikat hati mereka kepada agama ini serta agar mereka melihat bahwa Nabi juga mendengar ucapan mereka.

2. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam justru diperintahkan untuk (institusi musyawarah) bermusyawarah dalam perkara itu walaupun beliau punya pendapat yang paling benar karena adanya keutamaan (fadhilah) dalam musyawarah.

3. Allah perintahkan Beliau saw untuk bermusyawarah padahal beliau sesungguhnya sudah cukup dengan bimbingan dari Allah. Hal ini dalam rangka memberi contoh kepada umatnya sehingga mereka mengikuti beliau ketika dilanda suatu masalah, dan ketika mereka bersepakat dalam sebuah perkara, maka Allah akan berikan taufiq-Nya kepada mereka kepada yang paling benar. (Tafsir Ath-Thabari, 4/152-153 dengan diringkas).

4. Sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah musyawarah pada perkara yang Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam belum diberi ketentuaannya tentang perkara itu secara khusus.

5. Maksudnya yaitu pada urusan keduniaan secara khusus.

6. Pada perkara agama dan kejadian-kejadian yang belum ada ketentuannya dari Allah yang harus diikuti. Juga pada urusan yang keduniaan yang dapat dicapai melalui ide dan perkiraan yang kuat. (Ahkamul Qur’an karya Al-Jashshash, 2/40-42)


Pendapat terakhir inilah yang dianggap paling kuat oleh Al-Jashshash dengan alasan-alasan yang disebut dalam buku beliau.

Lalu beliau juga berkata:

“Dan pasti Nabi bermusyawarah pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya dari Allah. Dimana tidak boleh bagi beliau melakukan musyawarah pada hal-hal yang telah ada ketentuannya dari Allah. Dan ketika Allah tidak mengkhususkan urusan agama dari urusan dunia ketika memerintahkan Nabi-Nya untuk musyawarah, maka pastilah perintah untuk musyawarah itu pada semua urusan”.

Dan nampaknya pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari (13/340) setelah menyebutkan pendapat-pendapat diatas. Juga oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Tafsir-nya (hal. 154) seperti yang terpahami dari ucapan beliau.


Jadi tidak semua perkara dimusyawarahkan sampai-sampai sesuatu yang telah ditentukan syariat pun dimusyawarahkan, tetapi bagian tertentu saja seperti yang dijelaskan diatas.


Yang mendukung hal ini adalah bacaan ‘Abdullah bin ‘Abbas yang artinya:

Maka bermusyawarahlah dengan mereka dalam sebagian urusan itu.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/250)

Semua hal diatas kaitannya dengan musyawarah yang dilakukan oleh Nabi. Maka yang boleh dimusyawarahkan oleh umatnya perkaranya semakin jelas, yaitu pada hal-hal yang belum ada nash atau ketentuannya baik dari Allah atau Rasul-Nya. Artinya, jika telah ada ketentuannya dari syariat, maka tidak boleh melampauinya. Dan mereka harus mengikuti ketentuan syariat tersebut.

Allah ta’ala berfirman yang artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujurāt 49:1)

Al-Imam Al-Bukhari mengatakan:

“Maka Abu Bakar tidak memilih musyawarah jika beliau memiliki hukum dari Rasulullah…(karena ketentuannya sudah ada)” [Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari]

Dan sebaliknya. Jika sudah ada ketentuannya dalam syariat namun mereka tidak mengetahuinya, atau lupa, atau lalai, maka boleh bermusyawarah untuk mengetahui ketentuan syariat dalam perkara tersebut, bukan untuk menentukan sesuatu yang berbeda dengan ketentuan syariat.

Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan:

“Seorang hakim atau pemimpin diperintahkan untuk bermusyawarah karena seorang penasehat akan mengingatkan dalil-dalil yang dia lalaikan dan menunjuki dalil-dalil yang tidak dia ingat, bukan untuk bertaqlid kepada penasehat tersebut pada apa yang dia katakan. Karena sesungguhnya Allah tidak menjadikan kedudukan yang demikian (diikuti dalam segala hal) itu bagi siapapun setelah Nabi”. (Fathul Bari, 13/342).”

Al-Bukhari mengatakan:

“Dan para imam setelah Nabi wafat bermusyawarah pada hal-hal yang mubah dengan para ulama yang amanah untuk mengambil yang paling mudah. Dan jika jelas bagi mereka Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka mereka tidak melampauinya untuk (kemudian) mengambil selainnya. Hal itu dalam rangka meneladani Nabi…” (Shahih Al-Bukhari, 13/339-340 dengan Fathul Bari. Lihat pula hal. 342 baris 18)

Ibnu Taimiyyah mengatakan:

“Dan jika seorang pemimpin bermusyawarah dengan mereka (ahli syura) kemudian sebagian mereka menjelaskan kepadanya sesuatu yang wajib dia ikuti baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma’ kaum muslimin maka dia wajib mengikutinya dan tiada ketaatan kepada siapapun pada hal-hal yang menyelisihinya. Adapun jika pada hal-hal yang diperselisihkan kaum muslimin, maka mestinya meminta pendapat dari masing-masing mereka beserta alasannya, lalu pendapat paling mirip dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya itulah yang ia amalkan.” (Siyasah Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyyah hal. 133-134 dinukil dari Fiqh Siyasah Syar’iyyah hal. 58))

Al-Qurthubi mengatakan:

“Syura terjadi karena perbedaan pendapat. Maka seseorang yang bermusyawarah hendaknya melihat perbedaan tersebut kemudian melihat kepada pendapat yang paling dekat kepada Al-Qur’an dan As- Sunnah jika ia mampu. Lalu jika Allah membimbingnya kepada yang Allah kehendaki, maka hendaknya ia ber-‘azam (bertekad) untuk kemudian melakukannya dengan bertawakkal kepada Allah. Dimana inilah ujung dari ijtihad yang diminta dan dengan inilah Allah perintahkan Nabi-Nya dalam ayat ini (Ali Imran: 159).” (Tafsir Al-Qurthubi, 4/252)


Memilih Pemimpin dengan Pemilu (Voting)

            Sebelumnya telah kita bahas mengenai SYURO DALAM PANDANGAN ISLAM DAN DEMOKRASI Selanjutnya dalam pembahasan ini akan kita bahas mengenai pemilihan pemimpin melalui pemilihan umum atau voting atau jajak pendapat atau referendum.

Dalam demokrasi, seluruh keputusan dan pengambilan kebijakan dilaksanakan dengan sistem suara terbanyak. Sedangkan dalam Islam, dilaksanakan dengan sistem musyawarah untuk mufakat, baru kalau belum ada satu kata dalam mufakat diambil secara voting – pemilihan suara.


Tatacara Pemilihan Pemimpin dalam Islam

            Jika kita perhatikan sejarah para Khulafaur Rasyidin, maka akan kita dapati bahwa pemilihan pemimpin dilakukan dengan cara:

1. Musyawarah  dan Berdasarkan Nash

            Sebagian ulama mengatakan bahwa Abu Bakr  diangkat sebagai khalifah berdasarkan nash. Dalam hal ini pun terbagi menjadi dua, yaitu berdasarkan nash khafiy (nash teks dalam makna tersembunyi) dan berdasarkan nash jaliy (nash teks dalam makna yang jelas atau terang). Di antara mereka yang berpendapat berdasarkan nash khafiy adalah Al Hasan Al Bashri, satu riwayat dari Imam Ahmad, dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya. Adapun yang berpendapat berdasarkan nash jaliy adalah Ibnu Hazm Azh Zhahiri, Ibnu Hajar Al Haitami, dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya.

Sebagian ulama berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakr radliyallāhu ’anhu didasarkan pada kesepakatan ahlul-halli wal-’aqdi yang berasal dari kaum Muhajirin dan Anshar setelah sebelumnya terjadi perselisihan di antara mereka. Dalam hal ini, ketidak sepakatan sebagian orang di antara mereka tidaklah dianggap (yaitu misalnya ketidak sepakatan Sa’d bin ’Ubadah radliyallaahu ’anhu).

2. Penunjukan Langsung

            Cara seperti ini adalah seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr kepada ’Umar bin Al-Khaththab radliyallāhu ’anhuma. Setelah Abu Bakr meminta pandangan dari beberapa orang shahabat tentang diri ’Umar bin Al-Khaththab (diantaranya ’Abdurrahman bin ’Auf, ’Utsman bin ’Affan, Sa’id bin Zaid, Usaid bin Hudlair, dan yang lainnya), maka beliau memanggil ’Utsman dan menyuruhnya untuk menulis wasiat penunjukkan ’Umar bin Al-Khaththab sebagai pengganti beliau menjadi khalifah.

3. Pembentukan Tim Formatur dan Jajak Pendapat

            Ketika Khalifah Umar bin Khatab mendekati ajalnya, beliau menunjukkan 6 orang yang bertanggung jawab memilih penggantinya. Beliau mengatakan yang artinya:

”Saya tidak menjumpai orang yang lebih berhak untuk memegang tampuk kekhalifahan ini, selain sekelompok orang ini, yaitu orang-orang yang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau ridha kepada mereka.”

Kemudian Umar menyebut beberapa nama, diantaranya, Ali, Utsman, az-Zubair, Thalhah, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Usai pemakaman jenazah Umar radhiyallāhu ‘anhu, enam orang ini berkumpul. Abdurrahman memimpin rapat. Beliau mengatakan, “Limpahkan wewenang kepemimpinan kepada 3 orang diantara kalian.”

Artinya, kerucutkan calon khalifah menjadi 3 orang. Az-Zubair mengatakan: “Aku limpahkan urusan ini kepada Ali.” Thalhah mengatakan: “Aku limpahkan urusan ini kepada Utsman.” Sementara Sa’d melimpahkan urusannya kepada Abdurrahman bin Auf. Seketika, Abdurrahman mengarahkan kepemimpinan kepada Ali dan Utsman, “Siapa diantara kalian yang menyatakan tidak bersedia menjadi khalifah, akan aku pilih sebagai khalifah. Allah akan menjadi saksi dan Islam menjadi hukum sesuai yang dia putuskan. Silahkan renungkan masing-masing.” Mendengar ini, dua sahabat mulia – Ali dan Utsman – terdiam. (HR Bukhari 3700).

            Dr. Utsman al-Khamis menjelaskan bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon khalifah, antara Ali dan Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya selama 3 hari. Selama rentang 3 hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah diantara dua orang ini yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79).

Anda bisa perhatikan, dalam hadis di atas, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu melakukan jajak pendapat, keliling kota Madinah, untuk menentukan siapa yang lebih layak menjadi khalifah. Dan penduduk Madinah, tidak ada yang tidak setuju jika Utsman yang menjadi khalifah.

4. Pemberontakan atau pemaksaan.

            Yaitu, imamah diperoleh dengan jalan mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan menggunakan pedangnya, lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan dengan kekuatan yang dimilikinya, sehingga kekuasaan atas umat Islam pun beralih kepadanya. Pada saat itulah, umat Islam wajib (dibolehkan) untuk taat (darurat) kepadanya, karena upaya untuk melakukan pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat Islam.

            Namun bila ini terjadi, maka (secara darurat) sah kepemimpinannya tersebut dan umat wajib (dibolehkan) berbaiat untuk mentaatinya. Ini adalah pendapat masyhur dari kalangan Ahlus-Sunnah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah ini.


Pemilihan Umum untuk Memilih Pemimpin Muslim

            Sebagaimana dijelaskan Dr. Utsman al-Khamis bahwa Abdurrahman bin Auf tidak langsung menunjuk salah satu calon khalifah, antara Ali dan  Utsman, di rapat itu. Namun beliau tunda penentuannya selama 3 hari.

Selama rentang 3 hari ini, Abdurrahman bin Auf keliling ke setiap rumah di Madinah, menanyakan ke setiap penduduknya, siapakah diantara dua orang ini yang layak untuk menjadi khalifah. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Demi Allah, tidaklah aku meninggalkan satu rumah milik kaum Muhajirin dan Anshar, kecuali aku tanya kepada mereka. Dan aku tidak menemukan seorangpun yang tidak setuju dengan Utsman.” (Huqbah min at-Tarikh, hlm. 79).

Anda bisa perhatikan, dalam hadits di atas, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu melakukan jajak pendapat, keliling kota Madinah, untuk menentukan siapa yang lebih layak (suaranya dalam memilih) menjadi khalifah. Dan penduduk Madinah, tidak ada yang tidak setuju jika Utsman yang menjadi khalifah.

            Ibnu Katsir menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah, bahwasanya Abdurrahman menggunakan batas waktu tiga hari secara maksimal. Dia meminta masukan dari orang-orang Madinah, mana yang mereka pilih antara Utsman dan Ali. Hampir semua lapisan masyarakat ditanya; sahabat senior, para tokoh, tentara, laki-laki dan perempuan. Anak-anak yang sedang belajar di kuttab juga ikut ditanya. Bahkan, orang-orang yang baru datang ke Madinah serta orang-orang Badui juga turut diminta pendapatnya.

Tidak ada perbedaan dalam “pemilihan umum” yang dilakukan Abdurrahman. Entah itu sahabat senior, orang Badui, pendatang, laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, semuanya sama; satu orang satu suara. Karena mayoritas mereka memilih Utsman, maka Utsman pun diangkat sebagai khalifah berdasarkan suara mayoritas.

Tidak ada seorang pun yang menentang pengangkatan ini. Juga tidak ada yang mempermasalahkan persamaan suara seorang sahabat utama dengan suara orang Badui atau antara suara pria dan wanita. Sebagaimana tidak ada perbedaan di hadapan hukum, dalam memilih pemimpin pun semua orang Islam sama; masing-masing satu suara.

            Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa memilih pemimpin dengan cara jajak pendapat diperbolehkan ketika musyawarah tidak bisa memberikan mufakat untuk menentukan pemimpin terpilih dari calon-calon yang ada.


Syarat Pemilih dan Calon Kandidat

            Namun, perlu dibatasi mengenai syarat-syarat calon yang dipilih dan pemilihnya:

Kita bicara tentang Pemilu di negeri Muslim: kandidatnya Muslim, pemilihnya pun Muslim dan keterlibatan nonMuslim dalam proses itu sangat tidak signifikan.

Adanya campur tangan manusia untuk menentukan jalan hidupnya selama masih dalam kaidah umum nash syariat Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

“Hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS Ath-Thalāq 65:2). “Jika kamu khawatir adanya perselisihan antara keduanya, hendaklah kamu hadirkan seorang hakim dari keluarga suami dan seorang hakim dari keluarga isteri.” (QS An-Nisā’ 4:35).

Jika kita perhatikan dengan seksama Pemilu atau pemungutan suara menurut Islam adalah pemberian kesaksian terhadap kelayakan calon pejabat negara atau calon anggota dewan. Oleh karena itu, si pemilih harus punya kelayakan sebagai seorang saksi adil dan baik perilakunya sehingga orang banyak ridha kepadanya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

“Hadirkanlah dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (QS Ath-Thalāq 65:2) “Dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (QS Al-Baqarah 2:282). Si pemilih harus jujur bahwa orang yang dipilihnya adalah orang shalih. Jika ternyata bohong (tidak shalih), berarti ia telah berbuat dosa besar karena memberikan qauluz zur (kesaksian palsu). “Jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta (kesaksian palsu).” (QS Al-Hajj 22:30).

Jadi, siapa saja yang memberikan kesaksian (memilih) calon pemimpin atau lainnya semata-mata karena orang tersebut masih kerabatnya, karena putera daerahnya atau demi keuntungan pribadi dari pilihannya (baca: nepotisme) tanpa memperhatikan kesolehan dan kecakapan, berarti itu menyalahi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS Ath-Thalāq 65:2).

            Di sisi lain, siapa yang tidak mau memberikan kesaksian (hak suara) sedangkan orang yang tidak layak dan tidak memenuhi syarat mendapatkan kemenangan; berarti ia telah menyembunyikan kesaksian yang sangat dibutuhkan umat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

“Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) jika mereka dipanggil.” (QS Al-Baqarah 2:208) “Janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Siapa saja yang menyembunyikannya, sesungguhnya dialah orang yang berdosa hatinya.” (QS Al-Baqarah 2:283)

Kesaksian terhadap sifat dan syarat kandidat yaitu shalih, layak dan berilmu adalah hal yang lebih utama untuk diperhatikan. Pada akhirnya, patokan dan arahan dalam Pemilu yang seolah berasal dari luar tampak sejalan dengan Islam.
Jadi, seseorang yang tidak mememuhi syarat-syarat sebagai saksi menurut standar Islam, maka gugurlah hak pilihnya dan hal dipilihnya.


Penutup

            Demikianlah gambaran Musyawarah dan Voting dalam Islam yang pernah terjadi dalam pemerintahan sejak awal berdirinya. Perlu dicatat disini bahwa ada pendapat dibolehkannya (walaupun keadaan darurat) dari ijtihad ulama seperti tersebut diatas,  yaitu imamah diperoleh dengan jalan mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan menggunakan pedangnya (bughat, kudeta), lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan dengan kekuatan yang dimilikinya, sehingga kekuasaan atas umat Islam pun beralih kepadanya. Pada saat itulah, umat Islam wajib (dibolehkan) untuk taat (darurat) kepadanya, karena upaya untuk melakukan pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat Islam.

            Pendapat ulama ini yang mensahkan (membolehkan) perolehan kepemimpinan dengan jalan seperti itu sangat bertentangan dengan Sunnah Rasul saw bahwa apa yang dilakukan orang tersebut ketika bughat (kudeta) merebut kekuasaan merupakan satu kemaksiatan yang besar menurut pandangan syari’at Islam, karena Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda, “Barangsiapa yang memberontak kepada kami dengan senjata (kudeta), maka dia bukan golongan kami” (HR Al-Bukhari no. 6874, 7070 dan Muslim no. 98)

            Kalau dipandang perlu karena kepemimpinan jauh sekali menyimpang dari syariat Islam, maka boleh melakukan dengan jalan musyawarah impeachment (pemecatan dari jabatannya) dimana kalau tidak dapat secara mufakat (aklamasi), maka lakukan dengan jalan pemungutan suara (voting). Cara ini masih dalam koridor yang baik dari bughat (kudeta). Wallāhu a’lam bish-Shawab. Billahit Taufiq wal-Hidayah. AFM



Sumber:

https://adiabdullah.wordpress.com/2008/03/09/antara-musyawarah-dan-voting/ (Artikel ini diambil dari tulisan Buletin Al ilmu Jember edisi 7/II/II/1425 di situs Darussalaf dengan penyesuain seperlunya dari admin)

http://www.fimadani.com/hukum-memilih-pemimpin-dengan-pemilu-voting/□□□