Pengantar
Seorang
pemimpin, bukan cari pencitraan, tapi sibuk membuktikan bahwa memang ia bekerja
- sesuai dengan amanah dan moral serta integritas yang mumpuni.
M
|
Manajemen adalah
seni menyelesaikan pekerjaan melalui petugas sesuai dengan organisasi yang ada.
Jadi seorang Kepala Pemerintahan Daerah adalah sebagai manajer yang bertugas
mengatur dan mengarahkan staf dan organisasinya untuk mencapai tujuan (kesejahteraan
rakyat).
Adminiatrasi
Pemerintahan bertugas menjalankan perangkat manajemen yang ada seperti perencanaan,
pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai
sasaran secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai
sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada
dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Karena
proses mendapatkan jabatan kepala (dan wakilnya) pemerintah melalui proses politik, sering kali mendapat
kritik dan tekanan baik dari stake holder
(rakyat) atau para politisi yang lain. Dari politisi ini biasanya lemparan
kritikan dari yang kalah dalam pemilihan dan tekanan dari atasan dengan
berbagai motif.
Untuk
itu blog ini menayangkan tulisan dari pengamat politik, dalam hal ini mengamati
kerja dan kinerja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, mari ikuti tulisannya. □
AFM
ANIES DITEKAN, ANIES MELAWAN
Oleh: Tony Rosyid
D
|
Dimanapun
negara, pasti berat bila berseberangan dengan penguasa dan taipan. Berani
dikit, posisi bisa dilengserkan. Apalagi kalau salah kelola anggaran, atau main
perempuan. Tak jarang ada yang dibiarkan jadi "sandra" atau malah
"tahanan". Kadang-kadang tanpa proses persidangan. Alasannya, makar
dan negara terancam. "Klise". Apalagi kalau bawa-bawa istilah anti Pancasila
dan anti Kebhinekaan, makin sempurnalah sebuah tuduhan.
Ketua-ketua partai dan para pimpinan daerah
seringkali tak luput dari bidikan. Sikap represif ini ada sejak zaman Orla,
Orba, dan sampai sekarang secara turun temurun diwariskan. Hanya beda kadar dan
ukuran. Ada yang sembunyi-sembunyi dengan beragam kemasan, ada pula yang
terang-terangan. Malah ada yang cenderung dipertontonkan.
Apakah
tindakan represif ini juga dirasakan Gubernur dan Wagub DKI, Anies Rasyid
Baswedan dan Sandiaga Shalahudin Uno?
Kabar yang banyak beredar, Anies juga sering
jadi target dan pernah ditekan. Anies takut? Semula memang banyak pihak
meragukan. Anies dianggap tak punya ketegasan, apalagi berada di bawah ancaman.
Lelaki yang dibesarkan di Jogja dengan tata krama dan sopan santun ala Jawa ini
tak punya wajah garang. Dibanding gubernur sebelumnya, tentu kalah seram. Vokal
suaranya tak lantang. Lebih nampak sebagai pemikir yang mengumbar senyuman.
Setelah Anies tutup Alexis, masyarakat mulai
bimbang: punya nyali juga rupanya. Tidak disangka, sikap pendiam rupanya
menghanyutkan. Sampai disini Anies mulai melakukan pembuktian. Orang belum
yakin sepenuhnya. Publik pun menunjukkan, di luar Alexis, ada Alexis-Alexis
lain yang harus diburu dan dibekukan. Publik berharap Anies-Sandi bisa
membuktikannya lagi. Jika tidak, maka publik akan bilang: itu cuma pencitraan.
Memang, sebagian
orang masih bilang: itu pencitraan. Terutama mereka yang belum bisa "move on" dari kekalahan. Ini biasa,
wajar dan harus dimaklumi. Dalam politik ada luka. Tidak setiap luka bisa cepat
untuk disembuhkan. Apalagi, setiap orang juga berbeda dalam membuat
ukuran kepercayaan. Mereka mesti dirangkul dan diberi pengertian.
Ditengah keraguan sebagian orang, Anies
kembali membuat kejutaan. Kali ini, giliran lahan R.S. Sumber Waras. BPK
mencatat, transaksi pembelian lahan ini terbukti merugikan. Negara kehilangan
191,33 milyar. Lumayan besar. Sempat Ahok dan sejumlah orang dipanggil KPK.
Habis itu, kasus seolah dilupakan. Jejaknya lenyap dari berita media. Publik
sempat curiga: ada kekuatan yang sedang mengendalikan. BPK tidak mungkin salah.
KPK
berdalih: tak ada niat jahat di kasus ini. Publik makin curiga. Bagaimana tidak
ada niat jahat, sementara pembayaran dilakukan secara cash. Ratusan milyar
cash? Aneh! Ada suatu keganjilan. Gegara kasus ini, Kredibiltas KPK mulai
dipertanyakan. Masyarakat bilang: KPK masuk perangkap permainan.
Untuk efektifitas
pencegahan dan pemberantasan korupsi, Anies membentuk KPK sendiri, KPK DKI.
Hanya mirip fungsi dengan KPK yang sudah ada, tapi beda wewenang. Bersama KPK
DKI yang baru ini, Anies minta Wagub menuntaskan kasus jual beli lahan Sumber
Waras. Harus tetap diusut dan dituntaskan. Bambang Widjajanto, mantan wakil
ketua KPK, dan Ogoeseno, bekas wakapolri ini bersama timnya mendapat tugas
untuk mendampingi. Dengan melibatkan tim hukum ini, Anies nampak punya
keseriusan dalam menangani permasalah korupsi di DKI.
Pihak
Sumber Waras diberi dua pilihan: kembalikan 191,33 milyar ke negara, atau jual
beli dibatalkan. Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) sebagai penjual lahan
berdalih: tak ada dasar untuk mengembalikan. Jika demikian, opsinya adalah
pembatalan.
Veronica Tan, istri Ahok yang diduga
terlibat, keburu mau diceraikan. Adakah hubungannya? Ahli hukum Djoko Edy
Abdurrahman, wasek LPBH PBNU sudah mulai mengkait-kaitkan. Tulisannya yang
viral di medsos (jika benar) berupaya membuat logika kausalitasnya. Sangat
"tidak etis" dibicarakan jika memang tidak ada kaitan. Tapi, posisi
Veronika Tan adalah ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah DKI saat itu. Oleh
KPK dianggap ikut terlibat dalam proses jual beli lahan R.S Sumber Waras.
Faktor ini yang mendorong orang lalu mengkait-kaitkan.
Kasus Sumber Waras sedang dalam proses untuk
diselesaikan, Anies lagi-lagi membuat kebijakan mengagetkan: Hak Guna Bangunan
(HGB) pulau reklamasi dibatalkan. Semua surat pengajuan ke BPN ditarik kembali.
Segala bentuk pembangunan dan kegiatan apapun harus dihentikan. Apa dasarnya? Prosedur
penerbitan HGB telah menabrak banyak aturan. Perda belum jadi, HGB sudah
diterbitkan. Khususnya pulau D, HGB terbit sehari setelah pengukuran. Pulau
seluas 483,6 ha diukur tanggal 23 agustus 2017, tanggal 24 sudah diterbitkan.
Ini sungguh keterlaluan.
Pembatalan HGB berlaku untuk semua pulau B, C,
D dan G. Publik tak menyangka Anies berani melakukan itu. Gila! Dengan begitu
Anies mesti siap-siap berhadapan dengan sejumlah taipan, termasuk Aguan.
Di mata publik, keberanian ini memberi
kredit poin kepada gubernur dan wagub baru ini. Pasalnya, nyali ini dibuktikan
berani berhadapan dengan taipan yang selama ini dicurigai menjadi bohir dibalik kekuasaan. Saat LBP
dikonfirmasi media, ia menjawab: itu hak gubernur Jakarta. Luhut tak segarang
sebelumnya.
Dirunut
dari sejarah awalnya, reklamasi adalah proyek lama. Pergub pertama dibuat oleh
gubernur Jokowi. Lalu dimulai pembangunan saat Ahok jadi gubernur menggantikan
Jokowi. Banyak protes, tapi tak digubris. Tangan-tangan kekuasaan diduga "back up" di belakang.
Saat Rizal Ramli diangkat jadi menko
maritim, moratorium dibuat. Kesimpulannya: banyak masalah dan berdampak besar
jika reklamasi diteruskan. Tak lama kemudian, sang menteri dipecat dan diganti
Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, moratorium dibatalkan. Dengan bersemangat menko
maritim yang baru ini bilang: reklamasi dilanjutkan.
Beberapa
hari sebelum Anies-Sandi dilantik, rancangan perda reklamasi sudah diajukan ke
DPRD. Saat itu, Djarot Saiful Hidayat gubernurnya. Salah seorang menteri pun
kabarnya memanggil Sandiaga Uno dan memberi ancaman. Sang menteri akan
mencari-cari kesalahan jika Sandi berani hentikan reklamasi. Sandi gentar?
Rupanya tidak.
Belum
sempat perda reklamasi itu disahkan, Anies-Sandi buru-buru menghentikan.
Keputusan diambil tak lama setelah pelantikan. Ancaman diabaikan. Sang menteri
tak berkutik dan diam. Memang, proses ini cukup dramatis dan menegangkan.
Sampai disini, rasanya tidak bijak jika ada
yang masih menyebut pencitraan. Beda pembuktian dengan pencitraan. Pencitraan itu cirinya: Pertama, ada kesan dibuat-buat dan
penuh kepura-puraan. Yang terlihat berbeda dari yang sebenarnya. Tak sama
antara panggung depan dengan panggung belakang. Berita media jauh beda dengan
kenyataan.
Kedua, ujung-ujungnya tidak
ada pembuktian. Karena itu bukan program, tapi branding dan jualan. Hanya sekedar untuk iklan dan magnet
mendatangkan pujian. Rakyat mesti peka: mana janji, mana bukti. Ini bisa jadi
alat ukur melihat pemimpin dan penguasa.
Ketiga, biasanya berkaitan
dengan hal-hal kecil, remeh temeh, dan sederhana. Blusukan, cara berpakaian,
tampil sederhana untuk iklan kebersahajaan. Atau sekedar marah-marah dan gebrak
meja. Semua hal tak penting yang kira-kira bisa jadi magnet perhatian. Itu
namanya pencitraan.
Banyak orang tertipu dan jadi korban pemimpin yang hanya sibuk membuat pencitraan. Di media bilang A, di lapangan melakukan B. Saatnya rakyat mesti dicerdaskan. Rasio dan bukti mesti diutamakan. Anies-Sandi punya tugas untuk itu.
Pembatalan
reklamasi adalah keputusan berisiko, apalagi sampai adu nyali lawan taipan,
bahkan kekuasaan. Hanya "orang gila" yang melakukan ini untuk
bermain-main dengan pencitraan.
Rupanya, Anies memang tidak bisa diancam. Semakin ia ditekan,
semakin ia melawan. Begitu pula dengan Sandi. Beginilah mestinya keberanian
seorang pemimpin, bukan cari pencitraan, tapi sibuk membuktikan. Soal ini,
Anies bisa jadi inspirasi dan panutan. [Jakarta, 10/1/2018]
Penutup
Demikianlah apa yang diuraikan oleh Tony
Rosyid seorang Pengamat Politik - Direktur Graha Insan Cendikia dan Ketua FASS
Jabodetabek. Dari penulisannya itu tampak sekali nilai Good Government yang patut ditegakkan
jika Indonesia benar-benar ingin maju dan kuat sebagaimana yang dicita-cita
para syuhada dalam merintis, memperjuangkan, sampai NKRI ini terwujud.
Mari kita pelihara NKRI dengan pemimpin yang sebenar-benar bekerja untuk mensejahterakan rakyat, bukan pemimpin pencitraan pencari keuntungan pribadi. Hal inilah yang diuraikan diatas oleh pengamat politik Tony Rosyid - penulis tajuk diatas.
Hanya dengan paradigma semacam itulah NKRI benar-benar dapat eksis sebagai negara yang berdaulat dan tegak diatas kaki sendiri yang tidak dapat diotak-atik oleh "negara luar" yang (ingin) telah menjarah kekayaan negara katulistiwa ini (tentunya) melalui (dan bekerja sama) "pencari keuntungan pribadi" dalam negeri, baca juga --klik---> Bangsa Yang Suram. Ever Onward, Never Retreat. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Mari kita pelihara NKRI dengan pemimpin yang sebenar-benar bekerja untuk mensejahterakan rakyat, bukan pemimpin pencitraan pencari keuntungan pribadi. Hal inilah yang diuraikan diatas oleh pengamat politik Tony Rosyid - penulis tajuk diatas.
Hanya dengan paradigma semacam itulah NKRI benar-benar dapat eksis sebagai negara yang berdaulat dan tegak diatas kaki sendiri yang tidak dapat diotak-atik oleh "negara luar" yang (ingin) telah menjarah kekayaan negara katulistiwa ini (tentunya) melalui (dan bekerja sama) "pencari keuntungan pribadi" dalam negeri, baca juga --klik---> Bangsa Yang Suram. Ever Onward, Never Retreat. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Sumber:
https://www.facebook.com/groups/1769077526725541/permalink/1784383018528325/□