PENGANTAR
B
|
uku ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa
Inggris pada 2009 oleh Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dengan
judul Islam and the Secular State in
Indonesia. Penerbitan dalam bahasa Indonesia ini dilakukan dengan seizin
penerbit awal.
Buku edisi bahasa Indonesia, 348 halaman. Penerjemahnya
Samsudin Berlian, dengan judul: “Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara
Demokrasi di Indonesia”. Penulis: Luthfi Assyaukanie. Penerbit: Freedom
Institute, 2011.
Setelah membaca bukunya dalam bentuk pdf berdasarkan “data-data dari hasil
pemilu dari tahun ketahun” ditambah dari pendapat-pendapat dari golongan Islam
lainnya termasuk Islam liberal, penulis menyimpulkan bahwa ada tiga model (isu
utama) yaitu “Negara Demokrasi Islam”, “Negara Demokrasi Agama” dan “Negara Demokrasi
Liberal”, lihat tabel Tabe 7.1. Dari tiga model itu dipilih dalam kesimpulannya
“Negara Demokrasi Liberal” dijagokannya
- jauh
dari cermin paradigma Islam yang sebenarnya. Dengan itu menjauhi dari ajaran
Islam itu sendiri - karena yang berbau Islam di tinggalkan (ditiadakan) dalam
bernegara, lihat kesimpulan dari tulisan makalah penulis bukunya yang
dipaparkan dengan tema: “IDEOLOGI ISLAM DAN UTOPIA - Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Bab
7 - Kesimpulam)”.
Dengan itu wajar jika para pemikir dari barat
seperti Profesor
R. William Liddle dari Ohio State University, Amerika Serikat dan Profesor
Robert E.Elso, University of Queensland, Australia, memujinya. Karena thesisnya
sesuai dengan pandangan dan pengetahuan barat tentang negara yang mempunyai
pengalaman hitam dengan agama (Kristen) di barat pada abad tengah Eropa, yang
pada akhirnya menjadikan negara Eropa (barat, asal barat) sekuler. Hal ini pula
yang hendak diaplikasikan di Indonesia. Dan ini tercermin dalam Tabel 7.1, yaitu
model “Negara Demokrasi Liberal”. Dalam Negara Demokrasi Liberal hal-hal yang
menyangkut dengan - yang sekarang sudah melembaga - Departemen
Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Penerapan syariat (Piagam Jakarta), RUU Kerukunan
Umat Beragama, Partai Islam, Sistem Keuangan Islam dan Pengajaran Agama di
sekolah-sekolah, tidak ada lagi.
Komentar Profesor R. William Liddle
sebagai berikut: "Buku yang sangat bagus ini berdampak besar pada
pembahasan terkini tentang hubungan antara Islam dan politik di Indonesia.
Kekuatan terbesarnya terletak pada karakterisasi inovatif tiga model negara di
Indonesia, bukan dua model seperti biasa, yakni negara Islam dan negara
sekular. Dengan brilian, Luthfi menggambarkan model ketiga yang dia sebut Negara Demokrasi Agama? - “Negara
Demokrasi Liberal”, dan dalam proses penggambaran itu dia
membantu memperjelas pengertian kita terhadap model-model negara di
Indonesia."
Komentar Profesor Robert E.Elso sebagai
berikut: "Buku ini adalah karya ilmiah pelopor dari titik pandang empiris
sekalligus teoretis. Sejauh pengetahuan saya, inilah upaya sistematis pertama
untuk menafsirkan pemikiran politik Muslim Indonesia selama periode waktu yang
panjang, sejak pertengahan 1940-an sampai sekarang, dan yang pertama kali
berusaha mengembangkan model teoretis pemikiran itu dengan mengategorikan
arus-arus pemikiran politik yang berbeda-beda menurut tujuan politik ideal
mereka, dan sekaligus dengan menyediakan instrumen untuk analisis lebih jauh.
Buku ini ditujukan dengan penuh keyakinan dan disampaikan dengan argumen yang
sangat kokoh. Ia memberi perspektif baru tentang karakter, substansi, dan arah
perjalanan pemikiran politik di Indonesia.
Profil Luthfi Assyaukanie adalah
wakil direktur Freedom Institute dan dosen filsafat politik di Universitas
Paramadina. Luthfi meraih gelar Ph.D. dari the University of Melbourne, Australia.
Tesis Ph.D. yang sekarang menjadi buku ini, memenangi Chancellor’s Prize,
sebuah penghargaan tertinggi untuk disertasi terbaik di universitas itu.
Tulisannya tersebar di berbagai jurnal internasional, di antaranya Bijdragen
(Belanda), Journal of Religion and Society (Amerika), Australian Religion
Studies Review (Australia), dan The Copenhagen Journal of Asian Studies
(Denmark).
PENDAHULUAN
S
|
oeharto paling sering dianggap sebagai
penyebab utama perubahan orientasi politik masyarakat Muslim Indonesia. Represi
Orde Baru terhadap gerakan politik Islam ditengarai mematikan imajinasi Islam
politik hingga kini. Tahun 1955, partai-partai Islam berhasil meraup dukungan 43%
suara. 40 tahun kemudian, kekuatan-kekuatan politik Islam hanya meraih suara sekitar
15% (Pemilu 1999, 2004, dan 2009). Luthfi Assyaukanie, melalui buku Ideologi
Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, memiliki pandangan
berbeda.
Memang benar Soeharto dan Orde Barunya
memiliki andil besar dalam perubahan itu. Namun itu bukan faktor tunggal.
Faktor yang jauh lebih penting, menurut Assyaukanie, adalah perubahan argumen
yang terjadi pada kelompok-kelompok Islam sendiri. Islam politik masa Orde Lama
begitu kuat kerana saat itu hampir tidak ada kelompok Islam yang memiliki
imajinasi lain tentang sistem politik di luar negara Islam.
Perdebatan sengit hanya terjadi antara
kelompok Islam dan nasionalis. Pada sidang-sidang Konstituante, misalnya,
agenda-agenda politik Islam terus didesakkan. Kalau saja tidak ada kepentingan
persatuan yang lebih mendesak, barangkali agenda-agenda politik Islam itu sudah
lama terimplementasi.
MUSLIM DEMOKRATIS
P
|
ada masa Orde Lama parti-parti politik
Islam memang memiliki kekuatan signifikan yang mampu mengimbangi parti-parti
politik nasionalis dan komunis. Assyaukanie menunjukkan bahwa bukan berarti
saat itu masyarakat Muslim Indonesia benar-benar merindukan suatu sistem
politik teokratis yang totalitarian. Ini yang menarik. Panjang lebar
Assyaukanie menguraikan apa yang dibayangkan para pengusung negara Islam saat
itu. Kelompok ini lebih banyak tergabung dalam parti Majelis Syura Muslimin
Indonesia (Masyumi). Di antara tokoh utamanya adalah Mohammad Natsir, Zainal
Abidin Ahmad, Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem, Abu Hanifah, Hamka, dan
Mohammad Rasjidi.
Ketika bicara tentang negara Islam,
para tokoh ini ternyata tidak sedang membayangkan Arab Saudi, Pakistan, Iran,
atau negara Muslim manapun di Timur Tengah. Model ideal bagi pembentukan negara
Islam, bagi mereka, justru adalah beberapa negara Barat “Kristen.” Natsir
membayangkan Inggris yang religius sebagai model negara Islam. Abu Hanifah
membayangkan Belanda dan Swiss patut ditiru untuk pembentukan negara Islam
Indonesia (hlm. 83).
Meski mereka menolak sekularisme, tapi mereka juga tidak bisa disebut sebagai penganut teokrasi. Bagi mereka, pemisahan agama dan negara dalam Islam adalah sesuatu yang mustahil. Mereka mempersatukan agama dan negara dengan cara-cara demokratis. Penyatuan agama dan negara tidak serta merta berarti teokrasi. Mereka percaya bahwa negara-negara seperti Inggris dan Amerika adalah negara-negara demokratis tapi tetap memasukkan beberapa unsur agama dalam urusan negara. Sangat mungkin suatu negara menerima penyatuan dengan agama tapi tetap demokratis (hlm. 85).
Natsir menyatakan bahwa negara bukanlah tujuan akhir seorang Muslim. Ia hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Memposisikan negara sebagai alat, dan bukan tujuan, menurut Assyaukanie, adalah pandangan yang progressif di kalangan pemikir Islam. Implikasi dari pernyataan bahwa negara bukan tujuan akhir adalah fleksibilitas konsep negara. Itu sebabnya negara mesti dicapai melalui cara-cara rasional. Di sini tampak mereka menggunakan argumen pemikir Islam Mesir, Ali Abd. Raziq, yang menyatakan bahwa konsep negara sepenuhnya berasal dari diskursus rasional. Ia tidak memiliki basis doktrin agama. Meski mereka menghendaki penyatuan agama dan negara, tapi dengan tegas mereka menolak menyerahkan urusan negara kepada tokoh agama. Karena ia produk rasional, negara harus dikelola secara rasional pula dengan cara memberi pilihan dan peran kepada rakyat seluas-luasnya untuk menentukan bentuk dan sistem politik terbaik (hlm. 88).
Data-data ini menunjukkan bahwa isu negara Islam yang dikampanyekan Masyumi dan partai-partai Islam lain hanyalah retorika politik. Tujuan utama mereka adalah demokrasi. Kesimpulan ini diperkuat oleh praktik demokrasi liberal pada Orde Lama yang justru mencapai puncaknya di tangan perdana menteri-perdana menteri Masyumi: Mohammad Natsir, Sukiman, dan Burhanuddin Harahap. Herbert Feith (1962) menyebut pemerintahan Natsir adalah yang terbaik pada masa demokrasi konstitusional di era Orde Lama. Pemilihan Umum bahkan dilakukan pertama kali pada masa pemerintah Burhanuddin Harahap. Demokrasi pada masa Orde Lama sesungguhnya menghadapi dua ancaman terbesar: kediktatoran Soekarno dan totalitarianisme partai komunis. Kampanye populis yang dibawa oleh kelompok nasionalis Soekarnois dan komunisme PKI hanya mungkin diimbangi dengan retorika agama oleh kelompok Islam. Assyaukanie menulis, “kalau anggota Masyumi ditanya kenapa mereka mendukung demokrasi, jawabannya hampir pasti adalah Islam” (hlm. 94). Islamlah yang membuat mereka demokratis.
TIGA MODEL
A
|
rgumentasi demokrasi dalam Islam
menjadi semakin kuat pasca Masyumi. Assyaukanie menulis munculnya dua model
orientasi politik Islam demokratis lain selain “negara demokrasi Islam”, yakni “negara
demokrasi agama” dan “negara demokrasi liberal”. Kedua model terakhir ini
sama-sama mendukung eksistensi negara yang neutral agama. Bedanya adalah bahwa
model kedua masih menginginkan keterlibatan agama dalam politik, sementara yang
terakhir sama sekali mendambakan suatu model negara demokrasi yang sepenuhnya
sekuler. Yang menarik dari perubahan pola pemikiran ini adalah bahwa meski
memiliki cara pandang yang berbeda, sebenarnya semua yang terbahas dalam buku
ini berasal dari kelompok yang sama, yakni Islam. Assyaukanie memperlihatkan
optimisme terhadap masa depan demokrasi liberal di Indonesia. Optimisme itu
sangat beralasan kerana pendukung utamanya tidak lagi hanya berasal dari
kalangan nasionalis, melainkan juga dari kalangan santri yang kental dengan
tradisi keilmuan Islam. Tokoh-tokoh seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid,
M. Dawam Rahardjo, dan Abdurrahman Wahid adalah sarjana-sarjana Indonesia garda
depan dalam pemikiran Islam (baik Islam klasik maupun ilmu-ilmu sosial modern).
Di hadapan para sarjana pendukung demokrasi liberal ini, para pendukung negara
Islam tampak sama sekali tak punya pijakan. Hilangnya argumentansi di kalangan
pengusung negara Islam secara langsung menjatuhkan perolehan suara parti-parti
Islam dalam beberapa Pemilu terakhir. Sementara tokoh-tokoh Islam pro-demokrasi
itu telah melahirkan demikian banyak kader yang tersebar di seluruh tanah air
dan terus menerus memproduksi gagasan Islam “progressif-liberal-demokratis”?
Akhirul kalam, adanya perkembangan wacana
pemikiran dan telah menjadi (berlangsung) “action
semacam ini menjadikan Indonesia seperti
Turki era 1924. Apakah kita (mau) seperti itu? □ AFM
IDEOLOGI ISLAM DAN UTOPIA
Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia
(Bab 7 - Kesimpulam)
Oleh: Luthfi Assyaukanie
Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia
(Bab 7 - Kesimpulam)
Oleh: Luthfi Assyaukanie
S
|
ejarah pemikiran adalah bidang yang
sangat sulit dituliskan. Terdapat banyak lubang yang menggoda penulis untuk
membuat generalisasi atau simplifikasi. Namun, generalisasi dan simplifikasi
kadang-kadang diperlukan agar tertampaklah gambar yang bisa dipahami dari
fenomena kompleks pemikiran manusia. Namun ada bahaya bahwa ia cenderung
memberikan versi cacat sejarah manusia. Berbagai buku tentang pemikiran Islam
jatuh ke dalam perangkap ini lewat generalisasi atau simplifikasi kompleksitas
itu ke dalam berbagai kategori ideologis seperti “modernis”, tradisionalis”,
“revivalis”, “neo modernis”, dan seterusnya. Ada unsur tertentu kebenaran dalam
kategori-kategori itu, tapi sejarah pemikiran bukan sekadar sejarah ideologi.
Seperti dikatakan Karl Mannheim, pemikiran politik tidak memadai dipahami tanpa
perhatian pada peran utopia. [1] Mengecewakan bahwa banyak studi tentang
pemikiran Islam di Indonesia sangat menekankan ideologi politik tanpa
pertimbangan cukup terhadap utopia Muslim.
Studi ini adalah upaya untuk mengisi
kesenjangan itu dengan membahas pemikiran politik Islam dalam konteks peran
utopia. Utopia telah memainkan peran besar dalam menentukan wacana politik di
negeri ini. Sejak awal sekali era kebangkitan nasional (atau nahdah dalam
konteks Arab), Muslim Indonesia telah terobsesi dengan model pemerintahan
ideal. Model pemerintahan, seperti kata Macpherson, adalah gagasan utopia yang
paling praktis. [2] Studi ini mengkaji model-model pemerintahan Muslim di
Indonesia sejak kemerdekaan. Studi ini menemukan tiga model dominan yang
mencerminkan pemahaman politik dan sikap Muslim terhadap berbagai isu
religius-politik. Ketiga model ini memainkan peran penting dalam mengembangkan
pemikiran politik Islam di Indonesia kontemporer. Berbagai argumen dan
penjelasan tentang gagasan-gagasan besar, seperti demokrasi, pluralisme,
liberalisme, kebebasan, dan kesetaraan gender, tidak bisa dipahami dengan tepat
tanpa pengajian konseptualisasi Muslim akan model pemerintahan; sebuah utopia.
Gagasan untuk studi ini diinspirasikan
oleh kondisi masa kini Muslim Indonesia, yang makin pragmatis dan kurang
dogmatik dalam sikap politik mereka. Studi ini secara khusus mengacu pada
kekalahan partai-partai politik Islam pada dua Pemilu terakhir dan
peristiwa-peristiwa yang mengelilinginya. Pada 1999, 17 partai Islam bertarung
dalam Pemilu dan hanya satu partai memperoleh persentase suara memadai—yakni,
PPP, yang mendapatkan 10,7%; dua partai lain masing-masing mendapatkan 1,9%
(PBB) dan 1,7% (PK). Pada 2002, beberapa kelompok Muslim menuntut kembalinya
Piagam Jakarta, dokumen politik kontroversial, ke dalam UUD. Usulan itu
kemudian diajukan pada Sidang Tahunan MPR oleh dua partai Islam, PPP dan PBB,
yang melihatnya ditolak oleh sebagian besar anggota MPR. Yang menarik,
penolakan datang bukan hanya dari partai politik di parlemen, melainkan juga
dari sebagian besar organisasi Islam. Pada 2004, lima partai politik Islam
bertarung dalam kontes demokrasi. Sekali lagi, tidak ada dari mereka yang
meraih bahkan 10% suara. PPP mendapatkan hanya 8,1%, sementara PKS dan PBB
mendapatkan masing-masing 7,3 dan 2,6%.
Kegagalan partai politik Islam adalah
contoh bagus bagaimana sebuah model pemerintahan, sebuah utopia, terguncang
ketika fondasi filosofisnya tidak bisa lagi dipertahankan. Yang saya maksudkan
dengan “fondasi filosofis” adalah satu set argumen di mana teori, agenda,
tujuan, dan perilaku suatu partai didasarkan. Negara Islam adalah utopia bagi
sebagian besar Muslim santri selama 1950-an. Fondasi filosofisnya adalah
keyakinan bahwa Islam, unik di antara agama-agama, punya sistem kehidupan
komprehensif, yang bisa mengatur problem kompleks modernitas. Namun secara
praktis model itu gagal berfungsi, bukan hanya karena panggung politik tidak
menyediakan ruang cukup baginya untuk bertumbuh, melainkan juga karena asasnya
tertantang secara serius. Kebangkitan model-model pesaingnya (yakni, Model 2
dan Model 3) yang diusung oleh generasi baru santri membuktikan bahwa utopia
Muslim itu tidak sui generis, berasal
dari satu sumber. Seperti karakter pemikiran dan ideologi itu sendiri, utopia
berubah dan sangat bergantung pada seberapa kuat dasar filosofisnya bisa
bertahan.
KARAKTER DAN CIRI
PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
M
|
emang kelemahan fondasi filosofis bukan
satu-satunya alasan kegagalan model pemerintahan Islam (yang terwakili dalam
Model 1). Dalam studi ini, saya mengkaji banyak faktor: sekularisasi politik
oleh rezim Orde Baru, peran media massa, pendidikan, organisasi massa, lembaga
pendana asing, dan peran intelektual. Intelektual dan pemimpin agama memainkan
peran unik di sini. Sebagai otoritas dalam hal agama dan pengetahuan di dalam
masyarakat paternalistik seperti Indonesia, intelektual dan pemimpin agama
menikmati status tinggi. Pandangan dan kata-kata mereka dihargai oleh banyak
pengikut Muslim. Pengaruh mereka tidak terbatas pada isu teologis, melainkan
juga pada aspek lebih luas kehidupan religius-politik. Lewat media massa dan
forum publik lain, pandangan mereka disebarluaskan dan mencapai publik yang
luas.Pemimpin agama dan intelektual di Indonesia sangat fasih memahami gagasan
modern, seperti dikatakan dengan jelas oleh Robert W. Hefner: “tiada satu
tempat pun di dalam dunia Islam terdapat intelektual Muslim yang membahas
gagasan demokrasi, masyarakat sipil, pluralisme, dan pemerintahan hukum dengan
vigor dan kepercayaan diri yang setara dengan Muslim Indonesia”. [3] Memang,
ini bukan fenomena baru. Sejak awal pembaruan Islam, wacana intelektual Islam
di Indonesia berciri kemauan untuk menggapai gagasan-gagasan modern.
Tjokroaminoto, salah satu pembaru Muslim mula-mula, sangat fasih mendiskusikan
konsep-konsep modern. Dia menulis buku tentang sosialisme jauh sebelum Gamal
‘Abd al-Nasser, penguasa Mesir, menetapkan fondasi “sosialisme Arab”. Di Mesir
dan di dunia Arab pada umumnya, gagasan modern seringkali dibahas di kalangan
sekular dan non-Muslim. Pembaru Arab mula-mula, yang dengan fasih membahas
gagasan modern, seperti Shibli Shumayyil (wafat 1917), Farah Antun (wafat
1922), Jurji Zaydan (wafat 1914), Ya’qub Sarruf (wafat 1917), Nicola Haddad (wafat
1954), dan Salama Musa (wafat 1958), semuanya Kristen. Muslim intelektual
jarang berbicara tentang gagasan modern. Bahkan kalau pun mereka pemimpin
Muslim yang berbicara tentang gagasan-gagasan itu, mereka akan sangat
tertantang dan segera dikucilkan. [4] Pengucilan dan bahkan ancaman maut biasa
terjadi di Mesir dan Timur Tengah pada umumnya.
Hal ini membedakan ciri pemikiran Islam
di kedua wilayah. Di Indonesia, pemikiran Islam punya fondasi sosial yang kuat.
Ini terjadi terutama karena Indonesia selalu berciri komunitarian. Sejak
kemerdekaan, rakyat Indonesia mendirikan banyak organisasi tempat mereka
membahas dan menyebarluaskan gagasan. Tjokroaminoto perlu bergabung dengan SI
untuk menyosialisasi gagasan politiknya. Begitu pula, Ahmad Dachlan perlu
mendirikan Muhammadiyah untuk menyebarkan pengajaran reformisnya.
Gagasan-gagasan di Indonesia selalu punya fondasi kuat dalam masyarakat,
sedangkan di Timur Tengah tidak demikian. Jarang ada pembaru atau intelektual
Islam di sana yang menyebarkan pemikiran mereka lewat organisasi. [5] Sebaliknya,
buku dan masjid adalah medium biasa bagi mereka untuk berinteraksi dengan
sesama Muslim. Benar bahwa buku itu penting untuk memengaruhi orang banyak;
tapi ada keterbatasan, yakni perlunya komunitas besar yang berdedikasi sebagai
pembaca buku. Sebagaimana bagian dunia Muslim lain, kebiasaan membaca di Mesir
sangat rendah. Sementara itu, masjid juga punya keterbatasan, walaupun ia
memainkan peran penting dalam memperkaya “ruang publik” Islam. Namun, seperti
halnya pasar, tapitidak seperti organisasi, orang datang dan pergi
di masjid. Bagaimana pun, kita tidak bisa berharap gagasan modern
dibahas dengan bebas di tempat seperti itu.
Ciri komunitarian pemikiran Islam di
Indonesia juga menjelaskan mengapa, misalnya, penyebaran gagasan reformis Islam
di negeri ini mengalir mulus kepada orang banyak. Memang, ada penolakan, tapi
jarang sampai terjadi pengucilan, kekerasan, atau ancaman mati terhadap
pendukung gagasan reformis itu. Di Mesir, ancaman mati biasa terjadi dan sering
ditujukan kepada pembaru yang tidak berafiliasi dengan organisasi massa mana
pun. Di Indonesia, di lain pihak, pemimpin Muslim seringkali adalah ketua
organisasi besar dengan banyak pengikut. Selama 1980-an, Abdurrahman Wahid
meluncurkan berbagai gagasan kontroversial (yang bisa diperbandingkan dengan
kontroversi yang dimunculkan intelektual Mesir seperti Faraj Fouda, Fuad
Zakariyya, dan Nasr Hamid Abu Zayd, yang semuanya menerima ancaman mati), tapi
dia relatif aman. Tidak ada yang berani menantangnya dengan serius. Posisinya
sebagai pemimpin NU, organisasi yang punya sekitar 40 juta anggota (lebih dari
separuh penduduk Mesir), sebagai putra dan cucu pemimpin Muslim karismatik, dan
sebagai pakar dengan otoritas tinggi tentang Islam (dia belajar di Kairo dan
Baghdad), membuatnya hampir-hampir “tak bisa salah”. Dia bisa mengatakan apa
saja tentang agama sekehendak hatinya.
Bahkan kalau pun ada ancaman
mati—seperti yang ditujukan secara tidak langsung kepada intelektual muda
Muslim Ulil Abshar-Abdalla—ancaman seperti itu tidak disambut serius; dan
bahkan menjadi semacam bumerang. Kasus Ulil membuktikan bahwa ancaman mati bagi
sebuah gagasan bukan hal biasa dan tidak berakar dalam tradisi intelektual
Indonesia. Segera setelah fatwa dikeluarkan, ratusan simpatisan dan pendukung
mendatanginya dan banyak pemimpin organisasi besar Islam menyatakan
keprihatinan. [6] Di Indonesia, kecenderungan untuk isu kontroversial tampaknya
mengalir secara berbeda dengan kecenderungan di Timur Tengah, di mana ancaman
mati seringkali disokong banyak Muslim (ambil misalnya kasus Salman Rushdi di
Iran, atau pembunuhan Faraj Fouda di Mesir). Persis seperti yang dikatakan
seorang penulis: “semakin dikecam dan diserang dengan cara damai, semakin
berhasil ia membawa wacananya (yang biasanya terbatas pada lingkungan yang
sangat terdidik) kepada orang banyak”. [7] Pemimpin Muslim liberal di Indonesia
pada umumnya lebih percaya diri dan lebih bebas dalam menyatakan gagasan
religius-politik mereka dibandingkan sejawat mereka di Timur Tengah.
WACANA ISLAM
TENTANG NEGARA DEMOKRASI
D
|
alam studi ini, saya mendemonstrasikan
bagaimana pemimpin dan intelektual Muslim di Indonesia mengekspresikan gagasan
religius-politik mereka. Sebelum kemerdekaan, mereka pada umumnya terobsesi
dengan isu-isu yang bisa menjadi kekuatan penyatu bagi bangsa kepulauan itu.
Para pendiri bangsa terutama membahas isu seperti Komunisme, Nasionalisme, dan
Islamisme. Setelah kemerdekaan, ketika negara bangsa sudah didirikan, isu
paling menantang yang dihadapi Muslim adalah bagaimana menciptakan sistem
pemerintahan yang ideal. Debat pertama tentang dasar negara di rapat-rapat
BPUPKI adalah cerminan pandangan berbeda-beda tentang model ideal bagi
Indonesia yang merdeka. Ada yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, ada
pula yang menginginkan Pancasila atau dasar non-Islam lain. Sejarawan sering
membedakan mereka ke dalam dua kategori umum: nasionalis “sekular” dan
nasionalis “Islam”.
Nasionalis sekular terutama berlatar
belakang non-Muslim atau abangan, sedangkan nasionalis Muslim berlatar belakang
santri. Sebagian besar karya yang muncul sebelum kejatuhan Soeharto mendasarkan
argumen mereka pada teori ini: gagasan negara sekular berkait erat dengan
nasionalis sekular, sementara Muslim santri cenderung menyukai gagasan negara
Islam. Hampir mustahil, menurut argumen itu, bahwa gagasan sekular akan tumbuh
dari lingkungan santri. Namun, teori itu gagal menjelaskan perkembangan dinamik
di dalam masyarakat Muslim. Seperti telah saya tunjukkan dalam seluruh studi
ini, komunitas Muslim santri tidaklah homogen. Bertentangan dengan banyak
klaim, Muslim santri tidak lagi dengan sendirinya menentang gagasan negara
sekular. Dalam studi ini, saya mendemonstrasikan bahwa gagasan negara sekular
(dalam arti bukan negara teokratis) makin disokong oleh Muslim santri. Sesuatu
yang haram bagi Muslim santri pada 1950-an kini disukai dan disokong oleh
generasi muda Muslim santri.
Sejak 1970-an, Muslim santri tidak bisa
secara aktual dikategorikan berdasarkan teori aliran yang dirumuskan oleh Geertz
dan Indonesianis Amerika lain dari masa 1960-an. Angan-angan politik Muslim
santri tidak lagi homogen. Seperti diungkapkan studi ini, paling tidak ada tiga
model pemerintahan yang telah dikonsepkan dan dibahas oleh Muslim santri.
Model-model pemerintahan itu mencerminkan bukan hanya dinamika di dalam
komunitas santri, melainkan juga progresivitas dalam wacana politik Islam
kontemporer. Mempelajari model-model pemerintahan di Indonesia membantu kita
memahami bagaimana Muslim di negeri ini menanggapi konsep-konsep politik besar
yang sebagian besar berasal dari Barat. Sejarah pembaruan Islam modern adalah
sejarah tanggapan Muslim terhadap gagasan-gagasan Barat; terhadap demokrasi,
pluralisme, kebebasan, hak-hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Ketiga
model pemerintahan yang saya bahas di seluruh studi ini memberikan sebuah
sketsa sinoptis tanggapan-tanggapan Muslim terhadap gagasan-gagasan itu (lihat
Tabel 7.1).
Model pertama (NDI, Negara Demokrasi
Islam) adalah angan-angan politik Muslim akan sebuah pemerintahan dan negara
ideal. Disarankan terutama oleh Mohammad Natsir, salah satu pemikir Muslim
Indonesia paling berpengaruh, NDI dirancang untuk menjadi model yang bisa
menjembatani sistem politik Barat dengan cita-cita politik Islam. Sejak hari-hari
pertama kemerdekaan, pemimpin Muslim sadar bahwa demokrasi adalah sistem
pemerintahan paling baik. Mereka juga percaya bahwa demokrasi tidak sama sekali
“asing”—bahwa ada basis historis dan teologis bagi demokrasi dalam
masyarakat-masyarakat Islam. Zainal Abidin Ahmad, teoritikus paling penting
model ini, mendemonstrasikan keberadaan praktik-praktik demokrasi pada zaman
awal Islam. Dia berargumen bahwa Islam menyambut nilai-nilai demokratis, dan
bahkan istilah “demokrasi” sendiri punya persamaan katanya dalam Islam, yakni, shura.
TabeL 7.1
Lima Isu Utama Menurut Ketiga Model
Lima Isu Utama Menurut Ketiga Model
Isu
|
Negara
Demokrasi
Islam
|
Negara
Demokrasi
Agama
|
Negara
Demokrasi
Liberal
|
Agama
dan Negara
Dasar Negara
Departemen Agama
MUI
Penerapan
syariat (Piagam Jakarta)
Pengajaran
agama di sekolah
|
Islam
Mendukung
Mendukung
Mendukung
Mendukung
|
Pancasila
Mendukung
secara proporsional
Mendukung
dengan lingkup terbatas
Mendukung
pada level daerah
Mendukung
|
Pancasila
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
|
RUU kerukunan umat beragama
|
Mendukung
|
Mendukung sebagian
|
Tidak
|
Formalisme
Agama
Partai Islam
Sistem keuangan Islam
|
Sangat mendukung
Sangat mendukung
|
Agak mendukung
Agak mendukung
|
Tidak
Tidak
|
Kebebasan
Kebebasan pikiran
Kebebasan ekspresi
Kebebasan keyakinan
|
Tunduk pada Islam
Mendukung asal sesuai dengan doktrin Islam
Mendukung sebagian
|
Tunduk
pada nilai agama
Mendukung
asal sesuai dengan doktrin agama
Mendukung
|
Tidak terbatas
Tidak terbatas
Mendukung sepenuhnya
|
Hubungan
Antaragama
Kewarganegaraan
Kepemimpinan
non-muslim
Perkawinan
|
Eksklusif
Tidak
Sama sekali tidak
|
Inklusif
Tidak
Tunduk
pada doktrin Islam
|
Pluralis
Ya
Doktrin bisa ditafsirkan
|
Isu
Gender
Kepemimpinan politik
|
Ya
|
Ya
|
Ya
|
Eksponen model NDI adalah pemimpin
Muslim yang sangat menghargai nilai-nilai demokratis dan ingin demokrasi
diterapkan di negeri mereka. Walaupun demikian, pemahaman mereka akan demokrasi
secara umum bersifat mayoritarian dalam arti bahwa demokrasi dipahami pada
dasarnya sebagai pemerintahan mayoritas. Pemahaman ini penting dalam menentukan
sikap religius-politik mereka pada umumnya. Pertama, mereka yakin bahwa karena
Muslim adalah mayoritas, mereka harus punya peran dan posisi dominan dalam
negara dan pemerintahan. Kedua, mereka percaya bahwa hanya dengan demokrasi,
khususnya Pemilu, mereka bisa mengubah undang-undang dan konstitusi. Antusiasme
mereka dalam menyambut Pemilu 1955 terutama didorong keyakinan ini dan
optimisme akan memenangi pemilihan. Ketiga, pemahaman mayoritarian semacam itu
mendorong mereka mengusulkan dengan penuh percaya diri gagasan negara Islam dan
pemberlakuan syariat dalam praktik. Argumennya jelas: mayoritas rakyat
Indonesia adalah Muslim.
Akan tetapi, sebagai model, NDI secara
umum gagal, bukan karena keberhasilan “nasionalis sekular” dalam merongrong
fondasinya, melainkan karena pemilihan umum—yang persis adalah agenda pendukung
NDI dan satu-satunya ukuran keabsahan kemayoritasan—tidak mendukung klaimnya.
Seperti dijelaskan di Bab 1, semua partai Islam yang secara umum menyokong
model NDI gagal menang dalam pemilihan umum 1955. Akibatnya, klaim memiliki
mayoritas tidak terbukti. Kegagalan pemilihan umum itu kemudian diikuti fakta
sosiologis bahwa ternyata makin sulit mempersatukan Muslim di bawah satu
bendera ideologis. Ketegangan yang memburuk antara golongan “tradisionalis”
(diwakili NU) dan “modernis” (diwakili Masyumi), khususnya selama tahun-tahun
terakhir rezim Soekarno, menghancurkan harapan mereka untuk mewujudkan model
NDI. Masa depan model ini berakhir begitu rezim politik berganti dan generasi
baru Muslim muncul. Alih-alih meneruskan cita-cita pendahulu mereka, generasi
baru santri mulai mengkritik mereka dan, bahkan, mendukung agenda sekularisasi
politik Soeharto.
Model pemerintahan kedua yang
diangan-angankan Muslim Indonesia lahir dari kegagalan model lama dan sebagai
respons terhadap kemunculan rezim Orde Baru. Seperti dijelaskan di Bab 4, model
ini adalah upaya memodifikasi pandangan religius-politik Muslim dengan
memasukkan situasi sosio-politik ke dalam pertimbangan. Ia berbeda dengan Model
1 karena keyakinan bahwa Indonesia adalah bangsa pluralis, bukan hanya
sehubungan dengan agama, melainkan juga dalam keyakinan dan ideologi. Karena
itu, mustahillah menekan semua pluralitas itu ke bawah satu ideologi Islam.
Tidak seperti pendahulu mereka, pendukung Negara Demokrasi Agama (NDA)
sepenuhnya menerima Pancasila sebagai dasar negara. Tambahan pula, mereka juga
mencoba memberikan Pancasila karakter religius dengan menyatakan bahwa
Pancasila bukan ideologi sekular. Model ini menganggap agama penting dalam
kehidupan politik dan pemerintahan. Konsekuensinya adalah mereka percaya
aspirasi religius harus diwujudkan oleh negara. Dalam arti religius-politik,
model ini mendukung gagasan “pelembagaan agama oleh negara”, yakni, negara
punya hak mengatur dan terlibat dalam urusan keagamaan masyarakat. Dalam
praktik, formula ini diterapkan dengan menghidupkan kembali lembaga-lembaga
keagamaan—seperti Departemen Agama—dan dengan mempromosikan RUU keagamaan.
Sampai kejatuhan Soeharto pada 1998,
model pemerintahan dominan dalam wacana politik Muslim di Indonesia adalah
Model 2. Namun, setelah rezim itu jatuh, fondasi dasar model itu mendapatkan tantangan
serius. Walaupun demikian, tantangan terhadap Model 2 bukan sekadar wujud
kebencian terhadap rezim yang sedang runtuh. Lebih penting dari itu, argumen
tersebut berangkat dari keyakinan bahwa negara tidak berhak ikut campur dalam
urusan keagamaan masyarakat. Argumen utama yang diajukan pengkritik Model 2
adalah bahwa negara yang campur tangan terlalu besar dalam urusan keagamaan
rakyat cenderung melanggar nilai-nilai demokrasi, khususnya kebebasan dan
hak-hak asasi manusia. Karena itu, akan lebih baik jika agama dipisahkan dari
negara.
Pemisahan agama dan negara dengan
memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengurus perkara
keagamaannya sendiri adalah intisari sekularisasi. Model ketiga (NDL, Negara
Demokrasi Liberal) didasari sepenuhnya pada gagasan sekularisasi politik ini.
Namun, “sekularisasi” adalah istilah kontroversial. Jadi, eksponen model ketiga
ini mencoba membenarkan dan membela gagasan bahwa sekularisasi itu bisa saja
sesuai dengan masyarakat Muslim. Mereka semua percaya bahwa pemisahan agama dan
negara adalah fondasi dasar bagi keberadaan kebebasan dan hak-hak sipil,
khususnya sehubungan dengan kehidupan keagamaan. Sikap itu secara umum
diekspresikan dengan menolak upaya apa pun untuk membawa agama lebih dekat pada
negara atau membuatnya tunduk di bawah negara. Sejak era pasca-Soeharto,
eksponen Model 3 dengan keras menolak penerapan syariat, baik di tingkat pusat
maupun daerah, menolak RUU keagamaan (seperti RUU KUB dan RUU Sisdiknas), serta
menolak politikisasi agama.
ISLAM LIBERAL
UNTUK DEMOKRASI LIBERAL
M
|
odel 3, dengan keyakinannya akan
pemisahan agama dan negara, jelas belum menjadi kecenderungan dominan pemikiran
politik Islam di Indonesia. Tetapi fakta bahwa gagasan ini makin menarik banyak
Muslim, khususnya orang muda, mengindikasikan kemajuan. Sekitar 40 atau 50
tahun lalu, gagasan seperti demokrasi liberal, pluralisme agama, dan
sekularisme adalah bête noire (hal
yang dibenci) bagi banyak Muslim. Upaya-upaya untuk menyatukan pemikiran
politik Barat dengan konteks religius-politik di Indonesia seringkali ditantang
oleh Muslim santri, yang percaya bahwa sistem politik Islam yang diwarisi dari
masa lalu lebih unggul daripada sistem politik Barat modern. Sekularisasi, yang
selama 1970-an dikecam, makin menjadi tema sentral dalam perdebatan politik
masa kini di kalangan generasi muda Muslim santri.
Pertumbuhan dan perluasan dukungan
terhadap demokrasi, liberalisme, dan sekularisme ini merupakan bukti jelas yang
menentang pandangan Gelnerian akan “kekecualian Islam” (Islamic exceptionalism) sehubungan dengan kecenderungan proses
sekularisasi di dunia. [8] Fenomena ini juga menantang tesis ilmuwan politik
Amerika, Samuel Huntington, bahwa masa depan dunia akan dicirikan oleh
perbenturan peradaban, khususnya antara Islam dan Barat. Nyatanya, makin banyak
Muslim di Indonesia yang mengacu ke modernitas Barat sebagai model kemajuan dan
kemakmuran. Dengan memakai argumen Islam liberal, intelektual Muslim
membuktikan tidak ada pertentangan atau perbenturan antara Islam dan modernitas
yang dihasilkan oleh peradaban Barat. Apa yang tampaknya terjadi bukanlah
perbenturan antara Islam dan Barat, melainkan perbenturan antara golongan
liberal dan fundamentalis di dalam peradaban Islam. [9]
Lagi pula, makin banyaknya Muslim progresif
dan liberal di Indonesia mengubah secara substansial tesis Harry J. Benda yang
berargumen bahwa sejarah Indonesia adalah perluasan peradaban santri. [10]
Memang benar bahwa sejarah Indonesia sangat dicirikan oleh perluasan peradaban
santri, tapi jelas bukan santri yang ditemukan Benda pada 1950-an, yang sangat
berideologi Islam dan sangat curiga pada modernitas. Santri yang kini muncul
bersifat liberal dan progresif, dan menilai tinggi demokrasi, pluralisme, dan
liberalisme. Kenaikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden adalah bukti konkret
tesis Benda akan perluasan peradaban santri, tapi ia sekaligus membuktikan
kemunculan jenis baru santri, yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh Benda.
Dalam kenyataan, santri yang masih memelihara semangat dan citra Islam 1950-an,
seperti terwakili oleh PBB dan partai-partai ideologis Islam lain, makin
kehilangan pendukung. Jadi, tesis Benda mungkin perlu direvisi menjadi:
“sejarah Indonesia adalah perluasan peradaban santri liberal dan progresif”.
Meletakkan penekanan pada Muslim santri
liberal jelas bukan berarti mengabaikan kebangkitan kembali kelompok Islam
radikal di negeri ini. Benar bahwa gerakan Islam radikal secara sporadis makin
berkekerasan, tapi seperti dikatakan Ricklefs dengan tepat, gerakan Islam
radikal tidak punya prospek memenangi kekuasaan politik di negeri ini, bukan
hanya karena “kekuatan Islam pluralistik yang toleran dan liberal
terinstitusionalisasi dengan kuat, dipimpin dengan baik, sumber beberapa
pemikiran paling progresif dalam dunia Islam, mampu berfungsi tanpa penindasan
resmi dan secara luas disokong rakyat”, [11] melainkan juga karena Muslim
santri itu sendiri kini dengan kokoh berdiri di garis depan dalam memerangi
pemahaman Islam yang radikal dan konservatif. Tantangan terbesar terhadap Islam
radikal kini bukan lagi datang dari kaum sekular (seperti pada 1950-an),
melainkan dari dalam santri progresif yang berakar kuat dan sangat menguasai
tradisi intelektual Islam.
Kekalahan partai-partai politik Islam
dan kebangkitan masyarakat sipil Islam yang baru yang dipromosikan oleh
generasi muda Muslim memberikan harapan bahwa demokrasi akan tumbuh di
Indonesia. Ada harapan bagi demokrasi liberal untuk berdiri kokoh di negeri
Muslim paling besar di dunia. Demokrasi, seperti dikatakan Almond dan Verba,
tidak akan tumbuh tanpa modal sosial demokratis, [12] dan modal sosial terbesar
di Indonesia adalah Muslim. Demokrasi bukanlah sesuatu yang diturunkan dari
atas, melainkan harus tumbuh dari rakyat. Hanya suatu budaya sivik liberal yang
bisa mengakomodasi dan mendukung nilai-nilai demokratis-liberal. Ini berarti
bahwa masa depan demokrasi liberal di Indonesia sangat ditentukan oleh peran
Islam liberal. (?) □
PENUTUP
A
|
danya Perkembangan wacana pemikiran dan
telah (mau) menjadi action semacam ini menjadikan Indonesia seperti Turki
era 1924, sementara Turki sekarang ini kembali kepada khittah Islam yang sebenarnya. Apakah kita mau seperti itu? Mari
tegakkan Islam Rahmatan Lil ‘Ālamīn - lihat Aksi (damai) 212,
sebagaimana Rasul SAW telah lakukan dengan “Piagam Madinah” di Madinah. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Baca juga (klik --->) Islam RahmatanLil ‘Ālamīn dan (klik --->) Sejarah Sekularisme.
Catatan:
[1] Karl Mannheim, Ideology and Utopia:
An Introduction to the Sociology of Knowledge (London: Routledge, 1991).
[2] C.B. Macpherson, The Life and Times
of Liberal Democracy (Oxford: Oxford University Press, 1977).
[3] Robert W. Hefner, “Islam and Nation
in the Post-Suharto Era” dalam The Politics of Post-Suharto Indonesia,
disunting oleh Adam Schwarz dan Jonathan Paris (New York: Council on Foreign
Relations Press, 1999), h. 49.
[4] Hal ini terjadi, misalnya, pada
‘Ali ‘Abd al-Raziq, Qassim Amin, dan sampai tahap tertentu Muhammad Abduh.
Sementara gagasan ‘Abd al-Raziq dan Amin dianggap menghujat oleh banyak ulama
Mesir, pendekatan rasionalistik Abduh terhadap Islam dikecam oleh ulama.
[5] Kita tidak bisa menganggap
Wahabisme (di Arab Saudi) dan Ikhwan al-Muslimin (di Mesir) sebagai organisasi
Islam yang mengusung misi reformisme Islam dalam arti liberal. Bahkan, keduanya
menentang semangat nahdah dan pencerahan yang ditetapkan oleh al-Tahtawi dan
reformis liberal Mesir lain.
[6] Abshar-Abdalla memberitahu saya
bahwa dia menerima banyak panggilan dari pemimpin Muslim ternama, termasuk
Ahmad Syafii Maarif, ketua Muhammadiyah, dan K.H. Ahmad Sahal Mahfudz, ketua
NU. Abdurrahman Wahid bahkan menulis kolom mendukung pendapatnya: “Ulil dan
Liberalismenya”, dalam Gusdur Net, 28 Januari 2003
<http://www.gusdur.net> (diakses pada 20 Februari 2005).
[7] Mohamad Ihsan Alief, “Political
Islam and Democracy: A Closer Look at the Liberal Muslims”, Asia Program
Special Report 110 (April 2003), h. 17.
[8] Ernest Gelner, ilmuwan sosial
raksasa, percaya bahwa Islam adalah kekecualian besar sehubungan dengan
sekularisasi yang melanda semua agama di dunia. Dia menyatakan: “Mengatakan
bahwa sekularisasi terjadi dalam Islam bukan hanya kontroversial. Itu
jelas-jelas salah”. Ernest Gelner, Postmodernism, Reason, and Religion (London:
Routledge, 1992), h. 5.
[9] Robert W. Hefner, “Public Islam and
the Problem of Democratization”, Sociology of Religion, Special Issue, vol. 62,
no. 4, (2001), h. 493.
[10] Harry J. Benda, The Crescent and
the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation (Den Haag &
Bandung: van Hoeve, 1958), h. 14.
[11] Merle C. Ricklefs, “Islamizing
Indonesia: Religion and Politics in Singapore’s Giant Neighbour”. Kuliah umum
yang diselenggarakan oleh Asia Research Institute, National University of
Singapore, di Asian Civilizations Museum, 23 September 2004, h. 8-9.
[12] Gabriel A. Almond dan Sidney
Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations
(Princeton, N.J.: Princeton University Press), 1963. □
Sumber:
Bab 7 Kesimpulan:
http://abbah.yolasite.com/resources/IDIOLOGI%20ISLAM%20DAN%20UTOPIA.pdf
http://toko-bukubekas.blogspot.com/2016/10/jual-buku-ideologi-islam-dan-utopia.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2018/08/islam-rahmatan-lil-alamin.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2016/01/sejarah-sekularisme.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/10/piagam-madinah.html
Dan sumber-sumber lainnya. □□