Sunday, August 16, 2020

Bedah Buku Muslim Tanpa Masjid

 

PENGANTAR

J

udul Buku: MUSLIM TANPA MASJID - Mencari Metode Aplikasi Nilai-Nilai Al-Qur’an Pada Masa Kini (atau ditulis juga) Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transcendental. Buku ini ditulis oleh Prof. Dr. Kuntowijoyo yang diterbit setelah kematiannya.

Diterbitkan mulai tahun 2018 yang berhalaman 452 halaman.Diterbitkan oleh Penerbit Ircisod dalam bahasa Indonesia. Terlampir dibawah biografi beliau.

“Generasi baru Muslim telah lahir dari rahim sejarah, tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Kelahirannya bahkan tidak terdengar oleh Muslim yang lain.”

Sayang, dikarenakan tangis mereka kalah keras oleh gemuruh reformasi, generasi baru ini luput dari pengamatan. Bahkan oleh sebagian kalangan, mereka dikira bukan bagian umat. Mereka adalah generasi baru yang kini bermekaran dalam satuan-satuan lain, seperti negara, bangsa, daerah, partai, ormas, kelas usaha, dan sebagainya.

Pengetahuan agama mereka bukan dari lembaga konvensional, seperti masjid, pesantren, atau madrasah, melainkan dari sumber anonim, seperti kursus, seminar, buku, majalah, kaset, CD, VCD, internet, radio, dan televisi. Banyak yang tercengang melihat fenomena ini.

Seperti halnya banyak agamawan yang tidak sanggup melihat gejala-gejala modern sehingga gagal memahami makna kesenjangan struktural, atau pelaku KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) berjubah kesalehan.

Berbagai kecenderungan baru Islam di Indonesia dewasa ini - termasuk lahirnya generasi ‘Muslim tanpa Masjid’ - dieksplorasi secara tajam oleh Kuntowijoyo dengan suatu metode yang disebutnya strukturalisme transendental. (Di bagian awal, Kunto menjelaskan panjang Jebar mengenai metode tersebut). Inilah jurus paling baru Kunto dalam memahami, sekaligus menerapkan, ajaran-ajaran Islam dalam konteks kekinian. Hal inilah yang dipaparkan dalam buku Muslim Tanpa Masjid - Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transcendental.

Buku ‘Muslim Tanpa Masjid’ sebenarnya memaparkan pula hal kegaduhan panggung politik yang belum juga usai. Perebutan kekuasaan masih tetap dipertontonkan (Orde Lama, Orde Baru) tanpa menyadari bahwa mereka telah bermain terlalu lama dan tak menghiraukan penonton yang sudah kecapaian.

Menurut Kuntowijoyo, demokrasi politik selama ini telah seringkali mengecoh umat. Umat masih saja percaya bahwa demokrasi politik ini akan sangat bermanfaat bagi mereka. Padahal, menurut Kunto, ajang politik hanya menjadikan umat berpikir dalam jangka yang amat pendek.

Dalam berpolitik umat Islam banyak menyandarkan legitimasinya kepada fakta bahwa mereka adalah mayoritas di negeri ini. Jadinya, politik bagi mereka adalah mediokrasi, sehingga politik akhirnya disusutkan hanya semata-mata menjadi fanatisme massa yang irasional. Pada titik ini, logika yang digunakan oleh umat adalah logika dikotomis: I versus You (Kita versus Mereka).

Yang akan dipaparkan disini adalah sebuah tulisan opini (tanggapan) dari ‘Buku Muslim tanpa Masjid’ oleh Asep Salahudin, Staf Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat.

Isinya menurut penilaian admin blog bersikap ‘netral’ sehubungan dengan tugasnya selaku ‘Staf Ahli’ Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), maksud admin adalah, bahwa kini ‘trend islam’ sudah menggejala dan muncul dalam ajaran ‘hablum minannās’ (ajaran Islam horizontal, hubungan manusia dalam bermasyarakat, bernegara dan antar negara) adalah sebuah alternatif dari paradigma, ideologi, isme-isme yang ada sekarang ini. Ajaran ini pantas dipertimbangkan karena dapat mencegah kemelut dunia yang ‘tidak islami’ - masih belum damai sesama warga negara dan juga antar negara. Ini dapat dilihat dari perseteruan adi kuasa (superpower) ‘Blok Barat’ yang diwakili oleh Amerika dan Eropa Barat vs (versus) Adi Kuasa “Blok Timur” yang di wakil oleh Uni Sovyet (kini Rusia). Kini muncul lagi adi kuasa baru China yang sedang mangkrak. Di sini bukanlah hal yang mustahil terbayang ketegangan dunia baru yang ditimbulkan adi kuasa beradu kuat diantara adi kuasa lainnya. Sementara negara-negara yang bukan adi kuasa akan menjadi sengsara sebagaimana pepatah menyebutkan “Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah” – Negara Superpower bertarung dengan Negara Superpower, maka yang menjadi korban adalah Negara-Negara Kecil. □ AFM

 

 

BEDAH BUKU MUSLIM TANPA MASJID

Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik

dalam Bingkai Strukturalisme Transcendental [1]

 

PENDAHULUAN

I

sinya menurut penilaian admin blog bersikap ‘netral’ sehubungan dengan tugasnya selaku ‘Staf Ahli’ Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), maksud admin adalah, bahwa kini ‘trend islam’ sudah menggejala dan muncul dalam ajaran ‘hablum minannās’ (ajaran Islam horizontal, hubungan manusia dalam bermasyarakat, bernegara dan antar negara) adalah sebuah alternatif dari paradigma, ideologi, isme-isme yang ada sekarang ini. Ajaran ini pantas dipertimbangkan karena dapat mencegah kemelut dunia yang ‘tidak islami’ - masih belum damai sesama warga negara dan juga antar negara. Ini dapat dilihat dari perseteruan adi kuasa (superpower) ‘Blok Barat’ yang diwakili oleh Amerika dan Eropa Barat vs (versus) Adi Kuasa Blok Timur yang di wakil oleh Uni Sovyet (kini Rusia). Kini muncul lagi adi kuasa baru China yang sedang mangkrak.

Di sini bukanlah hal yang mustahil terbayang ketegangan dunia baru yang ditimbulkan adi kuasa beradu kuat diantara adi kuasa lainnya. Sementara negara-negara yang bukan adi kuasa akan menjadi sengsara sebagaimana pepatah menyebutkan “Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah” – Negara Superpower bertarung dengan Negara Superpower, maka yang menjadi korban adalah Negara-Negara Kecil.

Ajaran Islam dalam Ta’āruf

Pada hal dalam Ajaran Islam mempunyai konsep manusia sebagai makhluk sosial (ta’āruf) [2]. Dalam konsep manusia al-nās (baca: an-nās) pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Tentunya sebagai makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup bersosial. Artinya tidak boleh atau tidak bisa hidup sendiri-sendiri, karena manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa kerjasama dengan manusia lain di sekitarnya.

Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi masyarakat. Ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan atau bermusuhan dan perang memerangi satu sama lainnya. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam konsep al-nās. Yaitu manusia yang bertetangga, bermasyarakat, bernegara dan antar negara, sebagaimana yang ditegas Tuhan Maha Pencipta Manusia dalam firman-Nya yang artinya:

Wahai Manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (lita'ārafū) satu sama lainnya. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. [QS Al-Hujurāt 49:13]

Apa arti dan makna berta’aruf ini? Prinsip Ta’aruf ini meliputi: Ta’aruf; Tafahum; Ta’awun dan Itsar. Maknanya adalah (T) Ta’aruf yakni saling mengenal; (T) Tafahum yakni saling memaklumi latar belakang hidup, keyakinan dan pandangan hidup; namun dapat melakukan (T) Ta’awun yakni kerja sama dalam masalah hubungan sesama manusia; (I) Itsar yakni tidak saling bertengkar, tidak saling memusuhi, tidak saling memerangi.

 

MUSLIM TANPA MASJID

Judul buku seperti di atas ini dipakai Kuntowijoyo untuk menggambarkan fenomena kebangkitan generasi muslim perkotaan yang memiliki perhatian terhadap agamanya, tapi tidak sempat mempelajari Islam secara utuh (kafah). Mereka belajar Islam tidak lewat jalur konvensional, semisal, surau, madrasah, atau perguruan tinggi Islam. Namun, melalui media sosial yang serbaselintas, tergesa-gesa, dan cenderung reduktif, mendiskusikan tema-tema keagamaan bukan melalui kitab kuning dan pengkajian memadai, tapi cukup lewat status seorang ‘tokoh’ yang kemudian saling dikomentari satu dan lainnya.

Muslim Tanpa Masjid tidak lagi menganggap penting hadirnya seorang guru (karena penjelasannya sangat klasik konvensional dan jauh dari mengatasi masalah dunia kontemporer - yang sedang terjadi sekarang ini - admin), tapi siapa pun yang dipandang cakap menjelaskan agama ala kadarnya ditunjang kemampuan retorika dan merangkai kata, sudah bisa ditahbiskan sebagai ‘ulama’, kata pembahas buku ini.

 (Dilanjutkan lagi oleh pembahas buku ini - admin) Kehebatan guru tidak diletakkan pada keberkahan dan karamah yang memancar dari wajah karismatiknya atau aktivisme sosialnya, tapi sejauh mana sosok itu memiliki followers yang banyak. Seberapa hebat statusnya tampil menjadi viral disebar ke banyak orang. Konsep jemaah digeser menjadi idola dan fan. Boleh jadi tradisi ‘cium tangan’ murid terhadap gurunya diganti dengan memijit tanda like dan kesediaan men-share ke banyak kawan.

Tidak sampai di sana, ‘pengajian’ di dunia maya juga menghasilkan followers dengan fanatisme yang garang karena dialog nyaris tertutup dan tidak ada kesempatan melakukan pelacakan terhadap genealogi tradisi keagamaan (turats). Biasanya cara pandang keagamaannya serbadikotomi, bipolar, hitam putih, dan penuh pendakian. Siapa pun yang tidak sepaham pemikirannya dengan mudahnya dianggap kafir, sesat, dan bidah.

Sesuai dengan karakteristik media sosial, ‘pengajian’ itu dilakukan secara meloncat-loncat, bahkan nyaris setiap peristiwa yang berlangsung dikomentari. Termasuk, kejadian politik, sosial, ekonomi, resep makanan, bintang film porno, sinetron terbaru, atau perilaku rujuk dan cerai seorang artis.

Layaknya tema keagamaan, dalam domain politik, sosial, dan ekonomi pun tidak lagi dibutuhkan keahlian. Apalagi, ditopang akurasi data dan kajian ilmiah, yang terjadi lebih kepada gosip dan sisanya ialah hoaks lengkap dengan foto-fotonya yang sudah diedit dan diimani sebagai kebenaran.

Itulah fakta mengkhawatirkan semangat beragama tanpa diimbangi ilmu. Semacam Islam ideologis minus epistemologi. Beragama yang riuh dengan pekik provokasi, tapi miskin refleksi, gemuruh pengajiannya lebih kuat ketimbang ikhtiar pengkajiannya. Beragama yang semakin menghasilkan militansi saling menghujat (hujatan) bukan membangun argumentasi diskursif yang kuat (hujah).

Islam tanpa Masjid

Kuntowijoyo ketika menulis buku Muslim tanpa Masjid, belum dilengkapi data semarak penggunaan media sosial seperti sekarang (kata pendapat pembahas buku - admin), akan menjadi menarik lagi kalau potret hari ini yang diteropong. Mungkin bukan lagi muslim tanpa masjid, tapi Islam tanpa masjid. Kalau muslim tanpa masjid bisa jadi dari dahulu dengan intensitas berbeda sudah terjadi. Kelompok priayi dan abangan, dalam telaah trikotomi Geertz, sering kali ditandai sebagai kelompok beragama yang tidak ramah dengan rumah ibadat sebagai pembeda rumpun santri.

Tentu dalam nomenklatur Islam tanpa masjid, tidak merujuk kepada makna punahnya masjid. Tidak mustahil bangunan fisik masjid semakin banyak dan megah, tapi spirit kemasjidan yang hilang. Bahkan, fungsinya sudah melenceng dari garis roh kenabian. Hari ini kita menyaksikan, minimal terbaca melalui peristiwa pemilihan Gubernur Jakarta dan tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada pemilihan lainnya. Bagaimana masjid menjadi ajang mempropagandakan politik identitas yang sempit, eksklusif, dan diskriminatif. Naifnya lagi mendapatkan pembenaran dari konsultan politiknya.

Masjid menjadi mimbar untuk memobilisasi massa guna menentukan garis politik yang sesungguhnya bersifat jangka pendek dan transaksional. Bahkan, sengaja demo-demo yang dilakukan mengambil momentum selepas shalat Jumat saat jemaah berkumpul menunaikan ibadah.

Kalau muslim tanpa masjid mencerminkan kebangkitan generasi muslim yang mempelajari ajaran agamanya serbatanggung, susulannya Islam tanpa masjid melambangkan keislaman yang terlepas dari spirit gen masjid. Islam yang telah dibajak untuk kepentingan politik.

Semacam ‘islamisme’ yang tak pernah lelah mengimajinasikan tatanan utopis politik Islam tanpa jelas formulasi, strategi, dan wujud eksistensialnya, kecuali sekadar semangat menghantam kelompok dan ideologi berbeda yang sejak awal telah dipandang tagut dan sisanya ialah fantasi menerapkan dongengan kejayaan khilafah masa silam.

Alih-alih mengembangkan konsep kewargaan multikultural yang inklusif, bahkan yang seagama karena berbeda mazhabnya juga dianggap umat munafik.

Dalam telaah Olivier Roy (1996), islamisme hanyalah perhimpunan orang-orang buangan dari modernisme yang gagal, dengan penggalangannya berdasarkan mitos kembali ke otentisitas Islam yang sebenarnya tak pernah ada.

(Kritik dari pembahas buku ini atas kemampuan ‘ulama/ustadz sekarang ini - admin) Sebuah gerakan yang digulirkan tanpa model politik, ekonomi, sosial yang khas dan konkret, kecuali sekadar jargon untuk menerapkan ‘syariat’ tanpa penjelasan utuh bagaimana syariat itu dioperasionalkan secara teknis-sosiologis dalam birokrasi, industri perbankan, kepartaian, dan lain sebagainya.

Sebuah model politik yang menuntut ketakwaan para anggotanya, tapi ketakwaan ini hanya bisa diperoleh lewat mimpi bila masyarakatnya benar-benar islami.

Sementara itu, persoalan laten kemiskinan, sistem ekonomi, krisis nilai, kemerosotan mutu pendidikan tidak pernah tersentuh dan tentu hal ini semakin memperjelas ilusi ‘negara islam’ tersebut.

Ijtmak [3] ulama dan post-islamisme

Baik muslim tanpa masjid maupun Islam tanpa masjid, sebenarnya semakin membenarkan isyarat kebenaran yang dengan menarik ditulis sastrawan AA Navis dalam Robohnya Surau Kami. Tentang orang beragama yang lebih mendahulukan aspek kesalehan individual ketimbang kebajikan sosial. Lebih memprioritaskan moralitas personal daripada struktural, ihwal ‘abu Islam’ yang mengalahkan ‘apinya’. Beragama yang didominasi ajaran bayangan metafisika surga-neraka, tapi defisit imajinasi cara mengelola negara yang akuntabel dan bertanggung jawab.

Mengembalikan Islam, Muslim, dan masjid kepada khitahnya inilah yang selekasnya harus dilakukan sebelum terlalu jauh terombang-ambing badai politik yang tidak jelas. Sebelum konsep ‘umat’ tergerus masa mengambang followers lewat ‘ijtimak ulama’ ke-1 dan ke-2 yang tak karuan. Ijtimak yang isinya tak lebih hanya pelintiran ayat-ayat Tuhan dan hadits Nabi untuk mendukung capresnya.

Langkah awal tentu saja belajar agama secara tenang. Tidak cukup hafiz Al-Qur’an, tapi juga harus ada penguasaan memadai ilmu-ilmu lainnya. Ulama-ulama pesantren yang tersebar di berbagai pelosok yang mengajar dengan ikhlas harus banyak dijadikan guru untuk menyerap keberkahan agar bisa belajar ‘pintar merasa’ bukan ‘merasa pintar’.

Gerak seperti ini yang disebut Asef Bayat (2011) sebagai upaya menghidupkan spirit post-islamisme, sebuah upaya sadar membangun konsep rasionalitas dan moralitas secara strategis untuk membatasi gerakan islamisme di area sosial, politik, dan intelektual.

Post-islamisme mewakili upaya meleburkan keagamaan dan hak, iman dan pembebasan. Menegaskan kesejarahan kitab suci, menjunjung pluralitas dari dera suara otoritatif tunggal. Kebebasan individu, pengakuan akan yang sekuler, pembebasan dari rigiditas dan penghapusan monopoli kebenaran, penyatuan agama dan tanggung jawab (? admin).

Baik muslim maupun Islam tanpa masjid, kedua-duanya kurang bagus bagi masa depan agama itu sendiri atau hubungannya Islam dengan umat lain. Kurang sehat juga bagi pertumbuhan tubuh ke-Indonesiaan yang multikultural. [4] □□

 

PENUTUP

Penutup dari admin blog sebagai berikut:

S

ehubungan dengan akhir-akhir ini ada usaha DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang mayoritas ditangan partai PDIP yang berusaha menghilangkan sila pertama dengan cara memerasnya menjadi 3 sila (Trisila) dan kemudian 1 sila saja (Ekasila).

Sebagaimana yang disebutkan Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Cecep Hidayat, memandang RUU HIP (Rancangan Undang undang Haluan Ideologi Pancasila)  ini berpotensi digunakan sebagai "alat" pemerintah dalam memukul ideologi lain dan menurunkan nilai keagamaan yang menjadi roh Pancasila yang kemudian digantikan dengan "gotong royong".

Pembahasan RUU HIP muncul di saat masyarakat dan pemerintah tengah fokus menangani wabah virus corona.

Salah satu pasal yang dinilai bermasalah adalah Pasal 7 yang memiliki tiga ayat, yaitu:

(1) Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/ demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.

(2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan.

(3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

"Rumusan seperti di Pasal 7 seperti mengulang kembali perdebatan lama yang sudah selesai dan bertentangan dengan UUD 1945. Padahal rumusan Pancasila sebagai dasar negara sudah final dengan lima sila.  [5] Lihat dan baca juga topik blog ini dengan mengklik ---> Sejarah Piagam Jakarta

 

Konsep Trisila dan Ekasila - Merunut sejarah pembentukan Pancasila di masa menjelang kemerdekaan Indonesia 1945, konsep Trisila dan Ekasila disampaikan oleh Presiden Soekarno sebagai alternatif Pancasila yang ditawarkannya. Saat itu, lima dasar negara yang disampaikan Soekarno dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945 adalah: 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi 4. Kesejahteraan sosial 5. Ketuhanan yang Maha Esa Dikutip dari Magdalena (2019), dalam kesempatan sidang itu, Soekarno juga menawarkan alternatif lain sebagai dasar negara Indonesia, yakni Trisila dan Ekasila. Baca juga: Soal RUU HIP, Pimpinan Baleg Jamin DPR Perhatikan Aspirasi Publik Alternatif itu disampaikan barangkali ada yang tidak setuju dengan bilangan 5 dan menginginkan bilangan yang lain. Tidak hanya itu, dua alternatif Trisila dan Ekasila disampaikan sebagai dasar dari segala dasar lima sila yang disebutkan sebelumnya. "Alternatifnya bisa diperas menjadi Trisila, bahkan bisa dikerucutkan lagi menjadi Ekasila," tulis Magdalena. Dasar negara yang diusulkan Soekarno melalui Trisila adalah socio-nationalisme, socio democratie, dan Ketuhanan. Sementara Ekasila berisi satu hal, gotong-royong. [6]

Kalau kita tidak memperhatikan sejarah, maka selanjutnya jangan menyesal kalau sejarah itu akan memakan atau menggilas Anda sendiri sebagaimana quotasi ini: Barang siapa yang tidak memperhatikan sejarah, maka akan dirugikan oleh sejarah itu sendiri. Billāhit Taufiq wal-Hidāyah. □□□ AFM

 

Biografi

Kuntowijoyo (1943 – 2005) mendapatkan pendidikan formal keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah di Ngawonggo, Klaten. Ia lulus SMP di Klaten dan SMA di Solo, sebelum lulus sarjana (S1) Sejarah Universitas Gadjah Mada pada tahun 1969. Gelar MA (s2) American History diperoleh dari Universitas Connecticut, Amerika Serikat pada tahun 1974, dan Ph.D (S3) Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia pada tahun 1980. Ia mengajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada dan terakhir menjadi Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya, dan menjadi peneliti senior di Pusat Studi dan Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kendati menjalani hidup dalam keadaan sakit, semenjak mengalami serangan virus meningo enchepalitis pada 6 Januari 1992, dia terus berkarya sampai detik-detik akhir hayatnya. Prof Dr Kuntowijoyo, yang akrab dipanggil Pak Kunto, ini meninggal dunia di Rumah Sakit Dr Sardjito, Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan ginjal.

Kuntowijoyo adalah seorang Doktor (Ph. D.) dalam ilmu sejarah dari Columbia University, Amerika Serikat. Ia dijuluki seorang sejarawan beridentitas paripurna. Karena memang, dia menjalani hidup di beragam habitat dan identitas itu. Dia guru besar sejarah di Universitas Gadjah Mada. Pengarang berbagai judul novel, cerpen dan puisi. Pemikir dan penulis beberapa buku tentang Islam. Kolomnis di berbagai media. Aktivis berintegritas di  Muhammadiyah. Sangat sering menjadi penceramah di masjid. Dan sebagainya.

Bayangkan, kendati sebagaian hari-hari (puluhan tahun) dijalaninya dalam keadaan sakit, dia telah menulis lebih 50 judul buku. Belum terhitung kolom-kolomnya di berbagai media. Tak jarang pula bukunya mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan intelektual. Seperti buku, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997. Sebuah penuangan pemikiran yang mampu menerjemahkan konsep perjuangan ke dalam langkah nyata.

Sebagai seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang mengajarkannya kearifan itu. Baginya, belajar sejarah adalah proses belajar kearifan. Dia mengimplementasikan dalam kesehariannya. Dia rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan.

Selain sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir (intelektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-bukunya, seperti Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam, sungguh mencerminkan kecerdasan, kejujuran dan integritasnya sebagai seorang intelektual muslim. Para mahasiswanya juga memandangnya seorang guru yang bijaksana. Meski dalam kondisi sakit, ia tetap mau merelakan waktunya untuk membimbing mahasiswanya.

Selain seorang sejarawan, Kunto juga seorang kiyai. Dia ikut membangun dan membina Pondok Pesantren Budi Mulia tahun 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta tahun 1980. Dia menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya sebagai seorang kiai.

Dia juga seorang aktivis Muhammadiyah. Dia sangat lekat dengan Muhammadiyah. Dia pernah menjadi anggota PP Muhammadiyah. Bahkan dia melahirkan sebuah karya Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru. Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr. Syafii Maarif menyebut Kunto merupakan sosok pemikir Islam dan sangat berjasa bagi perkembangan Muhammadiyah. Menurut, Syafii, kritiknya sangat pedas tetapi merupakan pemikiran yang sangat mendasar.

Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, 18 September 1943. Pendidikan SD dan SMP ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten (1956) dan SMP Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962). Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta (1969).

Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974) dan gelar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980) dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940. Anak kedua dari sembilan bersaudara ini dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah dan dunia seni. Ayahnya yang Muhammadiyah juga suka mendalang. Dia diasuh dalam kedalaman relijius dan seni. Dua lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhannya semasa kecil dan remaja.

Semasa kuliah, dia sudah akrab dengan dunia seni dan teater. Dia bahkan pernah menjabat sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan ketua Studi Grup Mantika, hingga 1971. Pada kesempatan ini, dia berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti Arifin C. Noer, Syu’bah Asa, Ikranegara, Sutradara, Pembaca Cerpen Chaerul Umam dan Salim Said.

Sementara minat belajar sejarah sudah terlihat sejak kecil. Konon, saat belajar di madrasah ibtidaiyah di sebuah desa di Klaten, Jawa Tengah (1950-1956), Kunto kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Ustad Mustajab, yang piawai menerangkan peristiwa tarikh (sejarah Islam) secara dramatik. Seolah dia dan murid-murid lainnya ikut mengalami peristiwa yang dituturkan Sang Ustad itu. Sejak itu, dia tertarik dengan sejarah.

Bakat menulisnya juga tumbuh sejak masih duduk di bangku madrasah ibtidaiyah itu. Gurunya, Sariamsi Arifin, seorang Penyair dan Yusmanam, seorang pengarang. Kedua guru inilah yang membangkitkan gairah menulis Kunto.

Dia pun mengasah kemampuan menulis dengan terus menulis. Baginya, cara belajar menulis adalah banyak membaca dan menulis. Kunto, kemudian melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari dimuat di Harian Jihad sebagai cerita bersambung.

Karya dan Penghargaan

Karya-karyanya pun terus mengalir sampai menjelang akhir hayatnya. Lebih 50 buku telah ditulisnya. Begitu juga cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Tak sedikit di antaranya meraih hadiah dan pengharaan. Cerita pendeknya, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1968), memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra.

Kemudian kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, mendapat Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik versi Harian Kompas berturut-turut pada 1995, 1996 dan 1997.

Novel Pasar meraih hadiah Panitia Hari Buku, 1972. Naskah dramanya berjudul Rumput-Rumput Danau Bento (1968) dan Topeng Kayu (1973) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta. Penghargaan Kebudayaan diterima dari ICMI (1995), Satyalencana Kebudayaan RI (1997), ASEAN Award on Culture and Information (1997), Mizan Award (1998), Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999) dan FEA Right Award Thailand (1999).

Juga menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia (1999). Novelnya, yang pernah menjadi cerita bersambung di harian Kompas, berjudul Mantra Pejinak Ular, ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2001.

Sementara, karya-karya intelektualnya antara lain Demokrasi dan Budaya (1994), Pengantar Ilmu Sejarah (1995), Metodologi Sejarah (1994), dan Radikalisme Petani (1993). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991) dan Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung, 1997.

Harta yang paling mahal di rumah itu hanyalah tumpukan buku dan piala-piala penghargaan untuk karya-karya tulisnya. Ruang perpustakaan di lantai atas penuh sesak dengan buku. Ruang keluarga, ruang tamu, lantai atas dan lantai bawah juga dijejali buku. Meja dan tangga ke lantai atas pun berisi buku-buku.

Isterinya, Ning, yang kini menjadi dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Jogja, juga telah menyelesaikan studi Psychology Department, Hunter College of The City University of New York, tahun 1980. Dukungan Susilaningsih Kuntowijoyo MA, sang istri yang dengan sabar dan tekun menemani, telah menjadi kekuatan dan inspirasi tersendiri bagi Kunto. Ketika Kunto jatuh sakit dan sulit melafalkan kalimat-kalimat dengan jelas, Ning, yang selalu setia mendampingi menerima tamu, sekaligus menjadi penerjemah ucapan-ucapannya.

Begitu juga ketika wawancara dengan wartawan. Ning juga yang membacakan makalah Kunto dalam berbagai forum seminar. Jika Ning berhalangan, putra sulungnya, Punang, yang sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Geologi UGM, menggantinya sebagai penerjemah.

Adalah Ning juga yang selalu setia menadampinginya melakukan olah raga senam, jogging atau jalan kaki. Sekali dua hari, dia berolah raga. Kunto biasanya sudah bangun tidur sekitar pukul 03.30. Kemudian shalat tahajud, shalat fajar dan berzikir. Selepas itu, dia menulis sampai beduk subuh. Setelah salat subuh, meneruskan menulis lagi. Kala jadual jalan pagi, dua hari sekali, setelah salat subuh, ia berjalan-jalan untuk melemaskan otot kakinya sampai sejauh 5 kilometer, kegiatan menulis juga dilanjutkan lagi setelah jalan pagi. Siang hari, dia tidur siang. Sorenya, ia kembali menulis. Beristirahat sejenak dan sehabis shalat isya, menulis lagi sampai tengah malam, bahkan kadang-kadang hingga pukul 02.00.

Namun, di tengah keasyikannya menulis, Kunto juga senang menonton acara pertandingan tinju dan film koboi di televisi. Pada saat menonton dan ke mana pun perginya, ia selalu mengantongi sebuah notes untuk mencatat ide-ide yang secara kebetulan muncul. Novel Khotbah di Atas Bukit (1976) yang menjadi master piece-nya, ternyata ditulisnya hanya sambil lalu di sela-sela waktu mengajar.

Menurut Ning, hingga menjelang akhir hayat, Kunto masih menulis. Minggu pagi mereka setelah jalan-jalan ke rumah ibunya di Klitren, lalu putar-putar ke Nogotirto melihat tanah milik anaknya. Setelah pulang masih sempat mengetik, melanjutkan menulis buku Mengalami Sejarah. Bahkan, Kunto juga bercerita ingin menulis buku tentang Muhammadiyah untuk menyambut muktamar.

Hampir tidak ada tanda-tanda dia akan pergi selamanya dalam waktu dekat. Aktivitas kesehariannya hingga Minggu malam 20 Februari 2005 masih biasa-biasa. Bahkan pada Sabtu, masih sempat ke kampus untuk menanyakan syarat kenaikan pangkat IV D-nya. Minggu masih berkunjung ke adiknya yang hamil tua.

Pada Minggu itu, Kunto berangkat tidur pukul 22.30. Rasa sakit di pinggang baru dirasakan pada pukul 24.00. Ning mencoba mengobati. Tapi, pukul 03.00 Senin 21 Februari 2005, dia menderita diare. Lalu dia dibawa ke Rumah Sakit Sardjito. Dirawat di Paviliun Cendrawasih hingga sore. Sekitar pukul 20.00, kondisinya menurun dan harus dirawat di intensive care unit (ICU). Selasa 22 Februari 2005 pukul 16.00 dia menghembuskan nafas terakhir. [7] □□□□

 

Catatan Kaki:

[1] Transendental secara harafiah dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan transenden atau sesuatu yang melampaui pemahaman terhadap pengalaman biasa dan penjelasan ilmiah.

Hal-hal yang transenden bertentangan dengan (atau mengatasi hal-hal yang bersifat) dunia material. Dalam pengertian tersebut, filsafat transendental dapat disamakan dengan metafisika. Bahkan Immanuel Kant menggunakan kata transendental ketika menyebut transendental aplikasi prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau mengatasi batas-batas pengalaman. Dalam skolatisme, transendental bersifat superkategoris. Dikatakan seperti itu karena cakupan hal transendental lebih luas daripada kategori-kategori tradisional dari filsafat skolastik yaitu forma atau bentuk dan materi, aksi, potensi, dsb.

Hal-hal transendental mengungkapkan ciri universal dan adi-inderawi dari yang ada. Tanda-tanda tersebut ditangkap melalui intuisi yang mendahului pengalaman apapun. Dalam filsafat neo-skolastik, transenden menunjukkan eksistensi yang mengatasi kegiatan berpikir, kesadaran, dan dunia. Sedangkan kata transendental menunjuk konsep yang karena sifatnya universal melampaui kategori-kategori atau tidak dapat diperas ke dalam satu kategori saja. Konsep eksiten itu sendiri dan konsep mengenai atribut hakiki yang termasuk eksisten disebut sebagai transendental. [https://id.wikipedia.org/wiki/Transendental]

[2] https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2020/01/manusia-dalam-telaahan-quranik.html

[3] Ijtima' atau ijtimak, berasal dari bahasa Arab اجتمع - يجتمع - اجتماعا (Ijtama'a - yajtami'u - ijtimaa'an). Secara bahasa memiliki makna: bertemu, berkumpul, berhimpun, bersidang, bergabung, bersatu.

Secara istilah ada beberapa penggunaan. 1. Dalam istilah ilmu falak (peredaran benda-benda langit), ijtimak bermakna konjungsi geometris, yaitu bertemunya bumi dan bulan di posisi bujur langit yang sama, ini jika dilihat dari bumi. Apabila sudah ijtimak, itu tandanya telah masuk bulan baru dalam kalender Hijriyah. 2. Dalam istilah fikih, ijtimak bermakna persetujuan para ulama dalam masalah fikih tertentu di suatu masa yang sama. Contoh: Dalam satu kesempatan ada 100 ulama bertemu untuk membahas sebuah permasalahan, kemudian mereka bersepakat satu suara. Nah! Itu namanya ijtimak ulama.

[4]  https://mediaindonesia.com/read/detail/185714-muslim-tanpa-masjid.html

[5] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53044028

[6] https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/27/115629265/konsep-awal-ekasila-dan-trisila-yang-jadi-kontroversi-di-ruu-hip?page=all

[7] http://sangpencerah.com/2016/03/mengenal-kuntowijoyo-budayawan-muhammadiyah-kebanggaan-indonesia.html    □□□□□

 

Sumber Penulisan:

https://mediaindonesia.com/read/detail/185714-muslim-tanpa-masjid.html

http://sangpencerah.com/2016/03/mengenal-kuntowijoyo-budayawan-muhammadiyah-kebanggaan-indonesia.html

https://afaisalmarzuki.blogspot.com/2020/01/manusia-dalam-telaahan-quranik.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Transendental

https://id.wikipedia.org/wiki/Ijtimak

https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53044028

https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/27/115629265/konsep-awal-ekasila-dan-trisila-yang-jadi-kontroversi-di-ruu-hip?page=all         

http://sangpencerah.com/2016/03/mengenal-kuntowijoyo-budayawan-muhammadiyah-kebanggaan-indonesia.html  

https://kuncikeyakinan-faisal.blogspot.com/2017/12/sejarah-piagam-jakarta.html      □□□□□□