Wednesday, November 15, 2017

Perpecahan dan Soliditas Partai Islam





Resensi Buku:
PERPECAHAN DAN SOLIDITAS PARTAI ISLAM
STUDI KASUS PKB DAN PKS


PENDAHULUAN

P
Partai politik sering hanya dilihat sebagai wadah bagi aktivitas politik dalam menyerap aspirasi masyarakat guna mempengaruhi (atau mengarahkan) jalannya negara agar sesuai dengan aspirasi tersebut. Namun, partai politik juga bisa disebut sebagai miniatur sistem politik dalam bernegara, dengan sistem organisasi yang berjalan. Dengan melihat bagaimana partai politik ini dikelola, maka bisa juga sebagai cermin (gambaran keadaan), bagaimana kemampuan para elite (dan juga kadernya) dalam mengelola negara nantinya.

Hal yang lucu bila kita menginginkan seorang demokrat dalam bernegara namun dalam mengelola organisasi partai malah tak demokratis, atau partai sengaja didesain untuk tak demokratis. Atau elite yang gagal mengelola demokratisasi dalam partainya sehingga berujung konflik dan perpecahan, bagaimana ia akan mampu mengelola demokrasi dalam sistem politik bernegara? Atau bagaimana misalnya sebuah partai menjalankan fungsi pendidikan politiknya kepada masyarakat luas sesuai dengan garis ideologi partai – apa yang diharapkan - bilamana aktivitas internal partai tak tersentuh (tidak menjalankan sebagaimana mestinya) pendidikan politik ideologis tersebut?

Sehingga sangat penting kiranya memahami betul bagaimana sebuah partai politik dikelola dengan baik sebagai sebuah organisasi. Partai yang bisa dikelola dengan baik (well management) sebagai sebuah organisasi, niscaya akan melahirkan soliditas internal (tentunya yang baik). Soliditas internal, bisa menjadi bahan pembelajaran mengelola organisasi semisal negara, dan bisa menjadi modal dalam menghadapi tantangan eksternal partai.


SEJARAH PERPECAHAN PARTAI-PARTAI POLITIK DI INDONESIA

TAK dapat dipungkiri, dalam perjalanan sejarah partai politik di Indonesia, hampir semua partai mengalami perpecahan. Baik partai yang berhaluan nasionalis, sosialis, komunis, bahkan islam.

Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pecah setelah penangkapan Soekarno, menjadi Partai Nasional Indonesia (Partindo) bentukan Sartono, dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) bentukan Hatta-Sjahrir.

Partai Komunis Indonesia (PKI) sebelum kelahirannya, berasal dari Indische Sociaal-Demochratische Vereeniging (ISDV). ISDV pecah seusai perpecahan di tubuh Komunintern, faksi komunis mendirikan PKI, dan faksi sosial demokrat mendirikan Partai Sosdem Hindia Belanda. Selanjutnya, PKI pecah akibat perbedaan strategi partai dalam rencana pemberontakan 1926. Tan Malaka yang tidak setuju pemberontakan, membentuk Partai Rakyat Indonesia (PARI). Kemudian setelah kemerdekaan, Tan Malaka mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) padahal telah ada PKI juga. Murba nantinya di era Orde Baru (orba) berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Partai islam sebelum era kemerdekaan pun tak luput dari perpecahan. Sarekat Islam (SI) sebelum menjadi partai, mengalami perpecahan. SI pecah menjadi faksi SI-Putih yang berhaluan non-komunis dan faksi SI-Merah yang berhaluan komunis dan nantinya menjadi PKI. Kemudian, SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan mengalami beberapa kali perpecahan. Soekiman mendirikan Partai Islam Indonesia (Partii atau PII) setelah dipecat dari PSII karena tuduhan terhadap H.O.S. Tjokroaminoto terlibat korupsi. Kemudian PSII mengalami perpecahan kembali saat menentukan haluan partai. Saat partai memutuskan bersikap non-kooperatif terhadap kolonial Belanda, kelompok yang menghendaki sikap kooperatif seperti Agus Salim membentuk Barisan Penyadar PSII. Setelah kelompok sempalan tersebut dikeluarkan dari partai, mereka membentuk Pergerakan Penyadar. Kemudian, saat haluan partai mengarah ke sikap kooperatif, kelompok non-kooperatif yang dimotori S.M. Kartosoewirjo mendirikan sempalan dalam tubuh partai, dan setelah dipecat, mendirikan Komite Pembela Kebenaran PSII.

Pasca Indonesia merdeka, kalangan umat islam sepakat mendirikan Partai Masyumi sebagai wadah tunggal politik umat islam. Namun tak berlangsung lama hingga terjangkiti gejala perpecahan. kalangan mantan anggota PSII keluar dari Masyumi dan mendirikan kembali PSII. Hal ini karena perbedaan respon mereka terhadap tawaran koalisi dari kabinet Amir Sjarifudin. Kemudian, perpecahan berlanjut dengan keluarnya Nahdlatul Ulama (NU) dari Masyumi akibat semakin terpinggirkannya peran kalangan NU dalam Masyumi. PSII pun tak bisa mengelak dari perpecahan setelah keluar dari Masyumi. PSII faksi Abikusno Tjokrosuroso saling bersaing dengan PSII faksi Arudji Kartawinata / Anwar Tjokroaminoto. Hingga perpecahan tersebut mengundang Soekarno sebagai Presiden RI melakukan intervensi.

Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti) juga mengalami perpecahan antara kubu yang hendak terus berpolitik dengan kubu yang hendak menjadikan Perti kembali sebagai ormas, hingga keluarnya dekrit yang menghendaki Perti kembali ke khittahnya, mundur dari politik praktis. Sedangkan faksi politik Perti nantinya terus muncul dan masuk dalam fusi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di era orde baru.

Sedangkan kalangan sosialis, awalnya menyatukan Partai Sosialis pimpinan Amir Sjarifudin dengan Partai Rakyat Sosialis (PARAS) pimpinan Soetan Sjahrir menjadi Partai Sosialis Indonesia (PSI). PARAS berasal dari kader PNI-Baru didikan Hatta-Sjahrir sejak sebelum kemerdekaan, sedangkan Partai Sosialis, banyak disupport kader Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang digalang Amir Sjarifudin dari pengikut eks-PARI, eks-PKI, dan eks-PNI yang dibubarkan pada akhir era kolonial Belanda. Namun, PSI pecah, Amir akhirnya bergabung dengan PKI pimpinan Musso. Sedangkan kalangan Nasionalis yang bernaung di bawah PNI mengalami perpecahan akibat penentuan asas partai, faksi kiri digawangi Ali Sastoamidjojo, sedangkan faksi kanan digawangi Hardi. PNI faksi kiri mendominasi era demokrasi terpimpin, sedangkan selepas Soekarno lengser, faksi kanan PNI berkuasa, hingga PNI dileburkan menjadi PDI di era orba.

Memasuki era orba, sebelum fusi partai islam menjadi PPP, PSII mengalami perpecahan kembali, faksi M.CH. Ibrahim yang menolak fusi, dengan faksi T.M. Gobel yang mendukung fusi, hingga mengundang rezim Orba melakukan intervensi. PPP sebagai fusi dari banyak partai islam, tak terhindar oleh perpecahan, baik perebutan posisi ketua Umum yang dinilai sejalan dengan rezim Orba, maupun konflik antar kelompok dalam tubuh partai, seringnya antara kubu NU dan kubu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). NU akhirnya memutuskan keluar secara organisasi dari PPP. PDI pun mengalami perpecahan, konflik internal terus berlangsung setiap pemilihan ketua umum karena adanya intervensi rezim orba. Konflik berujung hingga terpilihnya Megawati Soekarno Putri yang ditolak rezim dan mendukung Soerjadi. Megawati, yang nantinya melahirkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pasca orba tumbang.

Selepas rezim orba tumbang, banyak partai lahir mengklaim sebagai pewaris partai lama seperti NU, Masyumi, PNI, dan PSII. Misalnya, kalangan NU selain masih ada di PPP juga mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI), Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan Partai Nahdlatul Ummah (PNU) yang berubah nama menjadi PPNUI di pemilu berikutnya. PSII lahir kembali dengan beberapa nama yang mirip semisal PSII, PSII Baru, dan PSII 1905. Masyumi pun demikian, melahirkan Partai Bulan Bintang (PBB), Masyumi Baru, dan Partai Politik Islam Indonesia (PPII) Masyumi. Dari kalangan nasionalis, selain PDI dan PDIP, banyak partai baru muncul dan mencoba mengklaim sebagai pewaris PNI dengan menjadikan gambar banteng sebagai simbol. Sebut saja Partai Nasional Demokat (PND), PNI-Front Marhaenis, PNI-Massa Marhaen, dan PNI yang nantinya berubah nama menjadi PNI-Marhaenisme di bawah kepemimpinan Sukmawati Soekarno Putri. Juga termasuk munculnya Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang merupakan organisasi fusi dalam tubuh PDI semasa orba. Golkar (Golongan Karya) tak luput dari perpecahan, melahirkan Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) yang merupakan ormas underbouw, dan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) pimpinan Edi Sudrajat yang nantinya berganti nama menjadi PKPI dan masih eksis hingga kini. PPP melahirkan Partai Persatuan (PP) pimpinan mantan ketua umum PPP era orba, Jaelani Naro.

Dari sekian partai yang tersisa di era reformasi ini, hampir semua tak luput dari perpecahan. Kader PDI-P yang kecewa membentuk partai baru, yaitu Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) pimpinan Eros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) pimpinan Roy B.B. Janis, dan Partai Pelopor pimpinan Rachmawati Soekarno Putri.

Partai Golkar terpecah hingga muncul Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) dengan tokohnya R. Hartono dan Sri Hardiyanti Rukmana (Tutut, anak Soeharto), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang dipimpin Wiranto, Partai Nasdem pimpinan Surya Paloh, dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) pimpinan Prabowo Subianto. Bahkan Golkar sempat pula mengalami dualisme kepengurusan, yaitu Golkar di bawah kepengurusan Aburizal Bakrie dan Golkar di bawah kepengurusan Agung Laksono.

Partai Nasdem bahkan pecah saat evolusinya dari ormas Nasional Demokrat menjadi Partai Nasdem. Pecahan Partai Nasdem kemudian membentuk Partai Persatuan Indonesia (Perindo) pimpinan Hari Tanoe. Partai Demokrat mempunyai sempalan Partai Barisan Nasional (Barnas).

PPP melahirkan Partai Bintang Reformasi (PBR). Bahkan kini PPP mengalami dualisme kepemimpinan antara kubu Romahurmuzy dengan kubu Djan Faridz.

PKB mengalami beberapa kali dualisme kepemimpinan, PKB versi Matori Abdul Djalil melawan PKB versi Gusdur dan Alwi Shihab, kemudian dualisme PKB versi Alwi Shihab melawan PKB versi Gusdur dan Muhaimin Iskandar, lalu PKB versi Muhaimin Iskandar melawan PKB Gusdur dan Ali Masykur Musa. PKB juga melahirkan sempalan seperti Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Kejayaan Demokrasi (PKD) yang berasal dari pengikut Matori Abdul Djalil, dan Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN).

Partai Amanat Nasional (PAN) melahirkan Partai Matahari Bangsa (PMB) yang digawangi pemuda dari kalangan Muhammadiyah yang kecewa terhadap PAN.

Dari sejarah perpecahan yang menimpa partai-partai tersebut, faktor ideologi saja ternyata tidak cukup untuk menjaga soliditas partai dari ancaman perpecahan. Bagaimana partai dengan latar belakang ideologi baik sekuler (komunis, sosialis, nasionalis) maupun islam, mengalami adanya perpecahan. Sehingga, perlu ditemukan faktor apa yang mempengaruhi soliditas sebuah partai, dan sebaliknya yang menimbulkan perpecahan. Tentu guna menjadi pembelajaran untuk dapat mengelola partai politik secara lebih baik. Sekaligus dapat menjadi salah satu barometer bagi publik untuk melihat kapasitas partai politik (yang akan melahirkan kadernya) mengelola organisasi politik sebagai miniatur dari sistem politik negara.


ANALISA SEBAB-SEBAB TERJADINYA

BERUNTUNG, Firman Noor, menyajikan dengan runut dalam bukunya, Perpecahan dan Soliditas Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi. Buku ini merupakan disertasi penulisnya di University of Exter, Inggris. Walau buku ini lebih khusus membahas tentang partai islam, namun bisa dijadikan cermin pembelajaran bagi pengelolaan partai dengan ideologi lainnya.

PKB dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera, sebelumnya bernama Partai Keadilan / PK) dipilih karena keduanya merupakan partai dengan performa elektoral yang relatif setara, dan telah mampu melahirkan kadernya menjadi pemimpin negara, seperti Gusdur (PKB) yang pernah menjadi Presiden RI 1999-2001, dan Hidayat Nurwahid (PKS) yang menjadi Ketua MPR RI 2004-2009. PKB dan PKS juga memiliki prospek untuk bertahan dari pemilu ke pemilu karena memiliki basis massa yang kuat. PKB memiliki basis massa dari kalangan islam tradisional (warga NU) yang banyak terkonsentrasi di pedesaan. Sedangkan PKS memiliki basis massa dari kalangan islam modernis di perkotaan. PKB juga dipilih karena selama dekade awal reformasi, mengalami tiga kali perpecahan dan melahirkan dualisme kepengurusan partai.

Sedangkan PKS dipilih karena walau terjadi riak konflik dalam internal partai, namun mampu tampil solid sebagai kesatuan partai, tak melahirkan partai sempalan oleh kadernya, dan tak juga ada dualisme kepengurusan partai.

Secara sederhana, Firman Noor menyebutkan, sejauh mana sebuah partai mampu menjaga soliditasnya sangat terkait dengan kemampuan partai melembagakan dirinya. Pelembagaan partai meliputi partai yang dijalankan berdasarkan tata aturan, termasuk dalam menyelesaikan konflik internal, komitmen terhadap nilai bersama (ideologi partai), dan juga sistem kaderisasi yang sistematis.


PERPECAHAN DI PKB DAN SOLIDITAS DI PKS

PKB mengalami perpecahan hingga menimbulkan dualisme kepengurusan sebanyak tiga kali. Perpecahan pertama terjadi ketika Gusdur akan dilengserkan dari Jabatan Presiden RI. PKB menolak hadir dalam Sidang Istimewa MPR RI yang mengagendakan impeachment terhadap Gusdur. Namun Matori Abdul Djalil (Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB) yang merupakan salah satu pimpinan MPR RI tetap hadir pada Sidang Istimewa MPR RI, walau fraksi PKB memboikot untuk tidak hadir. Matori akhirnya dilengserkan dari jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB dan dikeluarkan dari keanggotaan PKB. Namun, pendukung Matori tak menerima keputusan ini, sehingga tetap mengakui Matori sebagai Ketua Umum. Gusdur akhirnya menunjuk Alwi Shihab sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB yang baru menggantikan Matori, dan Syaifullah Yusuf sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Tanfidz PKB. Kalangan Ulama banyak mendukung Gusdur-Alwi, dan keputusan pengadilan memenangkannya. Kubu Matori akhirnya mendirikan Partai Kejayaan Demokrasi (PKD) menjelang pemilu 2004.
Perpecahan kembali melanda PKB saat kisruh soal jabatan rangkap Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf yang diangkat menjadi Menteri dalam kabinet SBY-JK. Gusdur kembali menunjuk pengganti Alwi Shihab, yaitu Muhaimin Iskandar, sedangkan kubu Alwi-Syaifullah tetap bersikukuh menjadi pengurus, dengan dukungan para ulama khos. PKB-Alwi ini lah yang menjadi cikal bakal munculnya PKNU. Ini juga menandakan keprihatinan kalangan ulama terhadap konflik dalam tubuh PKB dan perubahan sikap ulama dalam mendukung Gusdur.

Dualisme kepengurusan terjadi ketiga kalinya, saat Gusdur kembali melengserkan Ketua Umum Dewan Tanfidz, yaitu Muhaimin Iskandar, yang dianggap mulai tidak loyal. Muhaimin digantikan Ali Masykur Musa. Sedangkan kubu Muhaimin bersikukuh melanjutkan kepengurusannya. Kubu Muhaimin akhirnya yang dianggap sah oleh pemerintah dan berhak mengikuti pemilu 2009. Kubu Gusdur kemudian nantinya membentuk Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN). Selama konflik dualisme kepengurusan partai berlangsung tiga kali di pusat, juga menjalar di daerah. Pemecatan, pembekuan, dan pergantian pengurus di daerah terjadi seiring konflik yang berjalan di pusat, dan bergantung siapa yang didukung daerah dalam konflik tersebut. Keterlibatan pengurus daerah juga membuat faksi-faksi yang berkonflik makin membesar dan memungkinkan munculnya kepengurusan kembar di banyak daerah.

Imbas perpecahan ini sangat terasa terhadap raihan elektoral PKB dalam pemilu. Pada pemilu 1999 PKB berhasil masuk tiga besar parpol dalam pemilu dengan 13,3 juta suara (12,62%) atau empat besar di DPR dengan 51 kursi. Namun Pada pemilu 2004 turun menjadi 11,9 juta suara (10,57%) walau perolehan kursi naik menjadi 52 kursi di DPR. Di pemilu 2009 kembali menurun menjadi hanya 5,1 juta suara (4,94%) atau cuma 27 kursi di DPR. Setelah dualisme kepengurusan berakhir pasca wafatnya Gusdur, suara PKB di pemilu 2014 kembali mencapai 11,1 juta (9,04%) atau setara 47 kursi di DPR. Potensi suara dari basis massa NU sekitar lebih dari 60 juta jiwa, belum bisa dimaksimalkan karena kisruh internal dalam tubuh partai begitu menyita energi.

LAIN PKB LAIN PKS. PKS mampu menjaga soliditas partai. Walau terdapat perbedaan pendapat, maupun konflik internal namun tidak sampai berpengaruh terhadap soliditas partai. Setiap pergantian Presiden Partai, selalu mulus tanpa kisruh, bahkan presiden partai rela mundur dari posisinya saat diangkat menjadi menteri atau ketua lembaga negara, dan pemilihan presiden baru berlangsung lancar. Terdapat beberapa kasus pemecatan kader senior partai yang memegang jabatan penting dalam tubuh partai, seperti Syamsul Balda yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden PK dan anggota Majelis Syuro, dan Yusuf Supendi anggota Majelis Syuro dan wakil ketua Dewan Syariah PKS. Namun tidak sampai melahirkan oposisi dalam tubuh partai atau eksodus besar-besaran pengurus partai, apalagi melahirkan partai baru. Konflik akibat pemecatan kader yang tidak selesai di internal partai dan berlanjut ke pengadilan sebagai sarana di luar partai, ditemukan dalam kasus Yusuf Supendi, dan baru-baru ini pada kasus yang menimpa Fahri Hamzah yang coba dirotasi dari posisinya sebagai Wakil Ketua DPR RI.

Terdapat pula keluarnya tokoh-tokoh senior partai seperti Tizar Zein, Daud Rasyid, dan lainnya, hingga membentuk forum di luar partai seperti Forum Kader Peduli (FKP). Namun keberadaan FKP tak sampai membuat partai terbelah, dan malah dianggap sebagai bagian dari otokritik terhadap jalannya partai. Kabar terakhir, konon para tokoh FKP kembali mendukung PKS di masa kepemimpinan Sohibul Iman. Perbedaan pendapat dalam tubuh partai semisal menentukan dukungan terhadap calon presiden, atau menentukan arah koalisi, juga dapat dikelola dengan baik dalam tubuh partai sehingga tidak melahirkan perpecahan. Walau menurut beberapa pengamat, terdapat faksi-faksi dalam tubuh PKS seperti faksi keadilan yang lebih berorientasi dakwah dengan faksi sejahtera yang berorientasi politik, atau faksi tua dan faksi muda, atau faksi Anis Matta dengan faksi penantangnya. Namun semua berulang kali dibantah oleh internal PKS, dan terbukti tak sampai membuat goyahnya soliditas partai. Perbedaan pandangan dalam tubuh PKS tak sampai menguat menjadi pengelompokan yang tegas dan membedakan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan pandangan hanya bersifat temporal dan fleksibel bergantung isu yang sedang berkembang.

Walau PKS relatif solid, namun perolehan suara partai relatif stagnan pasca lompatan hebat pada pemilu 2004. Pada pemilu 1999 PK hanya memperoleh 1,4 juta suara (1,36%) atau setara 7 kursi di DPR. Kemudian melompat tinggi di pemilu 2004 dengan 8,3 juta suara (7,34%) atau 45 kursi DPR. setelah itu perolehan suara relatif stagnan, di pemilu 2009 memperoleh 8,2 juta suara (7,88%) atau 57 kursi di DPR, lalu di pemilu 2014 memperoleh 8,4 juta suara (6,79%) atau 40 kursi di DPR. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi perolehan suara PKS walau PKS secara organisasi cukup solid. Jangan lupakan bahwa PKS tidak mengandalkan basis massa yang sudah mengakar dalam sejarah seperti NU, Muhammadiyah, atau lainnya. Komunitas Tarbiyah yang merupakan basis massa PKS baru terbentuk sejak 1980an dan bergerak di bawah tanah selama massa orba. Sangat baru dibandingkan PKB misalnya yang memiliki basis massa NU yang sudah ada sejak sebelum Indonesia belum merdeka.


KEPEMIMPINAN  PRODEDURAL DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

SECARA legal formal, aturan main dalam PKB telah diatur dengan baik di AD/ART. Namun, PKB yang merupakan mesin politik NU terlihat warna budaya politik NU dalam menjalankan organisasi. Aturan dibuat sefleksibel mungkin, dan lebih banyak hal yang hanya diatur secara informal atau kultural ala NU. Hubungan ulama-santri sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di dalam PKB. Para ulama yang berposisi di Dewan Syuro walau kewenangannya tidak lebih besar dari Dewan Tanfidz yang berisi para santri, politisi, dan lainnya, namun memiliki pengaruh kultural yang cukup besar. Pengaruh kultural ini pada satu titik membuat seorang ulama yang berpengaruh di dalam tubuh partai, bisa mengarahkan keputusan partai walau secara prosedural tidak baik. Gusdur sebagai mantan Ketua Umum NU, cucu pendiri NU, mantan Presiden RI, dan inisiator lahirnya PKB, membuat posisinya sangat sakral dalam tubuh partai. Seorang Gusdur bisa dengan mudah mengganti sebanyak tiga kali Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB karena secara politis berseberangan dengannya. Ketua Umum Dewan Tanfidz sejak Matori hingga Muhaimin, adalah orang yang awalnya dipercaya Gusdur sehingga bisa terpilih. Namun, Ketua Umum Dewan Tanfidz akhirnya dilengserkan oleh Gusdur hanya melalui rapat pleno pengurus pusat, bukan Muktamar Luar Biasa (MLB) sebagai ajang yang sah. Proses pelengserannya juga tanpa melalui mekanisme peringatan dan klarifikasi terlebih dahulu. Jelas bahwa kuasa Gusdur sedemikian besar melampaui aturan partai.

DI PKS, aturan partai, tidak hanya ada secara legal formal, namun mencoba dijalankan semaksimal mungkin sehingga menghasilkan soliditas partai. Kewenangan tertinggi berada di Majelis Syuro, seperti menentukan garis kebijakan strategis partai, memilih pimpinan pusat partai, dan menentukan kader partai yang akan ditempatkan dalam jabatan publik. Walau majelis syuro seolah menjadi lembaga superbody, namun anggota Majelis Syuro dipilih oleh kader inti, yaitu kader dengan jenjang kaderisasi tingkat madya, tingkat dewasa, hingga tingkat ahli. Kader inti berasal dari jenjang proses pengkaderan partai, sebagai ciri khas dari jamaah tarbiyah. Sehingga setiap kader inti, berhak memilih anggota majelis syuro, dan setiap anggota majelis syuro berhak memilih ketua majelis syuro maupun anggota khusus majelis syuro sebagai tambahan dengan kriteria khusus misalnya keahlian yang dibutuhkan. Majelis syuro terhindar dari sikap otoriter walau memiliki kewenangan besar, juga karena budaya dalam tubuh PKS yang mengutamakan musyawarah dan menghargai hasil musyawarah. Bahkan, walau Ketua Majelis Syuro seperti Hilmi Aminudin, yang notabenenya orang yang paling berjasa dalam melahirkan komunitas tarbiyah dan banyak anggota majelis syuro yang lain adalah binaan sewaktu dikader Hilmi dulu, namun dalam Majelis Syuro posisi Hilmi tak sampai memunculkan sikap otoritarian. Sebut saja misalnya saat pemilihan ketua Majelis Syuro pada Munas tahun 2005, sebesar 47% anggota tak memilih Hilmi. Atau saat Munas terakhir dimana posisi Ketua Majelis Syuro dijabat Salim Segaf yang juga generasi pertama komunitas tarbiyah.

Bahkan Hilmi tak punya hak veto selama musyawarah, kecuali benar-benar deadlock. Hilmi, selalu mencoba mendengar masukan dari kader, dan tak jarang seperti moderator dalam musyawarah majelis syuro. Misalnya, dalam penentuan dukungan terhadap calon presiden pada tahun 2004. Walau Hilmi dan Anis Matta selaku Sekjen menginginkan PKS mendukung Wiranto, namun keputusan majelis syuro akhirnya mendukung Amien Rais. Pun dengan Anis Matta yang dianggap banyak pengamat sebagai orang yang berpengaruh besar dalam tubuh PKS karena menjabat Sekjen selama beberapa periode dan punya kedekatan khusus dengan Hilmi, namun tak kuasa juga mempengaruhi hasil keputusan Majelis Syuro. Selain terkait pencalonan presiden 2004, misalnya pada keputusan apakah PKS keluar dari koalisi atau tidak pada tahun 2005 akibat kebijakan kenaikan BBM yang diambil SBY-JK atau akibat kasus yang menimpa presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq yang ditangkap KPK. Anis menyerukan keinginannya untuk keluar dari koalisi dan mendapat dukungan dari kader partai, namun toh keputusan Majelis Syuro berkehendak lain.

Tokoh-tokoh teras seperti Syamsul Balda, dan Yusuf Supendi, tak kuasa menghadapi pemecatan partai. Proses penegakan disiplin partai biasanya menggunakan mekanisme internal yang berada di tangan Dewan Syariah PKS yang independen dari Majelis Syuro. Sehingga bukan hanya dua nama tersebut yang pernah berurusan dengan Dewan Syariah. Termasuk juga Anis Matta yang dimintai klarifikasinya terkait pernyataan PKS sebagai partai terbuka. Terlihat bahwa aturan main partai mencoba dijalankan dan keputusannya diikuti oleh semua pengurus. Aturan main partai tanpa pandang bulu berlaku bagi siapa saja termasuk tokoh yang memegang jabatan tinggi di partai. Walau muncul kasus tertentu seperti kasus pemecatan Yusuf Supendi dan kasus Fahri Hamzah yang dirotasi dari posisinya sebagai Wakil Ketua DPR, harus berlanjut hingga menggunakan mekanisme di luar partai, yakni ke pengadilan, namun tak sampai mengganggu soliditas partai secara umum. Kasus Yusuf Supendi tak memancing dukungan besar-besaran dari kader, dan pada akhirnya kasus tersebut dimenangkan oleh PKS. Sedangkan kasus Fahri Hamzah dimenangkan oleh Fahri dan sempat memancing kader yang mendukung Fahri bereaksi. Namun PKS mungkin memilih menyelesaikan kasus Fahri secara internal sehingga tidak banyak pembahasan mengenai hal itu dari pengurus partai kepada publik ataupun media. Tentu soliditas partai di tangan pengurus baru ini diuji terkait kasus Fahri, dan apakah PKS akan kembali lolos dari konflik. Sejauh ini, Fahri pun tak banyak bermanuver untuk mengkonsolidasikan kekuatan kader/massa partai untuk membentuk faksi menentang keputusan partai. Fahri lebih banyak berkicau di dunia maya dan di forum terbatas di kalangan kader untuk mencurahkan keluh kesah dan pemikiran terkait kasus yang melibatkan dirinya.

Secara ringkas, aturan yang ada di PKS dapat berjalan sehingga melahirkan soliditas karena adanya semangat musyawarah, adanya partisipasi baik langsung maupun tidak langsung, otoritas Majelis Syuro dan konsistensinya menjalankan aturan, serta adanya power sharing terutama keberadaan Dewan Syariah yang independen.


MEKANISME RESOLUSI KONFLIK

DALAM TUBUH PKB, CRM (Conflict Resolution Mechanism, Mekanisme Resolusi Konflik) tidak diformalkan secara baik. Bahkan sebelum tahun 2005 tak disebutkan lembaga khusus dalam AD/ART partai dalam mencegah atau menangani konflik internal. Setelahnya, walau disebutkan adanya Badan Kehormatan, namun fungsi dan keanggotaannya tak jelas dalam AD/ART partai. Sehingga CRM mengandalkan Dewan Syuro dan mekanisme dalam Muktamar (juga MLB). Pengaruh budaya NU dalam budaya organisasi juga terbawa dalam PKB, sehingga aturan lebih dimungkinkan bersifat informal dan fleksibel. Namun itu ternyata menyebabkan masalah saat muncul konflik yang cukup besar seperti dijelaskan di bagian sebelumnya. Penyelesaian konflik secara personal mengandalkan pengaruh kyai sepuh ataupun secara kultural dalam tradisi NU, tak cukup untuk menyelesaikan masalah dalam tubuh PKB. Dewan Syuro yang berisi para kyai sepuh diharapkan dapat menjalankan peran kulturalnya dalam menyelesaikan konflik internal, namun dalam realitanya konflik justru muncul dari Ketua Umum Dewan Syuro (Gusdur) sehingga peran Dewan Syuro menjadi kurang maksimal dalam menyelesaikan konflik. Pun dalam arena muktamar atau MLB yang ada hanyalah ajang mencari legitimasi dan dukungan bagi masing-masing pihak yang berkonflik daripada ajang berdialog dan momen untuk islah. Padahal tradisi islah cukup dikenal dalam tradisi NU. Proses islah dan keterlibatan para kyai khos sudah pernah terjadi. Masing-masing pihak yang berkonflik menyerukan bersedia islah dengan memberikan persyaratan yang tak mungkin dipenuhi kubu lawannya. Para kyai khos pun tak henti menyerukan islah, bahkan terlibat dalam upaya islah saat konflik antara kubu Alwi dan kubu Gusdur. Namun sikap Gusdur tak berubah setelah dialog dengan para kyai khos sehingga para kyai bahkan mulai menghindar untuk bertemu Gusdur sebagai tanda kekecewaan. Ujungnya, lahirnya PKNU sebagai bentuk kekecewaan para ulama NU atas berjalannya politik PKB.

Ketiadaan CRM dalam tubuh PKB membuat tidak adanya otoritas yang bisa dijadikan rujukan bagi penyelesaian perbedaan pendapat, maupun bagi pihak yang dirugikan oleh keputusan partai, sehingga pihak yang berkonflik masing-masing melakukan berbagai cara yang dianggap benar menurut penafsiran masing-masing. Ketiadaan CRM juga membuat potensi konflik tak bisa dicegah, dan konflik yang muncul tak bisa dilokalisir dan malah meluas hingga ke daerah. Hingga penyelesaian konflik harus menggunakan jalur hukum di luar mekanisme internal partai, yang tak begitu saja menyelesaikan masalah. Selain keputusan pengadilan berjenjang hingga ke tingkat Mahkamah Agung (MA) yang memakan waktu lama, juga putusan yang sering dianggap ambigu. Putusan MA seringkali ambigu sehingga membuat setiap kubu mengklaim merekalah yang menang. Sehingga tak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Masalah benar-benar selesai saat kubu lain memilih mundur dari konflik, keluar dari partai dan membentuk partai baru, seperti PKD-Matori, PKNU-Alwi, atau PKBN-yenny Wahid selepas wafatnya Gusdur.

DALAM TUBUH PKS, CRM diawali dari lingkup terkecil, yaitu halaqah. Halaqah tidak hanya sebagai ajang pembinaan kader, namun juga sekaligus sarana terdekat para kader menyelesaikan berbagai masalah seperti permasalahan personal, maupun terkait permasalahan antar kader, keluhan terhadap partai, dan lainnya. Dalam halaqah, seorang murabbi diharuskan mencari solusi, dan para mutarabbi juga membantu menyelesaikan masalah. Hal ini membuat potensi masalah tidak membesar dan bisa diredam sedari awal. Jika permasalahan tak bisa diselesaikan dalam halaqah, maka bisa dibawa ke struktural partai. Dalam struktural partai, terdapat Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) yang menjadi badan peradilan bagi permasalahan kedisiplinan kader dalam menjalankan kebijakan partai. Selain BPDO, terdapat juga Dewan Syariah, yang sebelum adanya BPDO juga menangani hal yang sama, dan kini lebih fokus pada pelanggaran terhadap syariat islam, baik masalah personal, antar kader maupun struktural. Dewan Syariah, tidak hanya memberikan fatwa terhadap kebijakan yang diambil partai, namun juga memberikan keputusan bagi permasalahan dalam tubuh partai. Kasus-kasus yang pernah ditangani Dewan Syariah seperti kasus Syamsul Balda, dan Yusuf Supendi. Bahkan Yusuf Supendi yang notabene adalah wakil ketua Dewan Syariah, tidak luput dari sanksi jika terbukti ada pelanggaran. Kasus lain yang ditangani baik oleh Dewan Syariah maupun BPDO juga terjadi di daerah, seperti kasus Saleh Matapermana yang maju menjadi calon wakil walikota Depok pada Pilkada 2005 padahal keputusan partai mendukung Nur Mahmudi Ismail. Begitupun kasus Alwi Sahlan yang maju pada pilkada Kalimantan Selatan padahal keputusan partai mendukung calon lain. Alwi Sahlan yang merasa sebagai tokoh senior dan berjasa bagi PKS di Kalimantan Selatan tidak serta merta diuntungkan dalam kasus tersebut.

Bila potensi konflik berasal dari kebijakan partai, seperti kasus dukungan terhadap calon presiden, maupun keputusan partai untuk keluar atau tetap dalam koalisi, seperti sudah diceritakan di bagian atas, menjadi domain Majelis Syuro. Dan keputusan Majelis Syuro tak serta merta tunduk pada keinginan orang per orang seperti telah diceritakan di bagian atas. Bahkan Hilmi Aminudin selaku Ketua Majelis Syuro dan generasi pertama komunitas tarbiyah, atau Anis Matta yang dekat dengan Hilmi dan menjadi Sekjen selama beberapa periode, serta desakan kader dan publik untuk keluar koalisi saat kasus yang menimpa Luthfi Hasan Ishaq, tak mampu mempengaruhi hasil musyawarah Majelis Syuro.

Kunci dari CRM dalam tubuh PKS adalah adanya perangkat yang berfungsi dengan baik dalam melindungi kader maupun partai dari ancaman konflik, dari tingkat terkecil hingga tertinggi. Selain itu, adanya proses investigasi dan tabayun dari pihak yang terkait dengan permasalahan, membuat kader merasa diperlakukan dengan adil, dan cenderung menerima hasil dari keputusan partai.


SISTEM KADERISASI YANG SISTEMATIS

KADERISASI partai yang sistematis bisa menjamin sinkronisasi pemahaman kader terhadap aturan main partai, memunculkan loyalitas kepada kepentingan partai, dan jaminan bahwa karir politik kader bergantung dengan hasil kaderisasi yang telah dijalani (meritokrasi), bukan dari faktor yang lain. Namun, hal ini tak sepenuhnya terlihat di PKB. Sebelum tahun 2008 dalam AD/ART partai sebagai aturan tertinggi, tak disebut mengenai kaderisasi, barulah setelah itu muncul disebutkan. Walaupun dalam dokumen-dokumen lain dimunculkan mengenai pentingnya kaderisasi dalam partai, dan tahapannya seperti adanya Pelatihan Tingkat Dasar (PTD), Pelatihan Tingkat Lanjut (PTL), dan Pelatihan Tingkat Tinggi (PTT). Namun karena ketidakjelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab, seperti apa, dan lainnya, sehingga sistem kaderisasi kerap tidak berjalan.

Pada awalnya berdirinya, PKB yang merupakan saluran politik warga NU dan belum memiliki sistem kaderisasi yang matang, rekrutmen pengurus partai maupun jabatan publik, sangat bergantung dengan keberadaan organisasi NU sebagai penghasil kader. Dari jalur NU dapat terlihat dua jalur, pertama jalur kederisasi dimana seorang warga NU sudah sejak belia aktif dalam sayap organisasi NU seperti Ikatan Pelajar NU (IPNU), kemudian Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berlanjut ke Anshor, lalu ke NU. Jalur kedua berasal dari jalur kultural, yaitu orang-orang yang direkomendasikan oleh para kyai NU, baik berasal dari keturunannya, kerabat, maupun kolega. Namun, fenomena ini terus berlanjut hingga kini. Diantara problemnya karena kekurangan dana, bergantung dengan NU misalnya memanfaatkan kegiatan NU atau mengandalkan kyai NU. Sedangkan para tokoh dan kyai NU walau melakukan kaderisasi secara personal dan kultural, namun sangat terbatas baik cakupan, kemampuannya, apalagi hanya mengandalkan tafsiran pribadi mengenai arah kebijakan partai.

Ketidakmandirian PKB dalam kaderisasi ini berakibat serius bagi munculnya konflik. PKB terjebak dalam budaya oligarki. Seseorang bisa masuk partai kapan saja tanpa latar belakang kaderisasi, hanya karena mendapat persetujuan atau dekat dengan pengurus partai, atau karena direkomendasikan oleh kyai yang berpengaruh di wilayahnya. Sehingga loyalitas kader semacam itu, bercabang dua antara ke partai dengan ke tokoh/kyai yang berjasa membawanya masuk partai. Loyalitas ganda ini semakin menambah runyam saat konflik muncul, karena loyalitas pada tokoh, bukan pada aturan main partai, membuat pengkutuban kepada faksi-faksi yang berkonflik kian kentara. Sedangkan bagi kader lain yang bukan berasal dari kedekatan dengan tokoh, ia tidak ada jaminan terkait keberlangsungan karir politiknya dalam partai walaupun memiliki kinerja yang bagus, sehingga mau tidak mau, pada satu titik harus mencari perlindungan dengan merapat kepada kubu yang berkonflik.

SEDANGKAN PKS, mencurahkan perhatian yang baik pada sistem kaderisasi. Ini juga menandakan bahwa PKS sebagai partai kader, bukan omong kosong. Bagi PKS, sistem kaderisasi merupakan kewajiban yang muncuk karena ideologi yang dianut. Sistem kaderisasi tidak hanya tertulis dengan jelas dalam AD/ART, namun juga dilaksanakan, di bawah pengawasan Departemen Kaderisasi di tiap tingkatan kepengurusan. Tiap kader wajib mengikuti halaqah yang menjadi pertemuan rutin dalam rangka penguatan ideologi, dan keorganisasian partai. Tiap kader memiliki jenjang kaderisasi tergantung sejauh mana aktivitasnya dalam kaderisasi, dimulai dari kader pemula, muda, madya, dewasa, ahli, hingga inti. Ditambah adanya keanggotaan bagi kader kehormatan yang proses seleksinya juga juga terlembagakan dengan prosedur yang diatur. Jenjang kaderisasi ini akan menentukan level tanggung jawab kader dalam mengemban posisi di internal partai. Misalnya, anggota majelis syuro termasuk pengurus pusat hanya berhak diisi oleh kader ahli dengan minimal sekian tahun di jenjang tersebut. Kader lain pun memiliki kesempatan untuk memilih beberapa posisi dari mulai tingkat terendah untuk jabatan pengurus tingkat ranting dan seterusnya hingga anggota majelis syuro. Sehingga posisi dalam kepengurusan tidak hanya karena ada like or dislike dari elite partai, namun juga ditentukan oleh kader.

Dengan sistem kaderisasi yang sistematis dalam tubuh PKS, maka baik ideologi maupun aturan main partai, dapat terdistribusi dan menyebar di kalangan kader. Hal ini meminimalisir munculnya konflik, termasuk meminimalisir potensi elite partai yang menggunakan pengaruhnya untuk mengambil keuntungan pribadi. Sistem rekrutmen untuk pengurusan dan jabatan publik yang mendasarkan pada hasil kaderisasi, juga membuat kepercayaan pada sistem ini. Sekaligus membuat asas keadilan bagi setiap kader berdasarkan kinerjanya, bukan sekedar like or dislike, atau monopoli elite tertentu. Ini menandakan pula meritoktasi dalam tubuh PKS. Saat kader merasa diperlakukan secara adil, membuat potensi konflik yang muncul dari kader bisa diminimalisir.

Namun demikian, meski sistem kaderisasi yang sistematis berperan penting dalam menjaga soliditas partai, dan menjadi modal utama dalam rekruitmen, namun hasil pemilu tetap stagnan. Sehingga muncul keanggotaan kehormatan untuk merekrut tokoh di luar partai. Walau PKS tidak latah mengajukan tokoh populer seperti artis untuk mengeruk suara, namun langkah PKS merekrut tokoh di luar partai bisa membuat kader tersaingi. Meski demikian, proses rekrutmen keanggotaan kehormatan memiliki prosedur dan terukur serta terbuka untuk dievaluasi dalam sistem internal partai, sehingga sejauh ini belum secara luas menimbulkan keluhan dari kader dan menyebabkan perpecahan.


KOMITMEN TERHADAP IDEOLOGI

PKB melandaskan diri pada ideologi kebangsaan yang berlandaskan Islam ahlussunnah wal jamaah (atau sunni atau aswaja). Aswaja versi PKB sangat lekat dengan NU dimana sedikit berbeda dengan definisi sunni secara umum. Aswaja lebih menitikberatkan pada pengakuan terhadap empat imam mazhab, terutama mazhab Syafi’i yang dianut NU dalam fikih. Sedangkan dalam akidah, menyandarkan pada ajaran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturudi, dan dalam tarekat menyandarkan pada ajaran Imam Ghazali dan Abu Qasim Junaid. Dari ajaran aswaja inilah, yang mengarahkan PKB dalam berpolitik, yaitu sikap moderasi yang menjunjung ajaran damai daripada ekstrimisme, penghormatan atas pluralisme yaitu penerimaan terhadap konteks sosial budaya masyarakat Indonesia, dan prioritas pada stabilitas politik.

Sayangnya, ideologi partai hanya berfungsi dalam mengarahkan partai pada masalah eksternal seperti dalam perumusan kebijakan. Walupun menurut beberapa pengurus, sulit membedakan antara ideologi PKB dengan partai islam lain, karena penerimaan nasionalisme dan kebangsaan menjadi sesuatu yang umum dalam partai islam di Indonesia. Sedangkan dalam aktivitas internal partai, ideologi partai kurang berpengaruh untuk membentuk identitas internal partai dan mengatur kode etik dan rasa kebersamaan dalam partai. Terlihat dari ketiadaan sistem kaderisasi yang sistematis yang sudah dijelaskan di bagian atas. Hal ini dikarenakan tidak seriusnya partai melakukan upaya yang sistematis untuk menanamkan ideologi partai secara internal. Pengurus beranggapan, kader merupakan warga NU sehingga seharusnya sudah memiliki pemahaman terhadap ideologi yang sama. Padahal aktivitas politik PKB tentu berbeda dengan aktivitas keagamaan mapun sosial budaya dari NU. Praktis peran untuk menginternalisasi ideologi partai ke dalam diri kader, bergantung kepada para tokoh dan kyai. Cara ini memiliki kelemahan karena ketidaksamaan pemahaman terhadap ideologi partai maupun kebijakan politik partai, juga keterbatasan jangkauannya. Apalagi, ketergantungan yang besar pada peran tokoh atau kyai membuat loyalitas ganda bagi para kader, sehingga rawan muncul konflik. Dan terbukti loyalitas ganda ini membuat konflik semakin membesar karena kader menyandarkan penilaian baik dan buruk bergantung kepada tokoh/kyai yang dijadikan panutan, sedangkan para tokoh/kyai menafsirkan ideologi partai secara bebas sesuai pemahaman masing-masing. Jika ideologi partai begitu kabur dalam pelaksanaannya, membuat nilai partai menjadi tak lagi relevan. Setiap kader bisa berpindah kubu bergantung kemana arah angin bertiup, termasuk juga memilih keluar masuk partai, bahkan membentuk partai baru, karena PKB tak lagi dianggap penting.

PKS yang menyebut dirinya sebagai partai dakwah, secara formal menggariskan nilai dakwah dalam aturan partai. Bahkan partai sendiri merupakan perwujudan dari upaya dakwah. Ideologi dakwah islam khas PKS sangat dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin. PKS meyakini syumuliyatul islam atau gagasan islam yang universal dan komprehensif mengatur semua urusan kehidupan, termasuk dalam berpartai dan berpolitik. Kekhasan lainnya adalah pentahapan (gradualitas) dalam upaya perbaikan, dimulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat, negara, hingga seluruh alam. Konsekuensi dari ideologi tersebut, dilaksanakannya dakwah dan perbaikan sejak dari individu kader, keluarga, termasuk dalam berorganisasi secara internal dalam partai, dan pastinya terkait dengan sikap politik PKS dengan kondisi eksternalnya. Pandangan tentang partai dakwah ini juga membuat partai bukan hanya sebagai organisasi formal biasa, namun juga menjelma sebagai sebuah jamaah dakwah. Sehingga aktivitas partai tidak hanya semata aktivitas organisasi atau aktivitas politik, melainkan aktivitas dakwah, didasari dan berorientasi dakwah.

Internalisasi ideologi dalam tubuh PKS tidak hanya secara formal tertulis dalam aturan partai, namun juga dilaksanakan dalam bentuk pembinaan kepada kader melalui tahapan kaderisasi (terutama dengan halaqah) seperti yang sudah dijelaskan di bagian atas. Sistem kaderisasi yang sistematis, terkontrol, dan terdistribusi dengan baik kepada kader, membuat setiap kader memiliki kesamaan cara pandang dalam aktivitas internal partai. Sehingga partai bukan saja organisasi biasa yang bisa dipertukarkan, namun menjadi wadah idealisme kelompok. Seorang kader lebih memprioritaskan kepentingan partai daripada kepentingan pribadinya. Maka perebutan jabatan baik kepengurusan internal partai maupun jabatan publik, menjadi hal yang tabu dalam tubuh PKS. Bahkan kader dengan rela mundur dari partai bila melakukan aktivitas yang bisa mencoreng citra partai. Hal-hal tersebut, menandakan hasil proses internalisasi ideologi yang berhasil. Sehingga, bahkan para elite tidak akan mudah mencari keuntungan pribadi dari tafsiran pribadi terhadap ideologi partai karena para kader sudah memahami baik ideologi maupun aturan main dalam partai.

Dalam perjalanannya, sistem kaderisasi yang sistematis ala PKS pun tak menjamin keseragaman mutlak dalam keseluruhan aktivitas politik PKS, karena situasi dan kondisi dinamika eksternal partai yang tidak dengan mudah ditafsirkan begitu saja baik buruknya. Hal ini menimbulkan perbedaan pandangan dalam tubuh partai, dan menurut beberapa pengamat, hingga memunculkan adanya faksi-faksi. Walau demikian, pemahaman yang baik dari para kader hasil pembinaan dalam sistem kaderisasi, mengenai garis ideologi dan tata aturan partai, membuat apapun keputusan partai, selama sudah melewati proses pengambilan keputusan yang sesuai aturan, pasti akan ditaati. Setelah munculnya keputusan partai tentang suatu hal, pendapat pribadi menjadi tidak lagi relevan dan tak berguna bagi penggalangan kelompok-kelompok sempalan misalnya. Sehingga, soliditas partai relatif terjaga. Walaupun harus diakui, tak sepenuhnya menjamin soliditas, karena terdapat pula fenomena keluarnya kader dari partai, dengan berbagai penyebab.


TANTANGAN KE DEPAN

PERPECAHAN dalam tubuh PKB selama tiga kali begitu menguras energi, sehingga banyak problem internal yang belum serius digarap, seperti menciptakan sistem kaderisasi dan bagaimana menginternalisasikan ideologi partai ke dalam aktivitas internal partai termasuk para kader. Setelah melewati perpecahan dan berhasil menjaga soliditasnya dan meraih suara yang kembali naik di pemilu 2014. Pengurus harus mulai fokus melakukan pembenahan pada internal partai agar partai tidak bergantung pada figur tertentu. Jika tidak, bukan tidak mungkin perpecahan bisa kembali muncul. Walau demikian, PKB tidak bisa lepas dari peran ulama dan warga NU sebagai basisnya. Karena kelahiran PKB merupakan aspirasi warga NU. Menjauh dari ulama dan warga NU merupakan sikap yang ahistoris, dan juga kerugian elektoral bagi PKB, dimana tak semua partai memiliki potensi basis massa sebesar NU. PKB perlu mencari sintesa terbaik bagi peran ulama dan kaitannya dengan modernisasi partai. Agar kehadiran Ulama bukan malah menimbukkan konflik seperti yang pernah terjadi, namun menjadi nilai tambah dan justru menjadi perekat dan daya dorong bagi kemajuan PKB baik secara internal maupun eksternal.

SEDANGKAN BAGI PKS, Soliditas PKS juga bukan sepi dari kritik. Misalnya tentang adanya faksi-faksi dalam tubuh PKS, termasuk munculnya kelompok seperti FKP. Atau tentang sikap taat kader kepada pimpinan partai yang dinilai mereduksi sikap kritis para kader. Tentu hal-hal tersebut masih dalam perdebatan, misalnya tentang adanya faksi-faksi seperti sudah dijelaskan di bagian atas. Mengenai kurangnya sikap kritis kader, apakah benar demikian, karena sebagian besar kader berasal dari kalangan terdidik, dan keputusan partai, sejauh yang sudah dijelaskan di bagian atas, sudah melalui mekanisme partai. Namun kasus dan kritik yang muncul, juga membuktikan bahwa sistem yang dibangun belumlah sempurna, terlebih seiring berjalannya waktu, sistem tersebut harus terus dibuktikan. Misalnya, kepengurusan baru PKS disinyalir merupakan respon dari menguatnya faksi keadilan atau kelompok yang masih menjunjung idealisme dakwah dibanding oportunisme politik. Kepengurusan baru juga konon bisa mengembalikan tokoh yang selama ini kritis dan terpental keluar partai, seperti dari FKP. Namun, kepengurusan baru juga mengalami problem dengan munculnya kasus Fahri Hamzah yang sampai dibawa ke mekanisme di luar partai. Tantangan lain bagi PKS adalah mencari strategi bagaimana kepemimpinan kolektif yang mampu melahirkan soliditas, juga mampu mendongkrak perolehan suara. Karena banyak kritik terkait mandeknya suara PKS dalam pemilu karena ketiadaan figur yang bisa menjadi penarik suara yang signifikan secara nasional, bukan hanya populer di mata kader namun juga populer di mata publik secara umum sebagai pemilih. Bagaimanapun, soliditas PKS bisa jadi modal berharga, tinggal mengatur strategi yang tepat agar modal soliditas tersebut bisa ditransformasi menjadi kenaikan suara secara signifikan.□



Keterangan Buku
Judul: Perpecahan dan Soliditas Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi
Penulis: Firman Noor
Penerbitan: LIPI Press, 2015
Halaman: xvi + 572 halaman

Sumber:
https://pijarkecillibrary.wordpress.com/2017/05/16/perpecahan-dan-soliditas-partai-islam-studi-kasus-pkb-dan-pks-sebuah-resensi-buku/?preview=true□□