Thursday, March 7, 2019

Ideologi Islam dan Utopia





PENGANTAR

B
uku ini pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 2009 oleh Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dengan judul Islam and the Secular State in Indonesia. Penerbitan dalam bahasa Indonesia ini dilakukan dengan seizin penerbit awal.

Buku edisi bahasa Indonesia, 348 halaman. Penerjemahnya Samsudin Berlian, dengan judul: “Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia”. Penulis: Luthfi Assyaukanie. Penerbit: Freedom Institute, 2011.

Setelah membaca bukunya dalam bentuk pdf berdasarkan “data-data dari hasil pemilu dari tahun ketahun” ditambah dari pendapat-pendapat dari golongan Islam lainnya termasuk Islam liberal, penulis menyimpulkan bahwa ada tiga model (isu utama) yaitu “Negara Demokrasi Islam”, “Negara Demokrasi Agama” dan “Negara Demokrasi Liberal”, lihat tabel Tabe 7.1. Dari tiga model itu dipilih dalam kesimpulannya “Negara Demokrasi Liberal” dijagokannya - jauh dari cermin paradigma Islam yang sebenarnya. Dengan itu menjauhi dari ajaran Islam itu sendiri - karena yang berbau Islam di tinggalkan (ditiadakan) dalam bernegara, lihat kesimpulan dari tulisan makalah penulis bukunya yang dipaparkan dengan tema: “IDEOLOGI ISLAM DAN UTOPIA - Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Bab 7 - Kesimpulam)”.

Dengan itu wajar jika para pemikir dari barat seperti Profesor R. William Liddle dari Ohio State University, Amerika Serikat dan Profesor Robert E.Elso, University of Queensland, Australia, memujinya. Karena thesisnya sesuai dengan pandangan dan pengetahuan barat tentang negara yang mempunyai pengalaman hitam dengan agama (Kristen) di barat pada abad tengah Eropa, yang pada akhirnya menjadikan negara Eropa (barat, asal barat) sekuler. Hal ini pula yang hendak diaplikasikan di Indonesia. Dan ini tercermin dalam Tabel 7.1, yaitu model “Negara Demokrasi Liberal”. Dalam Negara Demokrasi Liberal hal-hal yang menyangkut dengan - yang sekarang sudah melembaga - Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Penerapan syariat (Piagam Jakarta), RUU Kerukunan Umat Beragama, Partai Islam, Sistem Keuangan Islam dan Pengajaran Agama di sekolah-sekolah, tidak ada lagi.

Komentar Profesor R. William Liddle sebagai berikut: "Buku yang sangat bagus ini berdampak besar pada pembahasan terkini tentang hubungan antara Islam dan politik di Indonesia. Kekuatan terbesarnya terletak pada karakterisasi inovatif tiga model negara di Indonesia, bukan dua model seperti biasa, yakni negara Islam dan negara sekular. Dengan brilian, Luthfi menggambarkan model ketiga yang dia sebut Negara Demokrasi Agama? - “Negara Demokrasi Liberal”, dan dalam proses penggambaran itu dia membantu memperjelas pengertian kita terhadap model-model negara di Indonesia."

Komentar Profesor Robert E.Elso sebagai berikut: "Buku ini adalah karya ilmiah pelopor dari titik pandang empiris sekalligus teoretis. Sejauh pengetahuan saya, inilah upaya sistematis pertama untuk menafsirkan pemikiran politik Muslim Indonesia selama periode waktu yang panjang, sejak pertengahan 1940-an sampai sekarang, dan yang pertama kali berusaha mengembangkan model teoretis pemikiran itu dengan mengategorikan arus-arus pemikiran politik yang berbeda-beda menurut tujuan politik ideal mereka, dan sekaligus dengan menyediakan instrumen untuk analisis lebih jauh. Buku ini ditujukan dengan penuh keyakinan dan disampaikan dengan argumen yang sangat kokoh. Ia memberi perspektif baru tentang karakter, substansi, dan arah perjalanan pemikiran politik di Indonesia.

Profil Luthfi Assyaukanie adalah wakil direktur Freedom Institute dan dosen filsafat politik di Universitas Paramadina. Luthfi meraih gelar Ph.D. dari the University of Melbourne, Australia. Tesis Ph.D. yang sekarang menjadi buku ini, memenangi Chancellor’s Prize, sebuah penghargaan tertinggi untuk disertasi terbaik di universitas itu. Tulisannya tersebar di berbagai jurnal internasional, di antaranya Bijdragen (Belanda), Journal of Religion and Society (Amerika), Australian Religion Studies Review (Australia), dan The Copenhagen Journal of Asian Studies (Denmark).


PENDAHULUAN

S
oeharto paling sering dianggap sebagai penyebab utama perubahan orientasi politik masyarakat Muslim Indonesia. Represi Orde Baru terhadap gerakan politik Islam ditengarai mematikan imajinasi Islam politik hingga kini. Tahun 1955, partai-partai Islam berhasil meraup dukungan 43% suara. 40 tahun kemudian, kekuatan-kekuatan politik Islam hanya meraih suara sekitar 15% (Pemilu 1999, 2004, dan 2009). Luthfi Assyaukanie, melalui buku Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia, memiliki pandangan berbeda.

Memang benar Soeharto dan Orde Barunya memiliki andil besar dalam perubahan itu. Namun itu bukan faktor tunggal. Faktor yang jauh lebih penting, menurut Assyaukanie, adalah perubahan argumen yang terjadi pada kelompok-kelompok Islam sendiri. Islam politik masa Orde Lama begitu kuat kerana saat itu hampir tidak ada kelompok Islam yang memiliki imajinasi lain tentang sistem politik di luar negara Islam.

Perdebatan sengit hanya terjadi antara kelompok Islam dan nasionalis. Pada sidang-sidang Konstituante, misalnya, agenda-agenda politik Islam terus didesakkan. Kalau saja tidak ada kepentingan persatuan yang lebih mendesak, barangkali agenda-agenda politik Islam itu sudah lama terimplementasi.


MUSLIM DEMOKRATIS

P

ada masa Orde Lama parti-parti politik Islam memang memiliki kekuatan signifikan yang mampu mengimbangi parti-parti politik nasionalis dan komunis. Assyaukanie menunjukkan bahwa bukan berarti saat itu masyarakat Muslim Indonesia benar-benar merindukan suatu sistem politik teokratis yang totalitarian. Ini yang menarik. Panjang lebar Assyaukanie menguraikan apa yang dibayangkan para pengusung negara Islam saat itu. Kelompok ini lebih banyak tergabung dalam parti Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Di antara tokoh utamanya adalah Mohammad Natsir, Zainal Abidin Ahmad, Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem, Abu Hanifah, Hamka, dan Mohammad Rasjidi.

Ketika bicara tentang negara Islam, para tokoh ini ternyata tidak sedang membayangkan Arab Saudi, Pakistan, Iran, atau negara Muslim manapun di Timur Tengah. Model ideal bagi pembentukan negara Islam, bagi mereka, justru adalah beberapa negara Barat “Kristen.” Natsir membayangkan Inggris yang religius sebagai model negara Islam. Abu Hanifah membayangkan Belanda dan Swiss patut ditiru untuk pembentukan negara Islam Indonesia (hlm. 83).

Meski mereka menolak sekularisme, tapi mereka juga tidak bisa disebut sebagai penganut teokrasi. Bagi mereka, pemisahan agama dan negara dalam Islam adalah sesuatu yang mustahil. Mereka mempersatukan agama dan negara dengan cara-cara demokratis. Penyatuan agama dan negara tidak serta merta berarti teokrasi. Mereka percaya bahwa negara-negara seperti Inggris dan Amerika adalah negara-negara demokratis tapi tetap memasukkan beberapa unsur agama dalam urusan negara. Sangat mungkin suatu negara menerima penyatuan dengan agama tapi tetap demokratis (hlm. 85).

Natsir menyatakan bahwa negara bukanlah tujuan akhir seorang Muslim. Ia hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Memposisikan negara sebagai alat, dan bukan tujuan, menurut Assyaukanie, adalah pandangan yang progressif di kalangan pemikir Islam. Implikasi dari pernyataan bahwa negara bukan tujuan akhir adalah fleksibilitas konsep negara. Itu sebabnya negara mesti dicapai melalui cara-cara rasional. Di sini tampak mereka menggunakan argumen pemikir Islam Mesir, Ali Abd. Raziq, yang menyatakan bahwa konsep negara sepenuhnya berasal dari diskursus rasional. Ia tidak memiliki basis doktrin agama. Meski mereka menghendaki penyatuan agama dan negara, tapi dengan tegas mereka menolak menyerahkan urusan negara kepada tokoh agama. Karena ia produk rasional, negara harus dikelola secara rasional pula dengan cara memberi pilihan dan peran kepada rakyat seluas-luasnya untuk menentukan bentuk dan sistem politik terbaik (hlm. 88).

Data-data ini menunjukkan bahwa isu negara Islam yang dikampanyekan Masyumi dan partai-partai Islam lain hanyalah retorika politik. Tujuan utama mereka adalah demokrasi. Kesimpulan ini diperkuat oleh praktik demokrasi liberal pada Orde Lama yang justru mencapai puncaknya di tangan perdana menteri-perdana menteri Masyumi: Mohammad Natsir, Sukiman, dan Burhanuddin Harahap. Herbert Feith (1962) menyebut pemerintahan Natsir adalah yang terbaik pada masa demokrasi konstitusional di era Orde Lama. Pemilihan Umum bahkan dilakukan pertama kali pada masa pemerintah Burhanuddin Harahap. Demokrasi pada masa Orde Lama sesungguhnya menghadapi dua ancaman terbesar: kediktatoran Soekarno dan totalitarianisme partai komunis. Kampanye populis yang dibawa oleh kelompok nasionalis Soekarnois dan komunisme PKI hanya mungkin diimbangi dengan retorika agama oleh kelompok Islam. Assyaukanie menulis, “kalau anggota Masyumi ditanya kenapa mereka mendukung demokrasi, jawabannya hampir pasti adalah Islam” (hlm. 94). Islamlah yang membuat mereka demokratis.


TIGA MODEL

A
rgumentasi demokrasi dalam Islam menjadi semakin kuat pasca Masyumi. Assyaukanie menulis munculnya dua model orientasi politik Islam demokratis lain selain “negara demokrasi Islam”, yakni “negara demokrasi agama” dan “negara demokrasi liberal”. Kedua model terakhir ini sama-sama mendukung eksistensi negara yang neutral agama. Bedanya adalah bahwa model kedua masih menginginkan keterlibatan agama dalam politik, sementara yang terakhir sama sekali mendambakan suatu model negara demokrasi yang sepenuhnya sekuler. Yang menarik dari perubahan pola pemikiran ini adalah bahwa meski memiliki cara pandang yang berbeda, sebenarnya semua yang terbahas dalam buku ini berasal dari kelompok yang sama, yakni Islam. Assyaukanie memperlihatkan optimisme terhadap masa depan demokrasi liberal di Indonesia. Optimisme itu sangat beralasan kerana pendukung utamanya tidak lagi hanya berasal dari kalangan nasionalis, melainkan juga dari kalangan santri yang kental dengan tradisi keilmuan Islam. Tokoh-tokoh seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, M. Dawam Rahardjo, dan Abdurrahman Wahid adalah sarjana-sarjana Indonesia garda depan dalam pemikiran Islam (baik Islam klasik maupun ilmu-ilmu sosial modern). Di hadapan para sarjana pendukung demokrasi liberal ini, para pendukung negara Islam tampak sama sekali tak punya pijakan. Hilangnya argumentansi di kalangan pengusung negara Islam secara langsung menjatuhkan perolehan suara parti-parti Islam dalam beberapa Pemilu terakhir. Sementara tokoh-tokoh Islam pro-demokrasi itu telah melahirkan demikian banyak kader yang tersebar di seluruh tanah air dan terus menerus memproduksi gagasan Islam “progressif-liberal-demokratis”?

Akhirul kalam, adanya perkembangan wacana pemikiran dan telah menjadi (berlangsung) “action  semacam ini menjadikan Indonesia seperti Turki era 1924. Apakah kita (mau) seperti itu? □ AFM



IDEOLOGI ISLAM DAN UTOPIA
Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia
(Bab 7 - Kesimpulam)
Oleh: Luthfi Assyaukanie


S
ejarah pemikiran adalah bidang yang sangat sulit dituliskan. Terdapat banyak lubang yang menggoda penulis untuk membuat generalisasi atau simplifikasi. Namun, generalisasi dan simplifikasi kadang-kadang diperlukan agar tertampaklah gambar yang bisa dipahami dari fenomena kompleks pemikiran manusia. Namun ada bahaya bahwa ia cenderung memberikan versi cacat sejarah manusia. Berbagai buku tentang pemikiran Islam jatuh ke dalam perangkap ini lewat generalisasi atau simplifikasi kompleksitas itu ke dalam berbagai kategori ideologis seperti “modernis”, tradisionalis”, “revivalis”, “neo modernis”, dan seterusnya. Ada unsur tertentu kebenaran dalam kategori-kategori itu, tapi sejarah pemikiran bukan sekadar sejarah ideologi. Seperti dikatakan Karl Mannheim, pemikiran politik tidak memadai dipahami tanpa perhatian pada peran utopia. [1] Mengecewakan bahwa banyak studi tentang pemikiran Islam di Indonesia sangat menekankan ideologi politik tanpa pertimbangan cukup terhadap utopia Muslim.

Studi ini adalah upaya untuk mengisi kesenjangan itu dengan membahas pemikiran politik Islam dalam konteks peran utopia. Utopia telah memainkan peran besar dalam menentukan wacana politik di negeri ini. Sejak awal sekali era kebangkitan nasional (atau nahdah dalam konteks Arab), Muslim Indonesia telah terobsesi dengan model pemerintahan ideal. Model pemerintahan, seperti kata Macpherson, adalah gagasan utopia yang paling praktis. [2] Studi ini mengkaji model-model pemerintahan Muslim di Indonesia sejak kemerdekaan. Studi ini menemukan tiga model dominan yang mencerminkan pemahaman politik dan sikap Muslim terhadap berbagai isu religius-politik. Ketiga model ini memainkan peran penting dalam mengembangkan pemikiran politik Islam di Indonesia kontemporer. Berbagai argumen dan penjelasan tentang gagasan-gagasan besar, seperti demokrasi, pluralisme, liberalisme, kebebasan, dan kesetaraan gender, tidak bisa dipahami dengan tepat tanpa pengajian konseptualisasi Muslim akan model pemerintahan; sebuah utopia.

Gagasan untuk studi ini diinspirasikan oleh kondisi masa kini Muslim Indonesia, yang makin pragmatis dan kurang dogmatik dalam sikap politik mereka. Studi ini secara khusus mengacu pada kekalahan partai-partai politik Islam pada dua Pemilu terakhir dan peristiwa-peristiwa yang mengelilinginya. Pada 1999, 17 partai Islam bertarung dalam Pemilu dan hanya satu partai memperoleh persentase suara memadai—yakni, PPP, yang mendapatkan 10,7%; dua partai lain masing-masing mendapatkan 1,9% (PBB) dan 1,7% (PK). Pada 2002, beberapa kelompok Muslim menuntut kembalinya Piagam Jakarta, dokumen politik kontroversial, ke dalam UUD. Usulan itu kemudian diajukan pada Sidang Tahunan MPR oleh dua partai Islam, PPP dan PBB, yang melihatnya ditolak oleh sebagian besar anggota MPR. Yang menarik, penolakan datang bukan hanya dari partai politik di parlemen, melainkan juga dari sebagian besar organisasi Islam. Pada 2004, lima partai politik Islam bertarung dalam kontes demokrasi. Sekali lagi, tidak ada dari mereka yang meraih bahkan 10% suara. PPP mendapatkan hanya 8,1%, sementara PKS dan PBB mendapatkan masing-masing 7,3 dan 2,6%.

Kegagalan partai politik Islam adalah contoh bagus bagaimana sebuah model pemerintahan, sebuah utopia, terguncang ketika fondasi filosofisnya tidak bisa lagi dipertahankan. Yang saya maksudkan dengan “fondasi filosofis” adalah satu set argumen di mana teori, agenda, tujuan, dan perilaku suatu partai didasarkan. Negara Islam adalah utopia bagi sebagian besar Muslim santri selama 1950-an. Fondasi filosofisnya adalah keyakinan bahwa Islam, unik di antara agama-agama, punya sistem kehidupan komprehensif, yang bisa mengatur problem kompleks modernitas. Namun secara praktis model itu gagal berfungsi, bukan hanya karena panggung politik tidak menyediakan ruang cukup baginya untuk bertumbuh, melainkan juga karena asasnya tertantang secara serius. Kebangkitan model-model pesaingnya (yakni, Model 2 dan Model 3) yang diusung oleh generasi baru santri membuktikan bahwa utopia Muslim itu tidak sui generis, berasal dari satu sumber. Seperti karakter pemikiran dan ideologi itu sendiri, utopia berubah dan sangat bergantung pada seberapa kuat dasar filosofisnya bisa bertahan.


KARAKTER DAN CIRI
PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

M
emang kelemahan fondasi filosofis bukan satu-satunya alasan kegagalan model pemerintahan Islam (yang terwakili dalam Model 1). Dalam studi ini, saya mengkaji banyak faktor: sekularisasi politik oleh rezim Orde Baru, peran media massa, pendidikan, organisasi massa, lembaga pendana asing, dan peran intelektual. Intelektual dan pemimpin agama memainkan peran unik di sini. Sebagai otoritas dalam hal agama dan pengetahuan di dalam masyarakat paternalistik seperti Indonesia, intelektual dan pemimpin agama menikmati status tinggi. Pandangan dan kata-kata mereka dihargai oleh banyak pengikut Muslim. Pengaruh mereka tidak terbatas pada isu teologis, melainkan juga pada aspek lebih luas kehidupan religius-politik. Lewat media massa dan forum publik lain, pandangan mereka disebarluaskan dan mencapai publik yang luas.Pemimpin agama dan intelektual di Indonesia sangat fasih memahami gagasan modern, seperti dikatakan dengan jelas oleh Robert W. Hefner: “tiada satu tempat pun di dalam dunia Islam terdapat intelektual Muslim yang membahas gagasan demokrasi, masyarakat sipil, pluralisme, dan pemerintahan hukum dengan vigor dan kepercayaan diri yang setara dengan Muslim Indonesia”. [3] Memang, ini bukan fenomena baru. Sejak awal pembaruan Islam, wacana intelektual Islam di Indonesia berciri kemauan untuk menggapai gagasan-gagasan modern. Tjokroaminoto, salah satu pembaru Muslim mula-mula, sangat fasih mendiskusikan konsep-konsep modern. Dia menulis buku tentang sosialisme jauh sebelum Gamal ‘Abd al-Nasser, penguasa Mesir, menetapkan fondasi “sosialisme Arab”. Di Mesir dan di dunia Arab pada umumnya, gagasan modern seringkali dibahas di kalangan sekular dan non-Muslim. Pembaru Arab mula-mula, yang dengan fasih membahas gagasan modern, seperti Shibli Shumayyil (wafat 1917), Farah Antun (wafat 1922), Jurji Zaydan (wafat 1914), Ya’qub Sarruf (wafat 1917), Nicola Haddad (wafat 1954), dan Salama Musa (wafat 1958), semuanya Kristen. Muslim intelektual jarang berbicara tentang gagasan modern. Bahkan kalau pun mereka pemimpin Muslim yang berbicara tentang gagasan-gagasan itu, mereka akan sangat tertantang dan segera dikucilkan. [4] Pengucilan dan bahkan ancaman maut biasa terjadi di Mesir dan Timur Tengah pada umumnya.

Hal ini membedakan ciri pemikiran Islam di kedua wilayah. Di Indonesia, pemikiran Islam punya fondasi sosial yang kuat. Ini terjadi terutama karena Indonesia selalu berciri komunitarian. Sejak kemerdekaan, rakyat Indonesia mendirikan banyak organisasi tempat mereka membahas dan menyebarluaskan gagasan. Tjokroaminoto perlu bergabung dengan SI untuk menyosialisasi gagasan politiknya. Begitu pula, Ahmad Dachlan perlu mendirikan Muhammadiyah untuk menyebarkan pengajaran reformisnya. Gagasan-gagasan di Indonesia selalu punya fondasi kuat dalam masyarakat, sedangkan di Timur Tengah tidak demikian. Jarang ada pembaru atau intelektual Islam di sana yang menyebarkan pemikiran mereka lewat organisasi. [5] Sebaliknya, buku dan masjid adalah medium biasa bagi mereka untuk berinteraksi dengan sesama Muslim. Benar bahwa buku itu penting untuk memengaruhi orang banyak; tapi ada keterbatasan, yakni perlunya komunitas besar yang berdedikasi sebagai pembaca buku. Sebagaimana bagian dunia Muslim lain, kebiasaan membaca di Mesir sangat rendah. Sementara itu, masjid juga punya keterbatasan, walaupun ia memainkan peran penting dalam memperkaya “ruang publik” Islam. Namun, seperti halnya pasar, tapitidak seperti organisasi, orang datang dan pergi di masjid. Bagaimana pun, kita tidak bisa berharap gagasan modern dibahas dengan bebas di tempat seperti itu.

Ciri komunitarian pemikiran Islam di Indonesia juga menjelaskan mengapa, misalnya, penyebaran gagasan reformis Islam di negeri ini mengalir mulus kepada orang banyak. Memang, ada penolakan, tapi jarang sampai terjadi pengucilan, kekerasan, atau ancaman mati terhadap pendukung gagasan reformis itu. Di Mesir, ancaman mati biasa terjadi dan sering ditujukan kepada pembaru yang tidak berafiliasi dengan organisasi massa mana pun. Di Indonesia, di lain pihak, pemimpin Muslim seringkali adalah ketua organisasi besar dengan banyak pengikut. Selama 1980-an, Abdurrahman Wahid meluncurkan berbagai gagasan kontroversial (yang bisa diperbandingkan dengan kontroversi yang dimunculkan intelektual Mesir seperti Faraj Fouda, Fuad Zakariyya, dan Nasr Hamid Abu Zayd, yang semuanya menerima ancaman mati), tapi dia relatif aman. Tidak ada yang berani menantangnya dengan serius. Posisinya sebagai pemimpin NU, organisasi yang punya sekitar 40 juta anggota (lebih dari separuh penduduk Mesir), sebagai putra dan cucu pemimpin Muslim karismatik, dan sebagai pakar dengan otoritas tinggi tentang Islam (dia belajar di Kairo dan Baghdad), membuatnya hampir-hampir “tak bisa salah”. Dia bisa mengatakan apa saja tentang agama sekehendak hatinya.

Bahkan kalau pun ada ancaman mati—seperti yang ditujukan secara tidak langsung kepada intelektual muda Muslim Ulil Abshar-Abdalla—ancaman seperti itu tidak disambut serius; dan bahkan menjadi semacam bumerang. Kasus Ulil membuktikan bahwa ancaman mati bagi sebuah gagasan bukan hal biasa dan tidak berakar dalam tradisi intelektual Indonesia. Segera setelah fatwa dikeluarkan, ratusan simpatisan dan pendukung mendatanginya dan banyak pemimpin organisasi besar Islam menyatakan keprihatinan. [6] Di Indonesia, kecenderungan untuk isu kontroversial tampaknya mengalir secara berbeda dengan kecenderungan di Timur Tengah, di mana ancaman mati seringkali disokong banyak Muslim (ambil misalnya kasus Salman Rushdi di Iran, atau pembunuhan Faraj Fouda di Mesir). Persis seperti yang dikatakan seorang penulis: “semakin dikecam dan diserang dengan cara damai, semakin berhasil ia membawa wacananya (yang biasanya terbatas pada lingkungan yang sangat terdidik) kepada orang banyak”. [7] Pemimpin Muslim liberal di Indonesia pada umumnya lebih percaya diri dan lebih bebas dalam menyatakan gagasan religius-politik mereka dibandingkan sejawat mereka di Timur Tengah.


WACANA ISLAM
TENTANG NEGARA DEMOKRASI

D
alam studi ini, saya mendemonstrasikan bagaimana pemimpin dan intelektual Muslim di Indonesia mengekspresikan gagasan religius-politik mereka. Sebelum kemerdekaan, mereka pada umumnya terobsesi dengan isu-isu yang bisa menjadi kekuatan penyatu bagi bangsa kepulauan itu. Para pendiri bangsa terutama membahas isu seperti Komunisme, Nasionalisme, dan Islamisme. Setelah kemerdekaan, ketika negara bangsa sudah didirikan, isu paling menantang yang dihadapi Muslim adalah bagaimana menciptakan sistem pemerintahan yang ideal. Debat pertama tentang dasar negara di rapat-rapat BPUPKI adalah cerminan pandangan berbeda-beda tentang model ideal bagi Indonesia yang merdeka. Ada yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, ada pula yang menginginkan Pancasila atau dasar non-Islam lain. Sejarawan sering membedakan mereka ke dalam dua kategori umum: nasionalis “sekular” dan nasionalis “Islam”.

Nasionalis sekular terutama berlatar belakang non-Muslim atau abangan, sedangkan nasionalis Muslim berlatar belakang santri. Sebagian besar karya yang muncul sebelum kejatuhan Soeharto mendasarkan argumen mereka pada teori ini: gagasan negara sekular berkait erat dengan nasionalis sekular, sementara Muslim santri cenderung menyukai gagasan negara Islam. Hampir mustahil, menurut argumen itu, bahwa gagasan sekular akan tumbuh dari lingkungan santri. Namun, teori itu gagal menjelaskan perkembangan dinamik di dalam masyarakat Muslim. Seperti telah saya tunjukkan dalam seluruh studi ini, komunitas Muslim santri tidaklah homogen. Bertentangan dengan banyak klaim, Muslim santri tidak lagi dengan sendirinya menentang gagasan negara sekular. Dalam studi ini, saya mendemonstrasikan bahwa gagasan negara sekular (dalam arti bukan negara teokratis) makin disokong oleh Muslim santri. Sesuatu yang haram bagi Muslim santri pada 1950-an kini disukai dan disokong oleh generasi muda Muslim santri.

Sejak 1970-an, Muslim santri tidak bisa secara aktual dikategorikan berdasarkan teori aliran yang dirumuskan oleh Geertz dan Indonesianis Amerika lain dari masa 1960-an. Angan-angan politik Muslim santri tidak lagi homogen. Seperti diungkapkan studi ini, paling tidak ada tiga model pemerintahan yang telah dikonsepkan dan dibahas oleh Muslim santri. Model-model pemerintahan itu mencerminkan bukan hanya dinamika di dalam komunitas santri, melainkan juga progresivitas dalam wacana politik Islam kontemporer. Mempelajari model-model pemerintahan di Indonesia membantu kita memahami bagaimana Muslim di negeri ini menanggapi konsep-konsep politik besar yang sebagian besar berasal dari Barat. Sejarah pembaruan Islam modern adalah sejarah tanggapan Muslim terhadap gagasan-gagasan Barat; terhadap demokrasi, pluralisme, kebebasan, hak-hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Ketiga model pemerintahan yang saya bahas di seluruh studi ini memberikan sebuah sketsa sinoptis tanggapan-tanggapan Muslim terhadap gagasan-gagasan itu (lihat Tabel 7.1).

Model pertama (NDI, Negara Demokrasi Islam) adalah angan-angan politik Muslim akan sebuah pemerintahan dan negara ideal. Disarankan terutama oleh Mohammad Natsir, salah satu pemikir Muslim Indonesia paling berpengaruh, NDI dirancang untuk menjadi model yang bisa menjembatani sistem politik Barat dengan cita-cita politik Islam. Sejak hari-hari pertama kemerdekaan, pemimpin Muslim sadar bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan paling baik. Mereka juga percaya bahwa demokrasi tidak sama sekali “asing”—bahwa ada basis historis dan teologis bagi demokrasi dalam masyarakat-masyarakat Islam. Zainal Abidin Ahmad, teoritikus paling penting model ini, mendemonstrasikan keberadaan praktik-praktik demokrasi pada zaman awal Islam. Dia berargumen bahwa Islam menyambut nilai-nilai demokratis, dan bahkan istilah “demokrasi” sendiri punya persamaan katanya dalam Islam, yakni, shura.


TabeL 7.1
Lima Isu Utama Menurut Ketiga Model

Isu
Negara
Demokrasi Islam
Negara
Demokrasi Agama
Negara
Demokrasi Liberal
Agama dan Negara
Dasar Negara
Departemen Agama

MUI

Penerapan syariat (Piagam Jakarta)

Pengajaran agama di sekolah

Islam
Mendukung

Mendukung


Mendukung

Mendukung

Pancasila
Mendukung secara proporsional
Mendukung dengan lingkup terbatas

Mendukung pada level daerah

Mendukung

Pancasila
Tidak

Tidak


Tidak


Tidak
RUU kerukunan umat beragama

Mendukung

Mendukung sebagian

Tidak
Formalisme Agama
Partai Islam
Sistem keuangan Islam

Sangat mendukung
Sangat mendukung

Agak mendukung
Agak mendukung

Tidak
Tidak
Kebebasan
Kebebasan pikiran

Kebebasan ekspresi

Kebebasan keyakinan

Tunduk pada Islam

Mendukung asal sesuai dengan doktrin Islam
Mendukung sebagian

Tunduk pada nilai agama
Mendukung asal sesuai dengan doktrin agama
Mendukung

Tidak terbatas

Tidak terbatas

Mendukung sepenuhnya
Hubungan Antaragama
Kewarganegaraan
Kepemimpinan non-muslim
Perkawinan


Eksklusif

Tidak
Sama sekali tidak



Inklusif

Tidak
Tunduk pada doktrin Islam


Pluralis

Ya
Doktrin bisa ditafsirkan

Isu Gender
Kepemimpinan politik

Ya

Ya

Ya


Eksponen model NDI adalah pemimpin Muslim yang sangat menghargai nilai-nilai demokratis dan ingin demokrasi diterapkan di negeri mereka. Walaupun demikian, pemahaman mereka akan demokrasi secara umum bersifat mayoritarian dalam arti bahwa demokrasi dipahami pada dasarnya sebagai pemerintahan mayoritas. Pemahaman ini penting dalam menentukan sikap religius-politik mereka pada umumnya. Pertama, mereka yakin bahwa karena Muslim adalah mayoritas, mereka harus punya peran dan posisi dominan dalam negara dan pemerintahan. Kedua, mereka percaya bahwa hanya dengan demokrasi, khususnya Pemilu, mereka bisa mengubah undang-undang dan konstitusi. Antusiasme mereka dalam menyambut Pemilu 1955 terutama didorong keyakinan ini dan optimisme akan memenangi pemilihan. Ketiga, pemahaman mayoritarian semacam itu mendorong mereka mengusulkan dengan penuh percaya diri gagasan negara Islam dan pemberlakuan syariat dalam praktik. Argumennya jelas: mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim.

Akan tetapi, sebagai model, NDI secara umum gagal, bukan karena keberhasilan “nasionalis sekular” dalam merongrong fondasinya, melainkan karena pemilihan umum—yang persis adalah agenda pendukung NDI dan satu-satunya ukuran keabsahan kemayoritasan—tidak mendukung klaimnya. Seperti dijelaskan di Bab 1, semua partai Islam yang secara umum menyokong model NDI gagal menang dalam pemilihan umum 1955. Akibatnya, klaim memiliki mayoritas tidak terbukti. Kegagalan pemilihan umum itu kemudian diikuti fakta sosiologis bahwa ternyata makin sulit mempersatukan Muslim di bawah satu bendera ideologis. Ketegangan yang memburuk antara golongan “tradisionalis” (diwakili NU) dan “modernis” (diwakili Masyumi), khususnya selama tahun-tahun terakhir rezim Soekarno, menghancurkan harapan mereka untuk mewujudkan model NDI. Masa depan model ini berakhir begitu rezim politik berganti dan generasi baru Muslim muncul. Alih-alih meneruskan cita-cita pendahulu mereka, generasi baru santri mulai mengkritik mereka dan, bahkan, mendukung agenda sekularisasi politik Soeharto.

Model pemerintahan kedua yang diangan-angankan Muslim Indonesia lahir dari kegagalan model lama dan sebagai respons terhadap kemunculan rezim Orde Baru. Seperti dijelaskan di Bab 4, model ini adalah upaya memodifikasi pandangan religius-politik Muslim dengan memasukkan situasi sosio-politik ke dalam pertimbangan. Ia berbeda dengan Model 1 karena keyakinan bahwa Indonesia adalah bangsa pluralis, bukan hanya sehubungan dengan agama, melainkan juga dalam keyakinan dan ideologi. Karena itu, mustahillah menekan semua pluralitas itu ke bawah satu ideologi Islam. Tidak seperti pendahulu mereka, pendukung Negara Demokrasi Agama (NDA) sepenuhnya menerima Pancasila sebagai dasar negara. Tambahan pula, mereka juga mencoba memberikan Pancasila karakter religius dengan menyatakan bahwa Pancasila bukan ideologi sekular. Model ini menganggap agama penting dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Konsekuensinya adalah mereka percaya aspirasi religius harus diwujudkan oleh negara. Dalam arti religius-politik, model ini mendukung gagasan “pelembagaan agama oleh negara”, yakni, negara punya hak mengatur dan terlibat dalam urusan keagamaan masyarakat. Dalam praktik, formula ini diterapkan dengan menghidupkan kembali lembaga-lembaga keagamaan—seperti Departemen Agama—dan dengan mempromosikan RUU keagamaan.

Sampai kejatuhan Soeharto pada 1998, model pemerintahan dominan dalam wacana politik Muslim di Indonesia adalah Model 2. Namun, setelah rezim itu jatuh, fondasi dasar model itu mendapatkan tantangan serius. Walaupun demikian, tantangan terhadap Model 2 bukan sekadar wujud kebencian terhadap rezim yang sedang runtuh. Lebih penting dari itu, argumen tersebut berangkat dari keyakinan bahwa negara tidak berhak ikut campur dalam urusan keagamaan masyarakat. Argumen utama yang diajukan pengkritik Model 2 adalah bahwa negara yang campur tangan terlalu besar dalam urusan keagamaan rakyat cenderung melanggar nilai-nilai demokrasi, khususnya kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Karena itu, akan lebih baik jika agama dipisahkan dari negara.

Pemisahan agama dan negara dengan memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk mengurus perkara keagamaannya sendiri adalah intisari sekularisasi. Model ketiga (NDL, Negara Demokrasi Liberal) didasari sepenuhnya pada gagasan sekularisasi politik ini. Namun, “sekularisasi” adalah istilah kontroversial. Jadi, eksponen model ketiga ini mencoba membenarkan dan membela gagasan bahwa sekularisasi itu bisa saja sesuai dengan masyarakat Muslim. Mereka semua percaya bahwa pemisahan agama dan negara adalah fondasi dasar bagi keberadaan kebebasan dan hak-hak sipil, khususnya sehubungan dengan kehidupan keagamaan. Sikap itu secara umum diekspresikan dengan menolak upaya apa pun untuk membawa agama lebih dekat pada negara atau membuatnya tunduk di bawah negara. Sejak era pasca-Soeharto, eksponen Model 3 dengan keras menolak penerapan syariat, baik di tingkat pusat maupun daerah, menolak RUU keagamaan (seperti RUU KUB dan RUU Sisdiknas), serta menolak politikisasi agama.


ISLAM LIBERAL 
UNTUK DEMOKRASI LIBERAL

M
odel 3, dengan keyakinannya akan pemisahan agama dan negara, jelas belum menjadi kecenderungan dominan pemikiran politik Islam di Indonesia. Tetapi fakta bahwa gagasan ini makin menarik banyak Muslim, khususnya orang muda, mengindikasikan kemajuan. Sekitar 40 atau 50 tahun lalu, gagasan seperti demokrasi liberal, pluralisme agama, dan sekularisme adalah bête noire (hal yang dibenci) bagi banyak Muslim. Upaya-upaya untuk menyatukan pemikiran politik Barat dengan konteks religius-politik di Indonesia seringkali ditantang oleh Muslim santri, yang percaya bahwa sistem politik Islam yang diwarisi dari masa lalu lebih unggul daripada sistem politik Barat modern. Sekularisasi, yang selama 1970-an dikecam, makin menjadi tema sentral dalam perdebatan politik masa kini di kalangan generasi muda Muslim santri.

Pertumbuhan dan perluasan dukungan terhadap demokrasi, liberalisme, dan sekularisme ini merupakan bukti jelas yang menentang pandangan Gelnerian akan “kekecualian Islam” (Islamic exceptionalism) sehubungan dengan kecenderungan proses sekularisasi di dunia. [8] Fenomena ini juga menantang tesis ilmuwan politik Amerika, Samuel Huntington, bahwa masa depan dunia akan dicirikan oleh perbenturan peradaban, khususnya antara Islam dan Barat. Nyatanya, makin banyak Muslim di Indonesia yang mengacu ke modernitas Barat sebagai model kemajuan dan kemakmuran. Dengan memakai argumen Islam liberal, intelektual Muslim membuktikan tidak ada pertentangan atau perbenturan antara Islam dan modernitas yang dihasilkan oleh peradaban Barat. Apa yang tampaknya terjadi bukanlah perbenturan antara Islam dan Barat, melainkan perbenturan antara golongan liberal dan fundamentalis di dalam peradaban Islam. [9]

Lagi pula, makin banyaknya Muslim progresif dan liberal di Indonesia mengubah secara substansial tesis Harry J. Benda yang berargumen bahwa sejarah Indonesia adalah perluasan peradaban santri. [10] Memang benar bahwa sejarah Indonesia sangat dicirikan oleh perluasan peradaban santri, tapi jelas bukan santri yang ditemukan Benda pada 1950-an, yang sangat berideologi Islam dan sangat curiga pada modernitas. Santri yang kini muncul bersifat liberal dan progresif, dan menilai tinggi demokrasi, pluralisme, dan liberalisme. Kenaikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden adalah bukti konkret tesis Benda akan perluasan peradaban santri, tapi ia sekaligus membuktikan kemunculan jenis baru santri, yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh Benda. Dalam kenyataan, santri yang masih memelihara semangat dan citra Islam 1950-an, seperti terwakili oleh PBB dan partai-partai ideologis Islam lain, makin kehilangan pendukung. Jadi, tesis Benda mungkin perlu direvisi menjadi: “sejarah Indonesia adalah perluasan peradaban santri liberal dan progresif”.

Meletakkan penekanan pada Muslim santri liberal jelas bukan berarti mengabaikan kebangkitan kembali kelompok Islam radikal di negeri ini. Benar bahwa gerakan Islam radikal secara sporadis makin berkekerasan, tapi seperti dikatakan Ricklefs dengan tepat, gerakan Islam radikal tidak punya prospek memenangi kekuasaan politik di negeri ini, bukan hanya karena “kekuatan Islam pluralistik yang toleran dan liberal terinstitusionalisasi dengan kuat, dipimpin dengan baik, sumber beberapa pemikiran paling progresif dalam dunia Islam, mampu berfungsi tanpa penindasan resmi dan secara luas disokong rakyat”, [11] melainkan juga karena Muslim santri itu sendiri kini dengan kokoh berdiri di garis depan dalam memerangi pemahaman Islam yang radikal dan konservatif. Tantangan terbesar terhadap Islam radikal kini bukan lagi datang dari kaum sekular (seperti pada 1950-an), melainkan dari dalam santri progresif yang berakar kuat dan sangat menguasai tradisi intelektual Islam.

Kekalahan partai-partai politik Islam dan kebangkitan masyarakat sipil Islam yang baru yang dipromosikan oleh generasi muda Muslim memberikan harapan bahwa demokrasi akan tumbuh di Indonesia. Ada harapan bagi demokrasi liberal untuk berdiri kokoh di negeri Muslim paling besar di dunia. Demokrasi, seperti dikatakan Almond dan Verba, tidak akan tumbuh tanpa modal sosial demokratis, [12] dan modal sosial terbesar di Indonesia adalah Muslim. Demokrasi bukanlah sesuatu yang diturunkan dari atas, melainkan harus tumbuh dari rakyat. Hanya suatu budaya sivik liberal yang bisa mengakomodasi dan mendukung nilai-nilai demokratis-liberal. Ini berarti bahwa masa depan demokrasi liberal di Indonesia sangat ditentukan oleh peran Islam liberal. (?) □


PENUTUP

A
danya Perkembangan wacana pemikiran dan telah (mau) menjadi action  semacam ini menjadikan Indonesia seperti Turki era 1924, sementara Turki sekarang ini kembali kepada khittah Islam yang sebenarnya. Apakah kita mau seperti itu? Mari tegakkan Islam Rahmatan Lil ‘Ālamīn - lihat Aksi (damai) 212, sebagaimana Rasul SAW telah lakukan dengan “Piagam Madinah” di Madinah. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM


Baca juga (klik --->) Islam RahmatanLil ‘Ālamīn dan (klik --->) Sejarah Sekularisme.



Catatan:
[1] Karl Mannheim, Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge (London: Routledge, 1991).
[2] C.B. Macpherson, The Life and Times of Liberal Democracy (Oxford: Oxford University Press, 1977).
[3] Robert W. Hefner, “Islam and Nation in the Post-Suharto Era” dalam The Politics of Post-Suharto Indonesia, disunting oleh Adam Schwarz dan Jonathan Paris (New York: Council on Foreign Relations Press, 1999), h. 49.
[4] Hal ini terjadi, misalnya, pada ‘Ali ‘Abd al-Raziq, Qassim Amin, dan sampai tahap tertentu Muhammad Abduh. Sementara gagasan ‘Abd al-Raziq dan Amin dianggap menghujat oleh banyak ulama Mesir, pendekatan rasionalistik Abduh terhadap Islam dikecam oleh ulama.
[5] Kita tidak bisa menganggap Wahabisme (di Arab Saudi) dan Ikhwan al-Muslimin (di Mesir) sebagai organisasi Islam yang mengusung misi reformisme Islam dalam arti liberal. Bahkan, keduanya menentang semangat nahdah dan pencerahan yang ditetapkan oleh al-Tahtawi dan reformis liberal Mesir lain.
[6] Abshar-Abdalla memberitahu saya bahwa dia menerima banyak panggilan dari pemimpin Muslim ternama, termasuk Ahmad Syafii Maarif, ketua Muhammadiyah, dan K.H. Ahmad Sahal Mahfudz, ketua NU. Abdurrahman Wahid bahkan menulis kolom mendukung pendapatnya: “Ulil dan Liberalismenya”, dalam Gusdur Net, 28 Januari 2003 <http://www.gusdur.net> (diakses pada 20 Februari 2005).
[7] Mohamad Ihsan Alief, “Political Islam and Democracy: A Closer Look at the Liberal Muslims”, Asia Program Special Report 110 (April 2003), h. 17.
[8] Ernest Gelner, ilmuwan sosial raksasa, percaya bahwa Islam adalah kekecualian besar sehubungan dengan sekularisasi yang melanda semua agama di dunia. Dia menyatakan: “Mengatakan bahwa sekularisasi terjadi dalam Islam bukan hanya kontroversial. Itu jelas-jelas salah”. Ernest Gelner, Postmodernism, Reason, and Religion (London: Routledge, 1992), h. 5.
[9] Robert W. Hefner, “Public Islam and the Problem of Democratization”, Sociology of Religion, Special Issue, vol. 62, no. 4, (2001), h. 493.
[10] Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation (Den Haag & Bandung: van Hoeve, 1958), h. 14.
[11] Merle C. Ricklefs, “Islamizing Indonesia: Religion and Politics in Singapore’s Giant Neighbour”. Kuliah umum yang diselenggarakan oleh Asia Research Institute, National University of Singapore, di Asian Civilizations Museum, 23 September 2004, h. 8-9.
[12] Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, The Civic Culture: Political Attitudes and Democracy in Five Nations (Princeton, N.J.: Princeton University Press), 1963. □


Sumber:
Bab 7 Kesimpulan:
http://abbah.yolasite.com/resources/IDIOLOGI%20ISLAM%20DAN%20UTOPIA.pdf
http://toko-bukubekas.blogspot.com/2016/10/jual-buku-ideologi-islam-dan-utopia.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2018/08/islam-rahmatan-lil-alamin.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2016/01/sejarah-sekularisme.html
https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2015/10/piagam-madinah.html
Dan sumber-sumber lainnya. □□