KATA PENGANTAR
I
|
slam adalah agama yang diturunkan kepada umat
manusia dalam segala ruang, waktu dan kondisi. Karena itu ajaran Islam memiliki
nilai kebenaran yang universal sehingga bisa cocok untuk semua manusia yang mau
menerima kebenaran.
Dalam kaitan ini Rasulullah SAW telah mengajarkan bahwa: “ad-dīnu
huwa al-'aqlu lā dīna lā 'aqla lahu”, artinya: agama Islam sejalan dengan
akal sehat, maka dianggap tak beragama bagi orang yang tidak berakal. Makna hadits
di atas bisa dikaitkan dengan kondisi manusia yang secara usia telah masuk
kategori dewasa (baligh), namun
jiwanya tidak sehat (gila) maka yang bersangkutan dianggap tidak cakap hukum
sehingga tidak dibebani kewajiban agama.
Namun demikian makna hadits itu bisa dikaitkan
dengan manusia yang tidak menggunakan “akal sehatnya” untuk menerima kebenaran.
Dengan demikian ajaran Islam sangat menghargai pemanfaatan akal atau rasio yang
mengantarkannya kepada kebenaran yang hakiki dan sumber kebenaran itu sendiri
yaitu Allah.
Bahkan dalam banyak ayat al-Qur'an diisyaratkan
dalam bentuk pertanyaan: afala ta'qilun
(apakah kamu tidak menggunakan akalmu), afala
tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir)?
Berdasarkan asumsi di atas, matematika sebagai
salah satu disiplin ilmu pengetahuan bisa digunakan sebagai pendekatan dalam
menjelaskan beberapa doktrin dalam ajaran Islam. Penggunaan pendekatan
matematika di sini bukan berarti bahwa lemahnya doktrin ajaran Islam tersebut
melainkan hanya - alat bantu menerangkan - terutama yang bersekolah umum untuk
menambah keyakinan umat Islam bahwa semua ilmu pengetahuan itu bernilai
kebaikan dan bisa mengantarkan kepada kebaikan yang hakiki serta meningkatkan
keimanan dan kedekatan kepada Allah. Bukankah dalam al-Qur'an sendiri, banyak
ditemukan ayat yang menggunakan angka-angka dalam menyampaikan informasi
kebenaran kepada manusia?
Bahasan tema ini diambil dari tulisannya Dr. Lama Jamaa, MHI dengan judul Integrasi Matematika dengan Islam - yang kemudian admin blog ini menambahkan Menerangkan Nilai Islam dengan Matematika. □ AFM
Bahasan tema ini diambil dari tulisannya Dr. Lama Jamaa, MHI dengan judul Integrasi Matematika dengan Islam - yang kemudian admin blog ini menambahkan Menerangkan Nilai Islam dengan Matematika. □ AFM
INTEGRASI MATEMATIKA DENGAN ISLAM
Menerangkan Nilai Islam dengan Matematika
Oleh: Dr. Lama Jamaa, MHI
PENDAHULUAN
“ad-dīnu huwa al-'aqlu lā dīna lā 'aqla lahu”,
artinya: “agama Islam sejalan dengan akal sehat, maka dianggap tak beragama
bagi orang yang tak berakal”. (Hadits)
I
|
slam adalah agama yang diturunkan kepada umat
manusia dalam segala ruang, waktu dan kondisi. Karena itu ajaran Islam memiliki
nilai kebenaran yang universal sehingga bisa cocok untuk semua manusia yang mau
menerima kebenaran. Dalam kaitan ini Rasulullah saw telah mengajarkan bahwa "ad-dīnu huwa al-‘aqlu lā dīna lā
‘aqla lahu", artinya: "agama Islam sejalan dengan akal sehat, maka dianggap tidak
beragama bagi orang yang tak berakal".
Makna hadits di atas bisa dikaitkan dengan
kondisi manusia yang secara usia telah masuk kategori dewasa (baligh) - telah berusia 17 tahun ke atas
misalnya - namun jiwanya tidak sehat (gila) maka yang bersangkutan dianggap
tidak cakap hukum sehingga tidak dibebani kewajiban agama. Namun demikian makna
hadits itu bisa dikaitkan dengan manusia yang tidak menggunakan akal sehatnya
untuk menerima kebenaran. Dengan demikian ajaran Islam sangat menghargai
pemanfaatan akal atau rasio yang mengantarkannya kepada kebenaran yang hakiki dan
sumber kebenaran itu sendiri yaitu Allah. Bahkan dalam banyak ayat al-Qur’an
diisyaratkan dalam bentuk pertanyaan: afala ta’qilun (apakah kamu tidak
menggunakan akalmu), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir)?
Berdasarkan asumsi di atas, matematika sebagai
salah satu disiplin ilmu pengetahuan bisa digunakan sebagai pendekatan dalam
menjelaskan beberapa doktrin dalam ajaran Islam. Penggunaan pendekatan
matematika di sini bukan berarti bahwa lemahnya doktrin ajaran Islam tersebut
melainkan hanya untuk menambah keyakinan umat Islam bahwa semua ilmu pengetahuan
itu bernilai kebaikan dan bisa mengantarkan kepada kebaikan yang hakiki serta meningkatkan
keimanan dan kedekatan kepada Allah. Bukankah dalam al-Qur’an sendiri, banyak
ditemukan ayat yang menggunakan angka-angka dalam menyampaikan informasi kebenaran
kepada manusia?
Di samping itu adanya keragaman ilmu pengetahuan
adalah suatu keniscayaan. Begitu juga adanya perbedaan antara doktrin Islam
dengan ilmu matematika, tidak perlu dipertentangkan. Sebab meskipun doktrin
Islam bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan hadits) sedangkan ilmu matematika
bersumber dari akal, namun wahyu dan akal bersumber dari Allah.
Karena itu tulisan ini akan mengulas sekilas
hubungan matematika dengan Islam, atau analisis beberapa doktrin ajaran Islam
dengan pendekatan matematika.
SYARAT DAN NILAI AMAL
IBADAH
I
|
badah atau 'ibādah adalah bahasa 'Arab yang berasal dari dari akar kata 'abada - ya'budu - 'ibādah yang
berari “do'a, mengabdi, tunduk atau patuh kepada Allah.” Secara istilah, ibadah
adalah “segala aktivitas yang dilakukan dengan tujuan dan motivasi (niat) untuk
memperoleh ridha Allah - yang mendatangkan pahala atau hasil sebagai balasannya.” Atau “segala kepatuhan yang dilakukan untuk
mencapai ridha Allah yang dengan itu hasilnya akan membaikkan kehidupannya baik di dunia dan di akhirat, atau dengan mengharapkan pahala-Nya (kebaikan-Nya) di akhirat.”
Dengan demikian ibadah tidak hanya terbatas
kepada aktivitas yang telah ditentukan oleh syariat sebagai kewajiban atau
anjuran (sunnah) akan tetapi ibadah memiliki cakupan yang sangat luas.
Kebanyakan umat Islam membatasi ibadah hanya pada ibadah shalat, puasa, zakat, haji
serta beberapa ibadah lainnya. Sedangkan aktivitas seperti menuntut ilmu,
bekerja mencari nafkah bukan dikategorikan sebagai ibadah, melainkan hanya
aktivitas keduniaan semata. Padahal menurut Islam semua aktivitas manusia bisa
diarahkan kepada ibadah dan memang seharusnya semua tindakan manusia harus
bernilai ibadah - yang pada dasarnya sungguh mengandung kebaikan bagi manusia yang melaksanakannya.
Ibadah
dapat dibagi berdasarkan (1) Tata cara pelaksanaannya; (2) Berdasarkan manfaatnya sebagai berikut:
1. Tata cara pelaksanaannya
Tata cara elaksanaan ibadah terbagi dua
macam, yaitu (a) Ibadah Mahdhah, disebut juga Ibadah Khusus; (b) Ibadah Ghairu Mahdhah, disebut juga ibadah Umum.
a.
Ibadah Mahdhah (Ibadah Khusus), yaitu ibadah yang tata cara
pelaksanaannya telah diatur secara jelas dan rinci (khusus) oleh syara, seperti
shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dsb.
Ibadah mahdah disebut juga ibadah
ritual karena harus dilakukan sesuai dengan ritual (tata upacara) yang telah
ditentukan dan orientasi utamanya untuk menjalin hubungan dengan Allah SWT.
Dalam ibadah ini tidak boleh diubah tata caranya
berbeda dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam bidang ibadah
mahdah dikenal bid’ah, yakni amalan ibadah mahdah yang ditambah atau dikurangi dari
apa yang dicontohkan oleh Nabi SAW atau sahabatnya, apalagi amal ibadah yang
diada-adakan.
b.
Ibadah Ghairu Mahdhah (Ibadah Umum), yaitu ibadah yang tata
cara pelaksanaannya tidak diatur secara jelas dan rinci oleh syara, seperti
menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat, dsb.
Disebut ibadah umum karena eksistensinya sebagai
ibadah bersifat universal (umum) tetapi tata cara pelaksanaannya diserahkan
kepada adat istiadat (hasil kreasi, inovasi) manusia.
Dalam ibadah ini syariat hanya menegaskan bahwa
menuntut ilmu, bekerja mencari nafkah, menutup aurat wajib hukumnya (ibadah)
mesti dilakukan. Namun tata caranya tidak ditentukan oleh syariat, tetapi diserahkan kepada
kreativitas dan inovasi manusia. Yang terpenting ilmu yang dituntut itu bermanfaat
bagi manusia dan kemanusiaan, bukan ilmu sihir atau ilmu yang membahayakan manusia. Ilmu yang bermanfaat itulah yang diwajibkan sebagaimana hadits menyatakan: "tholabul 'ilmi farīdhotun 'alā kulli muslimin", artinya: "mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim." Bahlan disebut dalam Surah ke-58, ayat 11 bahwa:
Misalnya:
Menutup aurat (kewajiban memakai jilbab)
termasuk ibadah ghairu mahdah karena yang dijelaskan al-Qur’an dan hadits
hanya ketentuan wajib menutup aurat tetapi ketentuan mengenai mode, kualitas
kain dan sebagainya diserahkan kepada hasil kreasi manusia. Dalam hal ini yang terpenting
jilbab tersebut memenuhi syarat pakaian yang menutup aurat yakni tidak ketat,
tidak transparan serta tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya (tidak
merangsang).
Dalam bekerja mencari harta syariat hanya mengatur
agar harta diperoleh dengan cara-cara yang benar serta dimanfaatkan untuk
kebaikan. Namun tidak diberikan rincian mengenai jenis usaha yang akan digeluti
dan teknik pelaksanaannya. Hal itu mengandung hikmah agar umat manusia termasuk
umat Islam memiliki kebebasan dalam mencari jenis usaha dan bagaimana mewujudkannya.
Yang terpenting dan harus diperhatikan adalah usaha yang digeluti itu bukan jenis
usaha yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur'an dan hadits, seperti
riba, melakukan jual beli barang haram, atau mengandung penipuan dan
sejenisnya.
Menuntut ilmu juga adalah ibadah umum karena
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur’an [1] dan hadits [2] namun tata
caranya tidak ditentukan secara khusus oleh syara. Hal
itu mengandung makna bahwa semua ilmu adalah berasal dari Allah dan karena itu
mengandung kebaikan untuk manusia dan kemanusiaan serta alam semesta. Ilmu yang
dilarang dipelajari hanya ilmu sihir atau black magic, yang memang tidak
bermanfaat dan bahkan dapat mendatangkan bahaya bagi manusia.
2. Berdasarkan manfaatnya
Berdasarkan manfaat ibadah terbagi dua
macam, yaitu (a) Ibadah Syakhsiyah, disebut juga Ibadah Individual; (b) Ibadah Ijtima'iyah, disebut juga Ibadah Sosial.
a.
Ibadah Syakhsiyah (Ibadah Individual), yaitu ibadah yang
berupa hubungan individu dengan Tuhannya serta manfaat (pahala)nya hanya
diperoleh atau dinikmati individu yang bersangkutan, seperti shalat, puasa,
dsb. Jadi, manfaatnya hanya bersifat pribadi. Ibadah syakhsiyah hanya memberikan
pahala dan manfaat bagi pelakunya.
b.
Ibadah Ijtima’iyah (Ibadah Sosial), yaitu ibadah yang
berupa hubungan antar sesama manusia serta dapat dirasakan manfaatnya oleh
orang lain, seperti zakat, sedekah, infaq, berkurban, menuntut ilmu, bekerja
mencari nafkah, dsb.
Disebut ibadah sosial karena dalam pelaksanaan
ibadah-ibadah tersebut selain menjalin komunikasi dan hubungan dengan Allah
juga dapat terjalin hubungan harmonis dengan sesama manusia (penerima zakat,
sedekah, infaq, hewan kurban, murid yang menerima ilmu, orang lain dapat
memenuhi nafkahnya) dsb. Memberi zakat, sedekah, infaq disebut ibadah sosial
sebab diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dan manfaatnya dapat dirasakan oleh
orang yang menerima zakat, sedekah dan infaq tersebut. Demikian juga menuntut
ilmu adalah ibadah sosial dan manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak orang jika
ilmunya diajarkan kepada orang lain. Karena itulah meski orang berilmu telah
tiada namun pahalanya akan terus mengalir berbanding lurus dengan jumlah orang
yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
Meskipun demikian perlu diketahui kriteria suatu
amalan bisa dikategorikan sebagai ibadah (bernilai kebaikan dan berpahala) atau
justru menjadi dosa. Banyak orang mengira suatu perbuatan bisa bernilai ibadah
(kebaikan dan berpahala) jika diniatkan untuk kebaikan, tanpa memperhatikan
cara atau prosesnya. Sehingga dalam realitas menimbulkan berbagai penyimpangan
tanpa merasa bersalah bahkan merasa telah melakukan kebaikan (ibadah) dengan bangga.
Seolah-olah segala bentuk perbuatan manusia akan langsung dinilai ibadah hanya berdasarkan
pada niat baiknya. Hal itu merupakan kesalahpahaman terhadap hadits niat, bahwa
innamal a'malu bin niyyat.
Padahal suatu perbuatan baru bisa dikategorikan
sebagai ibadah jika memenuhi minimal dua syarat secara kumulatif, yakni cara
harus benar dan niatnya juga harus benar menurut syara. Hal itu bisa
digunakan pendekatan perkalian dalam matematika, yang bisa diilustrasikan dengan
rumus berikut ini.
Ibadah:
caranya benar (+) x niatnya benar (+) = + (pahala/diridhai Allah).
Misalnya:
Shalat dilakukan sesuai syarat dan rukunnya
serta niatnya karena Allah.
Tata cara dan niat yang benar disimbolkan dengan
tanda positif (+). Menurut logika matematika perkalian positif (+) dengan
positif (+) selamanya akan menghasilkan positif (+) pula. Tidak pernah terjadi
(mustahil) perkalian positif (+) dengan positif (+) akan menghasilkan negatif
(-).
Amalan tersebut harus dilakukan secara benar
sesuai syariat dan diniatkan karena Allah.
Dalam shalat, harus dilakukan dengan tata cara
yang benar seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, baik syarat maupun rukun serta menghindari hal-hal yang
membatalkannya.
Proses pelaksanaan shalat yang benar itu baru
akan dinilai sebagai ibadah di sisi Allah jika shalat yang didirikan itu
diniatkan karena Allah.
Sebaliknya, menurut ajaran Islam suatu amalan
tak akan dinilai ibadah di sisi Allah jika niatnya salah (-), bukan karena
Allah meskipun tata cara pelaksanaan amalan tersebut telah benar (+), sesuai
dengan ketentuan syariat Islam. Hal itu bisa dibuktikan dengan amalan yang diniatkan
karena pamer (riya) yang dalam Islam justru dikategorikan sebagai salah satu perbuatan
dosa (-). Jadi, jika salah satu atau kedua syarat amalan tersebut bernilai
negatif (-) maka amalan itu akan bernilai dosa (-).
Ilustrasinya seperti di bawah ini.
* Bukan
ibadah: caranya benar (+) x niatnya salah (-) = - (dosa/dimurkai Allah).
Misalnya:
Shalat, zakat, sedekah dilakukan sesuai syarat
dan rukunnya tetapi niatnya karena riya. Begitu juga menikah dilakukan dengan
memenuhi syarat dan rukunnya tetapi niatnya untuk menyakiti istri bagi suami
atau menyakiti suami bagi istri atau saling menyakiti diantara suami istri.
* Bukan
ibadah: caranya salah (-) x niatnya benar (+) = - (dosa/dimurkai Allah).
Misalnya:
Mencuri dengan niat untuk menolong orang miskin
dengan uang curian itu. Atau, Memberi jawaban ujian kepada teman dengan niat
menolong sesama teman.
Tata cara atau niat yang salah disimbolkan
dengan tanda negatif (-).
Menurut logika matematika perkalian negatif (-)
dengan positif (+) atau sebaliknya selamanya akan menghasilkan nilai negatif
(-) pula. Tidak pernah terjadi (mustahil) perkalian negatif (-) dengan positif
(+) akan menghasilkan positif (-).
Berdasarkan rumus di atas shalat, nikah, yang
dilakukan bisa saja tata caranya benar sesuai syariat namun karena niatnya
tidak benar (karena ingin dipuji, riya) maka nilai shalat dan nikah tersebut
bukan ibadah melainkan dosa (-). Demikian pula pemberian bantuan kepada fakir miskin
atau orang-orang yang membutuhkannya, bisa jadi dari harta yang halal namun
jika bantuan itu diberikan dengan niat agar dianggap dermawan apalagi agar
dipilih dalam Pemilu/Pilkada, maka bantuan itu tidak akan bernilai ibadah (+)
melainkan dosa (-).
Sehingga sedekah atau zakat yang disebut-sebut untuk
riya tak akan bernilai pahala, seperti diungkapkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an
Surah al-Baqarah ayat 264 yang artinya:
Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menginfakkan
(menafkahkan) hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin
yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah
batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang
mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
kafir. (QS al-Baqarah 2:261)
Rumus itu berlaku juga dalam amalan yang
dilakukan dengan niat yang baik, karena mencari reda Allah (+) namun dilakukan
dengan cara yang salah, bertentangan dengan syariat (-), maka tak akan menjadi
ibadah (+) melainkan dosa (-). Misalnya, memberikan bantuan untuk panti asuhan,
pembangunan masjid, madrasah dan fasilitas sosial lainnya dari uang korupsi. Maka
meskipun diniatkan karena Allah SWT namun karena uang sumbangan diperoleh dari cara
yang salah maka nilai amalannya bernilai dosa (-). Dalam kaitan ini dosa
korupsi tidak bisa dicuci dengan sedekah sebab yang disedekahkan bukan haknya
melainkan hak rakyat. Hal itu dapat diibaratkan dengan mandi, tujuan utamanya
adalah untuk membersihkan badan dari kotoran atau keringat yang melekat ditubuh.
Namun tujuan dari mandi tadi tidak akan terwujud jika dia mandi menggunakan air
kotor.
Di samping itu dalam perbuatan zina yang
terkadang mengakibatkan kehamilan digunakan rumus:
* Bukan
ibadah: caranya salah (-) x niatnya salah (-) = + (dosa/dimurkai Allah).
Karena berzina merupakan hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan di luar ikatan perkawinan (cara yang salah) dan niatnya
juga tentu bukan untuk hamil, namun biasanya mudah hamil (+). Dalam tes
kehamilan secara medis, peristiwa kehamilan lebih dikenal dengan istilah
positif, tidak hamil dikenal dengan negatif.
Karena itu dalam melakukan kebaikan hendaklah
senantiasa memperhatikan dua aspek yakni tata caranya harus benar dan diniatkan
untuk Allah. Tidak bisa hanya memperhatikan aspek tata cara dengan mengabaikan
aspek niat. Begitu pula sebaliknya.
NILAI BALASAN ATAS ZAKAT,
INFAK DAN SEDEKAH
S
|
alah satu ajaran terpenting dalam Islam adalah
mengeluarkan sebagian harta di jalan Allah. Bahkan kepedulian untuk berbagi
harta kepada sesama manusia itu menjadi salah satu indikator orang bertakwa (muttaqin)
seperti yang diisyaratkan firman Alllah SWT dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah
ayat 2 dan ayat 3 yang artinya:
Kitab
(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang melaksanakan shalat, dan
menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (QS al-Baqarah 2:2-3)
Anjuran berbagi baik melalui infak, sedekah
maupun zakat bukan sekedar kewajiban melainkan mengandung nilai investasi baik
di akhirat maupun di dunia. Nilai investasi akhirat tentu berupa pahala yang
mengantarkan ke surga yang memberikan kebahagiaan tak ternilai. Di samping itu
juga Allah yang Mahakaya akan berkenan memberikan “panjar” dalam kehidupan dunia
dari sebagian balasan kebaikan dalam “berbagi” itu. Hal ini dapat ditelaah dari
firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 261 yang artinya:
Perumpamaan
orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang
menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai tumbuh 100 biji. Allah melipat
gandakan (balasan) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas (karuniaNya),
lagi Maha Mengetahui. (QS al-Baqarah 2:261)
Menafkahkan sebagian harta di jalan Allah
biasanya akan terasa berat dibandingkan dengan menafkahkan sebagian harta di
jalan setan. Karena itu Allah menyediakan ganjaran pahala yang besar sebesar
700 kali lipat bahkan hingga jumlah yang tak terhingga. Jika kandungan ayat ini
dicermati, maka dapat diketahui bahwa nilai pahala atau balasan yang akan diterima si pemberi berbanding lurus dengan
nilai KEIKHLASAN-nya saat berbagi atau memberI kepada orang lain. Dengan kata
lain berbanding terbalik dengan besar harapan memperoleh imbalan (balasan) dari
pemberiannya itu. Kandungan ayat ini dapat dijelaskan dengan pendekatan
matematika melalui pembagian.
Dalam sistem pembagian terdapat tiga komponen,
yakni:
● Penyebut
melambangkan pemberian (dengan simbol P)
●
Pembagi melambangkan harapan si pemberi (dengan simbol h)
● Hasil
melambangkan jumlah balasan yang bisa diterima dari si pemberi (H).
Rumusnya adalah: P/h=H
Catatan:
P (Pemberian); h (harapan; H (hasil); / (pembagi)
Misalnya:
Seseorang memberikan sedekah atau infak sebesar
Rp. 1 juta kepada orang miskin dengan harapan yang berbeda-beda. Orang tersebut
akan memperoleh balasan yang berbeda-beda pula yang dapat diilustrasikan sesuai
dengan rumus di atas seperti tabel berikut ini:
No.
|
Infak (Rp)
|
Harapan
|
Hasil
|
1
|
1.000.000,00
|
500.000
|
2
|
2
|
1.000.000,00
|
400.000
|
2,5
|
3
|
1.000.000,00
|
300.000
|
3,3
|
4
|
1.000.000,00
|
200.000
|
5
|
5
|
1.000.000,00
|
100.000
|
10
|
6
|
1.000.000,00
|
50.000
|
20
|
7
|
1.000.000,00
|
25.000
|
40
|
8
|
1.000.000,00
|
20.000
|
50
|
9
|
1.000.000,00
|
10.000
|
100
|
10
|
1.000.000,00
|
5.000
|
200
|
11
|
1.000.000,00
|
2.500
|
400
|
12
|
1.000.000,00
|
1.000
|
1.000
|
13
|
1.000.000,00
|
0
|
∞ (tak terhingga)
|
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa
semakin besar harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah maka
akan semakin kecil nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Sebaliknya,
semakin kecil harapan si pemberi akan mendapat balasan dari selain Allah, maka
akan semakin besar nilai balasan yang akan diperoleh secara riil. Besar
kecilnya harapan kepada selain Allah itu dalam ajaran
Islam disebut IKHLAS. Jelasnya, semakin ikhlas dalam memberi maka akan semakin
kecil pengharapannya kepada selain Allah. Bahkan dalam tataran tertentu jika
yang bersangkutan mengosongkan harapannya kepada selain Allah, maka Allah akan
berkenan memberikan balasan yang tak terhingga jumlahnya secara riil. Itulah IKHLAS
yang sebenarnya.
Karena itu pula ikhlas tidak didasarkan kepada
ucapan si pemberi, misalnya: "saya beri dengan ikhlas" sebab yang
tahu pemberian itu ikhlas atau tidak, hanyalah Allah dan si pemberi.
Yang menjadi tolok ukur keikhlasan dalam berbagi
kepada sesama adalah niat, dan niat itu ada dalam hati sehingga tidak bisa
direkayasa dengan ucapan seolah-olah ikhlas.
Bukankah dalam realitas banyak orang yang
memberi karena mengharapkan sesuatu kepada manusia, baik berupa pujian, imbalan
materi, kedudukan, status sosial dan sebagainya.
Namun terkadang merasa kecewa lantaran
harapannya tak terwujud. Membagi-bagi uang atau sembako kepada calon pemilih,
memberi sumbangan kepada panitia pembangunan masjid, majelis ta’lim dengan
harapan agar mereka berkenan memilihnya dan jika menang dalam pemilihan maka
akan memperoleh gaji plus tunjangan besar sehingga bisa memperoleh uang atau
harta yang banyak. Namun ternyata harapannya melesat sehingga mengalami
kerugian.
Sebaliknya, pemberian secara ikhlas meski nilai
nomimalnya kecil namun bisa mendatangkan keberkahan hidup. Yang terpenting
sebenarnya bukan besarnya nilai materi yang dimiliki namun nilai keberkahannya.
Bisa jadi, harta yang dimiliki besar jumlahnya namun belum tentu memberikan
kebahagiaan lantaran tidak berkah. Hartanya melimpah namun hidupnya tidak bahagia
karena anaknya ketagihan miras atau narkoba.
Itu bukan berarti umat Islam dilarang kaya namun
alangkah berbahagianya jika kekayaannya dapat memberikan kebahagiaan kepada
orang lain melalui infak, sedekah dan zakat yang diberikannya kepada orang yang
membutuhkannya. Kebahagiaan orang yang dibantunya secara psikologis akan
memantul juga ke dalam hati si pemberi. Rasa bahagia seperti itu sebenarnya
sangat besar nilai bahkan tidak ternilai dengan materi. Namun terkadang manusia mencari
kebahagiaan semu dan meninggalkan kebahagiaan yang hakiki.
Memang banyak orang bahagia bukan karena pada
manfaat dari apa yang dimilikinya namun pada berapa jumlah yang dimilikinya.
Sehingga bisa jadi hidupnya tampak seperti orang miskin, padahal uangnya
banyak. Dia tidak memanfaatkan uangnya untuk kemaslahatan dirinya karena
baginya, bahagia saat melihat tumpukan uang, atau jumlah deposito.
Sedangkan orang dermawan bahagianya lantaran
bisa membahagiakan orang lain yang sedang kesusahan, karena itu dia tak akan mengharapkan
balasan apa-apa (pengharapannya nol) dari orang yang dibantunya, namun yang
menjadi pengharapannya adalah ridha Allah. Jika keridhaan Allah bisa diraih
maka hal itu bisa memberikan manfaat besar dunia dan akhirat.
PENUTUP
D
|
emikianlah paparan dari tema INTEGRASI MATEMATIKA
DENGAN ISLAM - Menerangkan Nilai Islam dengan Matematika, semoga bermanfaatnya.
Dalam penyajian kembali ada penambahan dan penyusunan format serta catatan kaki seperlunya. Wallāhu a'lam bish-shawab. Billāhit Taufiq wal-Hidayah. □ AFM
CATATAN KAKI
SUMBER
CATATAN KAKI
[1] “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk
manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu.” (QS Al-‘Ankabūt
29:43)
Katakanlah: “Apakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sebenarnya
hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” [QS Az-Zumar 39:9]
“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu lah Yang Maha Mulia, Yang mengajar
(manusia) dengan pena (baca tulis). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya". [QS Al-'Alaq” 96:1-5]
[2] Rasulullah
bersabda: “Tholabul ‘ilmi faridhotun ‘alā kulli muslimin
wal muslimat minal mahdi ilal lahdi”,
artinya:
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah sejak dari ayunan
hingga liang lahat. (HR Ibnu Majah № 224 dari Anas bin Malik RA di shahikan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Ibni Majah: 183 dan Shahihut Targhib: 72) □□
SUMBER
https://www.academia.edu/29953973/Integrasi_Matematika_dan_Islam
Terjemahan Qur'an diambil dari ALFATIH, Al-Qur'an Tafsir Per Kata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir. □□□
Terjemahan Qur'an diambil dari ALFATIH, Al-Qur'an Tafsir Per Kata Di Sarikan Dari Tafsir Ibnu Katsir. □□□