Dari akun Saafroedin Bahar January 22, 2018 menuliskan, bahwa:
Secara pribadi saya merasa bahwa akar sistemik
dari gonjang ganjing politik di Indonesia ini ada dua:
1) Sistem
pemilu proporsional, yang menyatukan seluruh suara ke tingkat nasional;
2) Sistem
manajemen kepartaian yang bersifat oligarkik, sangat bergantung kepada putusan
seorang ketua umum. Bagaimana cara jalan keluarnya?
Menurut pendapat saya (sebaiknya):
1) Ubah
sistem pemilu proporsional menjadi sistem pemilu distrik, seperti disarankan
oleh Seminar TNI-AD tahun 1966;
2) Jadikan
desa - yang jumlahnya 80.000 - sebagai daerah pemilihan alamiah;
3) Pemilihan
Kepala Daerah dan Pemilihan Presiden dilakukan oleh DPRD/DPR/MPR secara
bertingkat. Rasanya sistem alternatif yang sederhana ini akan meniadakan
seluruh kelemahan sistem politik yang ada sekarang.
D
|
Demikianlah beliau mengaharapkan pemilu menjadi
adil dan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Kemudian calon pemimpin
berkualitas benar-benar tersaring dengan baik karena politik oligarkik dan juga
politik uang (money politic) yang
kenyataannya seperti itu. Bukan mana pemimpin yang mumpuni yang terpilih, tapi
pemimpin yang tidak mumpuni lolos dan menang karena “money politic” ini, itulah
kenyataan warga Indonesia akar rumput yang mayoritas yang masih miskin ini
berpemilu.
Beliau sebagai pengamat politik - memberikan
saran yang terbaik, untuk itu mengangkat tulisan yang sederhana ini sehubungan
dari mengatasi kemungkinan terjadinya “Sengketa
Pemilu” sebagaimana terjadi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah
Konstitusi (9 Juli 2014) antara Prabowo dan Jokowi. Dan dengan ini pula
mencegah adanya sistem manajemen kepartaian yang bersifat oligarkik yang sangat
bergantung kepada putusan seorang ketua umum. Kejadian ini telah beliau sampai
melalui Republika 4 tahun yang lalu. □ AFM
LAMPIRAN BERITA:
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik UGM, Brigjen
TNI (Purn). Saafroedin Bahar, menyatakan Indonesia sebaiknya mengubah sistem
Pemilu dari suara terbanyak ke distrik.
"Dengan sistem distrik, tidak akan ada permasalahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di MK," tutur Saafroedin pada Rabu (20/8) siang.
Saafroedin menyatakan hal ini saat menjadi narasumber dalam acara "Dialog Kenegaraan: Menanti Putusan MK (Sengketa Pemilu 9 Juli 2014)" di Gedung DPD RI, Jakarta.
Menurut Saafroeddin, sebaiknya sistem Pilpres mendatang menjadikan desa sebagai daerah pemilihan (dapil).
Pasalnya, menurut undang-undang, Desa mempunyai hak asal usul yang bersifat asli. Jika ini dapat dilakukan, maka akan ada 50 s/d 70 ribu dapil di seluruh Indonesia.
Sistem distrik ini, paparnya, bukan sekedar meniru sistem distrik di AS. Pasalnya, para pendiri negara tampak memiliki gagasan ke sistem distrik.
Artinya, pilpres dilaksanakan secara tidak langsung melalui perwakilan rakyat di MPR. Saat itu bernama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Seperti di Amerika Serikat (AS), tutur Saafroedin, PPKI saat itu berfungsi seperti "electoral college" di AS.
Mantan Komisioner Komnas HAM itu pun yakin indonesia akan lebih tenang dengan menggunakan sistem distrik daripada sistem suara terbanyak seperti sekarang.
Dalam sistem distrik, berlaku prinsip "the winner takes all", jadi tinggal menghitung capres mana yang perolehan suara distriknya paling besar.
"Hal ini juga lebih sesuai dengan struktur sosial-budaya masyarakat Indonesia. Saya sedih melihat perdebatam di sosial media akibat Pilpres dengan sistem suara terbanyak ini," papar Saafroedin.
Jika dibiarkan, perdebatan media sosial itu dapat saja memecah-belah bangsa Indonesia. "Kita semua prihatin dengan kondisi ini. Mungkin kedua calon tenang saja, tapi pendukungnya yang bergelora," jelas Saafroedin.
BIOGRAFI SAAFROEDIN BAHAR:
Brigjen TNI (Purn) Dr. Saafroedin Bahar, lahir di Padangpanjang,
Sumatera Barat, 10 Agustus 1937 adalah seorang intelektual TNI. Ia dikenal
sebagai ilmuwan sosial dan politik, pengajar, budayawan dan politisi.
Saafroedin pernah mengemban tugas sebagai Staf
Ahli Menteri Sekretaris Negara Bidang Politik, Anggota Fraksi ABRI di Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR RI), dan Asisten Menteri Sekretaris Negara Bidang
Persatuan dan Kesatuan Bangsa.
Saafroedin Bahar juga pernah beraktivitas
sebagai Komisioner Komhas HAM Bidang Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat,
serta menjadi Dosen Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. □□
Baca juga –klik---> Demokrasi Jalan Korupsi
Baca juga –klik---> Demokrasi Jalan Korupsi
Sumber:
http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/08/20/nalsfp-pengamat-ubah-sistem-pilpres-dari-suara-terbanyak-ke-distrik
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10046#.WmkJLzRG2Uk
https://id.wikipedia.org/wiki/Saafroedin_Bahar□□□