KETIMPANGAN, KETIDAK ADILAN,
DAN TAHUN POLITIK
Tulisan ini disarikan dari KOMPAS.com | JEO
News
Apakah
yang dimaksud dengan Indonesia yang ADIL? Indonesia yang ADIL maksudnya tak
lain daripada memberikan perasaan kepada seluruh rakyat bahwa ia dalam segala
segi penghidupannya diperlakukan secara ADIL dengan tiada dibeda-bedakan
sebagai warga negara. Itu akan berlaku apabila pemerintahan negara dari atas
sampai ke bawah berdasarkan kedaulatan rakyat.” [Mohammad Hatta, 1970]
P
|
er September 2017, rata-rata angka kemiskinan
Indonesia disebut “hanya” di kisaran 10 persen. Angka penurunan jumlah penduduk
miskin pada periode itu pun dinyatakan sebagai yang terbesar dalam satu dekade
terakhir. Meski begitu, angka kemiskinan di perkotaan dan perdesaan saja njomplang. Coba tengok sekitar kita.
Lalu, baca dan cermatilah kejadian kelaparan - disebut gizi buruk oleh
pemerintah - di Asmat (Papua) itu. Adakah tergetar hati kita?
Apakah frasa pembuka pidato kenegaraan “Saudara sebangsa dan se-Tanah Air...” yang setiap tahun dibaca Presiden Indonesia itu terasa hangat di hati kita? Sudahkah kedaulatan rakyat menjadi frasa yang mewujud nyata dalam kenyataan, bukan semata jargon dan “bahasa dewa”?
Dalam kajian pemikiran politik, pemikir bernama
John Rawls menggarisbawahi, keadilan bukanlah soal sama rata. Namun, kata dia,
keadilan adalah soal memberikan kesempatan yang sama di awal kepada setiap
orang.
Masalah hasil boleh jadi beda, karena ada banyak
faktor lain yang turut terlibat. Namun, akses layanan dasar seperti fasilitas
kesehatan dan pendidikan yang berdedikasi sejatinya adalah hak setiap anak
negeri yang harus dipenuhi, entah di Jakarta, entah di lokasi lain di negeri
ini yang sangat mungkin tidak setiap orang Indonesia bahkan pernah
mendengarnya, laiknya Tambraw di Papua Barat.
KESENJANGAN
K
|
esenjangan di perdesaan dalam data statistik
terlihat lebih sempit daripada perkotaan. Namun, jumlah orang miskin di
perdesaan jauh lebih banyak daripada di perkotaan.
Kesenjangan dan kemiskinan bukan pula soal malas atau rajin dari tiap orang yang terlibat di dalamnya. Ada orang yang sangat pintar tetapi miskin dan tak mendapatkan akses yang tepat, ada pula orang yang sudah bekerja keras dan jujur tetapi tidak beruntung.
Ketika negara dan aparaturnya sudah abai pada setiap detail penanganan hak dasar warga, jangan gerah bila teriakan ketidakadilan menggema kembali di Bumi Pertiwi. Terlebih lagi bila setiap warga negara tak lagi saling peduli dengan sesama warga negara.
Seorang Ibn Khaldun dalam Muqaddimah pernah membuat telaah, sejatinya perasaan psikologi dari sebuah komunitas merupakan ikatan rasa yang paling kuat untuk sekelompok orang mau mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari sebuah kesepakatan berkelompok.
Ketika prinsip-prinsip dasar yang harus terlayani dan saling terpenuhi dalam kehidupan bernegara terasa sudah diabaikan, bukan mustahil identitas kelompok akan menggumpal dan menggalang kekuatan demi perbaikan nasib. Politik identitas bisa menyeruak dalam berbagai wajah.
POLITIK IDENTITAS
Baik
atau buruk kelompok identitas bukan soal keberadaan kelompok itu melainkan pada
tindakan apa yang dilakukan atas nama kelompok tersebut. [Amy Gutmann, Identity in Democracy]
N
|
amun, politik identintas tidak selalu buruk
juga. Amy Gutmann dalam buku Identity in
Democracy yang diterbitkan Princeton University Press pada 2004, misalnya,
menyatakan bahwa baik atau buruk kelompok identitas bukan soal keberadaan
kelompok itu melainkan pada tindakan apa yang dilakukan atas nama kelompok
tersebut.
Ketika sebuah kelompok melakukan tindakan tak
adil terhadap kelompok lain karena merasa lebih kuat atau lebih banyak jumlah,
di situ identitas kelompok menjadi bermasalah.
Sebaliknya, saat kelompok identitas memperjuangkan prinsip kemanusiaan yang berdampak bagi semua orang - termasuk di luar kelompoknya - politik identitas menjadi berdaya guna bagi demokrasi.
Pertanyaannya, adakah pada hari ini setiap wilayah dan anak bangsa di negeri ini telah memiliki identifikasi diri sebagai Indonesia, ketika kesenjangan membentang di antara mereka?
Sudahkah sekat-sekat identifikasi diri yang melekat sejak nyawa dikandung badan memberikan manfaat dan ikatan rasa sehingga setiap orang dari Sabang sampai Merauke bangga "bersaudara" sebagai bangsa Indonesia?
Ataukah, kita hanya merasa “terjebak” lahir di tanah ini lalu tidak berdaya untuk mendefinisikan diri dengan sebuah kebanggaan bahwa “Saya Indonesia” sembari tetap bangga menggenggam marga, suku, adat, serta agama dan keyakinannya, dalam kesejahteraan, keamanan, dan layanan kesehatan yang terperhatikan?
Upaya pemisahan diri Catalonia dari Spanyol juga harus menjadi pelajaran. Semata data ekonomi - apalagi makro - bukanlah pengikat yang cukup kuat untuk setiap kelompok dalam sebuah negara merasa cukup dengan identifikasi diri sebagai bangsa.
Bagaimana pula dengan kondisi ketika data ekonomi bahkan tak menguntungkan bagi sekelompok orang di sebuah wilayah untuk bangga mendaku diri sebagai bagian dari entitas bernama “negara”?
Sejatinya, tahun politik seperti 2018 dan 2019 bukan sekadar waktu bagi orang-orang dengan syahwat politik untuk mendapatkan kursi kekuasaan dan atau jabatan yang diidamkan.
Tahun politik adalah tantangan bersama bagi
sebuah bangsa untuk mendefinisikan diri kembali terkait tatanan dan kriteria
para wakil yang dititipi mandat untuk memastikan tujuan sebuah negara - dalam
setiap jenjang kewilayahannya - dapat tercapai.
Demokrasi juga bukan semata soal suara terbanyak. Kisah Socrates dalam sejarah klasik Yunani, seperti ditulis Plato dalam Apology, semestinya cukup untuk menjadi pengingat bahwa suara terbanyak tidak selalu tepat menjadi dasar bagi pengambil keputusan yang berdampak kepada semua orang.
Bila segala sesuatu atas nama demokrasi diserahkan kepada suara terbanyak, bagaimana dengan mereka yang tak menjadi bagian dari suara terbanyak itu?
PENUTUP
H
|
anya dengan sebuah upaya bersama dari seluruh
anak bangsa untuk mendefinisikan ulang jati diri sebagai bangsa yang setiap
dirinya juga punya identitas lokal atau personal, niscaya kesenjangan dan
ketidakadilan punya peluang untuk berkurang dengan sendirinya.
Yaitu, ketika “rasa” sebagai sebuah bangsa mewujud nyata dalam praktik keseharian warga serta tercermin dalam kebijakan yang dijalankan sesungguh-sungguhnya oleh negara dan aparaturnya, saat laku ADIL sudah benar-benar terjadi sejak dari pikiran.
Tajuk ini penulis tutup dengan mengutip kata-kata mutiara dari Buya HAMKA yang mengatakan: "Iman tanpa ilmu bagaikan lentera ditangan bayi, namun ilmu tanpa iman bagaikan lentera ditangan pencuri." Billahit Taufiq wal-Hidyah. □ AFM
SUMBER
https://nasional.kompas.com/jeo/ketimpangan-ketidakadilan-dan-tahun-politik □□