KATA PENGANTAR
Riwayat Tan Malaka ini menggugah untuk
dituliskan sajikan di blog ini. Lantaran ayah pernah menceritakan Tan Malaka
kepada saya dan 3 saudara lainnya termasuk ibu yang biasa dilakukan ketika waktu makan siang tahun
1960-an. Disamping banyak tema-tema cerita di hari-hari yang lainnya.
Ceritanya memakan waktu pendek, tapi orang tua
yang saya panggil Buya ini menceritakan sangat menarik, sistematis, sesuai
dengan bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Saya sadari ketika usia dewasa,
inilah rupanya yang dimaksud bagian dari pendidikan langsung orang tua kepada anak-anaknya - disamping
Madrasah 6 hari (3 jam perhari) sepekan selama lima tahun. Metode ini saya
pakai untuk anak-anak saya yang alhamdulillāh
semua berhasil tamat college dan pendidikan agamanya dari Madrasah IMAAM.
Begini ceritanya, ketika itu Tahun 40-an
tiba-tiba datanglah Tan Malaka ke rumah kami di kota Padang. Buya kenal dengan
beliau, karena beliau juga sebagai pejuang dan perintis kemerdekaan di samping salah seorang tokoh Muhammadiyah Sumatra Barat.
Apa pertanyaan Tan Malaka kepada beliau, “Angku
Marzoeki, kenapa agama melarang ‘berhubungan’ dengan perempuan dilarang,
padahal suka sama suka (tanpa melalui proses nikah).” Lantas jawaban beliau
singkat tapi jitu (Tan Malaka ini orangnya cerdas): “Anda berfikiran seperti
itu bagaimana agamamu (mengajarkannya). Seandainya pemikiran tersebut dijadikan
sistim, bagaimana kesudahan peradaban manusia selanjutnya. Anaknya tidak tahu
siapa bapaknya atau siapa ibunya. Kemudian, bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya,
pendidikannya, hubungan kejiwaan anak dan orang tua (karena diluar nikah). ‘Kedua
orang tua’ berlepas hukum sebagai peran orang tua terhadap anak sebagaimana diatur oleh Islam.”
Mendengarkan itu, berkatalah Tan Malaka, “Cukup Angku! Paham saya sekarang!”
Kemudian mengucapkan salam dan meninggalkan rumah kami.
Dalam hal ini menjadi pelajaran bagi saya, bahwa
tanpa agama bagaimana peradaban dunia-akhirat yang baik akan muncul? Kedua, Tan
Malaka beragama Islam sebagaimana orang Minang, walaupun partai politiknya
yang dianutnya bukan Islam, seperti Murba, Sosialis atau Komunis.
Boleh dibilang saya beruntung membaca buku-buku
Islam dan buku-buku “isme-isme” dan “agama-agama” termasuk “filsafat umum dan
Islam” dan “sejarah dunia dan sejarah Islam” serta astronomi - setelah
mengetaui itu semua - tetap berpandangan “tauhid Islam” dalam hablum minallāh dan hablum minanās.
Karena usia “teenegers”
sampai dewasa saya sudah membaca buku-buku, sejarah dan peradaban Islam
termasuk buku-buku orientalis tahun 50-an dan 60-an yang berpandangan objektif
tentang Islam, serta 20-an buku-buku Islam yang di susun orang tua. Penerbit dan toko buku Bulan Bintang serta
Gunung Agung-lah favorit sumber buku - waktu itu perpustakaan boleh dibilang
langka, kecuali perpustakaan LIA (Lembaga Indonesia Amerika) yang juga menjadi
anggotanya.
Selanjutnya, mari ikuti bahasan “Riwayat Tan
Malaka” sebagai berikut dibawah ini.
RIWAYAT TAN MALAKA
Oleh: A. Faisal Marzuki
“Siapakah
dia, tergantung kepada siapa dan lingkungan seperti apa dia berada, serta buku-buku
apa saja yang dibacanya - karena faktor-faktor itulah yang membentuk watak dan
alam pikirannya” [A. F. Marzuki]
T
|
an Malaka (2 Juni 1897
- 21 Februari 1949) adalah seorang guru, filsuf Indonesia, pendiri Persatuan
Perjuangan dan Partai Murba, gerilyawan
independen, pejuang Indonesia, dan pahlawan nasional Indonesia. Majalah
Tempo menganggapnya sebagai Bapak Republik Indonesia.
Biografi
Nama lengkap Tan
Malaka adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Nama aslinya adalah Ibrahim,
sedangkan Tan Malaka adalah nama semi-aristokrat yang berasal dari garis
keibuannya. Ia dilahirkan di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Limapuluh Koto,
Sumatra Barat, saat ini, meskipun tanggal kelahirannya tidak pasti. Orang
tuanya adalah, ayah, H. M. Rasad,
seorang karyawan pertanian, dan ibu, Rangkayo Sinah, seorang putri dari orang yang dihormati
di desa.
Sebagai seorang anak, Tan Malaka
belajar ilmu agama dan melatih pencak silat, sebagaimana kebiasaan pemuda
Minang pada saat itu. Pada tahun 1908 Tan Malaka bersekolah di Kweekschool
-
sekolah guru milik Hindia Belanda, di Fort de Kock (Bukittinggi). Menurut gurunya, G. H. Horensma, meskipun Tan Malaka kadang-kadang tidak patuh, ia adalah murid yang sangat baik. Di sekolah ini, Tan Malaka menikmati pelajaran bahasa Belanda, jadi Horensma
menyarankan agar ia menjadi guru Belanda. Dia juga pemain sepak bola yang
terampil. Dia lulus dari sekolah itu pada tahun 1913, dan setelah itu ditawari gelar Datuk dan mau dijodohkan. Namun, ia hanya menerima sebagai Datuk, gelar tersebut sah setelah upacara tradisional adat
berlangsung pada tahun 1913.
Pendidikan di Belanda
Meskipun Tan Malaka menjadi Datuk, ia meninggalkan desanya pada Oktober 1913 untuk
belajar di Rijkskweekschool, sebuah
sekolah pendidikan guru pemerintah Belanda yang didanai oleh paman dari desanya. Sesampainya di Belanda, Tan Malaka awalnya mengalami kejutan budaya
lingkungan barunya yang berbeda. Dia
juga, tidak
menghiraukan iklim Eropa Utara yang pakaiannya
tidak memenuhi syarat hidup di negara 4 musim, berbeda dengan iklim tropis dari mana ia
dilahirkan dan dibesaran. Akhirnya, terinfeksi
oleh radang selaput dada pada awal 1914, yang tidak sembuh sepenuhnya sampai
pada tahun 1915.
Selama di Eropa, minat pengetahuannya tentang “revolusi”
sebagai sarana transformasi - perubahan dalam memajukan - masyarakat mulai meningkat. Sumber inspirasi pertama
adalah “De
Fransche Revolutie” (Revolusi Prancis), Sebuah buku terjemahan dari bahasa Jerman ke bahasa Belanda yang dimengertinya dari buku yang dikarang oleh sejarawan Jerman, penulis, jurnalis dan politisi
sosial demokrat bernama Wilhelm
Blos tahun 1889. Buku tersebut membahas Revolusi
Perancis dan peristiwa bersejarah di Perancis dari 1789 hingga 1804. Buku ini diberikan Horensma kepada
Tan Malaka.
Setelah Revolusi Rusia
Oktober 1917, Tan Malaka menjadi semakin
tertarik pada komunisme dan sosialisme serta komunisme yang bertentangan dengan
sosialisme reformis. Dia sedang membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich
Engels, dan Vladimir Lenin.
Friedrich Nietzsche
juga merupakan salah satu model peran politik awalnya, dan mungkin telah
memberinya gagasan bahwa satu orang dapat melakukan tindakan besar jika dia
berani mengambil peran sebagai pahlawan. Nietzsche berpendapat bahwa yang
membuat seorang pahlawan (setidaknya dalam tragedi Yunani) adalah interaksi
antara sifat Apollonian dan Dionysian dalam diri manusia - antara perencanaan
logis yang jarak terkontrol,
terstruktur (Apollonian) dan euforia
(senang sangat) yang liar, adanya pengalaman (Dionysian).
Selama masa itu, sekitar 1917 - 1920, Tan Malaka sangat tidak menyukai budaya Belanda, malah
kagum dengan masyarakat Jerman dan
Amerika. Dia kemudian mendaftar untuk menjadi tentara Jerman, namun, ia
ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing. Di sana,
Malaka bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), cikal bakal Partai Komunis Indonesia atau PKI).
Tan Malaka
juga tertarik pada Sociaal-Democratische
Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Guru Sosial Demokrat). Pada bulan
November 1919, Tab Malaka
lulus dan menerima diploma untuk asisten guru. Menurut ayahnya, pada waktu itu
mereka berkomunikasi melalui sarana mistik yang disebut tariqat.
Kembali ke Hindia Belanda
Setelah lulus, Tan Malaka kembali ke desanya. Dia menerima tawaran oleh Dr.
C. W. Janssen untuk mengajar anak-anak pekerja-bawah perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli,
Sumatra Timur. Tan Malaka
pergi ke sana pada Desember 1919 dan mulai mengajar anak-anak Melayu pada
Januari 1920. Selain mengajar, ia juga melakukan propaganda subversif untuk para
pekerja bawahan ini yang dikenal sebagai ‘Deli Spoor’.
Selama periode ini ia
belajar tentang terjadinya kemunduran masyarakat adat. Dia juga membuat kontak
dengan ISDV dan menulis beberapa karya tulisannya untuk wartawan surat kabar. Salah satu karya awalnya adalah "Land of
Paupers" (Tanah Orang Miskin)
yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam kekayaan antara ‘kapitalis’
dan ‘pekerja’. Tulisan tersebut dimasukkan dalam edisi Het Vrije Woord pada bulan Maret 1920. Tan Malaka juga menulis tentang penderitaan para
pekerja kasar di koran Sumatera Post.
Dalam pemilihan Volksraad (Dewan atau Majelis
Rakyat - DPR) tahun 1920 ia adalah
kandidat partai biasa di sebut ‘sayap kiri’, karena memperjuangkan nasib
rakyat jelata. Kemudian
dia memutuskan untuk mengundurkan diri
pada 23 Februari 1921.
Bergabung sebentar dengan Partai Komunis
Indonesia
Tan Malaka
memilih pulau Jawa sebagai titik awal perjuangannya, mengingat ada banyak tokoh
yang memiliki pandangan yang sama dengannya. Ia tiba di Batavia ketika guru lamanya, Horensma,
menawarinya pekerjaan sebagai guru, namun Tan
Malaka menolaknya. Malaka mengatakan bahwa dia ingin mendirikan sekolah, oleh Horensma alasan
tersebut diterima bahkan mendukungnya.
Tan Malaka
tiba di Yogyakarta pada awal Maret 1921 dan tinggal di sebuah rumah milik
Sutopo, mantan pemimpin Budi Utomo. Di sana ia menulis proposal tentang sekolah
tata bahasa. Dia berpartisipasi dalam kongres ke-5 Sarekat Islam dan bertemu
H.O.S. Tjokroaminoto, Agus Salim, Darsono, dan Semaun. Kongres membahas topik
keanggotaan ganda. Agus Salim dan Abdul Muis melarang keanggotaan ganda, sementara Semaun dan Darsono adalah
anggota PKI. Tan Malaka menawarkan
solusi yang mengecualikan PKI,
karena kedua organisasi memiliki visi yang sama, namun larangan itu diterapkan pada akhirnya. Akhirnya
Sarekat Islam terpecah membentuk Sarekat Islam Putih (SI
Putih), dipimpin oleh Tjokroaminoto, dan Sarekat Islam Merah (SI Merah),
dipimpin oleh Semaun dan berpusat di Semarang.
Setelah kongres,
Malaka diminta oleh Semaun untuk pergi ke Semarang untuk bergabung dengan PKI.
Dia pergi ke Semarang dan kemudian menerimanya. Setiba di Semarang, Tan Malaka sakit. Sebulan kemudian, ia kembali sehat dan
berpartisipasi dalam pertemuan dengan sesama anggota Sarekat Islam (SI)
Semarang. Pertemuan itu menyimpulkan bahwa saingan ke sekolah pemerintah (Hindia
Belanda) diperlukan. Sekolah,
bernama Sekolah Sarekat Islam yang kemudian lebih dikenal sebagai Sekolah Tan
Malaka. Sekolah Sarekat Islam menyebar ke Bandung
dan Ternate, dibuka untuk pendaftaran pada 21 Juni 1921, sehari setelah
pertemuan.
Sebagai buku panduan
untuk sekolah-sekolah, Malaka menulis Sekolah Sarekat Islam Semarang dan
Onderwijs (Pendidikan). Pada
Juni 1921 Tan Malaka menjadi Ketua Serikat Pegawai Pertjitakan (Asosiasi Pekerja
Percetakan) dan menjabat sebagai Wakil Ketua
dan Bendahara Serikat Pegawai Pelikan Hindia (SPPH atau
Asosiasi Pekerja Minyak Hindia). Antara Mei dan Agustus buku pertamanya, Sovjet
(Soviet) atau Parlemen? Kemudian
serial tulisan tersebut ada dalam jurnal PKI “Soeara Ra'jat”. Karya yulis
Tan Malaka lainnya, termasuk artikel, diterbitkan dalam jurnal dan koran
PKI Sinar Hindia. Pada bulan Juni Tan Malaka adalah salah satu pemimpin Revolutionaire Vakcentrale (Pusat Perdagangan Revolusioner),
dan pada bulan
Agustus ia terpilih sebagai dewan editor jurnal SPPH ‘Soeara Tambang’.
Tan Malaka
kemudian menggantikan Semaun - yang meninggalkan Hindia Belanda (nama
Indonesia zaman Belanda) pada bulan Oktober, sebagai ketua PKI setelah kongres pada 24-25
Desember 1921 di Semarang. Sementara Semaun lebih berhati-hati, Malaka lebih
radikal. Tan Malaka juga
mempertahankan hubungan yang baik dengan Sarekat Islam.
Dengan sepak terjang Tan Malaka tersebut Pemerintah Hindia Belanda merasa terancam dan menangkapnya pada 13 Februari 1922 di Bandung ketika ia mengunjungi
sekolah. Dia pertama kali diasingkan ke Kupang namun, ia ingin diasingkan ke Belanda. Dia meninggalkan
Hindia Belanda pada bulan Maret dan tiba di Belanda pada 1 Mei.
Selama Pengasingan
Tan Malaka
bergabung dengan Partai Komunis Belanda (CPN) dan diangkat sebagai kandidat
ketiga partai untuk Tweede Kamer pada pemilihan umum tahun 1922 untuk
Perkebunan Jenderal Belanda. Ia
adalah orang pertama dari Hindia
Belanda (Indonesia
sekarang) yang pernah mencalonkan
diri untuk jabatan di Belanda. Ia sendiri
sebenarnya berharap tidak terpilih, karena di bawah sistem perwakilan proporsional yang
digunakan, dimana posisi
ketiganya dalam ‘tiket’
kepengurusan tersebut membuat pemilihannya
sangat tidak mungkin. Tujuan yang sebenarnya dalam pengasingannya itu adalah untuk mendapatkan kesempatan berbicara tentang bagaimana tindakan Belanda di Hindia Belanda (Indonesia),
dan berusaha untuk membujuk CPN untuk mendukung kemerdekaan tanah
jajahan Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Meskipun ia tidak memenangkan kursi, ia mendapat
dukungan kuat yang tak terduga.
Sebelum penghitungan
suara selesai, ia pergi ke Jerman. Di Berlin ia bertemu Darsono, seorang
komunis Indonesia yang terkait dengan Biro Komintern Eropa Barat, dan berusaha
bertemu dengan M. N. Roy. Tan Malaka
kemudian melanjutkan ke Moskwa, dan tiba pada Oktober 1922 untuk berpartisipasi
dalam Komite Eksekutif Komintern. Pada Kongres Dunia Keempat di Moskow, 1922, Tan Malaka mengusulkan agar komunisme dan Pan-Islamisme dapat
berkolaborasi, namun usulannya
ditolak. Pada Januari 1923 Tan Malaka
dan Semaun diangkat sebagai koresponden ‘Die Rote Gewerkschafts-Internationale’. Selama paruh pertama tahun itu, ia juga menulis untuk
jurnal-jurnal gerakan buruh Indonesia dan Belanda. Ia juga menjadi agen Biro
Timur Komintern ketika ia melaporkan pada sidang pleno ECCI pada Juni 1923.
Tan Malaka
pergi ke Kanton, tiba pada Desember 1923, dan mengedit jurnal bahasa Inggris “The Dawn”
untuk organisasi Pekerja Transportasi Pasifik.
Pada Agustus 1924, Tan Malaka meminta pemerintah Hindia Belanda untuk
mengizinkannya pulang karena sakit. Pemerintah menerima ini, tetapi dengan
ketentuan yang memberatkan yaitu Tan Malaka tidak kembali ke rumah.
Pada bulan Desember
1924, PKI mulai runtuh, karena ditekan oleh pemerintah Hindia
Belanda. Sebagai tanggapan, Malaka
menulis dengan
tema “Naar de Republiek Indonesia” (Menuju Republik Indonesia), yang diterbitkan di Kanton
pada bulan April 1925. Tulisan ini
menjelaskan situasi dunia, dimana negeri Belanda yang menderita krisis ekonomi,
dengan
itu Hindia Belanda (negara
jajahan Belanda) memiliki peluang untuk
melakukan revolusi oleh Gerakan Nasionalis dan PKI, sampai prediksinya antara Amerika Serikat dan Jepang siapa
yang "menang adu pedang" -
siapa di antara mereka yang lebih kuat di Pasifik."
Pada Juli 1925 Tan
Malaka pindah ke Manila, Filipina, karena lingkungannya mirip dengan Indonesia.
Malaka tiba di Manila pada 20 Juli. Di sana ia menjadi koresponden surat kabar
nasionalis “El Debate”, editornya adalah Francisco Varona. Publikasi karya-karya Tan Malaka, seperti edisi kedua “Naar de
Republiek Indonesia” (Desember
1925) dan Semangat Moeda (Young Spirit; 1926) boleh jadi didukung oleh Francisco Varona. Di sana Tan Malaka juga bertemu dengan tokoh-tokoh pejuang Filipina
a.l. Mariano de los Santos, José Abad
Santos, dan Crisanto Evangelista.
Di Indonesia, PKI
memutuskan untuk memberontak dalam waktu enam bulan setelah pertemuannya, yang
diadakan sekitar hari Natal
1925. Pemerintah Hindia Belanda mengetahui hal ini dan mengasingkan beberapa pemimpin
partai. Pada bulan Februari 1926, Alimin pergi ke Manila untuk meminta
persetujuan adanya revolusi dari Tan Malaka. Malaka akhirnya menolak strategi ini dan
menyatakan bahwa kondisi partai masih terlalu lemah dan belum memiliki kekuatan
untuk melakukan revolusi. Dia menggambarkan dalam otobiografinya rasa frustrasi
dengan ketidakmampuannya mendapatkan informasi tentang berbagai peristiwa di
Indonesia dari tempatnya di Filipina, dan kurangnya pengaruhnya terhadap
kepemimpinan PKI. Sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara, Tan Malaka
berpendapat bahwa ia memiliki wewenang untuk menolak rencana PKI, sebuah
pernyataan yang dalam retrospeksi, dibantah oleh mantan anggota PKI tertentu.
Selanjutnya Tan Malaka mengirim Alimin ke Singapura untuk menyampaikan
pandangannya dan memerintahkannya untuk mengatur pertemuan dadakan antara para
pemimpin. Melihat tidak ada kemajuan, Malaka pergi ke Singapura untuk bertemu
Alimin dan mengetahui bahwa Alimin dan Muso telah melakukan perjalanan ke
Moskow untuk mencari bantuan untuk melakukan pemberontakan. Di Singapura,
Malaka bertemu Subakat, pemimpin PKI lain, yang berbagi pandangannya. Mereka
memutuskan untuk menggagalkan rencana Muso dan Alimin. Selama periode ini Tan Malaka menulis “Massa Actie” (Aksi Massal), yang berisi pandangannya tentang Revolusi Indonesia dan gerakan nasionalis. Dalam buku ini
Malaka mengusulkan “Aslia” - federasi sosial antara negara-negara Asia Tenggara dan
Australia utara. Buku ini dimaksudkan untuk mendukung upayanya untuk
membalikkan arah PKI dan mendapatkan dukungan kader untuk berpihak kepadanya.
Perdjuangan, Kehidupan, dan Kematiannya.
Pada Desember 1926
Malaka pergi ke Bangkok, tempat ia mempelajari kekalahan PKI. Tan Malaka, bersama dengan Djamaludin Tamin dan Subakat,
mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) pada awal Juni 1927, menjauhkan
diri dari Komintern, dan dalam
manifesto partai baru, mengkritik PKI. Meskipun PARI memiliki keanggotaan kecil
di dalam negeri, PARI tidak pernah tumbuh menjadi organisasi besar; namun,
dengan PKI yang bergerak di bawah tanah, itu adalah satu-satunya organisasi di
akhir 1920-an yang secara terbuka menyerukan kemerdekaan segera bagi Indonesia.
Beberapa kader partai adalah Adam Malik, Chaerul Saleh, Mohammad Yamin, dan Iwa
Kusumantri. Tan Malaka kembali ke
Filipina pada Agustus 1927.
Belanda ingin mengusir
Tan
Malaka ke kamp konsentrasi Digul.
Kemudian, Tan Malaka ditangkap pada 12 Agustus 1927 dengan tuduhan
memasuki wilayah Filipina secara ilegal. San Jose Abad membantunya di
pengadilan, namun Tan Malaka
menerima vonis bahwa ia akan dideportasi ke Amoy (Xiamen), Cina. Polisi
Pemukiman Internasional Kulangsu (Gulangyu), yang diberitahu tentang perjalanan
Tan Malaka ke Amoy, menunggunya di pelabuhan dengan maksud menangkapnya untuk
diekstradisi ke Hindia Belanda. Tetapi ia berhasil melarikan diri, karena kapten dan kru kapal ber simpati dan
melindunginya. Selanjutnya
mempercayakan keselamatannya ke inspektur kapal. Inspektur kapal membawa Tan
Malaka ke sebuah wisma tamu dari tempat ia pergi ke desa Sionching dengan
kenalan-kenalan baru. Tan Malaka
kemudian melakukan perjalanan ke Shanghai pada akhir 1929. Poeze menulis bahwa Tan Malaka mungkin telah bertemu Alimin di sana pada Agustus
1931, dan membuat perjanjian dengannya bahwa Tan Malaka akan bekerja lagi untuk Komintern.
Tan Malaka
pindah ke Shanghai pada September 1932 setelah serangan yang dilakukan oleh
pasukan Jepang, dan memutuskan untuk pergi ke India, menyamar sebagai orang
Cina-Filipina dan menggunakan nama samaran. Ketika dia berada di Hong Kong pada
awal Oktober 1932, dia ditangkap oleh pejabat Inggris dari Singapura, dan
ditahan selama beberapa bulan. Dia berharap memiliki kesempatan untuk
memperdebatkan kasusnya di bawah hukum Inggris dan mungkin mencari suaka di Inggris,
tetapi setelah beberapa bulan diinterogasi sekanjutnya dipindahkan bagian penjara antara "Eropa" dan
"Cina", diputuskan bahwa dia hanya akan diasingkan dari Hong Kong
tanpa biaya. Dia kemudian dideportasi lagi ke Amoy.
Tan Malaka
melarikan diri lagi, dan melakukan perjalanan ke desa Iwe di selatan Cina. Di
sana ia dirawat dengan obat tradisional Tiongkok untuk penyakitnya. Setelah
kesehatannya membaik pada awal 1936, ia melakukan perjalanan kembali ke Amoy
dan membentuk Sekolah Bahasa Asing.
Abidin Kusno
berpendapat bahwa tinggal di Shanghai ini adalah periode penting dalam
membentuk tindakan Tan Malaka di kemudian hari selama revolusi Indonesia di
akhir 1940-an. Kota pelabuhan ini secara de jure berada di bawah kedaulatan Tiongkok tetapi didominasi pertama
oleh negara-negara Eropa dengan konsesi perdagangan di kota itu, dan kemudian
oleh Jepang setelah invasi September 1932. Penindasan terhadap orang Cina yang
dilihatnya di bawah kedua kekuatan ini, Kusno berpendapat, berkontribusi pada
posisinya yang tidak kenal kompromi melawan kolaborasi dengan Jepang atau
negosiasi dengan Belanda pada tahun 1940-an, ketika banyak kaum nasionalis Indonesia terkemuka mengadopsi sikap yang
lebih berdamai.
Pada Agustus 1937, dia
pergi ke Singapura dengan identitas Cina palsu dan menjadi guru. Setelah
Belanda menyerah ke Jepang, ia kembali ke Hindia Belanda (Indonesia)
melalui Penang. Dia kemudian berlayar ke Sumatra tiba di Batavia
(Jakarta) pada pertengahan 1942, di mana dia menulis buku
dengan tema “Madilog”- (materialisme,
dialektika, logika). Setelah
merasa harus memiliki pekerjaan, ia melamar ke Dinas Kesejahteraan Sosial dan
segera dikirim ke tambang batu bara di Bayah, di pantai selatan Jawa Barat.
Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, ia mulai bertemu dengan bangsanya sendiri dan generasi
yang lebih muda. Dia juga mulai menggunakan nama aslinya setelah 20 tahun
menggunakan alias. Dia kemudian melakukan perjalanan ke Jawa dan melihat
orang-orang Surabaya bertempur melawan tentara Inggris pada bulan November.
Tan Malaka
menyadari perbedaan perjuangan antara orang-orang di beberapa tempat dan para
pemimpin di Jakarta. Ia berpikiran bahwa para pemimpin terlalu lemah dalam negosiasi dengan
Belanda. Solusi Tan Malaka untuk memutuskan hubungan ini adalah dengan
mendirikan Persatuan Perjuangan (Front Perjuangan, atau United Action), sebuah koalisi dari sekitar 140 kelompok yang lebih
kecil, tidak termasuk PKI. Setelah beberapa bulan berdiskusi, koalisi secara
resmi didirikan di sebuah kongres di Surakarta (Solo) pada pertengahan Januari
1946. Koalisi ini mengadopsi "Program Minimum", yang menyatakan bahwa
hanya kemerdekaan penuh yang dapat diterima, bahwa pemerintah harus mematuhi
keinginan rakyat, dan bahwa perkebunan dan industri milik asing harus
dinasionalisasi.
Persatuan Perjuangan mendapat dukungan luas
dari rakyat, juga dukungan dalam tentara republik, di mana Jenderal Sudirman
adalah pendukung kuat koalisi yang dikelola Tan Malaka. Pada bulan Februari
1946, organisasi memaksa pengunduran diri sementara Perdana Menteri Sutan
Sjahrir, seorang pendukung negosiasi dengan Belanda, dan Sukarno berkonsultasi
dengan Tan Malaka untuk mencari dukungannya. Namun, Tan Malaka tampaknya tidak
dapat menjembatani perpecahan politik dalam koalisinya untuk (dan) mengubahnya menjadi pengontrol politik yang sebenarnya, dan Syahrir kembali untuk
memimpin kabinet Sukarno.
Setelah dibebaskan, ia
menghabiskan akhir 1948 di Yogyakarta, bekerja untuk membentuk partai politik
baru, yang disebut Partai Murba (Partai Proletar), tetapi ia tidak dapat mengulangi keberhasilan sebelumnya dalam
menarik pengikut. Ketika Belanda melakukan Agresi Pertama, merebut pemerintahan nasional pada bulan Desember 1948,
ia melarikan diri dari kota itu ke pedesaan Jawa Timur, tempat ia berharap akan
dilindungi oleh pasukan gerilya anti-republik. Dia mendirikan markasnya di
Blimbing, sebuah desa yang dikelilingi oleh sawah, dan menghubungkan dirinya
dengan Mayor Sabarudin, pemimpin Batalyon 38. Menurut Tan Malaka, Sabarudin adalah satu-satunya kelompok bersenjata
yang benar-benar memerangi Belanda. Namun, Sabarudin bertentangan dengan semua
kelompok bersenjata lainnya. Pada 17 Februari, para pemimpin TNI di Jawa Timur
memutuskan bahwa Sabarudin dan kawan-kawannya akan ditangkap dan dihukum
berdasarkan hukum militer.
Berikutnya, pada tanggal 19, mereka menangkap Tan Malaka di Blimbing.
Pada 20 Februari, Korps Tentara Belanda
yang terkenal Speciale Troepen (KST -
pasukan khusus tentara Belanda)
kebetulan memulai apa yang disebut "operasi Harimau" dari kota
Nganjuk, Jawa Timur. Mereka maju dengan cepat dan brutal. Poeze menjelaskan
secara rinci bagaimana para prajurit TNI melarikan diri ke gunung-gunung dan
bagaimana Tan Malaka, yang sudah terluka, berjalan ke sebuah pos TNI dan segera
dieksekusi pada 21 Februari 1949. Malaka ditembak dalam hukuman
mati di kaki gunung Wilis, Selopanggung, Kabupaten Kediri
setelah penangkapan dan penahanan di desa Patje. Menurut Poeze, tembakan itu
diperintahkan oleh Letnan Dua Sukotjo dari batalyon Sikatan, divisi Brawijaya.
Tidak ada laporan dibuat dan Malaka dimakamkan di hutan.
Pemikirannya
Tan Malaka berargumen
dengan kuat bahwa Komunisme
dan Islam sesuai, dan bahwa di Indonesia, revolusi harus dibangun di atas
keduanya. Karena itu, ia adalah pendukung kuat aliansi berkelanjutan PKI dengan
Sarekat Islam (SI), dan merasa terganggu ketika, ketika ia berada di
pengasingan, PKI memisahkan diri dari SI.
Pada skala
internasional, Tan Malaka juga melihat Islam memegang potensi untuk menyatukan
kelas pekerja sebagaimana telah berlaku di sebagian besar Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia
Selatan melawan imperialisme dan kapitalisme. Posisi yang
diyakini Tan Malaka itu menempatkannya (sebagai yang berlawanan) dalam oposisi terhadap banyak Komunis Eropa dan
kepemimpinan Komintern, yang melihat “kepercayaan agama” sebagai penghalang bagi revolusi proletar dan alat kelas
penguasa.
Politiknya
Malaka menggambarkan
pemikiran Nietzsche, Rousseau, dan Marx-Engels masing-masing sebagai tesis,
antitesis, dan sintesis; sementara ia menggambarkan pemikiran
Wilhelm-Hindenburg-Stinnes, Danton-Robespierre-Marat, dan kaum Bolshevik
masing-masing sebagai genesis, negasi, dan negasi negasi.
Pendidikannya
Menurut Harry A.
Poeze, Tan
Malaka berasumsi bahwa pemerintah kolonial menggunakan
sistem pendidikan untuk menghasilkan masyarakat adat yang terdidik sebagai
alat yang kemudian akan diperalat untuk menekan rakyat mereka sendiri.
Untuk itu, Tan Malaka mendirikan Sekolah Sarekat Islam untuk menyaingi
sekolah-sekolah pemerintah (Hindia Belanda). Syaifudin menulis bahwa Tan Malaka memiliki empat metode pengajaran yang berbeda yang
masing-masing metode yaitu Dialog; “Jembatan Keledai”; Diskusi Kritis; dan Sosiodrama.
Dalam metode dialog, Tan Malaka
menggunakan komunikasi dua arah saat mengajar. Selama mengajar di Deli, ia
mendorong siswa untuk mengkritik guru mereka, atau pelatih asal Belanda, yang
sering salah. Di sekolah Sarikat Islam (SI),
ia mempercayakan siswa yang menerima nilai lebih tinggi untuk mengajar siswa
dengan nilai lebih rendah. Sedang metode pendidikan “Jembatan Keledai” terinspirasi oleh car al-Ghazali mendidik muridnya, yaitu selain menghafal pengetahuan, para siswa diperintahkan
untuk memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Syaifudin menulis bahwa itu adalah kebalikan dari konsep
gaya ‘bank’,
dan bahwa metode itu mirip
dengan pengajaran dan pembelajaran kontekstual.
Pada diskusi kritis, Tan Malaka tidak hanya secara lisan memberikan masalah kepada
siswa, tetapi berusaha untuk mengekspos masalah secara langsung, metode ini
mirip dengan metode problem solving (pemecahan masalah) dari Paulo Freire. Dengan metode keempatnya, Sosiodrama, Tan Malaka bertujuan untuk membuat siswa memahami masalah
sosial dan menyelesaikannya melalui “permainan peran” (play game method), dan sebagai hiburan para siswa setelah belajar.
Legasinya
Sejarawan Indonesia
menggambarkan Tan Malaka sebagai
"komunis, nasionalis, komunis nasional, Trotskis, idealis, pemimpin Muslim,
dan chauvinis (patriotisme yang agresif) Minangkabau".
Karya tulis Tan Malaka
yang paling terkenal adalah otobiografinya, Dari Pendjara ke Pendjara. Dia
menulis tiga jilid karya dengan tulisan tangannya
ketika dipenjara oleh pemerintah Soekarno (Republik) pada tahun 1947 dan 1948. Karya ini bergantian antara
bab-bab teoretis yang menggambarkan keyakinan dan filosofi politik Tan Malaka
dan bab-bab otobiografi konvensional yang membahas berbagai fase kehidupannya.
Volume tiga memiliki struktur narasi yang sangat longgar, berisi komentar
tentang historiografi Marxis, posisinya tentang perjuangan yang berkelanjutan
dengan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, dan cetak ulang bagian-bagian
dokumen penting yang terkait dengan perjuangan.
Buku “Dari
Pendjara ke Pendjara” adalah
salah satu dari sejumlah kecil otobiografi yang berada di Hindia Belanda (Indonesia di Zaman Kolonial).
Buku Dari Penjara ke Penjara (1991)yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, menarik perhatian
gerakan buruh.
PENUTUP
M
|
elihat pandangan atau cara berfikir Tan Malaka
dibawah pendidikan kolonial Belanda yang berpandangan sekuler (dunia) disatu
pihak, namun juga tumbuh sebagai remaja Minang yang berfalsafah “adaik basandi sara, sara basandi kitabullah”
yang menorehkan pula kepribadian muslimnya. Dua kepribadian ini tertanam dalam
dirinya sebagaimana kita pelajari pada catatan perjalan sejarah hidupnya seperti
tersebut diatas.
Andai kata beliau membaca juga buku-buku Sejarah
dan Ajaran Islam dengan Peradaban Tinggi yang di bangun sampai ketingkat The Golden Ages di abad tengan dimana
bangsa-bangsa Eropa masih hidup dalam abad gelapnya (The Dark Ages), maka akan lain ceritanya - boleh jadi tidak
tersedia ketika itu, dan tidak boleh ada, karena sifat kolonialis tidak akan
mencerdaskan ‘pribumi yang pro pribumi’ disamping takut ‘senjata makan tuannya’.
Benar kata seorang bijak menyebutkan bahwa: “Siapakah
dia, tergantung kepada siapa dan lingkungan seperti apa dia berada, serta buku-buku
apa saja yang dibacanya - karena faktor-faktor itulah yang membentuk watak dan
alam pikirannya”. Wallāhu ‘alam bish-Shawāb.
Germantown, MD. 18 Jumādī Tsāni 1441 / 12 Februari 2020 M. □ AFM
Referensi
https://en.wikipedia.org/wiki/Tan_Malaka
dan sumber-sumber lainnya. □□