Resensi Buku:
PERPECAHAN DAN SOLIDITAS PARTAI ISLAM
STUDI KASUS PKB DAN PKS
PENDAHULUAN
Partai politik sering hanya dilihat sebagai
wadah bagi aktivitas politik dalam menyerap aspirasi masyarakat guna
mempengaruhi (atau mengarahkan) jalannya negara agar sesuai dengan aspirasi
tersebut. Namun, partai politik juga bisa disebut sebagai miniatur sistem
politik dalam bernegara, dengan sistem organisasi yang berjalan. Dengan melihat
bagaimana partai politik ini dikelola, maka bisa juga sebagai cermin (gambaran
keadaan), bagaimana kemampuan para elite (dan juga kadernya) dalam mengelola
negara nantinya.
Hal yang lucu bila kita menginginkan seorang
demokrat dalam bernegara namun dalam mengelola organisasi partai malah tak
demokratis, atau partai sengaja didesain untuk tak demokratis. Atau elite yang
gagal mengelola demokratisasi dalam partainya sehingga berujung konflik dan
perpecahan, bagaimana ia akan mampu mengelola demokrasi dalam sistem politik
bernegara? Atau bagaimana misalnya sebuah partai menjalankan fungsi pendidikan
politiknya kepada masyarakat luas sesuai dengan garis ideologi partai – apa yang
diharapkan - bilamana aktivitas internal partai tak tersentuh (tidak
menjalankan sebagaimana mestinya) pendidikan politik ideologis tersebut?
Sehingga sangat penting kiranya memahami betul
bagaimana sebuah partai politik dikelola dengan baik sebagai sebuah organisasi.
Partai yang bisa dikelola dengan baik (well
management) sebagai sebuah organisasi, niscaya akan melahirkan soliditas
internal (tentunya yang baik). Soliditas internal, bisa menjadi bahan
pembelajaran mengelola organisasi semisal negara, dan bisa menjadi modal dalam
menghadapi tantangan eksternal partai.
SEJARAH PERPECAHAN PARTAI-PARTAI
POLITIK DI INDONESIA
TAK dapat dipungkiri, dalam
perjalanan sejarah partai politik di Indonesia, hampir semua partai mengalami
perpecahan. Baik partai yang berhaluan nasionalis, sosialis, komunis, bahkan
islam.
Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pecah setelah
penangkapan Soekarno, menjadi Partai Nasional Indonesia (Partindo) bentukan
Sartono, dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) bentukan Hatta-Sjahrir.
Partai Komunis Indonesia (PKI) sebelum
kelahirannya, berasal dari Indische Sociaal-Demochratische Vereeniging (ISDV).
ISDV pecah seusai perpecahan di tubuh Komunintern, faksi komunis mendirikan
PKI, dan faksi sosial demokrat mendirikan Partai Sosdem Hindia Belanda.
Selanjutnya, PKI pecah akibat perbedaan strategi partai dalam rencana
pemberontakan 1926. Tan Malaka yang tidak setuju pemberontakan, membentuk
Partai Rakyat Indonesia (PARI). Kemudian setelah kemerdekaan, Tan Malaka
mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) padahal telah ada PKI juga.
Murba nantinya di era Orde Baru (orba) berfusi ke dalam Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).
Partai islam sebelum era kemerdekaan pun tak
luput dari perpecahan. Sarekat Islam (SI) sebelum menjadi partai, mengalami
perpecahan. SI pecah menjadi faksi SI-Putih yang berhaluan non-komunis dan
faksi SI-Merah yang berhaluan komunis dan nantinya menjadi PKI. Kemudian, SI
berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan mengalami beberapa
kali perpecahan. Soekiman mendirikan Partai Islam Indonesia (Partii atau PII) setelah
dipecat dari PSII karena tuduhan terhadap H.O.S. Tjokroaminoto terlibat
korupsi. Kemudian PSII mengalami perpecahan kembali saat menentukan haluan
partai. Saat partai memutuskan bersikap non-kooperatif terhadap kolonial
Belanda, kelompok yang menghendaki sikap kooperatif seperti Agus Salim
membentuk Barisan Penyadar PSII. Setelah kelompok sempalan tersebut dikeluarkan
dari partai, mereka membentuk Pergerakan Penyadar. Kemudian, saat haluan partai
mengarah ke sikap kooperatif, kelompok non-kooperatif yang dimotori S.M.
Kartosoewirjo mendirikan sempalan dalam tubuh partai, dan setelah dipecat,
mendirikan Komite Pembela Kebenaran PSII.
Pasca Indonesia merdeka, kalangan umat islam
sepakat mendirikan Partai Masyumi sebagai wadah tunggal politik umat islam.
Namun tak berlangsung lama hingga terjangkiti gejala perpecahan. kalangan
mantan anggota PSII keluar dari Masyumi dan mendirikan kembali PSII. Hal ini
karena perbedaan respon mereka terhadap tawaran koalisi dari kabinet Amir
Sjarifudin. Kemudian, perpecahan berlanjut dengan keluarnya Nahdlatul Ulama
(NU) dari Masyumi akibat semakin terpinggirkannya peran kalangan NU dalam
Masyumi. PSII pun tak bisa mengelak dari perpecahan setelah keluar dari
Masyumi. PSII faksi Abikusno Tjokrosuroso saling bersaing dengan PSII faksi
Arudji Kartawinata / Anwar Tjokroaminoto. Hingga perpecahan tersebut mengundang
Soekarno sebagai Presiden RI melakukan intervensi.
Partai Tarbiyah Islamiyah (Perti) juga mengalami
perpecahan antara kubu yang hendak terus berpolitik dengan kubu yang hendak
menjadikan Perti kembali sebagai ormas, hingga keluarnya dekrit yang
menghendaki Perti kembali ke khittahnya, mundur dari politik praktis. Sedangkan
faksi politik Perti nantinya terus muncul dan masuk dalam fusi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) di era orde baru.
Sedangkan kalangan sosialis, awalnya menyatukan
Partai Sosialis pimpinan Amir Sjarifudin dengan Partai Rakyat Sosialis (PARAS)
pimpinan Soetan Sjahrir menjadi Partai Sosialis Indonesia (PSI). PARAS berasal
dari kader PNI-Baru didikan Hatta-Sjahrir sejak sebelum kemerdekaan, sedangkan
Partai Sosialis, banyak disupport kader Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) yang
digalang Amir Sjarifudin dari pengikut eks-PARI, eks-PKI, dan eks-PNI yang
dibubarkan pada akhir era kolonial Belanda. Namun, PSI pecah, Amir akhirnya
bergabung dengan PKI pimpinan Musso. Sedangkan kalangan Nasionalis yang
bernaung di bawah PNI mengalami perpecahan akibat penentuan asas partai, faksi
kiri digawangi Ali Sastoamidjojo, sedangkan faksi kanan digawangi Hardi. PNI
faksi kiri mendominasi era demokrasi terpimpin, sedangkan selepas Soekarno
lengser, faksi kanan PNI berkuasa, hingga PNI dileburkan menjadi PDI di era
orba.
Memasuki era orba, sebelum fusi partai islam
menjadi PPP, PSII mengalami perpecahan kembali, faksi M.CH. Ibrahim yang
menolak fusi, dengan faksi T.M. Gobel yang mendukung fusi, hingga mengundang
rezim Orba melakukan intervensi. PPP sebagai fusi dari banyak partai islam, tak
terhindar oleh perpecahan, baik perebutan posisi ketua Umum yang dinilai
sejalan dengan rezim Orba, maupun konflik antar kelompok dalam tubuh partai,
seringnya antara kubu NU dan kubu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). NU
akhirnya memutuskan keluar secara organisasi dari PPP. PDI pun mengalami
perpecahan, konflik internal terus berlangsung setiap pemilihan ketua umum
karena adanya intervensi rezim orba. Konflik berujung hingga terpilihnya
Megawati Soekarno Putri yang ditolak rezim dan mendukung Soerjadi. Megawati,
yang nantinya melahirkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pasca
orba tumbang.
Selepas rezim orba tumbang, banyak partai lahir
mengklaim sebagai pewaris partai lama seperti NU, Masyumi, PNI, dan PSII.
Misalnya, kalangan NU selain masih ada di PPP juga mendirikan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI),
Partai Kebangkitan Umat (PKU) dan Partai Nahdlatul Ummah (PNU) yang berubah
nama menjadi PPNUI di pemilu berikutnya. PSII lahir kembali dengan beberapa
nama yang mirip semisal PSII, PSII Baru, dan PSII 1905. Masyumi pun demikian,
melahirkan Partai Bulan Bintang (PBB), Masyumi Baru, dan Partai Politik Islam
Indonesia (PPII) Masyumi. Dari kalangan nasionalis, selain PDI dan PDIP, banyak
partai baru muncul dan mencoba mengklaim sebagai pewaris PNI dengan menjadikan
gambar banteng sebagai simbol. Sebut saja Partai Nasional Demokat (PND),
PNI-Front Marhaenis, PNI-Massa Marhaen, dan PNI yang nantinya berubah nama
menjadi PNI-Marhaenisme di bawah kepemimpinan Sukmawati Soekarno Putri. Juga
termasuk munculnya Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang
merupakan organisasi fusi dalam tubuh PDI semasa orba. Golkar (Golongan Karya)
tak luput dari perpecahan, melahirkan Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong
Royong (MKGR) yang merupakan ormas underbouw, dan Partai Keadilan dan Persatuan
(PKP) pimpinan Edi Sudrajat yang nantinya berganti nama menjadi PKPI dan masih
eksis hingga kini. PPP melahirkan Partai Persatuan (PP) pimpinan mantan ketua
umum PPP era orba, Jaelani Naro.
Dari sekian partai yang tersisa di era reformasi
ini, hampir semua tak luput dari perpecahan. Kader PDI-P yang kecewa membentuk
partai baru, yaitu Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) pimpinan Eros
Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) pimpinan Roy B.B. Janis, dan Partai
Pelopor pimpinan Rachmawati Soekarno Putri.
Partai Golkar terpecah hingga muncul Partai
Karya Peduli Bangsa (PKPB) dengan tokohnya R. Hartono dan Sri Hardiyanti
Rukmana (Tutut, anak Soeharto), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang
dipimpin Wiranto, Partai Nasdem pimpinan Surya Paloh, dan Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra) pimpinan Prabowo Subianto. Bahkan Golkar sempat pula
mengalami dualisme kepengurusan, yaitu Golkar di bawah kepengurusan Aburizal Bakrie
dan Golkar di bawah kepengurusan Agung Laksono.
Partai Nasdem bahkan pecah saat evolusinya dari
ormas Nasional Demokrat menjadi Partai Nasdem. Pecahan Partai Nasdem kemudian
membentuk Partai Persatuan Indonesia (Perindo) pimpinan Hari Tanoe. Partai Demokrat
mempunyai sempalan Partai Barisan Nasional (Barnas).
PPP melahirkan Partai Bintang Reformasi (PBR).
Bahkan kini PPP mengalami dualisme kepemimpinan antara kubu Romahurmuzy dengan
kubu Djan Faridz.
PKB mengalami beberapa kali dualisme
kepemimpinan, PKB versi Matori Abdul Djalil melawan PKB versi Gusdur dan Alwi
Shihab, kemudian dualisme PKB versi Alwi Shihab melawan PKB versi Gusdur dan
Muhaimin Iskandar, lalu PKB versi Muhaimin Iskandar melawan PKB Gusdur dan Ali
Masykur Musa. PKB juga melahirkan sempalan seperti Partai Kebangkitan Nasional
Ulama (PKNU), Partai Kejayaan Demokrasi (PKD) yang berasal dari pengikut Matori
Abdul Djalil, dan Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN).
Partai Amanat Nasional (PAN) melahirkan Partai
Matahari Bangsa (PMB) yang digawangi pemuda dari kalangan Muhammadiyah yang
kecewa terhadap PAN.
Dari sejarah perpecahan yang menimpa
partai-partai tersebut, faktor ideologi saja ternyata tidak cukup untuk menjaga
soliditas partai dari ancaman perpecahan. Bagaimana partai dengan latar
belakang ideologi baik sekuler (komunis, sosialis, nasionalis) maupun islam,
mengalami adanya perpecahan. Sehingga, perlu ditemukan faktor apa yang
mempengaruhi soliditas sebuah partai, dan sebaliknya yang menimbulkan
perpecahan. Tentu guna menjadi pembelajaran untuk dapat mengelola partai
politik secara lebih baik. Sekaligus dapat menjadi salah satu barometer bagi
publik untuk melihat kapasitas partai politik (yang akan melahirkan kadernya)
mengelola organisasi politik sebagai miniatur dari sistem politik negara.
ANALISA SEBAB-SEBAB TERJADINYA
BERUNTUNG, Firman
Noor, menyajikan dengan runut dalam bukunya, Perpecahan dan Soliditas
Partai Islam di Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi. Buku
ini merupakan disertasi penulisnya di University of Exter, Inggris. Walau buku ini
lebih khusus membahas tentang partai islam, namun bisa dijadikan cermin
pembelajaran bagi pengelolaan partai dengan ideologi lainnya.
PKB dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera,
sebelumnya bernama Partai Keadilan / PK) dipilih karena keduanya merupakan partai
dengan performa elektoral yang relatif setara, dan telah mampu melahirkan
kadernya menjadi pemimpin negara, seperti Gusdur (PKB) yang pernah menjadi
Presiden RI 1999-2001, dan Hidayat Nurwahid (PKS) yang menjadi Ketua MPR RI
2004-2009. PKB dan PKS juga memiliki prospek untuk bertahan dari pemilu ke
pemilu karena memiliki basis massa yang kuat. PKB memiliki basis massa dari
kalangan islam tradisional (warga NU) yang banyak terkonsentrasi di pedesaan.
Sedangkan PKS memiliki basis massa dari kalangan islam modernis di perkotaan.
PKB juga dipilih karena selama dekade awal reformasi, mengalami tiga kali
perpecahan dan melahirkan dualisme kepengurusan partai.
Sedangkan PKS dipilih karena walau terjadi riak
konflik dalam internal partai, namun mampu tampil solid sebagai kesatuan
partai, tak melahirkan partai sempalan oleh kadernya, dan tak juga ada dualisme
kepengurusan partai.
Secara sederhana, Firman Noor menyebutkan,
sejauh mana sebuah partai mampu menjaga soliditasnya sangat terkait dengan
kemampuan partai melembagakan dirinya. Pelembagaan partai meliputi partai yang
dijalankan berdasarkan tata aturan, termasuk dalam menyelesaikan konflik
internal, komitmen terhadap nilai bersama (ideologi partai), dan juga sistem
kaderisasi yang sistematis.
PERPECAHAN DI PKB DAN SOLIDITAS DI
PKS
PKB mengalami perpecahan
hingga menimbulkan dualisme kepengurusan sebanyak tiga kali. Perpecahan pertama
terjadi ketika Gusdur akan dilengserkan dari Jabatan Presiden RI. PKB menolak
hadir dalam Sidang Istimewa MPR RI yang mengagendakan impeachment
terhadap Gusdur. Namun Matori Abdul Djalil (Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB) yang
merupakan salah satu pimpinan MPR RI tetap hadir pada Sidang Istimewa MPR RI,
walau fraksi PKB memboikot untuk tidak hadir. Matori akhirnya dilengserkan dari
jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB dan dikeluarkan dari keanggotaan PKB.
Namun, pendukung Matori tak menerima keputusan ini, sehingga tetap mengakui
Matori sebagai Ketua Umum. Gusdur akhirnya menunjuk Alwi Shihab sebagai Ketua
Umum Dewan Tanfidz PKB yang baru menggantikan Matori, dan Syaifullah Yusuf
sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Tanfidz PKB. Kalangan Ulama banyak mendukung
Gusdur-Alwi, dan keputusan pengadilan memenangkannya. Kubu Matori akhirnya
mendirikan Partai Kejayaan Demokrasi (PKD) menjelang pemilu 2004.
Perpecahan kembali melanda PKB saat kisruh soal
jabatan rangkap Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf yang diangkat menjadi Menteri
dalam kabinet SBY-JK. Gusdur kembali menunjuk pengganti Alwi Shihab, yaitu
Muhaimin Iskandar, sedangkan kubu Alwi-Syaifullah tetap bersikukuh menjadi
pengurus, dengan dukungan para ulama khos. PKB-Alwi ini lah yang menjadi
cikal bakal munculnya PKNU. Ini juga menandakan keprihatinan kalangan ulama
terhadap konflik dalam tubuh PKB dan perubahan sikap ulama dalam mendukung
Gusdur.
Dualisme kepengurusan terjadi ketiga kalinya,
saat Gusdur kembali melengserkan Ketua Umum Dewan Tanfidz, yaitu Muhaimin
Iskandar, yang dianggap mulai tidak loyal. Muhaimin digantikan Ali Masykur
Musa. Sedangkan kubu Muhaimin bersikukuh melanjutkan kepengurusannya. Kubu
Muhaimin akhirnya yang dianggap sah oleh pemerintah dan berhak mengikuti pemilu
2009. Kubu Gusdur kemudian nantinya membentuk Partai Kemakmuran Bangsa
Nusantara (PKBN). Selama konflik dualisme kepengurusan partai berlangsung tiga
kali di pusat, juga menjalar di daerah. Pemecatan, pembekuan, dan pergantian
pengurus di daerah terjadi seiring konflik yang berjalan di pusat, dan
bergantung siapa yang didukung daerah dalam konflik tersebut. Keterlibatan
pengurus daerah juga membuat faksi-faksi yang berkonflik makin membesar dan
memungkinkan munculnya kepengurusan kembar di banyak daerah.
Imbas perpecahan ini sangat terasa terhadap
raihan elektoral PKB dalam pemilu. Pada pemilu 1999 PKB berhasil masuk tiga
besar parpol dalam pemilu dengan 13,3 juta suara (12,62%) atau empat besar di
DPR dengan 51 kursi. Namun Pada pemilu 2004 turun menjadi 11,9 juta suara
(10,57%) walau perolehan kursi naik menjadi 52 kursi di DPR. Di pemilu 2009
kembali menurun menjadi hanya 5,1 juta suara (4,94%) atau cuma 27 kursi di DPR.
Setelah dualisme kepengurusan berakhir pasca wafatnya Gusdur, suara PKB di
pemilu 2014 kembali mencapai 11,1 juta (9,04%) atau setara 47 kursi di DPR.
Potensi suara dari basis massa NU sekitar lebih dari 60 juta jiwa, belum bisa
dimaksimalkan karena kisruh internal dalam tubuh partai begitu menyita energi.
LAIN PKB LAIN PKS. PKS mampu menjaga soliditas partai. Walau terdapat
perbedaan pendapat, maupun konflik internal namun tidak sampai berpengaruh
terhadap soliditas partai. Setiap pergantian Presiden Partai, selalu mulus
tanpa kisruh, bahkan presiden partai rela mundur dari posisinya saat diangkat
menjadi menteri atau ketua lembaga negara, dan pemilihan presiden baru
berlangsung lancar. Terdapat beberapa kasus pemecatan kader senior partai yang
memegang jabatan penting dalam tubuh partai, seperti Syamsul Balda yang pernah
menjabat sebagai Wakil Presiden PK dan anggota Majelis Syuro, dan Yusuf Supendi
anggota Majelis Syuro dan wakil ketua Dewan Syariah PKS. Namun tidak sampai
melahirkan oposisi dalam tubuh partai atau eksodus besar-besaran pengurus
partai, apalagi melahirkan partai baru. Konflik akibat pemecatan kader yang
tidak selesai di internal partai dan berlanjut ke pengadilan sebagai sarana di
luar partai, ditemukan dalam kasus Yusuf Supendi, dan baru-baru ini pada kasus
yang menimpa Fahri Hamzah yang coba dirotasi dari posisinya sebagai Wakil Ketua
DPR RI.
Terdapat pula keluarnya tokoh-tokoh senior
partai seperti Tizar Zein, Daud Rasyid, dan lainnya, hingga membentuk forum di
luar partai seperti Forum Kader Peduli (FKP). Namun keberadaan FKP tak sampai
membuat partai terbelah, dan malah dianggap sebagai bagian dari otokritik
terhadap jalannya partai. Kabar terakhir, konon para tokoh FKP kembali
mendukung PKS di masa kepemimpinan Sohibul Iman. Perbedaan pendapat dalam tubuh
partai semisal menentukan dukungan terhadap calon presiden, atau menentukan
arah koalisi, juga dapat dikelola dengan baik dalam tubuh partai sehingga tidak
melahirkan perpecahan. Walau menurut beberapa pengamat, terdapat faksi-faksi
dalam tubuh PKS seperti faksi keadilan yang lebih berorientasi dakwah dengan
faksi sejahtera yang berorientasi politik, atau faksi tua dan faksi
muda, atau faksi Anis Matta dengan faksi penantangnya. Namun semua berulang
kali dibantah oleh internal PKS, dan terbukti tak sampai membuat goyahnya
soliditas partai. Perbedaan pandangan dalam tubuh PKS tak sampai menguat
menjadi pengelompokan yang tegas dan membedakan antara satu dengan yang
lainnya. Perbedaan pandangan hanya bersifat temporal dan fleksibel bergantung
isu yang sedang berkembang.
Walau PKS relatif solid, namun perolehan suara
partai relatif stagnan pasca lompatan hebat pada pemilu 2004. Pada pemilu 1999
PK hanya memperoleh 1,4 juta suara (1,36%) atau setara 7 kursi di DPR. Kemudian
melompat tinggi di pemilu 2004 dengan 8,3 juta suara (7,34%) atau 45 kursi DPR.
setelah itu perolehan suara relatif stagnan, di pemilu 2009 memperoleh 8,2 juta
suara (7,88%) atau 57 kursi di DPR, lalu di pemilu 2014 memperoleh 8,4 juta
suara (6,79%) atau 40 kursi di DPR. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi
perolehan suara PKS walau PKS secara organisasi cukup solid. Jangan lupakan
bahwa PKS tidak mengandalkan basis massa yang sudah mengakar dalam sejarah
seperti NU, Muhammadiyah, atau lainnya. Komunitas Tarbiyah yang merupakan basis
massa PKS baru terbentuk sejak 1980an dan bergerak di bawah tanah selama massa
orba. Sangat baru dibandingkan PKB misalnya yang memiliki basis massa NU yang
sudah ada sejak sebelum Indonesia belum merdeka.
KEPEMIMPINAN PRODEDURAL DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN
SECARA legal
formal, aturan main dalam PKB telah diatur dengan baik di AD/ART. Namun, PKB
yang merupakan mesin politik NU terlihat warna budaya politik NU dalam
menjalankan organisasi. Aturan dibuat sefleksibel mungkin, dan lebih banyak hal
yang hanya diatur secara informal atau kultural ala NU. Hubungan ulama-santri
sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di dalam PKB. Para ulama yang
berposisi di Dewan Syuro walau kewenangannya tidak lebih besar dari Dewan Tanfidz
yang berisi para santri, politisi, dan lainnya, namun memiliki pengaruh
kultural yang cukup besar. Pengaruh kultural ini pada satu titik membuat
seorang ulama yang berpengaruh di dalam tubuh partai, bisa mengarahkan
keputusan partai walau secara prosedural tidak baik. Gusdur sebagai mantan
Ketua Umum NU, cucu pendiri NU, mantan Presiden RI, dan inisiator lahirnya PKB,
membuat posisinya sangat sakral dalam tubuh partai. Seorang Gusdur bisa dengan
mudah mengganti sebanyak tiga kali Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB karena secara
politis berseberangan dengannya. Ketua Umum Dewan Tanfidz sejak Matori hingga
Muhaimin, adalah orang yang awalnya dipercaya Gusdur sehingga bisa terpilih.
Namun, Ketua Umum Dewan Tanfidz akhirnya dilengserkan oleh Gusdur hanya melalui
rapat pleno pengurus pusat, bukan Muktamar Luar Biasa (MLB) sebagai ajang yang
sah. Proses pelengserannya juga tanpa melalui mekanisme peringatan dan
klarifikasi terlebih dahulu. Jelas bahwa kuasa Gusdur sedemikian besar
melampaui aturan partai.
DI PKS,
aturan partai, tidak hanya ada secara legal formal, namun mencoba dijalankan
semaksimal mungkin sehingga menghasilkan soliditas partai. Kewenangan tertinggi
berada di Majelis Syuro, seperti menentukan garis kebijakan strategis partai,
memilih pimpinan pusat partai, dan menentukan kader partai yang akan
ditempatkan dalam jabatan publik. Walau majelis syuro seolah menjadi lembaga superbody,
namun anggota Majelis Syuro dipilih oleh kader inti, yaitu kader dengan jenjang
kaderisasi tingkat madya, tingkat dewasa, hingga tingkat ahli. Kader inti
berasal dari jenjang proses pengkaderan partai, sebagai ciri khas dari jamaah
tarbiyah. Sehingga setiap kader inti, berhak memilih anggota majelis syuro,
dan setiap anggota majelis syuro berhak memilih ketua majelis syuro maupun
anggota khusus majelis syuro sebagai tambahan dengan kriteria khusus misalnya
keahlian yang dibutuhkan. Majelis syuro terhindar dari sikap otoriter walau
memiliki kewenangan besar, juga karena budaya dalam tubuh PKS yang mengutamakan
musyawarah dan menghargai hasil musyawarah. Bahkan, walau Ketua Majelis Syuro
seperti Hilmi Aminudin, yang notabenenya orang yang paling berjasa dalam
melahirkan komunitas tarbiyah dan banyak anggota majelis syuro yang lain adalah
binaan sewaktu dikader Hilmi dulu, namun dalam Majelis Syuro posisi Hilmi tak
sampai memunculkan sikap otoritarian. Sebut saja misalnya saat pemilihan ketua
Majelis Syuro pada Munas tahun 2005, sebesar 47% anggota tak memilih Hilmi.
Atau saat Munas terakhir dimana posisi Ketua Majelis Syuro dijabat Salim Segaf
yang juga generasi pertama komunitas tarbiyah.
Bahkan Hilmi tak punya hak veto selama
musyawarah, kecuali benar-benar deadlock. Hilmi, selalu mencoba
mendengar masukan dari kader, dan tak jarang seperti moderator dalam musyawarah
majelis syuro. Misalnya, dalam penentuan dukungan terhadap calon presiden pada
tahun 2004. Walau Hilmi dan Anis Matta selaku Sekjen menginginkan PKS mendukung
Wiranto, namun keputusan majelis syuro akhirnya mendukung Amien Rais. Pun
dengan Anis Matta yang dianggap banyak pengamat sebagai orang yang berpengaruh
besar dalam tubuh PKS karena menjabat Sekjen selama beberapa periode dan punya
kedekatan khusus dengan Hilmi, namun tak kuasa juga mempengaruhi hasil
keputusan Majelis Syuro. Selain terkait pencalonan presiden 2004, misalnya pada
keputusan apakah PKS keluar dari koalisi atau tidak pada tahun 2005 akibat
kebijakan kenaikan BBM yang diambil SBY-JK atau akibat kasus yang menimpa
presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq yang ditangkap KPK. Anis menyerukan
keinginannya untuk keluar dari koalisi dan mendapat dukungan dari kader partai,
namun toh keputusan Majelis Syuro berkehendak lain.
Tokoh-tokoh teras seperti Syamsul Balda, dan
Yusuf Supendi, tak kuasa menghadapi pemecatan partai. Proses penegakan disiplin
partai biasanya menggunakan mekanisme internal yang berada di tangan Dewan
Syariah PKS yang independen dari Majelis Syuro. Sehingga bukan hanya dua nama
tersebut yang pernah berurusan dengan Dewan Syariah. Termasuk juga Anis Matta
yang dimintai klarifikasinya terkait pernyataan PKS sebagai partai terbuka.
Terlihat bahwa aturan main partai mencoba dijalankan dan keputusannya diikuti
oleh semua pengurus. Aturan main partai tanpa pandang bulu berlaku bagi siapa
saja termasuk tokoh yang memegang jabatan tinggi di partai. Walau muncul kasus
tertentu seperti kasus pemecatan Yusuf Supendi dan kasus Fahri Hamzah yang
dirotasi dari posisinya sebagai Wakil Ketua DPR, harus berlanjut hingga
menggunakan mekanisme di luar partai, yakni ke pengadilan, namun tak sampai
mengganggu soliditas partai secara umum. Kasus Yusuf Supendi tak memancing
dukungan besar-besaran dari kader, dan pada akhirnya kasus tersebut dimenangkan
oleh PKS. Sedangkan kasus Fahri Hamzah dimenangkan oleh Fahri dan sempat
memancing kader yang mendukung Fahri bereaksi. Namun PKS mungkin memilih
menyelesaikan kasus Fahri secara internal sehingga tidak banyak pembahasan
mengenai hal itu dari pengurus partai kepada publik ataupun media. Tentu
soliditas partai di tangan pengurus baru ini diuji terkait kasus Fahri, dan apakah
PKS akan kembali lolos dari konflik. Sejauh ini, Fahri pun tak banyak
bermanuver untuk mengkonsolidasikan kekuatan kader/massa partai untuk membentuk
faksi menentang keputusan partai. Fahri lebih banyak berkicau di dunia maya dan
di forum terbatas di kalangan kader untuk mencurahkan keluh kesah dan pemikiran
terkait kasus yang melibatkan dirinya.
Secara ringkas, aturan yang ada di PKS dapat
berjalan sehingga melahirkan soliditas karena adanya semangat musyawarah,
adanya partisipasi baik langsung maupun tidak langsung, otoritas Majelis Syuro
dan konsistensinya menjalankan aturan, serta adanya power sharing terutama
keberadaan Dewan Syariah yang independen.
MEKANISME RESOLUSI KONFLIK
DALAM TUBUH PKB, CRM (Conflict
Resolution Mechanism, Mekanisme Resolusi Konflik) tidak diformalkan secara
baik. Bahkan sebelum tahun 2005 tak disebutkan lembaga khusus dalam AD/ART
partai dalam mencegah atau menangani konflik internal. Setelahnya, walau
disebutkan adanya Badan Kehormatan, namun fungsi dan keanggotaannya tak jelas
dalam AD/ART partai. Sehingga CRM mengandalkan Dewan Syuro dan mekanisme dalam
Muktamar (juga MLB). Pengaruh budaya NU dalam budaya organisasi juga terbawa
dalam PKB, sehingga aturan lebih dimungkinkan bersifat informal dan fleksibel.
Namun itu ternyata menyebabkan masalah saat muncul konflik yang cukup besar
seperti dijelaskan di bagian sebelumnya. Penyelesaian konflik secara personal
mengandalkan pengaruh kyai sepuh ataupun secara kultural dalam tradisi NU, tak
cukup untuk menyelesaikan masalah dalam tubuh PKB. Dewan Syuro yang berisi para
kyai sepuh diharapkan dapat menjalankan peran kulturalnya dalam menyelesaikan
konflik internal, namun dalam realitanya konflik justru muncul dari Ketua Umum
Dewan Syuro (Gusdur) sehingga peran Dewan Syuro menjadi kurang maksimal dalam
menyelesaikan konflik. Pun dalam arena muktamar atau MLB yang ada hanyalah
ajang mencari legitimasi dan dukungan bagi masing-masing pihak yang berkonflik
daripada ajang berdialog dan momen untuk islah. Padahal tradisi islah
cukup dikenal dalam tradisi NU. Proses islah dan keterlibatan para
kyai khos sudah pernah terjadi. Masing-masing pihak yang berkonflik
menyerukan bersedia islah dengan memberikan persyaratan yang tak mungkin
dipenuhi kubu lawannya. Para kyai khos pun tak henti menyerukan islah,
bahkan terlibat dalam upaya islah saat konflik antara kubu Alwi dan
kubu Gusdur. Namun sikap Gusdur tak berubah setelah dialog dengan para kyai khos
sehingga para kyai bahkan mulai menghindar untuk bertemu Gusdur sebagai
tanda kekecewaan. Ujungnya, lahirnya PKNU sebagai bentuk kekecewaan para ulama
NU atas berjalannya politik PKB.
Ketiadaan CRM dalam tubuh PKB membuat tidak
adanya otoritas yang bisa dijadikan rujukan bagi penyelesaian perbedaan
pendapat, maupun bagi pihak yang dirugikan oleh keputusan partai, sehingga
pihak yang berkonflik masing-masing melakukan berbagai cara yang dianggap benar
menurut penafsiran masing-masing. Ketiadaan CRM juga membuat potensi konflik
tak bisa dicegah, dan konflik yang muncul tak bisa dilokalisir dan malah meluas
hingga ke daerah. Hingga penyelesaian konflik harus menggunakan jalur hukum di
luar mekanisme internal partai, yang tak begitu saja menyelesaikan masalah.
Selain keputusan pengadilan berjenjang hingga ke tingkat Mahkamah Agung (MA)
yang memakan waktu lama, juga putusan yang sering dianggap ambigu. Putusan MA
seringkali ambigu sehingga membuat setiap kubu mengklaim merekalah yang menang.
Sehingga tak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Masalah benar-benar selesai saat
kubu lain memilih mundur dari konflik, keluar dari partai dan membentuk partai
baru, seperti PKD-Matori, PKNU-Alwi, atau PKBN-yenny Wahid selepas wafatnya
Gusdur.
DALAM TUBUH PKS, CRM
diawali dari lingkup terkecil, yaitu halaqah. Halaqah tidak hanya
sebagai ajang pembinaan kader, namun juga sekaligus sarana terdekat para kader
menyelesaikan berbagai masalah seperti permasalahan personal, maupun terkait
permasalahan antar kader, keluhan terhadap partai, dan lainnya. Dalam halaqah,
seorang murabbi diharuskan mencari solusi, dan para mutarabbi juga
membantu menyelesaikan masalah. Hal ini membuat potensi masalah tidak membesar
dan bisa diredam sedari awal. Jika permasalahan tak bisa diselesaikan dalam halaqah,
maka bisa dibawa ke struktural partai. Dalam struktural partai, terdapat
Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) yang menjadi badan peradilan bagi
permasalahan kedisiplinan kader dalam menjalankan kebijakan partai. Selain
BPDO, terdapat juga Dewan Syariah, yang sebelum adanya BPDO juga menangani hal
yang sama, dan kini lebih fokus pada pelanggaran terhadap syariat islam, baik
masalah personal, antar kader maupun struktural. Dewan Syariah, tidak hanya
memberikan fatwa terhadap kebijakan yang diambil partai, namun juga memberikan
keputusan bagi permasalahan dalam tubuh partai. Kasus-kasus yang pernah
ditangani Dewan Syariah seperti kasus Syamsul Balda, dan Yusuf Supendi. Bahkan
Yusuf Supendi yang notabene adalah wakil ketua Dewan Syariah, tidak luput dari
sanksi jika terbukti ada pelanggaran. Kasus lain yang ditangani baik oleh Dewan
Syariah maupun BPDO juga terjadi di daerah, seperti kasus Saleh Matapermana
yang maju menjadi calon wakil walikota Depok pada Pilkada 2005 padahal
keputusan partai mendukung Nur Mahmudi Ismail. Begitupun kasus Alwi Sahlan yang
maju pada pilkada Kalimantan Selatan padahal keputusan partai mendukung calon
lain. Alwi Sahlan yang merasa sebagai tokoh senior dan berjasa bagi PKS di
Kalimantan Selatan tidak serta merta diuntungkan dalam kasus tersebut.
Bila potensi konflik berasal dari kebijakan
partai, seperti kasus dukungan terhadap calon presiden, maupun keputusan partai
untuk keluar atau tetap dalam koalisi, seperti sudah diceritakan di bagian
atas, menjadi domain Majelis Syuro. Dan keputusan Majelis Syuro tak serta merta
tunduk pada keinginan orang per orang seperti telah diceritakan di bagian atas.
Bahkan Hilmi Aminudin selaku Ketua Majelis Syuro dan generasi pertama komunitas
tarbiyah, atau Anis Matta yang dekat dengan Hilmi dan menjadi Sekjen selama
beberapa periode, serta desakan kader dan publik untuk keluar koalisi saat
kasus yang menimpa Luthfi Hasan Ishaq, tak mampu mempengaruhi hasil musyawarah
Majelis Syuro.
Kunci dari CRM dalam tubuh PKS adalah adanya
perangkat yang berfungsi dengan baik dalam melindungi kader maupun partai dari
ancaman konflik, dari tingkat terkecil hingga tertinggi. Selain itu, adanya
proses investigasi dan tabayun dari pihak yang terkait dengan
permasalahan, membuat kader merasa diperlakukan dengan adil, dan cenderung
menerima hasil dari keputusan partai.
SISTEM KADERISASI YANG SISTEMATIS
KADERISASI partai
yang sistematis bisa menjamin sinkronisasi pemahaman kader terhadap aturan main
partai, memunculkan loyalitas kepada kepentingan partai, dan jaminan bahwa
karir politik kader bergantung dengan hasil kaderisasi yang telah dijalani
(meritokrasi), bukan dari faktor yang lain. Namun, hal ini tak sepenuhnya
terlihat di PKB. Sebelum tahun 2008 dalam AD/ART partai sebagai aturan
tertinggi, tak disebut mengenai kaderisasi, barulah setelah itu muncul
disebutkan. Walaupun dalam dokumen-dokumen lain dimunculkan mengenai pentingnya
kaderisasi dalam partai, dan tahapannya seperti adanya Pelatihan Tingkat Dasar
(PTD), Pelatihan Tingkat Lanjut (PTL), dan Pelatihan Tingkat Tinggi (PTT).
Namun karena ketidakjelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab, seperti apa,
dan lainnya, sehingga sistem kaderisasi kerap tidak berjalan.
Pada awalnya berdirinya, PKB yang merupakan
saluran politik warga NU dan belum memiliki sistem kaderisasi yang matang,
rekrutmen pengurus partai maupun jabatan publik, sangat bergantung dengan
keberadaan organisasi NU sebagai penghasil kader. Dari jalur NU dapat terlihat
dua jalur, pertama jalur kederisasi dimana seorang warga NU sudah sejak belia
aktif dalam sayap organisasi NU seperti Ikatan Pelajar NU (IPNU), kemudian
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berlanjut ke Anshor, lalu ke NU.
Jalur kedua berasal dari jalur kultural, yaitu orang-orang yang
direkomendasikan oleh para kyai NU, baik berasal dari keturunannya, kerabat,
maupun kolega. Namun, fenomena ini terus berlanjut hingga kini. Diantara
problemnya karena kekurangan dana, bergantung dengan NU misalnya memanfaatkan
kegiatan NU atau mengandalkan kyai NU. Sedangkan para tokoh dan kyai NU walau
melakukan kaderisasi secara personal dan kultural, namun sangat terbatas baik
cakupan, kemampuannya, apalagi hanya mengandalkan tafsiran pribadi mengenai
arah kebijakan partai.
Ketidakmandirian PKB dalam kaderisasi ini
berakibat serius bagi munculnya konflik. PKB terjebak dalam budaya oligarki.
Seseorang bisa masuk partai kapan saja tanpa latar belakang kaderisasi, hanya
karena mendapat persetujuan atau dekat dengan pengurus partai, atau karena
direkomendasikan oleh kyai yang berpengaruh di wilayahnya. Sehingga loyalitas
kader semacam itu, bercabang dua antara ke partai dengan ke tokoh/kyai yang
berjasa membawanya masuk partai. Loyalitas ganda ini semakin menambah runyam
saat konflik muncul, karena loyalitas pada tokoh, bukan pada aturan main
partai, membuat pengkutuban kepada faksi-faksi yang berkonflik kian kentara.
Sedangkan bagi kader lain yang bukan berasal dari kedekatan dengan tokoh, ia
tidak ada jaminan terkait keberlangsungan karir politiknya dalam partai
walaupun memiliki kinerja yang bagus, sehingga mau tidak mau, pada satu titik
harus mencari perlindungan dengan merapat kepada kubu yang berkonflik.
SEDANGKAN PKS,
mencurahkan perhatian yang baik pada sistem kaderisasi. Ini juga menandakan
bahwa PKS sebagai partai kader, bukan omong kosong. Bagi PKS, sistem kaderisasi
merupakan kewajiban yang muncuk karena ideologi yang dianut. Sistem kaderisasi
tidak hanya tertulis dengan jelas dalam AD/ART, namun juga dilaksanakan, di
bawah pengawasan Departemen Kaderisasi di tiap tingkatan kepengurusan. Tiap
kader wajib mengikuti halaqah yang menjadi pertemuan rutin dalam rangka
penguatan ideologi, dan keorganisasian partai. Tiap kader memiliki jenjang
kaderisasi tergantung sejauh mana aktivitasnya dalam kaderisasi, dimulai dari
kader pemula, muda, madya, dewasa, ahli, hingga inti. Ditambah adanya
keanggotaan bagi kader kehormatan yang proses seleksinya juga juga
terlembagakan dengan prosedur yang diatur. Jenjang kaderisasi ini akan
menentukan level tanggung jawab kader dalam mengemban posisi di internal
partai. Misalnya, anggota majelis syuro termasuk pengurus pusat hanya berhak
diisi oleh kader ahli dengan minimal sekian tahun di jenjang tersebut. Kader
lain pun memiliki kesempatan untuk memilih beberapa posisi dari mulai tingkat
terendah untuk jabatan pengurus tingkat ranting dan seterusnya hingga anggota
majelis syuro. Sehingga posisi dalam kepengurusan tidak hanya karena ada like
or dislike dari elite partai, namun juga ditentukan oleh kader.
Dengan sistem kaderisasi yang sistematis dalam
tubuh PKS, maka baik ideologi maupun aturan main partai, dapat terdistribusi
dan menyebar di kalangan kader. Hal ini meminimalisir munculnya konflik,
termasuk meminimalisir potensi elite partai yang menggunakan pengaruhnya untuk
mengambil keuntungan pribadi. Sistem rekrutmen untuk pengurusan dan jabatan
publik yang mendasarkan pada hasil kaderisasi, juga membuat kepercayaan pada
sistem ini. Sekaligus membuat asas keadilan bagi setiap kader berdasarkan
kinerjanya, bukan sekedar like or dislike, atau monopoli elite tertentu.
Ini menandakan pula meritoktasi dalam tubuh PKS. Saat kader merasa diperlakukan
secara adil, membuat potensi konflik yang muncul dari kader bisa diminimalisir.
Namun demikian, meski sistem kaderisasi yang
sistematis berperan penting dalam menjaga soliditas partai, dan menjadi modal
utama dalam rekruitmen, namun hasil pemilu tetap stagnan. Sehingga muncul
keanggotaan kehormatan untuk merekrut tokoh di luar partai. Walau PKS tidak
latah mengajukan tokoh populer seperti artis untuk mengeruk suara, namun
langkah PKS merekrut tokoh di luar partai bisa membuat kader tersaingi. Meski
demikian, proses rekrutmen keanggotaan kehormatan memiliki prosedur dan terukur
serta terbuka untuk dievaluasi dalam sistem internal partai, sehingga sejauh
ini belum secara luas menimbulkan keluhan dari kader dan menyebabkan
perpecahan.
KOMITMEN TERHADAP IDEOLOGI
PKB melandaskan diri pada
ideologi kebangsaan yang berlandaskan Islam ahlussunnah wal jamaah (atau
sunni atau aswaja). Aswaja versi PKB sangat lekat dengan NU dimana sedikit
berbeda dengan definisi sunni secara umum. Aswaja lebih menitikberatkan pada
pengakuan terhadap empat imam mazhab, terutama mazhab Syafi’i yang dianut NU
dalam fikih. Sedangkan dalam akidah, menyandarkan pada ajaran Abu Hasan
Al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al-Maturudi, dan dalam tarekat menyandarkan pada
ajaran Imam Ghazali dan Abu Qasim Junaid. Dari ajaran aswaja inilah, yang
mengarahkan PKB dalam berpolitik, yaitu sikap moderasi yang menjunjung ajaran
damai daripada ekstrimisme, penghormatan atas pluralisme yaitu penerimaan
terhadap konteks sosial budaya masyarakat Indonesia, dan prioritas pada
stabilitas politik.
Sayangnya, ideologi partai hanya berfungsi dalam
mengarahkan partai pada masalah eksternal seperti dalam perumusan kebijakan.
Walupun menurut beberapa pengurus, sulit membedakan antara ideologi PKB dengan
partai islam lain, karena penerimaan nasionalisme dan kebangsaan menjadi
sesuatu yang umum dalam partai islam di Indonesia. Sedangkan dalam aktivitas
internal partai, ideologi partai kurang berpengaruh untuk membentuk identitas
internal partai dan mengatur kode etik dan rasa kebersamaan dalam partai.
Terlihat dari ketiadaan sistem kaderisasi yang sistematis yang sudah dijelaskan
di bagian atas. Hal ini dikarenakan tidak seriusnya partai melakukan upaya yang
sistematis untuk menanamkan ideologi partai secara internal. Pengurus
beranggapan, kader merupakan warga NU sehingga seharusnya sudah memiliki
pemahaman terhadap ideologi yang sama. Padahal aktivitas politik PKB tentu
berbeda dengan aktivitas keagamaan mapun sosial budaya dari NU. Praktis peran
untuk menginternalisasi ideologi partai ke dalam diri kader, bergantung kepada
para tokoh dan kyai. Cara ini memiliki kelemahan karena ketidaksamaan pemahaman
terhadap ideologi partai maupun kebijakan politik partai, juga keterbatasan
jangkauannya. Apalagi, ketergantungan yang besar pada peran tokoh atau kyai
membuat loyalitas ganda bagi para kader, sehingga rawan muncul konflik. Dan
terbukti loyalitas ganda ini membuat konflik semakin membesar karena kader
menyandarkan penilaian baik dan buruk bergantung kepada tokoh/kyai yang dijadikan
panutan, sedangkan para tokoh/kyai menafsirkan ideologi partai secara bebas
sesuai pemahaman masing-masing. Jika ideologi partai begitu kabur dalam
pelaksanaannya, membuat nilai partai menjadi tak lagi relevan. Setiap kader
bisa berpindah kubu bergantung kemana arah angin bertiup, termasuk juga memilih
keluar masuk partai, bahkan membentuk partai baru, karena PKB tak lagi dianggap
penting.
PKS yang menyebut dirinya
sebagai partai dakwah, secara formal menggariskan nilai dakwah dalam aturan
partai. Bahkan partai sendiri merupakan perwujudan dari upaya dakwah. Ideologi
dakwah islam khas PKS sangat dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin. PKS
meyakini syumuliyatul islam atau gagasan islam yang universal dan
komprehensif mengatur semua urusan kehidupan, termasuk dalam berpartai dan
berpolitik. Kekhasan lainnya adalah pentahapan (gradualitas) dalam upaya
perbaikan, dimulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat, negara, hingga
seluruh alam. Konsekuensi dari ideologi tersebut, dilaksanakannya dakwah dan perbaikan
sejak dari individu kader, keluarga, termasuk dalam berorganisasi secara
internal dalam partai, dan pastinya terkait dengan sikap politik PKS dengan
kondisi eksternalnya. Pandangan tentang partai dakwah ini juga membuat partai
bukan hanya sebagai organisasi formal biasa, namun juga menjelma sebagai sebuah
jamaah dakwah. Sehingga aktivitas partai tidak hanya semata aktivitas
organisasi atau aktivitas politik, melainkan aktivitas dakwah, didasari dan
berorientasi dakwah.
Internalisasi ideologi dalam tubuh PKS tidak
hanya secara formal tertulis dalam aturan partai, namun juga dilaksanakan dalam
bentuk pembinaan kepada kader melalui tahapan kaderisasi (terutama dengan halaqah)
seperti yang sudah dijelaskan di bagian atas. Sistem kaderisasi yang sistematis,
terkontrol, dan terdistribusi dengan baik kepada kader, membuat setiap kader
memiliki kesamaan cara pandang dalam aktivitas internal partai. Sehingga partai
bukan saja organisasi biasa yang bisa dipertukarkan, namun menjadi wadah
idealisme kelompok. Seorang kader lebih memprioritaskan kepentingan partai
daripada kepentingan pribadinya. Maka perebutan jabatan baik kepengurusan
internal partai maupun jabatan publik, menjadi hal yang tabu dalam tubuh PKS.
Bahkan kader dengan rela mundur dari partai bila melakukan aktivitas yang bisa
mencoreng citra partai. Hal-hal tersebut, menandakan hasil proses internalisasi
ideologi yang berhasil. Sehingga, bahkan para elite tidak akan mudah mencari
keuntungan pribadi dari tafsiran pribadi terhadap ideologi partai karena para
kader sudah memahami baik ideologi maupun aturan main dalam partai.
Dalam perjalanannya, sistem kaderisasi yang
sistematis ala PKS pun tak menjamin keseragaman mutlak dalam keseluruhan
aktivitas politik PKS, karena situasi dan kondisi dinamika eksternal partai
yang tidak dengan mudah ditafsirkan begitu saja baik buruknya. Hal ini
menimbulkan perbedaan pandangan dalam tubuh partai, dan menurut beberapa
pengamat, hingga memunculkan adanya faksi-faksi. Walau demikian, pemahaman yang
baik dari para kader hasil pembinaan dalam sistem kaderisasi, mengenai garis
ideologi dan tata aturan partai, membuat apapun keputusan partai, selama sudah
melewati proses pengambilan keputusan yang sesuai aturan, pasti akan ditaati.
Setelah munculnya keputusan partai tentang suatu hal, pendapat pribadi menjadi
tidak lagi relevan dan tak berguna bagi penggalangan kelompok-kelompok sempalan
misalnya. Sehingga, soliditas partai relatif terjaga. Walaupun harus diakui,
tak sepenuhnya menjamin soliditas, karena terdapat pula fenomena keluarnya
kader dari partai, dengan berbagai penyebab.
TANTANGAN KE DEPAN
PERPECAHAN dalam
tubuh PKB selama tiga kali begitu menguras energi, sehingga banyak problem
internal yang belum serius digarap, seperti menciptakan sistem kaderisasi dan
bagaimana menginternalisasikan ideologi partai ke dalam aktivitas internal
partai termasuk para kader. Setelah melewati perpecahan dan berhasil menjaga
soliditasnya dan meraih suara yang kembali naik di pemilu 2014. Pengurus harus
mulai fokus melakukan pembenahan pada internal partai agar partai tidak
bergantung pada figur tertentu. Jika tidak, bukan tidak mungkin perpecahan bisa
kembali muncul. Walau demikian, PKB tidak bisa lepas dari peran ulama dan warga
NU sebagai basisnya. Karena kelahiran PKB merupakan aspirasi warga NU. Menjauh
dari ulama dan warga NU merupakan sikap yang ahistoris, dan juga kerugian
elektoral bagi PKB, dimana tak semua partai memiliki potensi basis massa
sebesar NU. PKB perlu mencari sintesa terbaik bagi peran ulama dan kaitannya
dengan modernisasi partai. Agar kehadiran Ulama bukan malah menimbukkan konflik
seperti yang pernah terjadi, namun menjadi nilai tambah dan justru menjadi
perekat dan daya dorong bagi kemajuan PKB baik secara internal maupun
eksternal.
SEDANGKAN BAGI PKS, Soliditas
PKS juga bukan sepi dari kritik. Misalnya tentang adanya faksi-faksi dalam
tubuh PKS, termasuk munculnya kelompok seperti FKP. Atau tentang sikap taat
kader kepada pimpinan partai yang dinilai mereduksi sikap kritis para kader.
Tentu hal-hal tersebut masih dalam perdebatan, misalnya tentang adanya
faksi-faksi seperti sudah dijelaskan di bagian atas. Mengenai kurangnya sikap
kritis kader, apakah benar demikian, karena sebagian besar kader berasal dari
kalangan terdidik, dan keputusan partai, sejauh yang sudah dijelaskan di bagian
atas, sudah melalui mekanisme partai. Namun kasus dan kritik yang muncul, juga
membuktikan bahwa sistem yang dibangun belumlah sempurna, terlebih seiring
berjalannya waktu, sistem tersebut harus terus dibuktikan. Misalnya, kepengurusan
baru PKS disinyalir merupakan respon dari menguatnya faksi keadilan atau
kelompok yang masih menjunjung idealisme dakwah dibanding oportunisme
politik. Kepengurusan baru juga konon bisa mengembalikan tokoh yang selama ini
kritis dan terpental keluar partai, seperti dari FKP. Namun, kepengurusan baru
juga mengalami problem dengan munculnya kasus Fahri Hamzah yang sampai dibawa
ke mekanisme di luar partai. Tantangan lain bagi PKS adalah mencari strategi
bagaimana kepemimpinan kolektif yang mampu melahirkan soliditas, juga mampu
mendongkrak perolehan suara. Karena banyak kritik terkait mandeknya suara PKS
dalam pemilu karena ketiadaan figur yang bisa menjadi penarik suara yang
signifikan secara nasional, bukan hanya populer di mata kader namun juga populer
di mata publik secara umum sebagai pemilih. Bagaimanapun, soliditas PKS bisa
jadi modal berharga, tinggal mengatur strategi yang tepat agar modal soliditas
tersebut bisa ditransformasi menjadi kenaikan suara secara signifikan.□
Keterangan Buku
Judul: Perpecahan dan Soliditas Partai Islam di
Indonesia: Kasus PKB dan PKS di Dekade Awal Reformasi
Penulis: Firman Noor
Penerbitan: LIPI Press, 2015
Halaman: xvi + 572 halaman
Sumber:
https://pijarkecillibrary.wordpress.com/2017/05/16/perpecahan-dan-soliditas-partai-islam-studi-kasus-pkb-dan-pks-sebuah-resensi-buku/?preview=true□□