“Allah akan mengangkat (derajat)
orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat”. [QS Al-Mujādalah 58:11].
Katakanlah: “Apakah sama
orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan orang-orang
yang tidak tidak mengetahui ( tidak berilmu)”. [QS Az-Zumar 39:9].
“Kalau tak adalah orang yang
berilmu, niscaya jadilah manusia itu seperti hewan. Artinya: dengan mengajar,
para ahli ilmu itu, mengeluarkan manusia dari batas kehewanan, kepada batas
kemanusiaan.” [Al-Hasan ra]
“Barang siapa yang
menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa
yang menghendaki kehidupan Akhirat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan
barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu.” [HR
Turmudzi].
KATA
PENGANTAR
A
|
ktivitas
belajar sangat terkait dengan proses pencarian ilmu. Islam sangat menekankan
terhadap pentingnya ilmu. Al-Qur’an dan As-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk
mencari dan mendapatkan ilmu, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan
pada derajat yang tinggi.
Kemampuan untuk belajar merupakan
sebuah karunia Allah yang mampu membedakan manusia dangan makhluk yang lain.
Allah menghadiahkan akal kepada manusia untuk mampu belajar dan menjadi
pemimpin di dunia ini. Maka dari itu
manusia diwajibkan untuk belajar dan mengajar.
PENDAHULUAN
A
|
rti kata belajar dalam buku Kamus Umum Bahasa
Indonesia adalah: “Berusaha
memperoleh kepandaian atau ilmu”. Perwujudan dari berusaha adalah berupa
kegiatan belajar. Menurut Hintzman, “Belajar adalah suatu perubahan yang
terjadi dalam diri manusia disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi
tingkah laku manusia tersebut”. [1]
Menurut
Wittig, belajar ialah: “Perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam
segala macam/keseluruhan tingkah laku manusia sebagai hasil pengalaman”.
[2] Yang lainnya, “Belajar adalah: “Suatu usaha sadar yang dilakukan oleh
individu dalam perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman
yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan
tertentu. Dikatakan belajar apabila membawa suatu perubahan pada individu yang
belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan, melainkan juga
dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat,
penyesuaian diri”. [3]
Menurut pengertian diatas: ● Belajar adalah
merupakan proses suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. ● Belajar
bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu, yakni mengalami. ● Hasil
belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. ● Ada
juga yang mengatakan bahwa belajar adalah memperoleh pengetahuan. ● Belajar
adalah latihan-latihan pembentukan kebiasaan secara otomatis, dan seterusnya.
Secara rasional semua ilmu
pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar.
Maka, belajar adalah ”key term”
(istilah kunci) yang paling vital dalam usaha pendidikan. Sehingga, tanpa
belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. [4]
Sedangkan pengertian mengajar lebih identik
kepada proses mengarahkan seseorang agar lebih baik. Al-Mawardi melarang seseorang
mengajar dan mendidik atas dasar motif ekonomi. Akan tetapi menurutnya, seorang
guru seharusnya selalu memiliki keikhlasan dan kesadaran akan pentingnya tugas,
sehingga dengan kesadaran tersebut, ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang
maksimal. [5]
Titik tekan pendidikan menurut
al-Ghazali terletak pada pendidikan agama dan moral. Untuk itu, syarat menjadi
guru menurut al-Ghazali, selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang
baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki
berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia
dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya
ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak
muridnya. [6]
Firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat At-Taubah menjelaskan
betapa pentingnya menuntut ilmu dan mengamalkannya, yang artinya:
Dan tidak
sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian
dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar
mereka itu dapat menjaga dirinya. [QS At-Taubah 9:122]
Status kewajiban juga dapat dirujuk melalui
argumen firman Allah ‘Azza wa Jalla
dalam surat Āli ‘Imrān ayat 104, adapun dari hadits khotbah Nabi saw pada haji wada’ juga dapat dijadikan
argumen yang menunjukkan status fardhu
‘ain dari menuntut ilmu. Kata Nabi saw
“...hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” Juga dalam
hadits lain, Rasulullah saw menyuruh
kaum beriman agar menyampaikan ajaran beliau (Islam) kepada orang walaupun
hanya satu ayat saja yang ia bisa. Sabda Nabi saw: “.... sampaikan dariku walau satu ayat... bhalighu ‘anni
walau ayatan”. Dalam hadits lain
lagi, tugas dakwah (mengajak, mengajarkan) itu bahkan dikaitkan dengan keimanan
seseorang. Setiap mukmin dituntut untuk berdakwah sebisanya, dengan kekuatan,
ucapan, atau dengan hati saja.” [7]
KEUTAMAAN BELAJAR
Pelajarilah
ilmu. Mempelajari ilmu karena ketaqwaan kepada Allah 'Azza wa Jalla. Menuntutnya itu ibadah.
Mengulang-ulanginya itu tasbih. Membahas-bahasnya itu jihad. Mengajarkan
orang yang tidak tahu itu sedekah. Memberikannya kepada ahlinya itu mendekatkan
diri kepada Tuhan. Inilah dasar-dasar atau dalil-dalil dari kenapa belajar itu
menjadi suata keutamaan dalam Islam. Ayat-ayat yang menerangkan keutamaan
belajar yaitu firman Allah swt yang artinya:
“Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam (mempelajari, belajar) pengetahuan agama.” [QS At-Taubah 9:122]
“Maka bertanyalah (belajarlah kamu)
kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ilmu) jika kamu tidak mengetahui”. [QS
An-Nahl 16:43].
Adapun
Hadits Nabi saw
yang menerangkan keutamaan belajar yang artinya:
“Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah kepadanya jalan ke sorga”. [Diriwayatkan Ahmad, Ibnu Hibban dan Al-Hakim dari Shafwan bin Assal]
“Sesungguhnya malaikat itu
membentangkan sayapnya kepada penuntut ilmu,
tanda rela dengan usahanya itu”. [Dirawikan Ibnu Abdul-Sirri dari Abi Dzar].
tanda rela dengan usahanya itu”. [Dirawikan Ibnu Abdul-Sirri dari Abi Dzar].
“Bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi mempelajari suatu bab dari ilmu adalah lebih baik daripada engkau melakukan shalat seratus raka’at”. [Dirawikan Ibnu Hibban dan Ibnu Abdul-Birri dari Al-Hasan Al-Bashari]
“Suatu bab dari ilmu yang dipelajari seseorang, adalak lebih baik baginya dari dunia dan isinya”. [Al-Hadits]
“Menuntut ilmu itu wajib atas
tiap-tiap muslim”. [Al-Hadits]
Ilmu itu adalah gudang-gudang.
Anak kuncinya pertanyaan. Dari itu, bertanyalah! Sesungguhnya diberi pahala
pada bertanya itu empat orang, yaitu: penanya, yang berilmu, pendengar dan yang
suka kepada mereka yang tiga tadi”. [Dirawikan Abu Na’im dari Ali, hadits
marfu’].
“Tak wajarlah bagi orang yang
bodoh, berdiam diri (tidak belajar) atas kebodohannya (ketidak tahuannya). Dan
tak wajarlah bagi orang yang berilmu, berdiam diri (tidak mengajarkan, tidak
mengamalkan) atas ilmunya”. [Dirawikan Ath-Thabrani dan Abu Na’im dari Jabir,
sanad dha’if]
“Menghadiri majelis orang berilmu,
lebih utama daripada mendirikan shalat seribu raka’at, mengunjungi seribu orang
sakit dan berta’ziah seribu janazah”. [Al-Hadits, yang diriwayatkan Abu Dzar ra].
“Barangsiapa meninggal dunia
sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan
Islam, maka antara dia dan Nabi-Nabi dalam surga sejauh satu tingkat”.
Islam, maka antara dia dan Nabi-Nabi dalam surga sejauh satu tingkat”.
Lalu orang bertanya: “Wahai Rasulullah! Dari membaca Al-Qur’an?” Maka menjawab Nabi saw: “Adakah manfa’at Al-Qur’an itu selain dengan ilmu (yang ada didalamnya)?”
Menurut atsar (kata-kata shahabat Nabi dan pemuka-pemuka Islam), maka berkata Ibnu Abbas ra yang artinya: “Aku telah menghinakan seorang penuntut ilmu, lalu aku memuliakan yang dituntutnya (maksud hadits ini mereka itu mulia karena ilmunya-yang didapatnya, berilmu)”.
Demikian
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abi Mulaikah ra yang artinya: “Belum pernah aku
melihat orang seperti Ibnu Abbas. Apabila aku melihatnya maka tampaklah,
mukanya amat cantik. Apabila ia berkata-kata maka lidahnya amat lancar. Dan
apabila ia memberi fatwa maka dialah orang yang amat banyak ilmunya”.
Berkata Ibnul Mubarak ra yang artinya: “Aku heran orang
yang tidak menuntut
ilmu! Bagaimana ia mau membawa dirinya kepada kemuliaan”.
ilmu! Bagaimana ia mau membawa dirinya kepada kemuliaan”.
Berkata setengah Hukama’ yang artinya: “Sesungguhnya aku tidak belas kasihan
kepada orang-orang, seperti belas kasihanku kepada salah seorang dari dua: orang yang menuntut ilmu dan tidak memahaminya dan orang yang memahami ilmu dan tidak menuntutnya” (maksudnya kepahaman ilmu itulah yang mesti dicapai oleh yang menuntut ilmu - belajar).
Berkata Abud Darda’ ra yang artinya: “Lebih
suka aku mempelajari satu masalah,
daripada mengerjakan shalat satu malam”. Dan ditambahkannya pula: “Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu, berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh, tak ada kebajikan padanya”. Dan katanya lagi: “Hendaklah engkau orang berilmu atau belajar atau mendengar ilmu dan janganlah engkau orang keempat (tak
termasuk salah seorang dari yang tiga tadi) maka binasalah engkau”.
daripada mengerjakan shalat satu malam”. Dan ditambahkannya pula: “Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu, berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh, tak ada kebajikan padanya”. Dan katanya lagi: “Hendaklah engkau orang berilmu atau belajar atau mendengar ilmu dan janganlah engkau orang keempat (tak
termasuk salah seorang dari yang tiga tadi) maka binasalah engkau”.
Berkata ‘Atha’ yang artinya: “Suatu majelis
ilmu itu, akan menutupkan dosa
tujuh puluh majelis yang sia-sia”.
tujuh puluh majelis yang sia-sia”.
Berkata Umar ra yang artinya: “Meninggalnya
seribu ‘abid, yang malamnya
mengerjakan shalat dan siangnya berpuasa, adalah lebih mudah, daripada meninggalnya seorang alim yang mengetahui yang dihalalkan (karena ilmunya bermanfaat – mengajarkan kebaikan, ilmu yang haq, membangun); dan yang diharamkan (karena ilmu tidak bermanfaat – mengajarkan kerusakan, kebathilan) Allah”.
mengerjakan shalat dan siangnya berpuasa, adalah lebih mudah, daripada meninggalnya seorang alim yang mengetahui yang dihalalkan (karena ilmunya bermanfaat – mengajarkan kebaikan, ilmu yang haq, membangun); dan yang diharamkan (karena ilmu tidak bermanfaat – mengajarkan kerusakan, kebathilan) Allah”.
Berkata Imam Asy-Syafi’i ra: “Menuntut ilmu (belajar) adalah
lebih utama daripada berbuat ibadah sunnah”.
Berkata Ibnu Abdil Hakam ra yang artinya: “Adalah aku belajar
ilmu pada Imam Malik. Lalu masuk waktu Dhuhur. Maka aku kumpulkan semua kitab
untuk mengerjakan shalat. Maka berkata Imam Malik: “Hai, tidaklah yang engkau
bangun hendak mengerjakannya itu, lebih utama daripada apa yang ada di dalamnya
(isi kitab atau buku itu), apabila niat (belajar) itu benar (benar-benar ada)”.
Berkata Abud-Darda’ ra yang artinya: “Barangsiapa
berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan jihad, maka adalah dia orang yang
kurang pikiran dan akal”.
KEUTAMAAN MENGAJAR
Dasar-dasar
atau Dalil-dalil Mengajar. Inilah dasar-dasar atau dalil-dalil dari kenapa
mengajar itu menjadi suatu keutamaan dalam Islam. Ayat-ayat yang menerangkan
keutamaan belajar sebagaimana firman Allah ‘Azza wa
Jalla:
“Wa
liyundzirū Qaumahum idzā raja’ū ilaihim la’allahum yahdzarūn”. Artinya:
“Dan agar mereka dapat memberikan
peringatan (yang dimaksud ialah mengajar dan memberi petunjuk) kepada kaumnya
bila telah kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka berhati-hati (menjaga
dirinya)”. [QS At-Taubah 9:122].
Wa-idz
akhadzallāhu mītsāqalladzīna ūtul kitāba latubayyinunnahu linnāsi walā
taktumūnahu. Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
Kitab (yaitu), “hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu)
kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya (kewajiban mengajarkannya).”
[QS Āli ‘Imrān 3:187].
Wa inna
farīqan minhum layaktumūnal haqqa wa hum ya’lamūn. Artinya: “Sesungguhnya sebagian
mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui(nya).” [QS
Al-Baqarah 2:146].
Ini
menunjukkan haram menyembunyikan ilmu (dari pengetahuan yang diketahuinya). Seperti
firmanNya tentang menjadi saksi: Wa may yaktumhā fainnahū ātsimun qalbuh. Artinya: “Dan janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian (tak mau menjadi saksi), karena siapa yang
menyembunyikannya, sungguh hatinya kotor (berdosa).” [QS Al-Baqarah 2:283].
Bersabda Nabi saw yang artinya:
“Tidak diberikan oleh Allah kepada seseorang yang berilmu akan ilmu, melainkan telah diambil-Nya janji seperti yang diambil-Nya kepada nabi-nabi, bahwa mereka akan menerangkan ilmu itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikannya”. [Dirawikan Abu Na‘im dari Ibnu Mas’ud].
Dan
firman Allah swt:
Wa man ahsanu qaulam mimman da’ā ilallāhi wa ‘amila shāliha. Artinya:
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (mengajarkan) kepada Allah dan mengerjakan kebajikan?” [QS Hā Mim As-Sajdah / Fushshilat, 41:33].
Ud’u ilā
sabīli rabbika bilhikmati wal mau’idhatil hasanah. Artinya:
“Serulah (ajarkan manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (yang dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil) dan pengajaran yang baik”. [QS An-Nahl 16:125].
“Serulah (ajarkan manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah (yang dapat membedakan antara yang haq dan yang bathil) dan pengajaran yang baik”. [QS An-Nahl 16:125].
Wa
yu’allimuhumul kitāba wal hikmah. Artinya:
“Dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka.” [QS Al-Baqarah 2:129].
Adapun hadits yang menerangkan keutamaan
mengajar, yaitu sabda Nabi saw
kepada Mu’az ketika diutusnya ke Yaman: Li-an yahdiyallāhu bika
rajulan wāhidan khairun laka minaddun-ya wa mā fīhā. Artinya: “Bahwasanya dengan
sebabmu diberi petunjuk oleh Allah akan seseorang, lebih baik bagimu daripada
dunia dan isinya”. [Dirawikan Ahmad dari Mu‘adz].
Bersabda
Nabi saw:
Man ta’allama bāban minal ‘ilmi liyu’alliman nāsa u’thiya tsawāba sab’īna shiddīqā. Artinya: “Barangsiapa mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkannya kepada manusia, maka ia diberikan pahala tujuh puluh orang shiddiq (orang yang selalu benar, membenarkan Nabi, seumpama Abu Bakar Shiddiq “. [Dirawikan Abu Manshur Ad-Dailami dari Ibnu Mas‘ud, dengan sanad dha’if].
“Apabila datang hari kiamat
nanti, maka berfirman Allah swt
kepada orang ‘abid dan orang berjihad: “Masuklah ke dalam sorga!” Maka berkata
para ulama: “Dengan kelebihan pengetahuan kami, mereka beribadah dan berjihad”.
Maka berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: “Kamu disisi-Ku seperti
sebahagian malaikat-Ku. Berbuatlah syafa’at, niscaya kamu mendapat syafa’at.
Lalu mereka berbuat syafa’at. Kemudian merekapun masuk sorga”.
Dan ini sesungguhnya karena mereka memberi pengajaran dengan ilmu yang berkembang. Tidak ilmu yang beku, yang tidak berkembang.
Bersabda
Nabi saw:
Innallāha ‘azza wa jalla lā yantazi’ul ‘ilman tizā’an minan nāsi ba’-da an yu’-tiyahum iyyāhu wa lākin yadzhabu bidzahābil ‘ulamā’ Fakullamā dzahaba ‘ālimun dzahaba bimā ma’ahu minal ‘ilmi hattā idzā lam yubqi illā ru-asā-a juhhalan, in suilū aftau bighairi ‘ilmin fayadhillūna wa yudhillūn.
Artinya:
“Bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak mencabut ilmu dari manusia yang telah dianugerahi-Nya, tetapi ilmu itu pergi, dengan perginya (mati) para ahli ilmu. Tiap kali pergi seorang ahli ilmu, maka pergilah bersamanya ilmunya. Sehingga tak ada yang tinggal lagi, selain dari kepala-kepala yang bodoh. Jika ditanya lalu memberi fatwa dengan tiada ilmu. Maka sesatlah mereka sendiri dan menyesatkan pula orang lain.” [Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr].
Bersabda Nabi saw:
Man ‘alima ‘ilman fakatamahu aljamahullāhu yaumal qiyāmati bilijāmin min nār. Artinya: “Barangsiapa mengetahui sesuatu ilmu, lalu menyembunyikannya, maka ia dikenakan kekang oleh Allah, dengan kekang api neraka, pada hari kiamat”. [Dirawikan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abu Hurairah. Kata At-Tirmidzi, hadits hasan].
“Sebaik-baik pemberian dan hadiah ialah kata-kata berhikmah. Engkau dengar lalu engkau simpan baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim. Engkau ajari dia. Perbuatan yang demikian, menyamai ‘ibadah setahun.” [Dirawikan Ath-Thabranl dari Ibnu Abbas, isnad dha’if].
Ad-dun-yā
rāl’ūnatun mal’ūnun mā filhā illā dzikrallāhi subhānahu wa mā wālāhu au
mu’alliman au muta’alliman. Artinya:
“Dunia itu terkutuk bersama isinya, selain berdzikir kepada Allah swt dan apa yang disukai Allah atau
menjadi pengajar atau pelajar.” [Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu
Hurairah. Kata At-Tirmidzi, hadits hasan, gharib].
Innallāha subhānahu wa malāikatahu wa ahia sara-āwātihi wa ardhihi hattan namlata fī juhrihā wa hattal hūta fil bahri layu. Artinya: “Bahwasanya Allah swt, malaikat-malaikat-Nya, isi langit dan bumi-Nya, sampai kepada semut di dalam lobang dan ikan di dalam laut, semuanya berdo ‘a kebajikan kepada orang yang mengajarkan manusia.” [Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Amamah. Katanya hadits gharib].
Mā
afādal muslimu akhāhu fāidatan afdhala min hadītsin hasanin, balaghahu fa
ballaghahu.
Artinya: “Tiadalah seorang muslim memberi faedah kepada saudaranya, yang lebih
utama dari pembicaraan yang baik, yang sampai kepadanya, lalu disampaikannya
kepada saudaranya itu”. [Dirawikan Ibnu dari Muhammad bin Al-Munkadir, hadits
mursal].
Kalimatun
minal khairi yasma’uhal mu’minu fayu’allimuhā wa ya’malu bihā khairun Iahu min
‘ibādati sanah. Artinya:
“Sepatah kata kebajikan yang di dengar oleh orang mu’min, lalu diajarinya dan
diamalkannya, adalah lebih baik baginya dari ibadah setahun”. [Dirawikan Ibnu
Mubarak dari Zaid bin Aslam, hadits mursal].
Pada suatu hari Rasulullah keluar berjalan-jalan, lalu melihat dua majelis. Yang satu, mereka itu berdo’a - kepada Allah dan ingin hati (dekat) kepada-Nya. Yang kedua (berbuat) mengajarkan manusia. Maka bersabda Nabi saw: “Adapun mereka itu (yang berdo’a) bermohon kepada Allah Ta’ala. Jika dikehendaki-Nya, maka dikabulkanNya. Jika tidak dikehendakiNya, maka ditolakNya. Sedang mereka yang satu majelis lagi, (berbuat langsung dalam) mengajarkan manusia dan aku ini diutuskan untuk mengajar”. Kemudian Nabi menoleh ke majelis orang mengajar, lalu duduk bersama mereka. [Dirawikan ibnu Majah dari Abdullah bin ‘Amr, dengan sanad dhaif].
Bersabda Nabi saw yang artinya:
“Contohnya aku diutuskan oleh Allah dengan “petunjuk” dan “ilmu”, adalah seumpama hujan lebat yang menyirami bumi. Diantaranya ada sepotong tanah yang menerima air hujan itu, lalu menumbuhkan banyak rumput dan ilalang. Diantaranya ada yang dapat membendung air itu, lalu dimanfa’atkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada manusia. Maka mereka minum, menyiram dan bercocok tanam. Dan ada sebahagian tempat yang rata, yang tidak membendung air dan tidak menumbuhkan rumput”. [Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Musa].
Dari hadits diatas, contoh pertama disebutnya, adalah sebagai tamsil teladan bagi orang yang dapat mengambil pelajaran dari keadaan tersebut dan dengan itu memperoleh ilmu (pengetahuan). Contoh kedua adalah orang yang dapat memanfa’atkan alam dengan keilmuan (pengetahuannya) yang diperoleh dari peristiwa alam tersebut. Dan contoh ketiga adalah bagi orang yang tak memperoleh apa-apa dari yang dua itu (tidak ada pelajaran dari peristiwa alam - tidak memperoleh ilmu, tidak dapat memanfaatkan alam - karena tidak tahu melakukannnya, tidak berilmu).
Bersabda
Nabi saw yang artinya:
“Apabila mati seorang anak Adam,
putuslah amal perbuatannya selain dari tiga perkara, yaitu ilmu yang
dimanfa’atkan.” [Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah. Yang disebut di sini,
hanya satu. Maka dua lagi, ialah: Sadakah jariah (waqaf) dan anak yang shaleh
yang berdoa kapadanya].
Ad-dallu
‘alal khairi kafāilih. Artinya:
“Menunjuk kepada kebajikan, adalah seperti mengerjakannya.” [Dirawikan At-Tirmidzi
dari Anas, katanya: hadits gharib].
Lā
hasada illā fitsnataini: rajulin ātāhullāhu ‘azza wa jalla hikmatan fahuwa
yaqdhī bihā wa yu’allimuhan nāsa wa rajulin ātāhullāhu mālan fasallathahu ‘alā
halakatihi fil khair.
Artinya: “Tak boleh iri hati selain pada dua: pertama pada orang yang
dianugerahi Allah Ta’ala ilmu, maka ditegakkannya keadilan dengan ilmunya dan diajarkannya
manusia. Dan kedua pada orang yang diberikan oleh Allah Ta’ala harta, maka dipergunakannya pada
jalan kebajikan.” [Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud].
‘Alā
khulafā-ī rahmatullāli. Qīla: wa man khulafāuk? Qōla: alladzīna yuhyūna sunnatī
wa yu’allimuhā ‘ibādallāh. Artinya:
“Rahmat Allah kepada khalifah-khalifahku!” Siapa khalifahmu? Tanya orang. Nabi saw menjawab: “Mereka yang
menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada hamba Allah”. [Dirawikan Ibnu
Abdil-Barr dari Al-Hasan, hadits mursal].
Para sahabat dan ulama mengatakan:
Menurut atsar, yaitu berkata Umar ra yang artinya: “Barangsiapa
menceriterakan suatu hadits, lalu diamalkan orang, maka baginya pahala seperti
pahala yang diperoleh oleh orang yang mengamalkannya”.
Berkata Ibnu Abbas ra: “Orang yang mengajarkan
kebajikan kepada orang banyak, niscaya diminta ampun dosanya oleh segala sesuatu,
hatta ikan di dalam laut”.
Berkata setengah ulama: “Orang berilmu itu
masuk antara Allah dan makhlukNya. Maka hendaklah ia memperhatikan, bagaimana ia
masuk “.
Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats-Tsuri ra
datang ke ‘Askalan. Lalu ia berhenti pada suatu tempat dan tiada orang yang
menanyakan halnya. Maka ia berkata: “Koreklah tanah bagiku supaya aku ke luar
dari negeri ini. Ini adalah negeri, yang mati padanya ilmu”. Dia mengatakan
demikian, karena ingin menerangkan keutamaan mengajar dan kekekalan ilmu dengan
adanya pengajaran.
Berkata ‘Atha’ ra: “Aku masuk ke tempat Sa’id bin
Al-Musayyab dan ia sedang menangis. Lalu aku bertanya: “Apakah yang menyebabkan
engkau menangis?” la menjawab: “Karena tak ada orang yang menanyakan sesuatu
kepadaku.” Berkata setengah mereka: “Ulama itu lampu segala masa. Masing masing
ulama itu menjadi lampu zamannya. Orang-orang yang semasa dengan dia dapat
memperoleh nur daripadanya.”
Berkata Al-Hasan ra: “Kalau tak adalah orang yang
berilmu, niscaya jadilah manusia itu seperti hewan. Artinya: dengan mengajar,
para ahli ilmu itu, mengeluarkan manusia dari batas kehewanan, kepada batas
kemanusiaan.”
Berkata ‘Akramah: “Bahwa ilmu ini, mempunyai
harga”. Lalu orang menanyakan: “Apakah harganya itu?” ‘Akramah menjawab: “Bahwa
engkau letakkan pada orang yang bagus membawanya dan tidak
menyia-nyiakannya”.
Berkata Yahya bin Mu’az: “Ulama itu lebih
mencintai ummat Nabi Muhammad saw,
daripada bapak dan ibu mereka sendiri.” Lalu orang menanyakan: “Bagaimanakah
demikian?” Yahya menjawab: “Sebabnya, karena bapak dan ibu mereka menjaganya
daripada neraka dunia, sedang para ulama menjaganya daripada neraka akhirat”.
Orang mengatakan: “Permulaan ilmu itu
berdiam diri, kemudian mendengar, kemudian menghafal, kemudian mengerjakan dan kemudian
menyiarkannya”.
Ada orang mengatakan: “Ajarilah ilmumu kepada orang yang bodoh! Dan belajarlah dari orang yang berilmu apa yang engkau tidak tahu! Apabila engkau berbuat demikian, maka engkau tahu apa yang engkau tidak ketahui dan engkau hafal (ingat) apa yang sudah engkau ketahui.”
Berkata Mu’az bin Jabal mengenai mengajar
dan belajar dan aku berpendapat bahwa perkataan ini juga adalah hadits marfu’: “Pelajarilah
ilmu! Maka mempelajarinya karena Allah itu taqwa. Menuntutnya itu ibadah.
Mengulang-ulanginya itu tasbih. Membahas-bahaskannya itu jihad. Mengajarkan
orang yang tidak tahu itu sedekah. Memberikannya kepada ahlinya itu mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Ilmu
itu teman waktu sendirian dan kawan waktu kesepian, penunjuk jalan kepada
agama, pemberi nasehat bersabar waktu suka dan duka, seorang menteri di
tengah-tengah teman sejawat, seorang keluarga di tengah-tengah orang asing dan
sinar jalan ke sorga. Dengan ilmu, diangkat oleh Allah beberapa kaum, lalu
dijadikanNya mereka pemimpin, penghulu dan penunjuk jalan pada kebajikan.
Diambil orang menjadi ikutan dan penunjuk jalan pada kebajikan. Jejak mereka
diikuti, perbuatan mereka diperhatikan. Malaikat suka kepada tingkah laku
mereka. Disapunya mereka dengan sayapnya. Seluruh yang basah dan yang kering
meminta ampun akan dosa mereka, hatta ikan dan binatang laut, binatang buas dan
binatang jinak di darat, langit dan bintang-bintangnya”. [Dirawikan Abusy
Syaikh Ibnu Hibban dan Ibnu Abdil-Barr. Katanya: tidak mempunyai isnad yang
kuat].
PELAJARAN
YANG DAPAT DIPETIK DARI DALIL-DALIL TERSEBUT
T
|
ahulah sekarang bahwa (ajaran)
Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan
pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan
porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu
(pendidikan, pembelajaran). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan akhirat
saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan
urusan dunia juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak
tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.
Dari pemaparan hadits pertama,
yang berisikan maksud dimana kewajiban menuntut ilmu itu ditujukan atas setiap
mukmin, baik mukmin laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa sangat pentingnya kehidupan di bumi harus disertai ilmu, baik
ilmu politik, sosial, budaya. , fardhu ‘ain
bagi ilmu keagamaan (wajib bagi setiap muslim belajar – mengetahui dan mengamalkannya)
dimana ilmu agama kelak akan menghantarkan umat muslim ke surga dan ilmu
agamalah yang menjadi simbolis pembeda antara manusia dan makhluk yang lainnya.
Jika
kita melihat keluar, kehidupan di negara kita yang saat ini sangat
memprihatinkan, hal tersebut dikarenakan generasi-generasi penerus bangsa yang
kurang mampu mengelola negara dengan
baik dikarenakan kurangnya ilmu pendidikan dan sempitnya cakrawala pengetahuan,
oleh sebab itu kita harus membuka mata
agar mau mencari ilmu sebanyak-banyaknya baik bagi muslim laki-laki maupun
muslim perempuan.
Kewajiban belajar mengajar merupakan suatu
tuntutan bagi manusia yang menginginkan suatu kehidupan yang layak sebagai
implementasinya dalam memakmurkan dunia. Manusia yang sudah dibaiat oleh Tuhan
sebagai khalifah agar senantiasa menjadi pemimpin dan bisa menjadi kemaslahatan
bagi dirinya, orang lain dan alam sekitar. Dalam realitasnya, konsep belajar
mengajar dapat mengambil dari konsep Barat. Dan tidak ada salahnya selama
konsep tersebut baik dan bisa mengangkat harkat dan martabat manusia. Namun,
alangkah lebih bijak ketika kita juga tahu bagaimana pandangan hadits tentang
hal tersebut. Dan banyak teks-teks dalam hadits yang bisa kita jadikan landasan
dalam praktek mengajar.
Untuk lebih tegas dalam hadits
riwayat Husain ibn Ali di atas, Rasulullah saw.
menggunakan kata-kata wajib, harus (farīdhah). Hal itu menunjukkan bahwa
ilmu pengetahuan itu memang benar-benar suatu hal penting dalam kehidupan manusia terutama orang yang beriman. Tanpa ilmu
pengetahuan, seorang mukmin tidak dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik
menurut ukuran ajaran Islam. Bila ada orang yang mengaku beriman tetapi tidak
mau mencari ilmu, maka ia dipandang telah melakukan suatu pelanggaran, yaitu
tidak mengindahkan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti yang telah diuraikan.
Akibatnya, tentu, mendapatkan kemurkaan Allah dan akhirnya akan masuk ke dalam
neraka Allah. Karena begitu pentingnya ilmu pengetahuan itu, Rasulullah saw. mewajibkan umatnya belajar.
Hal tersebut ditegaskan
lagi dalam hadits kedua: “Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang
lahat”. Hadits tersebut memberikan pemahaman bahwa proses beklajar mengajar
tidak ada batasan usia, mulai dari lahir manusia sudah mendapatkan transefaran
ilmu dari lingkungan sekitar hingga di akhir hayatnya.
Ilmu pengetahuan itu memudahkan orang menuju
surga.
Hal itu mudah dipahami karena dengan ilmu, seseorang mengetahui akidah yang
benar, cara-cara beribadah dengan benar, dan bentuk-bentuk akhlak yang mulia.
Selain itu, orang berilmu mengetahui pula hal-hal yang dapat merusak akidah
tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala ibadah, dan memahami pula sifat dan
akhlak-akhlak jelek yang perlu dihindarinya. Semuanya itu akan membawanya ke surga di
akhirat, bahkan kesejahteraan di dunia ini.
Dalam sebuah hadis disebutkan terdapat lima keutamaan orang
menuntut ilmu, yaitu: (1) mendapat kemudahan untuk menuju surga, (2) disenangi oleh para malaikat, (3) dimohonkan ampun oleh makhluk
Allah yang lain (karena menyelamatkan lingkungan alam), (4) lebih utama
daripada ahli ibadah (karena ”ahli ibadah plus), dan (5) menjadi pewaris Nabi.
Yang dimaksud dengan dimudahkan
Allah baginya jalan menuju surga adalah ilmunya itu akan
memberikan kemudahan kepadanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
menyebabkannya masuk surga. Karena ilmunya, seseorang
itu mengetahui kewajiban yang harus dikerjakannya dan larangan-larangan yang
harus dijauhinya. Ia memahami hal-hal yang dapat merusak akidah dan ibadahnya
dam perannya sebagai khalifah (pemakmur, membangun peradaban) di bumi. Ilmu
yang dimilikinya membuat ia dapat membedakan yang halal (dari yang membangun) dari
yang haram (dari yang merusak). Dengan demikian, orang yang memiliki ilmu
pengetahuan itu tidak merasa kesulitan untuk mengerjakan hal-hal yang dapat
membawanya ke dalam surga.
Malaikat menghamparkan sayapnya
karena senang kepada orang yang mencari ilmu. Malaikat telah mengetahui bahwa
Allah sangat mengutamakan ilmu. Hal itu terbukti ketika mereka disuruh hormat
kepada Adam setelah Adam menunjukkan kelebihan ilmunya kepada malaikat. Oleh
sebab itu, para malaikat merasa senang kepada orang-orang yang berilmu
karena mereka dimuliakan oleh Allah.
Orang yang menuntut ilmu
dimintakan ampun oleh makhluk-makhluk Allah yang lain. Ini merupakan ungkapan
yang menunjukkan kesenangan Rasulullah saw
kepada para pencari ilmu. Ilmu itu sangat bermanfaat bagi alam semesta, baik
manusia maupun bukan manusia (karena memelihara lingkungan hidup sebagai ajaran
Islam rahmatan lil ’ālamīn – rahmat
atau kebaikan bagi alam semesta). Dengan ilmu pengetahuan yang disertai iman,
alam ini akan selalu terjaga dengan indah. Penjagaan dan pengelolaan alam ini
dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan. Jadi, orang yang memiliki ilmu dan
menggunakannya untuk kebaikan alam semesta merupakan orang mulia yang pantas
dido’akan oleh penghuni alam ini.
Orang berilmu pengetahuan lebih
utama daripada ahli ibadah. Keutamaannya diumpamakan oleh Rasulullah saw bagaikan kelebihan bulan pada malam
purnama dari bintang. Keutamaan bulan malam purnama yaitu bercahaya yang membuat dirinya terang dan dapat pula menerangi yang lain.
Sedangkan bintang kurang cahayanya dan itu hanya untuk dirinya sendiri. Sifat
seperti itu terdapat pula pada orang yang berilmu pengetahuan dan ahli ibadah.
Orang yang berilmu pengetahuan dapat menerangi dirinya sendiri dengan petunjuk
dan dapat pula menerangi orang lain dengan pengajarannya. Dengan kata lain,
orang 'alim itu memberikan manfaat untuk dirinya dan dapat pula
bermanfaat bagi orang lain.
Orang yang berilmu dikatakan sebagai pewaris Nabi. Ini merupakan
penghormatan yang sangat tinggi. Warisan Nabi itu bukan harta dan fasilitas
duniawi, melainkan ilmu. Mencari ilmu berarti berusaha untuk mendapatkan
warisan beliau. Berbeda dari warisan harta, untuk mendapatkan warisan Nabi
tidak dibatasi pada orang-orang tertentu. Siapa saja yang berminat dapat
mewarisinya. Bahkan, Rasulullah saw.
menganjurkan agar umatnya mewarisi ilmu itu sebanyak-banyaknya.
Mengajar adalah proses memberikan ilmu
pengetahuan kepada orang yang belum tahu. Hasilnya, orang yang belajar itu
memiliki ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkannya dalam menjalani
kehidupannya, baik untuk urusan hidup duniawi maupun untuk urusan ukhrawi.
PENUTUP
“Belajar-Mengajar wajib bagi
muslim laki-laki dan perempuan tanpa adanya batasan waktu”.
O
|
rang yang belajar akan mendapatkan ilmu yang dapat digunakan, Pertama, untuk
memecahkan segala masalah yang dihadapinya di kehidupan dunia. Kedua, sebagai
khalifah yang membangun peradaban (memakmurkan) hidup dunia sebagi menjalankan
misi Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Dengan ilmu yang dimilikinya
dalam proses belajar-mengajar, mampu mengangkat derajatnya di mata Allah.
Belajar
adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri manusia disebabkan oleh
pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku manusia tersebut. Sedangkan pengertian mengajar lebih identik kepada
proses mengarahkan seseorang agar lebih baik.
Dalam Islam belajar tidak hanya dilaksanakan
dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia. Dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (belajar), bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan akhirat saja
yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan
dunia juga, karena
misi sebagai manusia khalifah
memakmurkan (membangun peradaban) kehidupan dunia diantara sesama manusia.
Ilmu
pengetahuan itu memudahkan orang membangun peradaban (memakmurkan bumi) dan menuju
surga
bagi manusia yang beriman kepada-Nya dan beramal kebajikan. Hal itu dikarenakan
seseorang mengetahui akidah yang benar, cara-cara beribadah dengan benar, dan
bentuk-bentuk akhlak yang mulia. Selain itu, orang berilmu mengetahui pula
hal-hal yang dapat merusak akidah tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala
ibadah, dan memahami pula sifat dan akhlak-akhlak jelek yang perlu
dihindarinya. Semuanya itu akan membawanya ke surga di akhirat, bahkan kesejahteraan di dunia ini. Billahit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
Daftar Pustaka
Ismail, Ilyas
dan Prio Hutman, Filsafat Dakwah Islam, (Jakarta: Kencana, 2011).
Nata,
Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).
Syah,
Muhibbin, Psikologi Belajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010).
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998).
Catatan
Kaki:
[1]
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung,
PT Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 88.
[2]
Ibid,
hlm.
89.
[3]
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT Rineka Cipta,
1998, hlm. 104.
[4]
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta,
PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 59.
[5]
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 34.
[6]
Ibid.
Hal
96.
[7] Ilyas
Ismail dan Prio Hutman, Filsafat Dakwah Islam, Jakarta, Kencana, 2011,
hlm 64.
Sumber
Rujukan:
sangpendamba.wordpress.com
rohmahsyaidatur.blogspot.com
dan sumber-sumber lainnya. □□□