Saturday, November 11, 2017

Orientalis dan Diabolisme Pemikiran





Pendahuluan [1]

B
agi yang mengikuti isu pemikiran Islam, sudah bukan rahasia bahwa diskursus pemikiran Islam semakin ramai dengan adanya kajian-kajian yang dilakukan orang Barat terhadap keislaman. Inilah yang dinamakan orientalisme. Kajian orientalisme ini biasanya menawarkan “metode baru” dalam studi Islam yang dianggap “membongkar kekakuan” dalam tradisi intelektual Islam dari masa lampau. Dikembangkanlah kajian Islam dengan wawasan pluralisme agama versi John Hick/W.C. Smith, penggunaan hermeneutika sebagai tafsir Al-Qur’an, serta “inovasi-inovasi” lainnya.

Beragam “inovasi” tersebut diimpor dari Barat ke Indonesia lewat orang-orang yang biasa disebut “cendekiawan Muslim” yang rata-rata lulusan Universitas di Amerika, Kanada, dsb. “Cendekiawan Muslim” tersebut kemudian menyebarkan idenya lewat berbagai sarana seperti koran, televisi, jurnal ilmiah, dan berbagai sarana lainnya. Namun demikian, tidak banyak yang sadar tentang bahaya pemikiran impor tersebut. Kita terlanjur silau dan bersikap tidak kritis terhadap segala sesuatu yang baru dan berasal dari Barat (everything new and everything western).

Lewat bukunya, Dr. Syamsuddin Arif menghimpun artikel-artikel yang sudah ditulisnya di berbagai kesempatan untuk memperlihatkan kita serba-serbi diskursus pemikiran Islam yang ada dari dulu hingga sekarang. Penulisnya yang merupakan alumni S3 ISTAC Malaysia sekaligus Johann Wolfgang Goethe Universitat Frankfurt Jerman membuat buku ini semakin istimewa, karena menawarkan cara pandang yang kritis terhadap Barat meskipun pernah berkuliah di sana.

Kumpulan artikel pada buku ini terdiri dari empat bagian. Pada bagian pertama, pembaca akan disuguhi dengan serba-serbi orientalis beserta kajiannya terhadap keislaman baik dari segi motivasi, metodologi, publikasi, hingga ke miskonsepsi yang ditawarkan dari kesimpulan para orientalis tersebut.

Pada bagian kedua, tantangan ideologi global seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan feminisme serta tanggapan Islam terhadap isu tersebut disuguhkan. Dua bagian ini membuat pembaca seakan melakukan safari pemikiran Islam sekaligus Barat dalam waktu yang singkat.

Setelah melakukan pemanasan berupa safari pemikiran pada bagian pertama dan kedua, barulah pada bagian ketiga dan keempat pembaca disuguhkan artikel yang lebih bersifat akademis. Pada bagian tiga, pembaca akan diajak mengikuti wacana-wacana mutakhir pemikiran Islam seperti hermeneutika dan misinterpretasi ayat-ayat yang diklaim sebagai dasar pluralisme agama dalam Islam.

Pembaca akan melihat kritik-kritik yang lebih mendasar terkait isu-isu keislaman mutakhir. Barulah, bagian terakhir artikel ini membahas beberapa contoh khazanah intelektual Islam seperti pemikiran Ibn Arabi dan Ibn Sina, gerakan sufisme, sains di dunia Islam, dan sebagainya. Terakhir, pada bagian penutup disajikan wawancara dengan beliau mengenai studi Islam di Barat.


Ulasan dan Kritik [2]

P
enulis buku Orientalis & Diabolisme Pemikiran ini  mengkritik para orientalis yang ‘senang’ mempertanyakan otentisitas Al-Qur’an. Penulis misalnya menyatakan, “Orientalis, semacam Jeffery, Wansbrough, bertolak dari asumsi yang keliru, menganggap al-Qur’an sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio.

Dengan asumsi yang keliru ini (yakni, memperlakukan Al-Qur’an sebagai karya tulis; taking “The Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bible, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.

Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur’an sebagai karya sejarah (historical product), sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke-7 dan 8 Masehi.” Sebelumnya beliau menjelaskan bahwa Al-Qur’an pada dasarnya bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuan Al-Qur’an maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ Al-Qur’an adalah ‘membaca dari ingatan’ (qara’a ‘an zhahri qalbin atau to recite from memory). Tulisan hanya merupakan penunjang.

Buku Orientalis & Diabolisme Pemikiran ini menyajikan pembahasan yang sistematis. Pertama diuraikan gambaran umum tentang bagaimana posisi orientalis terhadap kajian keislaman, mencakup Al-Quran, hadits Nabi saw, teologi Islam, serta sufisme.

Pembahasan berikutnya mencakup tantangan ideologi global, khususnya Indonesia, seperti liberalisme, pluralisme agama, sekuralisme, feminisme dan isu gender, legitimasi fatwa MUI, rasisme, dan tirani di balik seni. Wacana keislaman mutakhir juga dijelaskan secara gamblang di bab selanjutnya, menjelaskan "senjata" kaum orientalis dalam menghancurkan Islam dan pada bab terakhir, penulis meluruskan statement negatif tentang sebagian ulama seperti Ibnu Arabi dan Ibnu Sina, juga memberikan amunisi bagi pembaca untuk mempertahankan kesehatan logika.

Dengan penguasaannya terhadap berbagai bahasa seperti Arab, Inggris, Greek, Latin, Jerman, Prancis, Hebrew dan Syriac serta pengalaman studi Ph.D. ke-2 beliau di Orientalisches Seminar, Johann Wolfgang Goethe Universitat Frankfurt, Jerman, maka keilmiahan dan obyektifitas buku ini tak perlu diragukan lagi.

“Suatu karya yang tidak dapat lahir kecuali dari seseorang yang memiliki framework yang jelas. Pendekatannya mengesankan seperti anti-Barat dan antikemapanan, padahal ini adalah upaya riil untuk berubah dan mengubah diri dari kondisi yang selama ini terhegemoni oleh framework dan worldview orientalis dan Barat.” □ AFM


Sumber Penulisan:
[1] https://jurisarrozy.wordpress.com/category/budaya-membaca/
[2]http://hanyamenjualbuku.blogspot.com/2015/04/orientalisme-diabolisme-pemikiran.html□□